Gelassenheit dan Samadhi: Percakapan Nishitani dengan Heidegger
Oleh: Tony Doludea*
Frank Weld, seorang veteran garong perhiasan yang sudah sangat terkenal reputasinya. Keluar masuk penjara itu hal biasa. Frank tinggal di sebuah rumah di tepi hutan Cold Spring, New York. Frank menderita dementia. Oleh penyakit itu, bahkan ia tidak dapat mengenali Jennifer, petugas perpustakaan yang rajin ia kunjungi itu adalah mantan istrinya.
Pada suatu malam, Frank berhasil merangsek masuk ke dalam sebuah rumah mewah dan berhasil menggasak barang berharga di dalamnya. Sebelum meninggalkan rumah itu, ia menggeledah sebuah meja kerja yang tidak ingin dilewatkan.
Namun setelah mengobrak-abrik meja tersebut, matanya tertuju kepada sebuah bingkai foto yang terpajang di sana. Frank menghela nafas panjang, karena tiba-tiba saja ia mengenali sosok dalam foto tersebut, yaitu Hunter anak laki-lakinya itu dan dua orang cucunya sendiri.
Menyadari penyakit ayahnya yang sudah semakin parah, Hunter menawarkan kepada Frank sebuah robot untuk menemani dan merawatnya. Pada mulanya ia menolak paksaan itu, namun akhirnya ia mau menerima Robot tersebut, karena ternyata robot itu dapat dilatih untuk melakukan apa saja.
Atas bantuan si Robot, Frank lalu merencanakan perampokan besar yang disasaran adalah Ava, istri Jake. Frank menyusun strategi untuk mencuri koleksi perhiasan mewah dan sangat berharga milik Ava.
Tetapi Frank kemudian menghadapi masalah besar, saat Jake mencurigai rangkaian kejadian, dari hilangnya buku di perpustakaan daerah sampai pencurian di rumahnya. Buku yang sangat langka tersebut memang sebelumnya telah digondol oleh dua begundal itu.
Mengetahui perkembangan terakhir yang membahayakan, si Robot lalu mendesak Frank untuk menghapus ingatannya. Namun Frank menolak, karena Robot adalah sahabat satu-satunya di dunia yang fana ini, yang mampu mengembalikan kenangan yang membahagiakannya. Robot akhirnya memutuskan untuk mematikan dirinya, kemudian jatuh terkulai di pelukan Frank.
Film Robot and Frank (2012) adalah sebuah tuturan yang berusaha menggambarkan ikatan yang terjalin antara mesin dan manusia. Bagaimana seorang Frank tua, yang secara pahit telah tercerabut dari kenyataan di sekelilingnya itu dirawat oleh sebuah Robot dengan sangat manusiawi. Padahal peduli, martabat dan kemandirian adalah inti nilai kemanusiaan manusia.
Robot ini merupakan representasi sinematik Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan, sebuah sistem komputer yang mampu berperilaku cerdas dengan menganalisa lingkungan sekitarnya dan melakukan tindakan mandiri untuk mencapai tujuan tertentu. Kecerdasan Buatan secara terus menerus dapat mengembangkan dirinya berdasarkan banyaknya informasi yang dikumpulkannya.
Kecerdasan Buatan merupakan sebuah sistem komputer yang dibuat untuk dapat berpikir seperti manusia, bertindak seperti manusia, berpikir rasional dan bertindak rasional. Ini mensyaratkan ketepatan yang akurat untuk meraih kebenaran.
Kecerdasan Buatan tersebut melibatkan beberapa ilmu pengetahuan selain ilmu komputer, termasuk psikologi, ilmu sistem syaraf, ilmu kecerdasan, filsafat, linguistik dan logika. Terdapat saling silang yang mendasar di antara ilmu-ilmu ini.
Kecerdasan Buatan dibuat untuk membantu manusia menemukan solusi dari masalah yang rumit sebagaimana manusia lakukan. Dengan meminjam sifat-sifat cerdas manusia dan menggunakannya dalam sebuah algoritma di sistem komputer yang cepat.
