Satyagraha: Jurnalis Sulindo Yang Terlupakan

Oleh Imran Hasibuan

Lelaki tua itu berdiri di tengah pintu rumah sederhana, di sebuah perumahan, di pingggir Kota Bekasi. Perawakannya sedang, agak membungkuk. Sebuah kacamata tebal menempel di wajahnya yang mengguratkan keramahan. “Perkenalkan, saya Satyagraha. Ayo, silakan masuk,” katanya, sambil bersalaman.

Sesaat kemudian ia pun mulai berkisah. Menjelang Pemilu 1955, pemilihan umum pertama setelah kemerdekan Indonesia, partai-partai politik bersiap, terutama dalam melakukan agitasi- propaganda. Hampir semua partai besar di masa itu telah memiliki surat-kabar yang mendukung. Masjumi, misalnya, punya koran Abadi. PSI didukung Pedoman, yang dipimpin wartawan kawakan Rosihan Anwar. PKI punya organ resmi Harian Rakyat. Bahkan PSII (Partai Syarekat Islam Indonesia) menerbitkan Pemandangan.

Hanya Partai Nasional Indonesia (PNI) yang belum punya media resmi. Harian Merdeka, yang dipimpin BM Diah, hanya menyatakan sebagai simpatisan. Kebijakan redaksionalnya tidak harus selalu sejalan dengan garis PNI. “Melihat kondisi ini, Pak Sidik Djojosukarto, yang saat itu menjabat Ketua Umum PNI, memanggil beberapa pengurus DPP PNI untuk segera menerbitkan sebuah surat-kabar yang merupakan organ partai. Tujuannya untuk mengantisipasi pemilu yang akan segera digelar,” kata Satyagraha.

Foto penulis bersama Satyagraha

Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa akan segera diterbitkan koran harian dengan nama Suluh Indonesia. Sebagai pemimpin umum ditunjuk M. Tabrani, salah seorang tokoh senior PNI yang juga digulis (orang yang pernah dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Digul, daerah terpencil di Papua). Sedangkan pemimpin redaksi dijabat Sajuti Melik, juga digulis.  “Saya diminta Pak Sajuti Melik menjadi redaktur pertama. Dalam praktiknya, saya merangkap sebagai reporter, korektor, dan lay-outer. Pak Sajuti, sebagai pemimpin redaksi, hanya menulis Tajuk. Saya hanya dibantu seorang wartawan bernama Hasan Gayo, yang pernah bekerja di surat kabar Indonesia Raya.” Jadi, di masa-masa awal penerbitannya, Suluh Indonesia hanya punya awak redaksi tiga orang: Sajuti Melik, Satyagraha, dan Hasan Gayo.

Setelah persiapan beberapa bulan terbitlah Suluh Indonesia. Edisi perdana Suluh Indonesia, yang kemudian dikenal dengan nama singkatannya, Sulindo, terbit 1 Oktober 1953. “Edisi perdana Sulindo itu dicetak di percetakan milik Sutan Takdir Alisyahbana, di Jalan Ketapang. Hanya empat halaman hitam putih, oplag sekitar 75 ribu eksemplar. Dari sore sampai tengah malam, saya dan Hasan Gayo mempersiapkan lay-outnya di percetakan. Pak Sajuti sempat mengecek ke percetakan, dan bilang: ‘lay-outnya kok seperti susunan batu bata’. Saya jawab: yang penting terbit dulu, Pak. Ha..ha…

Sejak itu, Sulindo terbit setiap hari, Senin sampai Sabtu. Respon masyarakat cukup bagus. Sebagian koran  didistribusi lewat cabang-cabang PNI di daerah, sebagian lagi lewat agen-agen surat-kabar.

