Kongres Kebudayaan dan Derita Museum

Oleh: Agus Dermawan T.

 

Dari 454 museum yang ada di Indonesia, yang 163 belum terdaftar, sehingga luput dari perhatian Direktorat Perlindungan Kebudayaan. Persoalan dari hulu ini menyebabkan museum terbakar dan terlantar.

***

Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) yang berlangsung lima tahunan kembali digelar pada 20-29 Oktober 2023 oleh Kementerian Pendididikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendisbudristek). Para pelaku kebudayaan dan penentu kebijakan bidang kebudayaan bermusyawarah untuk membuat rumusan baru mengenai strategi kebudayaan Indonesia. Salah satu topik dari KKI, seperti yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid adalah : mengevaluasi pelaksanaan kebijakan kebudayaan selama lima tahun terakhir. Apa saja yang sudah dicapai, dan apa yang belum.

Tentu banyak yang sudah dicapai, tapi tentu tidak sedikit yang belum. Salah satu yang belum – berangkat dari peristiwa aktual akhir-akhir ini – adalah upaya pemerintah dalam memelihara dan menjaga museum yang dikuasai negara.

Api Setelah 155 tahun

Salah satu contohnya adalah Museum Nasional yang terbakar. Berita mengejutkan itu muncul pada 16 September 2023 malam. Dalam berita pasca api, ada 4 ruangan yang hangus, dan 817 koleksi artefak yang musnah dan terdampak.

Museum Nasional yang berdiri gagah di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, mulai dibangun pada 1862, dan dibuka untuk pertama kalinya pada 1868. Pendiriannya dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, setelah melewati proses panjang yang diinisiasi sebuah perhimpunan.

Museum Nasional, Jakarta.

 

Syahdan pada tahun 1778 terbentuk Bataviaasch Genooschap van Kunsten en Wetenschappen. Atau perhimpunan para pencinta ilmu pengetahuan, yang menyangkut biologi, arkeologi, kesusasteraan, etnologi, sejarah dan seni masa lalu. Salah satu pendirinya, JCM Radermacher, menyumbangkan semua koleksi benda arkeologi sekaligus rumahnya di Jalan Kalibesar untuk mengemban rasa cinta itu. Lalu terbentuklah museum kecil yang bersemboyan “Ten nutte van het algemeen” atau “Untuk kepentingan masyarakat umum”.

Begitu pentingnya museum ini, sehingga ketika Inggris berkuasa di Jawa (1811-1816), Gubernur Stamford Raffles memposisikan diri sebagai direktur museum. Dan karena gedungnya tak cukup, Raffles mendirikan bangunan baru yang disebut Societeit de Harmonie (dekat Istana Kepresidenan).

Dari tahun ke tahun koleksinya semakin banyak. Pada 1862, jauh hari setelah Inggris hengkang, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan gedung baru lagi di kawasan Koningsplein West (Jalan Medan Merdeka Barat). Lahirlah museum itu, yang pada 1950 diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, dan dinamai Museum Nasional. Museum yang juga populer sebagai “Museum Gajah”, lantaran di halaman museum tersebut berdiri patung gajah persembahan Raja Chulalongkorn, Thailand, pada 1871.

Museum Nasional terbakar! Padahal Museum Nasional adalah rumah budaya yang paling diagulkan di Indonesia. Layak diketahui, Indonesia memiliki 454 museum. Dari jumlah itu, menurut Direktur Perlindungan Kebudayaan Judi Wahjudin (Kompas 19/10/2023) : hanya 291 yang terdaftar di Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendisbudristek. Sedangkan 163 museum lain belum, termasuk 42 museum milik pemerintah pusat, 2 museum milik pemerintah daerah, dan 34 museum milik pemerintah kabupaten/kota.

Museum Nasional yang sangat dijaga, dipelihara dan dikembangkan selama 155 tahun itu, tentu termasuk yang terdaftar. Sehingga mendapat perhatian sedemikian kuat dari Direktorat Perlindungan Kebudayaan. Tapi itu pun dilalap api. Bagaimana yang tidak terdaftar? Semoga kekacauan dari hulu ini menggoda agenda pembicaraan KKI.

Museum Nasional kala terbakar, 16 September 2023.

 

Merana Sampai 90 Tahun

Apabila ada museum yang terbakar, maka ada (banyak) pula museum di Indonesia yang nyaris terlantar. Salah satunya adalah Museum Le Mayeur di Jalan Hang Tuah, Sanur Kaja, Bali, yang pada 2023 ini persis berusia 90 tahun.

Di dalam kompleks berdiri sejumlah bangunan, yang berjajar dari Utara ke Selatan. Bangunan itu adalah Bale Bengong, tempat Mayeur dan Pollok dulu mengaso. Bale Pecanangan, ruang sesajen Ni Pollok untuk Mayeur, yang sekarang menjadi perpustakaan. Bale Melajah, tempat Mayeur belajar dan beraktivitas tulis-menulis, yang sekarang jadi tempat penyimpanan benda-benda peninggalan. Tak jauh dari bangunan dapur, terdapat Pollok Artshop. Ada juga kolam kecil yang menjaga dua patung batu sebatas dada Le Mayeur dan Ni Pollok.

Patung Ni Pollok dan Le Mayeur di Museum Le Mayeur.

 

Fokus dari semua itu adalah Bale Gede. Gedung induk ini dulu adalah rumah kediaman Mayeur dan Ni Pollok, dan kini digunakan untuk ruang pameran utama. Di bangunan yang memiliki 5 kamar inilah 28 lukisan cat minyak di kanvas, 22 lukisan di triplek dan harbot, 22 lukisan di bagor (kain dari serat rumbia) terpajang. Bergantungan pula lukisan kertas bermedium cat air, tinta, charcoal dan tempera.

Interior Museum Le Mayeur, Sanur, Bali.

Bagi yang tahu sejarah kesenilukisan Le Mayeur, jajaran lukisan itu merupakan referensi menggoda. Bagi yang memahami pasar lukisan, display karya-karya tersebut menggetarkan kantung pengoleksian. Tentu setelah mereka membayangkan mutu dan tingginya harga lukisan Le Mayeur. Seperti lukisan Women Around the Lotus Pond (1950) yang terjual HK$30,36 juta, setara Rp54 milyar, pada lelang Christie’s Hongkong 31 Mei 2016. Itu di luar transaksi lain, yang mencapai Rp80 milyar sepotong.

Sementara bagi pemerhati permuseuman, pajangan itu sungguh membuat gundah. Betapa lukisan-lukisan tersebut tidak ada yang utuh sempurna. Banyak cat minyak yang keropos, bagor yang ringkih dan rontok, cat air dan tempera yang meluntur, serta pigura yang aus.

Lukisan Le Mayeur yang selalu mengekspos Ni Pollok, dan berharga puluhan milyar.

Rumah tanpa Penghuni

Memasuki Museum Le Mayeur serasa memasuki kompleks kecil yang lama ditinggalkan penghuninya. Dinding fasad sejumlah bangunannya dirambati lumut. Fondasi batu berukir yang membentang panjang dipenuhi bercak tanah yang dibiarkan mengendap. Padahal dinding fasad dan fondasi itu dipenuhi pahatan artistik. Sementara tamannya yang subur dengan bunga-bunga pilihan, sering diganggu oleh tumpukan barang-barang bekas di sisi-sisi bangunan. Dari kardus, ember, sampai bungkusan plastik. Alhasil, focal point bangunan yang unik : pintu, tiang serta perabot yang berwarna hitam dan merah dengan ukiran emas, terasa sia-sia menyapa.

Barang bekas bertumpuk di sisi gedung Museum Le Mayeur.

Lalu mari masuk ke Pollok Artshop. Sejak puluhan tahun lalu wisatawan selalu singgah di sini apabila berkunjung. Dan di sini pula banyak orang berjumpa dan bercakap dengan Pollok. Toko ini menjual sovenir yang berhubungan dengan kebesaran Le Mayeur dan eksotisitas Sanur. Namun kini semuanya berubah. Sekarang si toko menjual apa saja, dari penganan, sisir sampai bantal, dengan penataan yang mirip gudang.

Saya yakin, selama beberapa dekade kepala museum dan seluruh staf museum ini sekuat tenaga memelihara bangunan dan materi museum. Namun hasilnya tetap cenderung nihil. Faktornya, anggaran yang diberikan pemerintah untuk Museum Le Mayeur (mungkin) disetarakan dengan anggaran untuk institusi lain yang semacam. Padahal Museum Le Mayeur, yang terletak di tepi laut, adalah situs sangat khas dengan materi amat khusus, dengan kasus-kasus yang khusus, kedaruratan khusus, sehingga memerlukan pengelolaan sangat spesial.