Contoh dalam dunia nyata adalah Siri dan Alexa, bentuk termaju Kecerdasan Buatan saat ini, menjadi pembantu pribadi seseorang untuk mempernyaman hidup sehari-hari. Juga kendaraan otonom yang mempermudah transportasi manusia dan Amazon yang memilihkan produk yang dibutuhkan seseorang, bahkan Netflix yang menyarankan film yang sebaiknya ditonton selanjutnya. Kecerdasan Buatan telah membuktikan dampaknya yang signifikan dalam hidup manusia di berbagai segi saat ini.
********
Nishitani Keiji lahir pada Februari 1900 di Udetsu, dekat Noto, di Perfectur Ishikawa. Ia menghadapi hidup yang kacau karena kematian ayahnya dan proses restorasi di bawah kekuasaan Kaisar Meiji (1852–1912). Restorasi Meiji (1866-1869) merupakan proses pengembalian kekuasaan kepada Kaisar.
Restorasi ini menyebabkan perubahan besar-besaran pada struktur politik dan sosial Jepang, dan berlanjut hingga zaman Edo, yang juga disebut Akhir Keshogunan Tokugawa dan awal zaman modern.
Meiji berarti kekuasaan pencerahan yang bertujuan menggabungkan kemajuan “Barat” dengan nilai-nilai tradisional “Timur”. Dengan slogan “Negara Makmur, Militer Kuat”
Masa itu ditandai oleh industrialisasi dan modernisasi yang cepat dengan cara memaksa Jepang menggunakan paradigma Barat untuk masuk ke dalam pertarungan dan persaingan ekonomi global dan birokrasi.
Dalam jangka waktu 40 tahun, Jepang telah berubah dari awalnya sebagai masyarakat pertanian dengan sistem pemerintahan feodal menjadi negara kebarat-baratan secara sembrono.
Sistem militer, pendidikan dan transportasi merujuk kepada bentuk dan praktik kebarat-baratan. Identitas Edo Jepang ditinggalkan demi menyerupai orang Eropa. Perubahan ini bahkan termasuk penghancuran kuil-kuil dan lambang-lambang Buddha demi memajukan Shinto, agama pemersatu bangsa. Bagian inti perilaku masyarakat Jepang telah dibersihkan.
Buddhisme yang tersisa disekularisasikan dengan mendamaikannya dengan cara pandang Barat. Maka Jepang membangun nihilisme, yang sama, bahkan yang telah dialami terlebih dahulu oleh masyarakat Barat itu sendiri.
Kaum nihilis Barat telah menderita keterasingan dari alam dan dunianya, sementara para nihilis Jepang menderita gelombang yang menghayutkannya ke arah yang sama. Sehingga bagi Nishitani masalah mendasar dalam hidupnya itu adalah berusaha mengatasi nihilisme melalui nihilisme absolut.
Pada umur tujuh tahun Nishitani bersama keluarganya pindah ke Tokyo. Saat berumur empat belas tahun, ayahnya meninggal akibat TBC dan dirinya sendiri menderita penyakit yang sama bertahun-tahun lamanya. Dalam keadaan demikian mengerikan, Nishitani mendapat kekuatan dari membaca novel Ten Nights’ Dreams (1908) oleh Natsume Soseki (1867-1916), yang membawa pesan-pesan Zen.
Nishitani lulus dari Universitas Kyoto pada 1924 dengan tesis tentang yang ideal dan yang real menurut Schelling dan Bergson. Setelah beberapa tahun mengajar di sekolah menengah setempat, ia kemudian menjadi pengajar di Universitas Otani pada 1928, lalu pada 1932 di Universitas Kyoto.
Selain mempelajari filsafat Barat seperti Bergson, Schelling, Nietzsche dan Meister Eckhart. Nishitani juga mendalami Zen selama 25 tahun, pada 1936 ia mulai belajar Zen kepada Guru Yamazaki Taiko di Kuil Zen Rinzai Shokoku-ji di Kyoto.
Namun pada 1937 Nishitani menerima beasiswa dari Kementerian Pendidikan Jepang untuk belajar kepada Henri Bergson di Paris. Tetapi itu tidak terlaksana karena Bergson ternyata sedang sakit.
Nishitani kemudian memilih pergi ke Universitas Freiburg untuk belajar kepada Martin Heidegger selama dua tahun, yang pada saat itu sedang mengajar tentang Nietzsche.
Antara 1937 dan 1939, berada di bawah pengaruh pandangan Heidegger tentang nihilisme, Nishitani mulai mengembangkan pemikirannya tentang “ketiadaan yang absolut”.
Heidegger melihat masyarakat modern industrialis Eropa, yang berpusat pada teknologi pada saat itu, membawa bahaya tingkat tinggi bagi kehidupan manusia. Nihilisme, suatu ancaman bahaya penghancuran dan pelenyapan esensi manusia. Hilang lenyapnya nilai dan makna bagi manusia.
Manusia tidak memiliki lagi kompas pengarah hidup moral, spiritual dan sosial. Perjalanan hidup manusia jadi tidak berarah dan membingungkan. Manusia menggelandang, tidak berrumah dan dikuasi oleh kecemasan serta ketakutan.
Manusia tidak lagi menghuni, bertempat tinggal (Wohnen) di dunianya. Rasa tak-bermukim dalam bentuk kecemasan dan ketakutan tersebut membuatnya berada dalam keadaan ketakberrumahanan (Unheimlichkeit) dan ketakberkampunghalamanan (Heimatslogsigkeit).
Menurut Heidegger ada sesuatu yang salah dengan modernitas, budaya teknokratis yang sedang berkembang waktu itu. Budaya teknologis tersebut hanya dapat melihat semua kenyataan bukan hanya sebagai sebuah objek (Gegenstand) saja, namun sebagai “bahan baku” (Bestand), untuk ditangani, dikalkulasi, dimanipulasi, dikendalikan, dikuasai dan dipakai.
Teknologi bukanlah sebuah benda, melainkan suatu hubungan, yaitu bagaiamana manusia berhubungan dengan kenyataan. Bagi Heidegger teknologi itu tidak berbahaya pada dirinya sendiri, namun teknologi akan mengambil alih manusia saat manusia gagal menyadari kerangka kerjanya (Gestell) itu.
Semangat kerangka kerja teknologi akan membuat orang memperlakukan sesamanya, lingkungannya, dirinya sendiri, bahkan Yang Ilahi sebagai objek dan bahan baku untuk ditangani, dikalkulasi, dimanipulasi, dikendalikan, dikuasai, dipakai dan dikonsumsi sebagai pemenuh keinginannya.
Heidegger melihat bahwa ciri mendasar manusia modern adalah ketakberrumahanan (Heimatlosigkeit) dan ketakberkampunghalamanan (Heimatslogsigkeit). Manusia secara eksistensial telah terjatuh (Ferfallen) akibat goadaan (Versuchung), kerasan dan nyaman (Beruhigung). Namun mulai terasing dari dirinya sendiri (Entfremendung) dan terjerat (Verfangnis). Manusia adalah keterlemparan (Geworfenheit) menuju kematian (zum Tode).
Sebagai anak muda, saat itu Nishitani merasa dirinya dikepung oleh ketakbermaknaan hidup, oleh kesulitan-kesulitan hidup yang ekstrim. Rasa putus asa bersemayam di dalam dirinya dan membuat segala sesuatu terlihat melompong kosong, hampa dan sia-sia. Itu terasa seperti hempasan angin dingin yang menghancurkn diri dalamnya.
Dengan itu Nishitani kemudian dapat menerangkan bahwa bangsa Jepang sedang mengalami proses peralihan dari spiritualitas yang kokoh ke nihilisme yang tidak berrumah. Karena sampai pertengahan masa Meiji dasar kerohanian dan budaya yang tinggi masih hidup di hati dan pikiran rakyat Jepang. Mereka memiliki kemampuan yang lahir dari kerohanian yang mengakar.