Foto surat kabar Suluh Indonesia

Sajuti Melik menjadi pemimpin redaksi hingga Pemilu 1955 usai. Suasana kampanye pemilu, membuat pemasaran Sulindo melonjak. Oplag pun digenjot hingga 150 ribu eksemplar. Kata Satyagraha: “Di masa-masa kampanye pemilu, Suluh Indonesia secara jelas menunjukkan warnanya sebagai koran PNI. Semua kebijakan dan kegiatan partai disiarkan. Bahkan, lambang PNI, banteng segitiga, dipasang di halaman satu.”  Hasilnya sukses besar: PNI keluar sebagai pemenang Pemilu 1955.

Tak lama setelah pemilu, Sajuti Melik digantikan M. Supardi. Tokoh terakhir ini sebelumnya menerbitkan surat-kabar Nasional, yang juga berhaluan nasionalis. Tapi, hanya terbit setahun, dan kemudian bangkrut. Saat Supardi pindah ke Sulindo, ia membawa awak redaksinya, ada sepuluh orang. Satyagraha tetap menjadi redaktur pertama.

Tak sampai setahun kemudian, Supardi diganti lagi oleh Manai Sophian, yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Proganda DPP PNI. Dibawah kepemimpinan Manai Sophian, Sulindo hampir sepenuhnya menjadi corong partai. Satyagraha masih menjadi redaktur pertama.

Dari Manai Sophian, pemimpin redaksi Sulindo beralih kepada Jusuf Muda Dalam. Satyagraha sempat memprotes pengangkatan Jusuf Muda Dalam kepada Sidik Djojosukarto. “Banyak yang tahu bahwa Jusuf Muda Dalam pernah menjadi anggota aktif PKI. Malah dia menduduki posisi penting di PKI, sebagai anggota tim verifikasi yang menentukan penempatan orang-orang di jabatan penting di PKI. Tapi, Pak Sidik bilang, dia sudah ‘tobat’, dan kini masuk PNI.” Maka Satyagraha pun terpaksa menerima keputusan itu. Posisinya di Sulindo tetap sebagai redaktur pertama.

Di awal tahun 1957, Mohamad Isnaeni– tokoh muda PNI yang sudah duduk sebagai anggota parlemen– diangkat menjadi pemimpin redaksi Sulindo. Bersamaan dengan itu, Satyagraha diangkat menjadi wakil pemimpin redaksi. Selama gonta-ganti pemimpin redaksi, Satyagraha lah yang menjadi motor penggerak redaksi Sulindo sehari-hari. Tentunya dibantu para wartawan yang jumlahnya sudah cukup banyak.

Selain mengelola Sulindo, Satyagraha juga ditunjuk sebagai pemimpin redaksi Berita Minggu, koran yang hanya terbit setiap hari Minggu. Kantor redaksi dan sebagian awak redaksinya sama dengan Sulindo. Maka, mulailah Satyagraha mengubah Berita Minggu, menjadi koran yang mengangkat berita-berita populer yang terjadi ditengah masyarakat, dengan gaya penulisan populer pula.

“Dengan gaya populer itu, Berita Minggu sangat digemari masyarakat. Oplagnya pernah mencapai 350.000 eksemplar. Sampai-sampai kami kewalahan memenuhi permintaan agen-agen koran. Dengan dana dari Berita Minggu itulah, kami bisa menopang penerbitan Sulindo setiap hari. Bahkan, belakangan bisa mendirikan percetakan sendiri di Kemayoran,” kenang Satyagraha.

Pemberitaan Suluh Indonesia dan Berita Minggu tidak selalu sejalan dengan kemauan para pemimpin PNI. Suatu kali, misalnya, Satyagraha ditegur Hardi, SH, Wakil Ketua Umum PNI, karena memuat pendapatnya di halaman dua Sulindo. Sementara pada berita headline di halaman depan, Sulindo memuat pendapat Lucien Pahala, tokoh Presidium GMNI, tentang masalah yang sama dikemukakan Hardi. “Menurut penilaian saya, pendapat Lucien Pahala yang lebih berbobot dan mendekati kebenaran. Karena itu, saya tampilkan di tulisan utama.”

