Surat-surat PIROUS

Oleh Agus Dermawan T.

Prof.Drs Abdul Djalil Pirous baru saja mangkat. Ia adalah maestro seni lukis dan grafis, penggubah seni rupa Islami Indonesia, guru, pejabat perguruan tinggi. Ia juga penutur yang luar biasa, sehingga pikirannya yang liat mudah diungkap.


ABDUL DJALIL PIROUS, pelukis kelahiran Meulaboh, Aceh, 11 Maret 1932. Setelah agak lama menderita sakit tua, ia wafat dengan tenang di Rumah Sakit Santo Borromeus, Bandung, pada 16 April 2024, pukul 20.00 wib. Amat banyak warisan visual dan spiritual berharga yang ditinggalkan. Selain beratus-ratus lukisan religius yang tertebar di museum, rumah kolektor dan galeri Serambi Pirous, juga sejumlah buku yang mengabadikan pikiran-pikiran cemerlangnya.

Pak Pirous adalah seniman besar yang rendah hati. Beberapa tahun lalu ia ingin membukukan naskah pentingnya, Seni Pariwara Sebagai Alat Propaganda Perjuangan. Buku akan diterbitkan oleh Program Studi Seni Rupa FRSD ITB dan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) pada 2022. Guna melengkapi buku, ia meminta saya menulis endorsement, yang ditaruh di sampul belakang buku. Saya bertanya kepada Pak Pak Pirous : Apakah pesanan itu tidak salah. Pak Pirous ‘kan profesor saya. Dan saya ‘kan tercatat sebagai muridnya, meski lain kampus. Pak Pirous menjawab singkat lewat telpon : “Kasihani saya, Agus. Tak ada sesi penawaran, endorsement Anda sangat dibutuhkan. Hahaha.” 

Prof Drs. Abdul Djalil Pirous, 1932-2024. (Foto: Agus Dermawan T.)

Pirous dan saya suka bersenda dan berkorespondensi. Dahulu sebelum ada handphone, ia acap menulis di kertas surat. Apabila surat itu pendek, ia menulis di kartupos. Surat itu melayang dari banyak tempat dan situasi. Bahkan ketika ia beberapa lama bertandang ke Amerika Serikat dan Eropa. Saya terpesona dengan surat-surat Pirous. Dengan tulis tangan yang rapi, ia selalu menata kata dengan tertib, dengan struktur yang bagus, dan kadang  diimbuh kalimat puitis. Ketika SMS (Short Message Servive) dan WA (WhatsApp) menjadi dominan dalam kehidupan, ia menuliskan suratnya di handphone. Bisa pendek, tapi bisa panjang lebar. 

Beberapa surat A.D.Pirous dalam WhatsApp. (Foto: Agus Dermawan T.)

Pada suatu kali saya berujar bahwa saya tertarik atas semua surat Pirous. Karena itu saya bertanya, mengapa ia suka menulis surat. Ia menjawab bahwa itu adalah nuansa dari kesukaan dirinya menulis khat (tulisan indah beraksara Arab). Ketika saya tanya lagi mengapa ia suka menulis khat dalam lukisan-lukisannya, ia menjawab : “Di situ saya punya kesempatan menuliskan ayat, yang saya ambil himpunan surat dalam Al Qur’an,” katanya. 

Nah, pasal “surat” itu akhirnya ketemu. Sementara itu ia mengatakan bahwa surat, yang berasal dari kata Arab al-surah, adalah sistem penyusunan tulisan yang menyarankan pembagian topik secara sistematik dalam Al Qur’an. Maka Al Qur’an pun, yang terdiri dari 30 juz, yang ditebari 6236 ayat, terbagi dalam 114 surah. 

“Jadi surat atau al-surah itu sesungguhnya adalah pagar yang membatasi segala sesuatu yang dibicarakan, agar persoalan menjadi fokus. Dengan fokus, semuanya akan menjadi jelas.” 

Dari apa yang ia tuturkan itu saya jadi teringat banyak surat yang ditujukan kepada saya. Surat dalam berbagai topik, yang merefleksikan keluasan wawasannya dan kecemerlangan pikirannya, meski dalam usia yang sangat lanjut! Oleh karena surat itu banyak, maka saya kutipkan sejumlah surat yang ia tulis sejak beberapa hari setelah ulang tahunnya yang ke-91 saja. Surat itu sebagian besar merupakan respon atas tulisan saya yang ia baca di koran, majalah atau di portal media sosial.