Namun, ketika datang Eropanisasi dan Amerikanisasi, inti kerohanian ini mulai rusak membusuk dan mengoyak lubang menganga lebar di tanah mereka.
Menurut Nishitani, hilangnya praktik spiritualitas di Jepang itu sungguh nampak nyata dalam keberagamaan masyarakatnya. Masa sebelum Meiji merupakan “rumah ontologis” dan pusat spiritualitas, sedangkan masa setelah Meiji merupakan penghancuran spiritualitas.
Kemajuan teknologi terus memperbesar rasa lapar materialis yang tidak ditutup-tutupi oleh budaya modern tersebut, membuat kepedulian manusia terhadap eksistensinya hilang tertelan perasaan hampa yang melumpuhkannya.
Tentu ini tidak hanya dialami oleh Heidegger di Jerman dan Nishitani di Jepang. Ini bukan gejala tunggal yang memengaruhi satu negara atau bangsa saja. Namun terjadi bagi seluruh umat manusia dan bangsa, seperti epidemi putus asa dan depresi.
Di Jepang hal ini dikenal sebagai karoshi, kerja berlebihan sampai mati dan hikikomori, menarik diri dari lingkungan sosial, yang justru meningkatkan rasa putus asa dan kekejaman. Manusia hanya dinilai dari materi saja lebih daripada hidupnya.
Dalam rasa putus asa dan hidup menggelandang, takberrumah dan takberkampunghalaman ini, Nishitani mengajukan diri untuk mencari jalan keselamatan dari keadaan mengerikan seperti itu.
Nishitani memulainya dengan mencoba mengenali kekosongan (nihility) melalui berpikir tanpa-pikiran (the thinking of basic non-thinking), yang lalu akan menyingkapkan sunyata (emptiness/nothingness) sebagai dasar kekosongan (nihility) itu. Karena kehampaan sejati (sunyata) ini menggapai kesadaran manusia dengan segenap sifat yang mutlak itu.
Sunyata tidak dapat dipertentangkan dan dipisahkan sama sekali dari nihility. Sunyata itu sungguh-sungguh hampa, karena ia menghampakan dirinya, bahkan dari kehampaan itu sendiri.
Kekosongan (nihility) ini merupakan sebuah kekosongan besar dalam diri manusia, yaitu egosime diri yang terpusat pada dirinya sendiri, the self-centered self of the ego.
Nishitani menegaskan bahwa sunyata tidak hendak menolak nihilitas tersebut, tetapi sunyata justru mendekatkan nihilitas dengan Ada. Karena dalam Buddha Mahayana, sunyata itu merujuk pada kenyataan bahwa keberadaan segala sesuatu itu saling terkait, dan saling bergantung satu dengan yang lainnya, interdependent (Sanskrit: pratītya-samutpāda; Jepang: engi).
Maka segala sesuatu yang ada dan nyata ini kosong dari segala diri substansial yang berdiri sendiri (independent) atau yang dimilikinya sendiri (Sanskrit: svabhāva). Sehingga sunyata erat terkait dengan “tidak ada-diri” (no-self atau non-ego) (Sanskrit: anātman; Jepang: muga). Segala sesuatu, termasuk diri manusia itu saling terkait, bergantung dengan keberadaan lainnya dan selalu berubah, tidak tetap.
Sunyata berarti juga melepaskan segala kemelekatan kepada semua hal, mulai dari segala bentuk reifikasi dan dari keinginan untuk memiliki apapun juga.
Kemelekatan dan keterikatan tersebut sesungguhnya berasal dari ego dan kemudian mendorong kemelakatan mendasar itu menciptakan ego lagi. Sehingga ego mengejar untuk dapat memiliki ego dan tanpa disadari telah dirasuki oleh proyeksi objektifasinya atau reifikasinya sendiri.
Melalui mengenali kehadiran motivasi ego dalam mengejar hal-hal material duniawi, maka orang sudah mengambil langkah awal pulang menuju ke rumah, yaitu diri sejatinya.
Maka hilangnya egoisitas ini membebaskan orang dari ego-centered dan pandangan tentang segala hal yang diproyeksikan oleh ego, termasuk ego subsansial yang ilusif itu. Bagi Nishitani sunyata akan menembus kekosongan dan akan menemukan kehampaan seperti pulang kampung. Setelah ia sadar bahwa “the self that is not a self”.
Memahami sunyata yang menyatukan manusia dengan segala sesuatu, membuat manusia memandang dunia bukan lagi sebagai bahan baku untuk dihabiskan, namun dengan rasa hormat dan kasih. Maka nihilitas dalam dunia ini harus tetap dijalani, dialami, dilakoni dan dihidupi.
Nishitani di sini sebenarnya sedang mengajukan sudut pandang khas Zen Buddhisme, yaitu Samadhi. Samadhi berarti duduk diam, “settling”, oleh tradisi Zen ini dimaknai sebagai pikiran terpusatkan yang mendalam “deep concentration”, untuk mencapai kesadaran, “mindfulness” atau pencerahan.
Dalam Zen, kesadaran itu tidak membeda-medakan, memilah-milah membanding-bandingkan antara baik-buruk, benar-salah, nyata-khayalan, subjek-objek yang justru akan menyingkapkan Ada sebagai dasar dari segala sesuatu. Sementara pengetahuan teoritis hanya mampu memahami tentang hal-hal sejauh yang dapat dialami manusia saja dengan cara objektifasi.
Samadhi memerlukan kesiapan penuh, tidak ada lagi kemelekatan, keinginan, kebencian dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Hanya dengan kesadaran murni, Samadhi dapat berlangsung lebih lama dan akan menghantar pada kelepasan sejati.
Namun Samadhi bukanlah sebuah keadaan yang tetap, dan tidak dapat dimasuki secara kebetulan. Samadhi memerlukan pengurbanan dan pengabdian, kerja keras serta perjuangan untuk melatih kesadaran menuju kedalaman.
Melalui istirahat, menenangkan tubuh dan pikiran dalam suatu konsentrasi, orang membuka dirinya kepada pengertian tentang kesatuan mutlak segala sesuatu.
Samadhi disebut juga kebahagiaan, menyatu dengan Yang Ilahi atau Segala Yang Satu, Semesta Raya, yang tidak dapat dijelaskan dengan bahasa. Hanya orang yang mengalaminya saja yang tahu.
Sedangkan menurut Heidegger, untuk menghadapi kecemasan dan kengerian akibat nihilitas seperti itu. Orang harus bersikap tenang dan sabar (equanimity), membiarkan diri (releasement) bekerjasama untuk “menyingkapkan Ada”.
Istilah yang digunakan Heidegger untuk itu adalah Gelassenheit, yaitu suatu sikap “thought of still within the domain of the will”. Ketenangan, kesabaran dan kepasrahan ini bersifat “non-willing”, yang mengubah kecemasan dan kengerian ketaberrumahanan dan ketakberkampunghalamanan itu menjadi “betah tinggal” dan bermukim di dalam ketakberrumahanan tersebut.
Ketenangan, kesabaran dan kepasrahan adalah sebuah penantian dan istirahat, keterbukaan dan penerimaan datangnya ketersingkapan (Unverborgenheit) Ada. Penantian ini adalah sikap aktif berjuang dalam ketekunan (Entschlossenheit) dengan berpikir secara meditatif, sekaligus menghentikan dan beralih dari cara berpikir kalkulatif yang mengobjektifasi itu.
Gelassenheit merupakan hubungan antara manusia dan Ada, di mana manusia melepaskan keinginannya, membuka dirinya dan menanti Ada menyingkapkan dirinya.
Gelassenheit sebagai berpikir meditatif adalah berpikir yang merenungkan makna Ada, Ada yang menguasai segala yang ada. Berpikir meditatif adalah sebuah penerimaan dan tekun menanti serta terbuka terus-menerus kepada apa yang ada, apa adanya.