Suatu hari, Satyagraha diajak Sajuti Melik ke Istana Bogor, untuk bertemu Bung Karno. Itulah pertemuan pertama Satyagraha dengan Bung Karno. Saat bertemu, Bung Karno langsung bertanya: “Kamu siapa?”

Satyagraha, Bung. Wartawan Suluh Indonesia dan Berita Minggu.”

Oh… Aku sering baca tulisan kamu di Sulindo, juga Berita Minggu. Apik…apik…,” kata Bung Karno lagi.

Lalu, percakapan berlangsung akrab. Bung Karno menanyakan kota asal Satyagraha, yang langsung dijawab: “Blitar, Bung.” Mendengar itu, Bung Karno bertanya lebih lanjut tentang keluarganya. Ketika Satyagraha menyebut nama ibunya, Bung Karno langsung menyela: “Oh… kamu anaknya Tuti. Saya kenal keluarga ibu kamu.”

Di akhir pembicaraan, Bung Karno bilang: “Mulai besok, dari Suluh Indonesia kamu yang meliput di istana ya.”

Sejak itu, Satyagraha pun resmi menjadi “wartawan istana”, yang meliput berbagai kegiatan Presiden Soekarno, terutama lawatan ke luar negeri. Ia, misalnya, pernah mengikuti lawatan Bung Karno ke Amerika Serikat, September 1960, untuk berpidato di depan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pidato berjudul “To Build The World a New” itu mendapat sambutan meriah dari peserta sidang.  “Sebagai bangsa Indonesia, saya bangga sekali melihat Bung Karno berpidato berapi-api di depan diplomat seluruh dunia. Apalagi, setelah pidato Bung Karno usai, tepuk-tangan bergemuruh di gedung PBB itu.”

Dalam lawatan yang sama, Bung Karno juga menemui Presiden John F. Kennedy. Ketika itu, Bung Karno sedang gencar-gencarnya menggelorakan kampanye pembebasan Irian Barat. “Dengan pintarnya Bung Karno memainkan diplomasi, sehingga Kennedy setuju dilakukan referendum di Irian Barat. Itu dilakukan Bung Karno dengan pendekatan pribadi kepada John Kennedy dan keluarganya.”

Dari Amerika Serikat, Bung Karno mengunjungi Kuba. Ketika itu, Fidel Castro baru beberapa tahun berhasil memimpin revolusi yang menjatuhkan rezim Batista. Dalam sebuah pertemuan yang sudah dijadwalkan, Castro terlambat hampir tiga jam. “Begitu bertemu, Bung Karno langsung memarahi Castro. Tapi, momen ini sengaja tidak diekspose media-massa, atas permintaan Bung Karno sendiri,” ujar Satyagraha. Yang muncul di media-massa adalah bagaimana Castro meminta nasehat dari Bung Karno tentang bagaimana membangun kemandirian bangsanya.

Saat di dalam negeri, Bung Karno juga akrab dengan para wartawan. Setiap Rabu pagi, Satyagraha dan beberapa “wartawan istana” lain biasa sarapan pagi bersama Bung Karno, di beranda belakang Istana Negara. “Nah, waktu sarapan bersama itulah, para wartawan memberikan masukan tentang berbagai soal-soal kenegaraan kepada Bung Karno. Kadang kami juga berdebat dengan Bung Karno tentang masalah-masalah politik. Menurut pengalaman saya, dalam pertemuan-pertemuan terbatas seperti itu Bung Karno mau menerima kritik tajam sekalipun, bahkan yang menyangkut kehidupan pribadinya. Tapi, kalau dikritik di depan publik ataupun di media-massa, beliau bisa marah.”

Meski begitu, kadang pemberitaan Sulindo, membuat Bung Karno tak berkenan. Suatu hari, Satyagraha dipanggil Bung Karno karena tajuk rencana Sulindo yang ditulisnya mengkritik “aksi sepihak” yang marak dilakukan aktivis PKI di daerah-daerah. “Kamu sekarang sudah komunistofobia,” semprot Bung Karno.