Bioritmik, dan kebrutalan Amerika

Pada suatu hari di bulan Maret 2023 saya memublikasikan tulisan yang berceritra mengenai kuliner Istana Kepresidenan Republik Indonesia di harian Kompas. Atas tulisan itu Pak Pirous menyampaikan respon.

“Usia kehidupan Istana yang telah ditempati oleh berbagai Presiden sudah panjang, jadi sangat menarik jika kisah-kisah kulineri di Istana diramu kental antara rasa dan politik. Itu sebabnya, Agus harus menggali persoalan makanan Istana itu sampai ke dapurnya. Perhatikan merk panci-pancinya, itu bikinan mana. Persoalan kuliner di Istana kita, saya rasa sama dengan yang di Istana Malacanang di Manila. Rame rasanya, dan sarat urusan politik dan sosialnya.” (26 Maret 2023 : pukul 19.14 wib).

Pada suatu kali saya menulis mengenai momentum nasib sial seseorang yang datang secara beruntun, dalam portal BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival). Tulisan itu berjudul Memahami Nganyut Tuwuh dan Nganyut Apes. Atas tulisan itu Pak Pirous memberi respon.

“Saudara Agus. Hahahaha. Lagi-lagi Anda menulis hal-hal yang kelihatan biasa-biasa, tapi sebenarnya aneh. Keduanya memang ada tungkul benangnya, yang menurut Anda, yang berlatar budaya Jawa, nganyut apes dan nganyut tuwuh. Kalau saya sering memahaminya sebagai bioritmik negatif dan bioritmik positif, dan ini banyak dialami oleh setiap orang. Hanya bagi orang yang kurang peka dan jauh dari kebiasaan mencatat, bioritme itu akan lenyap dalam kegiatan-kegiatan datar sehari-hari. 

Anda, Gus, seorang yang sangat sensitif dan jeli mencatat, sehingga tiba-tiba semua itu jadi rentetan yang ada latar ajaibnya. Tapi saya percaya ada jalinan kehidupan yang oleh kita unpredictable, tapi sebenarnya sudah tersurat….tinggal dijalani. Saya juga merasa pernah terjebak dalam situasi keberuntunan yang negatif, kok silih berganti apesnya. Tapi itu saya coba fahami sebagai bioritmik yang negatif. Jadi hati-hati saja, insyaallah secepatnya akan berubah positif. So life in wonderful….cureable, and beautiful. Dan saya selalu mencoba menjalaninya dengan hati lapang. Semua itu untuk membuat kita lebih arif dan siap. Wallahualam bissawab.” (4 April 2023 : 13.28 wib)

Pada tengah 2023 saya membaca berita dari koran bahwa TGA (Toko Gunung Agung) di seluruh Indonesia akan ditutup, karena bangkrut. Berita sedih ini menyebabkan saya menilik kembali sejumlah koleksi buku yang saya peroleh sebagai hadiah langsung dari pendiri TGA, Bapak Haji Masagung. Di situ saya menemukan Al Qur’an berbahasa Indonesia, susunan H.B.Jassin. Saya menulis surat kepada Pak Pirous.

“Pak Pirous, saya jadi ingat, tahun 1984, bulan Juni, saya diundang Bapak Haji Masagung di TGA Prapatan, Jakarta. Pas magrib saya diajak sholat bersama. Pulangnya saya dihadiahi buku Bacaan Mulia, yang sampulnya dihiasi tulisan indah Pak Pirous. Ah, Pak Haji sudah lama pergi. Kini TGA bakal menyusul. Sedih juga ya….” (26 Mei 2023 : 11.05 wib).

Atas surat itu Pak Pirous membalas.

“Hehe, Agus. Apa jadi sholat dengan Pak Haji Masagung? Saya juga nyimpan satu copy Bacaan Mulia yang ditandatangani oleh H.B.Jassin….. Semua seperti berjalan cepat sekali ya? Mereka berdua orang yang sangat besar jasanya. Ah, banyak yang sudah pergi….” (27 Mei 2023 : 14.49)

Tulisan H.B.Jassin dalam buku Bacaan Mulia, dengan gambar sampul dihiasi khat karya A.D.Pirous. (Foto: Agus Dermawan T.

Atas surat itu saya menjawab bergurau. “Ya Pak Pirous… itu tahun 1984, berarti 39 tahun lalu. Kalau usia : itu sudah bisa nyapres…” (27 Mei 2023 : 16.25)

Pada surat berikutnya Pak Pirous menjawab dengan nada sinistik : “Tidak usah 39. Umur 35 sudah boleh, Agus.” (27 Mei 2023 : 16.35). Waktu itu pencalonan capres di atas 35 tahun baru diwacanakan oleh Partai Solidaritas Indonesia.

Pada suatu kali masih di bulan Mei 2023 saya menulis mengenai peristiwa Mei 1998 di Kompas. Peristiwa yang (secara tak tercatat) telah menghancurkan ribuan karya seni di Solo dan Jakarta. Pak Pirous menanggapi tulisan itu lewat suratnya.

“Saudara Agus, semakin terbuka cerita-cerita kebrutalan massal ketika peristiwa Mei 1998 itu. Semakin terkuak berbagai segi yang dihancurkan, yang selama ini tidak diketahui publik. Termasuk tindakan-tindakan vandalistik terhadap karya seni. Selama 25 tahun tragedi ini tersimpan, dan Anda telah buka sebagai pelajaran moral bangsa.

Agus, ketika kekuatan Amerika menghancurkan Irak tahun 2003 lewat bombardemen habis-habisan kota Bagdad, saya baca begitu banyak harta kesenian serta peradaban manusia asal Asyria, Babylonia, Messopotamia dan Mesir dalam museum-museum penting, dirampok, dilarikan ke luar negeri oleh serdadu-serdadu Amerika dan para broker barang sejarah yang berkeliaran. Banyak museum yang hancur. Sampai sekarang masih puluhan ribu items yang belum kembali, atau tak akan kembali lagi. Untuk petaka kemanusiaan ini saya membuat sebuah lukisan yang mengisahkan itu, Historical Notes, 250 x 200 cm, tahun 2003….” (28 Mei 2023 : 22.00)

Lukisan A.D. Pirous, “Historical Notes”, 2003. (Foto: Agus Dermawan T.)

Pada suatu hari tulisan saya mengenai Istana Kepresidenan Cipanas, Jawa Barat, dipublikasikan oleh Kompas. Pak Pirous membaca itu dan memberi respon.

“Agus, saya tidak tahu dan tidak sadar bahwa di Istana Cipanas ada museum lukisan. Saya kira hanya persinggahan untuk musim panas bagi Presiden saja, di samping riwayat romantik leha-lehanya Gubernur Jenderal Imhoff, di zaman Belanda dulu. Kisah lama itu selalu menarik, karena kita dibawa bercermin kepada perangai-perangai manusia yang kadang tidak terkhayalkan. Seperti Imhoff yang lewat selera massage-nya, menikahi pemijit desa yang disulap jadi mevrouw Belanda dengan nama baru yang Blandis, hehe. Gus, apa museum terbuka untuk publik? Sayang di luar jalur tol….” (13 Juli 2023 : 11.13).

Memangku lampu mengandung emas

Pada suatu kali saya menulis resensi buku Lampu Antik di Indonesia, koleksi Dokter Kolonel Hanny Suwandhani di majalah Tempo. Pak Pirous membaca itu. Ia tergerak, lalu memberi respon panjang.

“Agus, aku terkesima juga membaca tulisan Anda, bagaimana sosok lampu (gantung) dapat menjejaki hidup seseorang. Asyik. Saya punya kisah kecil untuk Anda.

Tahun 1960 saya mendapat proyek pelaksanaan sebuah pameran untuk pekan industri di alun-alun kota Yogya, dari pabrik makanan kaleng milik PT Mantrust Bandung. Di sela-sela waktu kerja, saya keluyuran ke pasar loak, memuaskan keinginan tahu, apa saja yang ada di kota Sultan ini. Di situ saya bertemu banyak lampu gantung, berbagai bentuk dan ukuran, eks keraton yang diselundupkan keluar, dan diperjual belikan. Saya menaksir sebuah lampu gantung agak kecil, agar mudah dibawa pulang ke Bandung. Di Bandung saya sebelumnya baru saja mengontrak sebuah rumah di tengah kampung dekat kampus, yang kebetulan belum terpasang listrik PLN-nya.

Lampu gantung putih yang dibeli di Yogyakarta. (Foto: Agus Dermawan T.)

Ketika saya ragu-ragu memilih antara bentuk dan harga, saya digoda oleh penjualnya dengan iming-iming : – Mas, di dalam bola-bola pemberat di atas lampu-lampu ini kabarnya ada simpanan bungkahan emas murni milik Sultan, cuma tidak ada yang tahu mana lampu yang memilikinya. Tapi, siapa tahu itu yang Mas pilih? – Heh, saya tersentak, dan langsung saja, memilih dan membayarnya. Dengan harapan saya ketimpa rejeki, lampu saya bawa ke hotel.

Setelah selesai proyek, saya pulang ke Bandung pakai kereta api. Masa itu, menumpang kereta masih penuh dengan penderitaan. Karcis bernomer kursi tidak ada. Artinya, penuh sesak dengan yang duduk, berdiri, duduk di lantai, bahkan di toilet. Untuk menjaga lampu yang mungkin ada emasnya itu, saya terpaksa memangku erat-erat karton bungkusannya selama 12 jam perjalanan.

Di rumah bilik kontrakan baru saya di Bandung, memang akhirnya lampu itu sangat bermanfaat sebagai sinar penerang malam hari. Saya sangat bangga dengan lampu itu. Cantik, berwibawa, dan…..siapa tahu di bola pemberatnya benar-benar ada bungkah emasnya.

Ketika di rumah kami sudah terpasang listrik PLN, tetap saja sang lampu jadi ikon rumah kecil saya. Suatu hari saya membuat lukisan interior kenangan untuk rumah tersebut. Sang lampu tetap menjadi fokus di antara meja makan dengan alat-alat makan lainnya, serta koleksi-koleksi kecil saya yang berupa barang-barang kesenian antik belian saya di Bali. Lukisan itu saya lukis tahun 1965. Lukisan itu masih ada dalam koleksi Serambi Pirous…. Lampu itu masih tergantung di teras rumah, dengan keadaan apa adanya, dan diberi warna putih. Masih tetap menyala dengan bola lampu pijar neon sekarang yang lebih terang. Agus, dia telah memberikan cahaya untuk rumah kami selama 63 tahun, tanpa lelah. (18 Juli 2023 : 17.13).

Lukisan “Alam Benda”, berobyek lampu gantung kenangan. (Foto: Agus Dermawan T.)

Satu sudut Serambi Pirous, Jalan Bukit Pakar Timur II, no.111, Bandung. (Foto : Serambi Pirous).

Lukisan A.D.Pirous di Serambi Pirous. (Foto: Agus Dermawan T.)

Pada suatu kali saya menulis mengenai pameran maestro seni rupa I Gusti Nyoman Lempad di Nusa Dua. Bali, di majalah Tempo. Pak Pirous merespon dengan cerita nostalgia.

“Agus, pada kunjungan pertama kali saya ke Bali tahun 1959, saya sempat bertandang ke rumah Lempad, dikawal oleh pelukis Bali yang sedang kuliah di Bandung, Saudara Nyoman Tusan. Pada saat itu Lempad hanya mau berkomunikasi dalam bahasa Bali, yang diterjemahkan oleh Nyoman Tusan. Saya mengagumi gambarnya yang bertema menakutkan itu. Tapi sejauh itu saya belum tahu betapa pentingnya Lempad untuk memahami dan mengapresiasi seni lukis tradisional Bali. Tulisan Anda had given me more clue spiritually tentang dunia seni lukis Bali yang never ending stop developing from time to time. Terimakasih Agus.” (31 Juli 2023 : 11.24).

Pada suatu hari Pak Pirous mengabarkan bahwa dirinya, yang semakin tua itu, ternyata masih bisa aktif dan bahkan diundang untuk webinar dan lain-lain. Ia menulis surat begini.

“Agus, sebulan yang lalu saya agak kurang sehat, flue ringan tapi berkepanjangan. Dan masa itu pula saya harus siap berbicara webinar yang diselenggarakan oleh National Gallery yang bekerja sama dengan Galeri Soemardja ITB. Lawan bicara saya, Prof Kennet George dari Australia National University Canberra. Alhamdulillah berjalan lancar. Salam saya dan Erna untuk Anda dan sang nyonya, Iliana.” (10 September 2023 : 19.17).

Erna Pirous, A.D. Pirous dan Agus Dermawan T, di Galeri Nasional Indonesia, 2017. (Foto : Iliana Lie). (Foto: Agus Dermawan T.)

Soal museum dan kesehatan yang menurun

Pada suatu kali saya menulis mengenai Museum Nasional yang terbakar serta berbagai “penderitaan” museum di Indonesia, di portal BWCF. Pak Pirous merespon dengan semangat muda.

“Agus, saya suka sedih, dari beberapa pengalaman keterlibatan dengan museum, di antaranya Museum Asia-Afrika Bandung, Baitul Qur’an di Taman Mini, dan Museum Tsunami di Banda Aceh. Hampir semua pejabat yang berwenang untuk pendanaan, menganggap museum itu hanya sebagai gedung. Sehingga selesai pembangunan, dianggapnya museum sudah rampung. Akibatnya museum selalu senjang isi, miskin materi dan gagal berfungsi. Ketika membangun gedung, banyak yang ingin terlibat (ada beaya besar). Tapi kala membina program…? Ach, saya nggak tahu. Apalagi dananya kecil…” (26 Oktober 2023 : 08.55).

Dalam minggu pertama dan kedua bulan November 2023 Pak Pirous agak absen dalam aktivitas WA dengan saya. Ternyata ia sedang mempersiapkan pameran tunggal seni grafis dalam topik “Seni yang Menjangkau”, yang juga menyertakan cetak saring ciptaannya masa Decenta, 1975-1986. Meski begitu ia sempat juga mengirim surat pendek, yang menulis bahwa ia tetap membaca tulisan saya di mana-mana, dengan sedikit imbuhan keluhan ihwal fisiknya.

“Dear Agus. Saya mulai banyak kelelahan akhir-akhir ini. But I still enjoy your writings. Terimakasih.” (18 November 2023 : 17.17).

Pada medio Januari 2024 saya menulis dua artikel mengenai keterlibatan para seniman Indonesia dalam Pemilihan Umum sejak tahun 1955, di portal BWCF. Atas dua tulisan itu Pak Pirous merespon.

“Agus, saya yakin dengan perasaan sangat dalam, bagaimana kelompok seniman itu adalah bagian tak terpisahkan dalam pengabdiannya menyukseskan Revolusi Kemerdekaan kita. Kelompok pejuang yang seniman itu adalah anak kandung revolusi Indonesia…..

Pada 1948 saya sempat bergabung sebagai Tentara Pelajar Indonesia di Aceh, dan tahun 1955 ikut penjeblos (mungkin maksudnya : mencoblos, adt) dalam pemilihan umum pertama di Cimahi. Tahun itu saya mulai belajar di seni rupa Bandung. Saat itu saya sudah mulai mengenyam ramainya sorak sorai politik, walau hanya memahami dari segi-segi yang sederhana. Berpolitik adalah pengabdian jujur sebagai seorang yang mengabdi kepada Negara. Kini, berpolitik adalah urusan bisnis yang mengumpulkan kekayaan dan kekuasaan. Berpolitik demi partai, bukan demi Negara. Salam” (26 Januari 2024 : 11.00).

Saya terus bersurat-surat lewat WA. Namun dalam bulan Februari surat-suratnya mendadak surut. Saya agak kawatir. Sehingga saya mencari kabar mengenai kesehatannya kepada sejumlah teman. Namun pada minggu ketiga Maret mendadak muncul lagi WA-nya dalam porsi yang cukup panjang. Di situ ia bercerita :

“Dear Agus, saya harus menceritakan kepada Anda, sejak Januari tahun ini saya berkepanjangan sakit yang dipicu oleh flue, batuk, demam, etc. Puncaknya, 8 sampai 18 Februari saya harus rawat inap di Rumah Sakit Borromeus. Dan sekeluar dari situ masih terus berkepanjangan dirawat di rumah. Keadaan kurang baik, lemah, dan belum bisa lincah seperti semula. Keadaan sekarang pun begitu, berat badan turun drastis. Tetapi tetap saja dengan semangat tinggi, walau dengan kendala lain, hilangnya selera makan. Jadi, kurang nyamanlah akhir-akhir ini. Yah, Agus, saya sekarang menjalani usia 92 tahun. Alhamdulillah. Saya doakan Anda sekeluarga selalu sehat dan kreatif. Masyarakat masih perlu membaca pikiran-pikiranmu Agus. Salam dan terimakasih.” (21 Maret 2024 : 08.07).

Lukisan A.D. Pirous, “Surga Seluas Langit dan Bumi Bagi yang Beriman KepadaNya”, 2000. (Foto: Agus Dermawan T.)

Sejak itu WA yang saya kirimkan tiada berbalas. Bahkan ucapan Selamat Idulfitri yang saya kirim pada 9 April juga tidak terjawab, meski terbaca. Sampai kemudian yang datang adalah berita duka. Ah. Pak Pirous, guru dan sahabat berdialog saya, selamat jalan ya. ***

* Agus Dermawan T. Pengamat Seni Rupa. Penulis Buku-buku Budaya dan Seni.