Heidegger meminjam istilah Gelassenheit ini dari Meister Eckhart (1260-1328), yang arti harfiahnya adalah a letting-be. Dalam konteks Kekristenan abad pertengahan itu berarti melepaskan selfwill dan dorongan diri, serta menerima dan pasrah kepada kehendak Ilahi.
Bagi Eckhart orang harus pasrah menerima supaya dapat menyatu dengan Allah. Allah yang merupakan dasar tanpa dasar (ungrund grund) yang mendasari manusia. Maka Gelassenheit itu sangat hakiki bagi manusia.
Karena dengannya orang beriman akan memahami bahwa segala kekosongan, kehampaan dan kegelapan, kesengsaraan, kepahitan, dukacita dan penderitaan hidupnya itu merupakan suatu kehormatan dan hak istimewa untuk dapat berjumpa dengan wahyu Ilahi. Sehingga ia dengan penuh ucapan syukur dan sukacita serta bahagia melanjutkan ketersingkapan Ilahi itu dengan tekun sepanjang hidupnya yang sia-sia, yang sebentar lagi lenyap tak berbekas, tidak ada lagi.
Baik Nishitani maupun Heidegger sama-sama menyadari bahwa manusia yang terlempar dan terjerat dalam dunia teknologi memiliki peluang untuk terlepas dari nihilitasnya tersebut.
Melalui samadhi kesunyataan dan Gellassenhait orang mengasah keahlian berpikir untuk berserah dan membiarkan dirinya istirahat, menanti dan terbuka kepada sunyata, Ada. Sehingga baik berpikir secara kalkulatif maupun berpikir secara meditatif itu merupakan penyingkapan Ada dan itulah sunyata. Dalam tradisi Zen disebut pencerahan.
Seperti Huineng, seorang penjual kayu bakar. Ia berasal dari keluarga miskin, ayahnya meninggal saat ia masih kecil. Ia tidak memiliki kesempatan belajar membaca dan menulis.
Suatu hari, saat mengantar kayu bakar pesanan penginapan langganannya itu. Ia mendengar seorang tamu membaca Sutra Intan. Ketika mendengar syair itu, ia tercerahkan.
Huineng lalu memutuskan untuk mendalami Sutra Intan. Ia memberikan sejumlah uang pada ibunya, sisanya akan ia belikan kitab Sutra Intan.
Setelah berjalan kaki selama 30 hari, Huineng sampai di pegunungan Huang Mei, biara tempat Patriak V tinggal. Ia diterima oleh Patriak V, Hongren dan ditempatkan di bagian dapur sebagai tukang giling padi dan pemotong kayu.
Suatu hari, Hongren mengumumkan akan mewariskan mangkok dan jubahnya. Untuk memastikan siapa yang berhak, ia meminta mereka untuk menulis syair kebijaksanaan.
Namun demikian, tak satupun yang berani menulis syair. Mereka percaya bahwa yang pantas menjadi Patriak VI hanya Biku Kepala, Shenxiu yang mereka segani itu.
Akhirnya Shenxiu menulis syair,
Tubuh ini adalah pohon pencerahan
Pikiran adalah tempat berdirinya cermin yang bening
Setiap saat harus dibersihkan
Sehingga tak ada debu yang mengotorinya
Keesokannya suasana heboh.
Saat Hongren melihat puisi itu ia berkata, “Kalian tak akan jatuh ke dalam alam rendah dan akan memperoleh banyak kebajikan dengan mempraktikkan syair ini. Nyalakan dupa dan hormati gatha ini, lafalkan maka engkau akan melihat sifat dasar dirimu sendiri.”
Semua murid memuji dan menghafalkan gatha tersebut.
Tanpa sepengetahuan murid yang lain, Hongren berkata pada Shenxiu, “Kamu telah tiba di pintu gerbang, tetapi belum memasukinya. Dengan tingkat pengertian seperti ini, kamu belum mengerti bodhi tertinggi.”
Ketika seorang samanera kecil melewati dapur dan melafalkan syair itu, Huineng merasa ada yang kurang pas dengan puisi tersebut.
Ia pergi ke dinding itu. Karena tidak dapat menulis, maka Huineng minta penjaga biara menuliskan untuknya.
Petugas itu terkejut, “Engkau tidak terpelajar dan ingin membuat puisi?”
Akhirnya petugas itu menuliskan juga syair Huineng di samping syair Shenxiu
Tak ada sesuatu yang disebut pohon pencerahan
Tak ada juga cermin kemilau dan tempat sandarannya
Karena dari semula tak ada sesuatupun
Di mana debu bisa melekat?
Setelah itu Huineng kembali bekerja di dapur.
Syair itu jauh lebih menggemparkan.
Namun, saat Hongren melihat syair itu, dengan acuh tak acuh ia berkata, “Ini juga belum melihat kebenaran yang hakiki,” lalu menghapusnya menggunakan sandalnya.
Tetapi malamnya Hongren memanggil Huineng ke kamarnya dan mengajarkan Sutra Intan.
Hongren lalu mewariskan jubah dan mangkok pindacara ke Huineng, sebagai simbol dialah Patriat VI. Patriark VI dan yang Terakhir dalam tradisi Buddhisme Zen.
Pencerahan itu bukanlah perolehan, namun melepaskan semua, bahkan pencerahan itu sendiri.
Pencerahan itu bukanlah pencapaian, namun pulang ke rumah.
Pencerahan itu luar biasa, karena membuat orang menjadi sungguh-sungguh biasa saja.
********
Teknologi bukanlah benda atau alat canggih yang dapat mempermudah dan menyamankan hidup manusia. Namun teknologi itu adalah cara berpikir kalkulatif yang diejawantahkan dalam bentuk benda-benda dan peralatan canggih di dalam budaya manusia modern. Hulunya adalah pikiran dan hilirnya adalah nihilisme.
Guru Zen yang tidak dikenal bercerita kepada beberapa muridnya, bahwa pada suatu hari yang berangin, seorang biksu pengembara melewati halaman sebuah biara.
Ia mendengar dua kelompok biksu berdebat tentang bendera kuil yang berkibar tertiup angin.
Yang pertama mengatakan, “Benderalah yang bergerak, bukan angin.”
Yang kedua berkata, “Bukan, anginlah yang bergerak, bukan bendera.”
Bolak-balik mereka berdebat, menanggapi logika pihak lain, memunculkan pemikiran baru atas posisi masing-masing.
Yang terjadi hanyalah, “Anginlah yang bergerak! Benderalah yang bergerak!”
Setelah mendengarkan beberapa saat, biksu pengembara itu menyela mereka dan berkata, “Jika kalian mau merenung sedikit saja, kalian akan mengerti bahwa yang bergerak itu bukanlah bendera atau angin, yang bergerak adalah pikiran kalian.”
Kepustakaan
Carter, Robert E. The Kyoto School. SUNY Press, Albany, 2013.
Clark, T. Routledge Critical Thinkers: Martin Heidegger.
Routledge, London, 2001.
Davis, Bret W. Schroeder, Brian and Wirt, Jason M. (Ed.).
Japanese and Continental Philosophy. Indiana University Press, Bloomington, 2011.
Heidegger, Martin. Being and Time. Blackwell, Oxford, 1967.
Heidegger, Martin. Country Path Conversations. Indiana
University Press, Bloomington, 2005.
Kanimozhi Suguna, S. Dhivya, M. and Paiva, Sara. (Ed.).
Artificial Intelligence (AI): Recent Trends and Applications. CRC Press, Florida, 2021.
Nishitani, Keiji. Religion and Nothingness. University of
California Press. Berkeley, 1982.
Nishitani, Keiji. The Self-Overcoming of Nihilism. SUNY, Albany,
1990.
Polt, R. Heidegger: an Introduction. Routledge, London, 1999.
* Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia