AR Tanjung dan Seni Poster Film (Sebuah Catatan Menyambut Hari Film Nasional)

Oleh Aendra Medita

Ada cerita unik yang terjadi di tahun 2019 tepatnya saat salah satu bioskop tertua di Athena, Yunani bernama Athinaion mernayangkan film box office: Avengers: Endgame. Bilboard poster Avengers itu dilukis dengan tangan,. Athinaion memang dikenal merupakan satu-satunya sinema yang masih membuat poster billboard dengan lukisan tangan.  

Virginia Axioti, perupa  yang juga pemilik Athinaion melukis poster itu sendiri. Ia mengatakan bahwa baginya poster film yang dilukis adalah sesuatu yang istimewa dan khas: “Perbedaan paling mendasar (dengan poster digital) adalah sentuhan manusia. Itu menonjol, tatapannya akan tetap di situ, seperti sesuatu yang hidup,” ujarnya sebagaimana dikutip Reuters.

Axioti  mengatakan bahwa poster yang dilukisnya dengan tangan dan menggantung di pintu masuk ke bioskop Athinaion masih mampu menarik perhatian para pengunjung untuk menonton film-film di bioskopnya. Lokasi bioskop Anthinion terletak  di persimpangan sibuk di distrik Kota Ampelokipo. Posisi yang strategis itu juga membuat orang yang lewat dan melihat poster tersebut – tertarik untuk menontonnya. 

Axioti  melakukan ini sebagai langkah melanjutkan tradisi melukis poster di bioskop yang didirikan oleh kakek dan paman buyutnya pada 1960. “Melukis poster film Avengers: Endgame memberikan tantangan khusus, sebab saya harus melukis sebanyak 7 wajah pahlawan super dalam berbagai macam pose. Saya dipaksa untuk menambahkan lebih banyak elemen daripada yang biasanya” ungkap Axioti. 

Untuk sehari-hari melukis papan-papan film di bioskopnya, Axioti bekerja bergiliran dengan Vassilis Dimitriou, seorang mantan petinju yang juga melukis untuk Athinaion selama lebih dari empat dekade. Axioti sendiri merupakan lulusan  fakultas seni rupa. Ia menghabiskan tiga hingga empat hari  untuk menyelesaikan poster berukuran rata-rata 6,2 x 2,20 meter. Ia memproduksi antara 20 dan 25 poster lukis setiap tahun.

Kisah Virginia Axioti tersebut, saya kutip untuk merefleksikan profesi pelukis poster film kita sendiri yang kini sudah mulai surut. Dunia poster film  adalah dunia yang  jarang dikaji. Di hari atau bulan film Indonesia ini (Maret) saya ingin sedikit membawa Anda kembali untuk mengenang betapa pelukis poster film dulu sampai tahun 80-an masih menjadi bagian penting dari infrastruktur bioskop kita. Dunia poster film sat itu adalah dunia yang dinamik dan banyak warna. Banyak pengalaman menarik dari seniman pelukis poster film tersebut. Di antaranya, begadang hingga tujuh malam berturut-turut mana karena harus kejar tayang film akan segera diputar dan poster harus terpajang di bioskop.

Dalam essay pendek ini saya ingin mengetengahkan sosok Ahmad Ridwan Tanjung, seorang pelukis reklame bioskop. Ridwan (AR Tanjung) atau lebih akrabnya disapa Tanjung berjalan tahun 80-an adalah pelukis poster film. Ia salah satu dari sekian pelukis poster film Indonesia.

A.R. Tanjung

A.R. Tanjung bersama lukisan poster film karyanya. (Foto: Aendra Medita)

Sejumlah film posternya sudah dia buat. Film-film lama seperti  Hidup Tanpa Kehormatan, Perkawinan, Disini Cinta Pertama Kali Bersemi (Sutradara Wim Umboh), Kasmaran ( Sutradara Slamet Rahardjo Djarot), Napas Perempuan (Sutradara Ali Shahab), Melodi Cinta Rhoma Irama (Sutradara Muclis Raya) Si Manis Jembatan Ancol, Ranjau-Ranjau Cinta, Benyamin Biang Kerok dan sejumlah karya poster film India, Barat (Hollywood) telah dibuatnya.

Poster film Hidup Tanpa Penghormatan karya A.R. Tanjung. (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Poster film Perkawinan karya A.R. Tanjung. (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Poster film Disini Cinta Pertama Kali Bersemi karya A.R. Tanjung. (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Poster film Kasmaran karya A.R. Tanjung. (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Poster film Napas Perempuan karya A.R. Tanjung. (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Poster film Melodi Cinta Rhoma Irama karya A.R. Tanjung. (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Poster film Si Manis Jembatan Ancol karya A.R. Tanjung. (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Poster film Ranjau-Ranjau Cinta karya A.R. Tanjung. (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Poster film Benyamin Biang Kerok karya A.R. Tanjung. (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Tanjung lahir di Jakarta, 7 Maret 1966, ketrampilan melukisnya yang luar biasa ia peroleh dengan otodidak.  Tanjung kini  tak lagi melukis poster film. Ia mengatakan dengan munculnya dunia posisi pelukis poster film tmanual ergeser. “Sejak era digital, para seniman poster film terpinggirkan. Dan saya juga harus banting setir. Saya memilih jadi pelukis secara khusus ikut pameran dan lainnya, kawan lain ada yang beralih melukis potret dan ada juga yang beralih profesi,” ujar Tanjung saat ditemui di Depok pekan lalu.

Sebagai pelukis Tanjung  bukan seniman baru kemarin sore. Ia misalnya pernah juga memberikan kontribusi kepada Majalah Horison untuk sejumlah sampul Majalah sastra legendaris itu. “Saat itu saya diminta oleh tim redaksi Horison untuk edisi yang menampilkan figur tokoh budayawan dan sastrawan,” kenangnya. Tanjung juga pernah  mendapat sejumlah penghargaan dalam dunia lukis. Kini ia memiliki banyak siswa yang belajar melukis di sanggarnya di kawasan Haji Samali Jakarta Selatan.

A.R. Tanjung

A.R. Tanjung bersama lukisan poster film karyanya. (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Gambar Idoep, Sejarah Poster Film awal 

Sejarah awal perfilman Indonesia diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia. Film saat itu disebut dengan nama Gambar Idoep. Gambar Idoep saat itu  menayangkan berbagai film bisu. Gambar Idoep juga menayangkan pemutaran film dokumenter perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Tempat pemutaran film ini bertempat di sebuah rumah di sebelah pabrik kereta Maatschappij Fuchss di Kebon Jae, Tanah Abang. Pemutaran film ini diulas dalam surat kabar Bintang Betawi yang terbit 4 Desember 1900. Tiga tahun setelah pemutaran perdana ini, tempat pemutaran yang awalnya merupakan rumah seorang pengusaha diubah menjadi bioskop bernama The Royal Bioscoope tanggal 28 Maret 1903. Pada hari itu, harga tiketnya adalah f2 untuk kelas I, f1 untuk kelas II, dan f0,5 untuk kelas III.

Salah satu hal yang menarik dalam pemutaran film perdana ini adalah pemilihan tayangan pukul 7 malam. Kelihatannya pemilik bioskop sudah memperhitungkan dengan cermat pemilihan waktu ini. Hal ini dikarenakan pada tahun-tahun tersebut, jenis hiburan yang ada di kota-kota di Indonesia saat itu hanyalah komedi stambul dan opera Melayu, yang waktu mulainya berkisar jam 9 hingga 12 malam.

Sehingga, ada jeda waktu kosong antara jam pulang kerja (jam 5-6 sore) hingga waktu pemutaran hiburan ini. Oleh karena itu, pemilihan waktu jam 7 malam dianggap pas. Sejak 1 Januari 1901, harga tiket diturunkan menjadi f1,25 untuk kelas I, f0,75 untuk kelas II, dan f0,25 untuk kelas III. Saat itu pun pemilik bioskop memberlakukan peraturan yang rasialis. Orang Tionghoa, Eropa, dan India minimal harus membeli tiket kelas II, sedangkan orang Jawa dan Islam hanya boleh membeli tiket kelas III.

Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini didukung aktor lokal Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.

Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.

Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya Boenga Roos dari Tcikembang (1931) akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu Indonesia Malaise (1931).

Pada awal tahun 1934, Albert Balink, seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film Pareh dan mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, Manus Franken, untuk membantu pembuatan film tersebut. Oleh karena latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Balink tidak menyerah dan kembali membuat perusahaan film ANIF (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen. Akhirnya mereka memproduksi membuat film Terang Boelan (1934) yang berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.

Pentingnya Pameran A.R Tanjung 

Jelas sebagai seniman poster film, A.R Tanjung mewarisi sejarah reklame-reklame bioskop sejak awal bagaimana bioskop dihadirkan di negara ini. Untuk ini adalah menarik jika dalam bulan film ini A.R Tanjung melakukan pameran tunggal lukisan-lukisan poster yang sudah pernah dibuatnya di  Rolling Door Art Gallery  di Jakarta Selatan tanggal 31 Maret sampai 13 April.

Poster pameran karya-karya A.R. Tanjung (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Dalam pameran bertajuk: Aktor di Belakang Layar itu, juga dapat kita amati bagaimana Tanjung me-rekreasi poster-poster film lama dengan kemasan dalam kanvas baru. ”Saya membuat duplikasi atas poster-poster film yang pernah saya buat,” katanya. Bukan hanya itu ia menyajikan data dokumentasi – foto-foto bagaimana saat ia bekerja dulu sebagai pelukis poster film. Rencananya data-data tersebut akan dibuat buku perjalanan pelukis poster.

Foto A.R.Tanjung bekerja membuat poster film (Foto: Dokumentasi A.R. Tanjung)

Lukisan poster film in pada hakeatnya sebuah seni rupa. Sebuah seni rupa yang menjadi pendukung dunia film. Meski ada yang menyebut seni rupa “tukang” karena melukisnya berdasar pesanan gambar untuk film namun peran pendukung mereka dalam dunia visual itu tak boleh dilupakan. Maka hakikatnya langkah Tanjung atau galeri yang melakukan pameran poster ini sangat baik sebagai catatan sejarah. Pamerannya digelar pada hari Film Nasional pada Maret 2022 ini sebuah kisah tanpa putus- sejak bioskop pertama di Batavia menampilkan spanduk-spanduk atau billboard reklame bioskop. .

Saya melihat – di tengah dunia digital dan metaverse yang tak terelakkan  – pelukis poster film manual tak boleh dilupakan keberadaannya. Ia bagian dari sejarah estetika kita.

*Aendra Medita adalah pemimpin redaksi GambarIdoep.com aktif dalam bidang seni budaya, tinggal di Jakarta