Tanpa anggaran khusus dari pemerintah provinsi, siapa pun akan sulit memelihara peninggalan Le Mayeur. Karena sesungguhnya bangunan museum ini harus dipugar total. Seluruh komponen dan elemen bangunan serta perabot harus dipoles kembali. Dan semua lukisan harus direstorasi. Untuk menahan terpaan udara laut yang menjadi musuh klasik benda seni, perlu disiapkan ahli konservasi. Kalau tidak, museum bernilai trilyun rupiah ini pelan-pelan lumat dimakan waktu dan ditinggalkan publik yang terus maju.

Adakah kita perlu kawatir bahwa pelaku kebudayaan dan penentu kebijakan kebudayaan di KKI akan melalaikan persoalan-persoalan ini?

Salah satu sisi dinding Museum Le Mayeur, kotor, dan berlumut.

Legenda Cinta Pantai Sanur

Pelukis Adrien Jean Le Mayeur de Merpres lahir di Ixelles, Brussel, Belgia 1880. Tahun 1932  Mayeur bertandang ke Bali, dan  memilih tinggal Denpasar. Di kota ini ia kerasan, sehingga lantas menyewa rumah di Banjar Kelandis. Di banjar ini Mayeur menjumpai gadis cantik yang pandai menari, Ni Nyoman Pollok, yang lantas dinikahi pada 1935. Pollok berusia 18 dan Mayeur 55 tahun!

Hidup Mayeur sebagai pelukis cukup baik. Pameran tunggalnya di Singapura pada 1933 menjadikan dirinya punya uang untuk membeli tanah 32 are, sekitar 3.200 meter persegi di Pantai Sanur. Di situ Mayeur, membangun studio. Latarbelakang pendidikannya yang arsitek menjadikan rumahnya terbangun unik. Pengukir Ida Bagus Made Mas membantu agar rumah Mayeur bernuansa Bali. Bersamaan dengan semakin populernya Pantai Sanur sebagai destinasi wisata, rumah Le Mayeur jadi sangat dikenal.

Presiden Sukarno tahu ada pelukis besar di Pantai Sanur. Dan ia diam-diam mengaguminya. Maka pada 10 Oktober 1950 Sukarno menulis surat kepada Le Mayeur. Surat itu berisi permintaan agar Le Mayeur bersedia menerima Dullah (seniman yang baru diangkat jadi Pelukis Istana Presiden) untuk magang di studionya. “Saya harap Tuan dan Nyonyah suka memberi bantuan petunjuk-petunjuk kepadanya,” kata isi surat itu. Dalam surat Sukarno berjanji akan berkunjung.

Surat Presiden Sukarno untuk Le Mayeur.

Maka benar, November 1950 Presiden Sukarno bersama Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru berkunjung ke studio Le Mayeur. Studio dan rumah Mayeur semakin mashur. Pada tahun 1956 Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Bahder Djohan bertandang. Menteri yang terkesima segera melontarkan usul agar rumah dan studio Mayeur dijadikan “museum rumah sejarah” dan ikon budaya di Pantai Sanur. Mayeur setuju.

Le Mayeur tak bersendal menyambut Presiden Sukarno, November 1950. (Sumber : Sekretariat Negara).

Epilog

Pada Mei 1958 Mayeur wafat. Ni Pollok dan Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Bali secara bersama mengelola Museum Le Mayeur sebaiknya-baiknya. Ketika Ni Pollok juga wafat pada Juli 1985, pengelolaan Museum Le Mayeur sepenuhnya dipegang Dinas Kebudayaan.

Banyak yang mengatakan, dari sinilah kemurungan museum itu dimulai. Dengan fakta betapa sejak 25 tahun lalu materi museum ini pelan-pelan melapuk dan rusak digerus udara. Masalahnya jelas, pemerintah provinsi, dan instutusi permuseuman pusat (selalu) lupa memandang Museum Le Mayeur sebagai situs khusus yang harus ditimpali anggaran istimewa! Kita yakini bahwa Kongres Kebudayaan Indonesia 2023 bisa mengingatkan dan menyelesaikan persoalan yang berlarut ini. *

 

*Kritikus Seni. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden.