Melestarikan Budaya Kekuatan Perempuan Nusantara: Kolaborasi Kegigihan dan Ketulusan Esthi dan Seruni

Oleh Latifah

Judul Buku: Perempuan-Perempuan Menggugat: Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonesia 

Penulis : Esthi Susanti Hudiono dan Seruni Bodjawati

Penerbit : Media Pressindo, Yogyakarta

Tebal : xxxviii + 182 halaman

Cetakan : I, 2019

 

Buku Perempuan-perempuan Menggugat: Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonesia ini “menangkap” sejarah perjuangan perempuan dalam rentang tahun 833-2019. Dikatakan “menangkap” karena buku ini tidak hanya merekam atau mencatat latar belakang dan pergulatan hidup para pejuang perempuan, namun yang terpenting adalah menemukan dan menuangkan kembali jiwa perjuangan perempuan memalui goresan tinta Esthi dan cat Seruni. Esthi melakukan riset yang panjang dengan melibatkan berbagai tokoh dan akademisi untuk menggalang pendapat dan informasi para tokoh perempuan yang karyanya mempunyai dampak yang besar bagi kemanusiaan dan perjalanan sejarah bangsa. Melalui buku ini Esthi menekankan pandangannya bahwa gelar pahlawan tidaklah harus selalu disematkan kepada tokoh yang sudah meninggal. Tidak perlu menunggu seseorang wafat untuk memberikan apresiasi dan penghormatan kepadanya. Karena itu, buku ini juga menyematkan gelar pahlawan kepada Saparinah Sadli, Toety Heraty, Mama Yosepha Alomang, Mama Aleta, Myra Sidharta, dan Zumrotin Susilo.

Dengan penuh gelora, Seruni kemudian menuangkan catatan dan refleksi perjuangan para tokoh itu dalam tarikan kuas dan torehan cat untuk melukis jiwa “semangat menggugat” mereka. Buku ini merupakan salah satu bentuk “pelestarian budaya tak benda” Nusantara, pelestarian budaya kekuatan perempuan Nusantara.   “Kekuatan perempuan” bukan sekadar slogan feminisme yang justu banyak dianggap mengawang-awang sekarang atau bentuk kekenesan kapitalisme yang memanfaatkan semangat “girl power”. Kekuatan perempuan ada setiap tarikan napas perempuan yang membuatnya hidup lebih dari sekadar bertahan hidup. Bahkan, untuk perempuan lain kekuatan sangat diperlukan untuk sekadar bertahan hidup. Dalam setiap detik kehidupannya, kekuatan perempuan memberikan kehidupan bagi kehidupan lainnya.

Namun, superwoman yang setiap saat mempunyai kekuatan super hanya ada dalam cerita rekaan. Dalam realita, sering kali semangat untuk tetap berada di zona nyaman mengalahkan semangat untuk mengoptimalkan diri sebagai manusia. Semangat juga sering kali tidak cukup untuk menimbulkan keberanian dalam melakukan perubahan atau menolak ketidakadilan di lingkungan sekitar. Paternalistik dan patriarki telah begitu terinternalisasi dalam pola asuh yang menjadi bagian tradisi yang diagungkan.

Dalam keadaan ini, cerita yang menginspirasi dapat menjadi penggerak dan pendobrak kesadaran masyarakat. Kesadaran ini kembali menyeruak di saat saya ingat cerita-cerita kekuatan perempuan Bugis, yang saya dapatkan dari kisah-kisah biografis ataupun film. Meskipun saya bukan perempuan Bugis, nilai kekuatan perempuan Bugis dari kisah-kisah yang saya baca cukup menginspirasi dan menjadi penguat dalam kehidupan sehari-hari.

Begitu pula kesan yang  didapatkan dari buku ini yang membagikan cerita perempuan-perempuan luar biasa dari berbagai Nusantara dengan rentang waktu 1186 tahun. Lebih dari sekadar hadir lewat narasi, cerita perjuangan juga direfleksikan melalui gambar diri para tokoh sesuai dengan imajinasi pelukis, Seruni Bodjowati. Melalui berbagai elemen visualnya, lukisan-lukisan ini secara menarik memancarkan semangat dan karakteristik perjuangan masing-masing yang membuatnya lebih dari sekadar lukisan potret. Marsinah, yang dikenal publik melalui pas foto hitam putihnya dengan wajah datar, tanpa senyum, di buku ini hadir lebih berwarna tanpa kehilangan jati dirinya: baju merah yang mencitrakan api gelora semangat di dadanya, palu di tangan yang menyimbolkan perjuangannya atas keadilan, dan speaker yang identik dengan aktivitas demonstrasinya (hlm. 119). Namun, bukan berarti, Yanti Muchtar yang digambarkan dengan kapal dan roda kemudi kapal di sekelilingnya merupakan pengusaha perkapalan atau tokoh pengembara dengan kapal (hlm. 125). Gambar kapal laut di sini menyimbolkan perjuangannya sebagai perintis KAPAL (Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan). Singkatan ini bukan sekadar singkatan karena mewakili visi Yanti tentang kesetaraan di seluruh kepulauan Indonesia.

Gerakan perempuan hadir penuh warna di buku ini juga dalam artian ruang lingkup perjuangannya. Perempuan tidak hanya berjuang di bidang “pendidikan untuk kaumnya” seperti yang selama ini melekat dalam pencitraan pahlawan-pahlawan perempuan. Perempuan juga bergerak menggugat ketidakadilan dalam bidang lingkungan seperti yang dilakukan oleh Mama Yosepha Alomang (hlm. 143) di tanah Papua. Warna hijau pepohonan menjadi latar lukisan dirinya di luar gambar penampakan totem dengan wajah menyeramkan yang menyiratkan kerasnya kehidupan yang ditempuhnya akibat tradisi buruk bagi anak dan perempuan, seperti tradisi minum minuman keras. Namun, juga bisa ditafsirkan sebagai kemarahan alam semesta karena dilanggarnya kesakralan tanah ulayat demi keserakahan manusia  (hlm. 145). Kepemimpinan perempuan dalam bidang lingkungan juga mencuat dalam diri Mama Aleta Baun dari NTT. Beliau justru berhasil menggunakan kembali adat sebagai sarana untuk mencegah kerusakan alam yang lebih besar akibat penambangan marmer. Usaha tenun perempuan juga menjadi basisnya menggerakkan kemandirian lokal yang membuktikan bahwa perjuangan gender tidaklah hanya bermakna perjuangan demi perempuan secara sempit, tapi perjuangan untuk kemanusiaan dan pembangunan secara berkelanjutan.

Sebagai keterangan lukisan, cerita tentang pahlawan-pahlawan perempuan dalam buku ini memang disajikan dalam bentuk ringkas, namun tidak berarti menyederhanakan berbagai pergulatan hidup dalam perjuangan mereka. “Perjuangan berdarah-darah” yang sering kali juga bermakna secara harafiah tidak juga dihadirkan secara dramatis dalam lukisan Seruni, seperti yang tampak dalam lukisan Marsinah dan Rainha Boki Raja. Pelukisan secara positif ini memberi dampak semangat kegembiraan dan suka cita dalam memaknai segala kesulitan yang dialami para perempuan hingga kini.

Sebagaimana layaknya kisah-kisah ini akan menginspirasi masyarakat di masa mendatang, buku ini juga memberikan gambaran bagaimana para tokoh perempuan mendapat inspirasi dalam perjuangannya. Gayatri Rajapatni mendapatkan inspirasi dari Sekartaji dan cerita Panji. Tak sampai di situ, buku ini bercerita panjang lebar tentang perjalanan cerita Panji dan Sekartaji menjadi warisan ingatan dunia sebagaimana ditetapkan UNESCO (hlm. 3; 9). Meskipun pada awalnya, uraian tentang informasi ini terkesan menganggu kesatuan cerita utama, inspirasi-inspirasi yang menggerakkan kepemimpinan para perempuan ini memang tak dapat dikesampingkan begitu saja. Hal ini juga menunjukkan betapa semangat dapat ditularkan dari satu cerita ke cerita yang lain.

Kepemimpinan Pramodhawardhani juga sangat dominan dalam lukisan dirinya yang berada di depan para tokoh laki-laki. Namun, dalam hal ini perlu sensitivitas yang lebih terkait emosi keagamaan dalam menggambarkan simbol agama. Dengan citra tubuh yang sensual, Pramodhawardhani ditampilkan membelakangi sang Buddha dan para bikhu, hal yang saya lihat cenderung dihindari oleh umat Buddhis di lingkungan saya. Bagaimanapun, peran penting Pramowardhani dalam pendirian Borobudur dan candi lain di Jawa Tengah berhasil dilukiskan dengan baik oleh Seruni.

Buku ini tidak hanya perlu dibaca, tapi juga sangat bisa dinikmati karena para pembaca dapat dengan mudah menangkap ketulusan dan kegigihan para peramunya, Esthi dan Seruni. Dengan ketulusan dan kegigihan ini Esthi dan Seruni berupaya memperpanjang napasnya untuk melanjutkan kerja budaya dalam literasi rupa sejarah perempuan Indonesia. Hawa segar dapat dirasakan dengan meruaknya minat yang sama untuk menggali perjalanan sejarah tokoh-tokoh perempuan di penjuru Nusantara, seperti yang dilakukan oleh Ferial Afif dalam perjalanannya di Sumatra Timur setelah ia terinspirasi oleh kisah perjuangan Boru Lopian Sinambela. Karena itu, memperpanjang napas dapat dilakukan dengan bergandengan tangan untuk memperluas lingkaran, menambah kekuatan, di antara penggali pusaka kekuatan perempuan Nusantara.

*Penulis adalah seorang Dosen STAB Kertarejasa, Batu.