Tapi, setelah Satyagraha menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan, Bung Karno bisa menerima. Di awal tahun 1960-an itu PNI memang tengah bertarung sengit dengan PKI. Agitasi dan aksi-aksi para aktivis PKI di daerah-daerah, terutama di pedesaan Jawa, banyak membawa korban para lurah dan camat, yang umumnya menjadi anggota PNI.

Dilain waktu, Sulindo dan Berita Minggu memuat tulisan SK Trimurti berjudul “Kambing Tua Makan Rumput Muda“. Isinya mengkritik Bung Karno yang menikah lagi dengan Ibu Hartini. Keesokan harinya, Satyagraha dipanggil Kolonel Sugandi, ajudan Bung Karno. “Saya dimarahi, dan diberi surat tidak boleh datang ke Istana Negara selama tiga bulan. Surat itu ditandatangani Kolonel Sugandi sendiri.”

Satyagraha menerima larangan tersebut. Selama tiga bulan ia tidak ke Istana Negara. Setelah tiga bulan berlalu, barulah ia meliput lagi ke istana. Saat ketemu, Bung Karno menegur: “Hei Satya, kemana saja kamu, kok lama nggak kelihatan.

“Lo, kan saya dilarang Pak Gandi masuk istana,” jawab Satyagraha.

Mendengar itu, Bung Karno langsung memanggil Sugandi. Yang dipanggil membenarkan, tapi tidak menjelaskan mengapa Satyagraha dilarang masuk istana. “Jadi, sebenarnya Bung Karno tidak pernah membaca tulisan Bu SK Trimurti itu. Larangan itu cuma bikin-bikinan Kolonel Sugandi saja.”

Dalam Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),Februari 1959, di Lembang, Bandung, Satyagraha terpilih sebagai Sekretaris Jenderal. Ia masih dipercaya menduduki jabatan tersebut dalam Kongres PWI berikutnya di Makassar, Maret 1961, dan di Jakarta, Agustus 1963– sampai saat Gerakan 30 September 1965 meletus. Selama tiga periode menjadi sekjen, ia mengalami tiga orang Ketua Umum PWI.

Pertengahan tahun 1965, Satyagraha dipanggil Ali Sastroamidjojo, Ketua Umum PNI masa itu. “Saya diperintahkan menjadi wakil ketua panitia peringatan ulang tahun PNI yang jatuh beberapa bulan lagi. Ketua panitianya Bung Surachman, Sekjen PNI. Pak Ali berpesan acara itu harus lebih semarak daripada acara ulang tahun PKI, setahun sebelumnya. Massa yang hadir juga harus lebih banyak dari massa PKI.”

Maka, Satyagraha bersama Surachman pun bekerja keras menggalang massa untuk hadir di acara ulang tahun PNI. Lokasi acaranya sudah ditetapkan: Stadiun Gelora Bung Karno. Satyagraha kebagian menggalang lewat media-massa, terutama Sulindo dan Berita Minggu. Sedangkan Surachman dan pimpinan organ PNI, menggalang massa di cabang-cabang PNI di Jawa. Ketika hari H tiba, 4 Juli 1965, massa yang hadir di GBK membludak, sekitar 150.000 orang. Ketika Bung Karno naik ke podium untuk berpidato, kata pertama yang diucapkannya: “Ckkk…ckkk…Bukan main!

Tapi, naik-turun jalan kehidupan memang tak bisa diduga. Di awal tahun 1965, Satyagraha ditunjuk DPP PNI sebagai pemimpin redaksi Sulindo, menggantikan Mohamad Isnaeni. Saat itu, ia juga masih menjabat Sekjen PWI. Usianya 34 tahun. Satyagraha ditengah puncak karirnya sebagai wartawan.

Tiba-tiba terjadi Peristiwa 30 September 1965, yang menjadi titik balik kehidupannya. Terhitung 3 Oktober, Sulindo dan Berita Minggu, serta sejumlah surat-kabar lainnya, dilarang terbit oleh tentara. Edisi terakhir Sulindo terbit tanggal 2 Oktober 1965.

Dua minggu kemudian, persisnya tanggal 18 Oktober, Satyagraha ditangkap aparat keamanan. “Saat itu saya dan John Lumingkewas (dari Presidium GMNI) mau menjemput Karim DP di tempat persembunyiannya di Bandung. Begitu sampai di tempat itu, ternyata sejumlah tentara sudah ada disana. Akibatnya, saya dan John juga ikut ditangkap.” John Lumingkewas adalah Presidium GMNI, sedangkan Karim DP ketika itu menjabat Ketua Umum PWI. Karim DP sempat buron karena namanya tercantum dalam Dewan Revolusi, yang diumumkan Letkol Untung—komandan G 30 S.

Mereka—Satyagraha, Karim DP, dan John Lumingkewas– pun dibawa dengan jeep tentara ke Jakarta. “John diturunkan di tengah jalan. Saya dan Karim langsung di bawa ke penjara Salemba. Saat itu sudah menjelang tengah malam. Kami ditempatkan di Blok N, masing-masing di satu sel. Karena kelelahan, saya langsung tertidur. Ketika bangun pagi, saya kaget sekali. Waktu mau mandi, saya ketemu Letkol Untung, Kolonel Latief,  dan Nyono. Ternyata Blok N merupakan tempat tokoh-tokoh utama G 30 S ditahan.”

Setelah pemeriksaan intensif selama sebulan, Satyagraha kemudian dipindahkan ke Blok Q, yang kebanyakan tahanannya adalah dari kalangan intelektual dan seniman. Di Blok Q ini mendekam tokoh-tokoh seniman, antara lain: Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. Sitor adalah salah seorang sastrawan terkemuka Indonesia, yang juga Ketua Lembaka Kebudayaan Nasional (LKN)—organ kebudayaan PNI.

Lima tahun Satyagraha mendekam di penjara, tanpa pernah diadili. “Akibatnya, saya tak bisa menafkahi keluarga saya. Istri saya lah yang membanting-tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Alhamdulillah ketiga anak saya pendidikannya cukup bagus.

Sejak ditahan, ia hanya bisa mendengar kabar tentang Bung Karno dari cerita yang didengar dari istrinya saat membesuk, atau dari cerita para sipir penjara. Hingga suatu siang, seorang sipir membawa koran terbitan hari itu yang memberitakan Bung Karno meninggal dunia, sehari sebelumnya: 21 Juni 1970.

Satyagraha mengenangkan hari itu:  “Mendapat kabar itu, saya tak bisa menahan tangis. Bung Karno, tokoh yang saya kagumi dan hormati itu telah wafat. Dan saya tak bisa ikut mengantar jenasah beliau ke tempat peristirahatan terakhir.”

Keluar dari penjara, akhir tahun 1970, Satyagraha sempat bekerja di beberapa tempat. Antara lain, ia pernah bekerja cukup lama di PT Ciria Jasa, perusahaan jasa kontraktor yang didirikan Taufiq Kiemas, Guntur Soekarnoputra, bersama sejumlah mantan tokoh-tokoh GMNI.

Kini, di masa senja hidupnya, Satyagraha tinggal sendirian di rumah sederhana, di pinggiran kota Bekasi itu. Ia tak mau menjadi beban anak-cucunya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia mengerjakan jasa penerjemahan buku dan dokumen berbahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. “Saya tak pernah menyesali apa yang pernah terjadi dalam hidup saya. Malah, saya bangga sudah pernah memberikan sumbangan pemikiran, lewat Suluh Indonesia,  bagi kemajuan bangsa.”

*Imran Hasibuan adalah penulis dan produser