Bu Kek Siansu: Seni Bela Negara, Jalan Pedang Kho Ping Hoo
oleh Tony Doludea
Kho Ping Hoo menceritakan bahwa pada siang itu terdengar teriakan-teriakan dari para pengepung. “Tangkap mata-mata musuh!” “Bunuh pemberontak!” “Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!”
Ribuan perajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suhengnya, Kwee Lun juga ikut mendekati Sin Liong. Betapapun juga, ia gentar menghadapi ribuan orang yang berteriak-teriak itu, apalagi ia tidak boleh melawan.
Ketenangan Sin Liong itu membuatnya mencari perlindungan di dekat pemuda ini. Terdengarlah suaranya wajar, namun penuh kesabaran dan ketenangan. Suara ini demikian halus, tetapi mengatasi semua teriakan dan anehnya orang-orang itu terdiam, tidak berteriak-teriak lagi. Sin Liong berhasil menenangkan para prajurit tersebut dan keluar dari kepungan mereka.
Swat Hong duduk dekat suhengnya dan memandang wajah suhengnya itu dengan penuh kagum dan kasih sayang. “Kwee-toako, benarkah engkau tertarik dengan perang, saling bunuh antara manusia, antara anak bangsa sendiri? Betapa mengerikan, Toako!”
Jawab Sin Liong, “Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah, untuk melawan yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Namun bunuh-membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia lain, saling memperebutkan kemuliaan dan harta duniawi, sungguh sangat tidak patut. Mereka hanya mempergunakan orang lain demi mencapai cita-citanya sendiri.”
Pada tahun 766 berakhirlah perang yang mengorbankan banyak harta dan nyawa itu. Kekaisaran Tang telah menderita hebat sekali akibat perang yang bermula dari pemberontak An Lu Shan itu. Kematian yang diderita rakyat, pembunuhan-pembunuhan biadab yang terjadi di dalam perang selama pemberontakan ini merupakan yang terbesar menurut catatan sejarah. Menurut catatan kuno, tidak kurang dari tiga puluh lima juta manusia tewas selama perang yang biadab itu!
Sin Liong sebagai seorang pendekar muda, tergerak hatinya untuk membela rakyat, yang juga merupakan bagian dari keluarganya sendiri itu. Ia tidak berpihak kepada para pemberontak yang telah menghancurkan kekaisaran yang memang telah bobrok tersebut. Namun Sin Liong juga tidak berjuang untuk Kaisar, yang karena kecerobohan dan kelengahannya sendiri itu telah mengobarkan pemberontakan, yang justru telah menghantarkan rakyatnya ke dalam jurang kehancuran dan kebinasaan.
Menurut sejarah, di seluruh dunia ini tidak pernah ada revolusi fisik yang mendatangkan perdamaian dan kesejahteraan. Namun hanya revolusi batin, revolusi yang terjadi di dalam diri masing-masing manusia, itulah yang dapat mengubah keadaan yang menyedihkan dalam kehidupan umat manusia di seluruh dunia ini.
********
Kho Ping Hoo melanjutkan ceritanya, bahwa pada tahun 712-756 Kaisar Beng Ong, yang dikenal juga sebagai Kaisar Hian Tiong, berkuasa atas Kekaisaran Tang di Tiongkok. Di bawah pemerintahan Kaisar Beng ini, Tiongkok mengalami perkembangan yang amat gemilang, sehingga menjadi sebuah kekaisaran yang memiliki wilayah yang sangat luas.
Pada masa itu bermunculan sastrawan, pelukis dan seniman yang terkenal sekali dalam sejarah. Seperti Li Tai-po, Tu Fu, Wang Wei dan lain-lain. Namun sayang, kebijaksanaan Beng Ong dalam memimpin kekaisaran ini mengalami godaan hebat, yang kemudian malahan akan meruntuhkan segala-galanya.
Beng Ong adalah pria yang teguh hatinya menghadapi segala macam godaan duniawi, namun ternyata lumpuh ketika menghadapi seorang wanita! Dan mulai saat itu, memang Tiongkok nyata-nyata sedang berada dalam ancaman pergolakan hebat.
Terbuka sebuah kesempatan dalam keadaan yang lemah dari Kekaisaran Tang itu. The Kwat Lin, Ketua Bu-tong-pai memanfaatkan peluang itu untuk memulai petualangannya, untuk memenuhi ambisinya mencarikan kedudukan tinggi bagi Han Bu Ong, puteranya itu!
The Kwat Lin telah berhasil membuat hubungan rahasia dengan para pembesar kota raja semakin meluas. Diam-diam persekutuan ini mulai mengatur rencana pemberontakan untuk menggulingkan Sang Kaisar!
Dari para pembesar yang mengharapkan bantuan orang-orang kangouw inilah, Kwat Lin memperoleh bantuan keuangan, sehingga Bu-tong-pai menjadi makin kuat. Memang wanita lihai ini berhasil menarik banyak tenaga bantuan orang pandai.
Sejarah telah banyak mencatat, betapa pria-pria hebat, pandai, gagah perkasa dan kokoh hatinya, menjadi luluh tak berdaya begitu berhadapan dengan seorang wanita yang sangat menarik hatinya.
Pada tahun 745, ketika itu Kaisar Beng Ong sudah berusia enam puluh tahun lebih. Sudah tua, seorang kakek, namun seperti laki-laki pada umumnya. Betapapun uzur, ketika menghadapi wanita ia menjadi seperti seorang kanak-kanak yang hijau dan lemah.
Pangeran Su adalah salah seorang dari antara putera Kaisar yang lahir dari banyak selirnya itu. Su mempunyai seorang isteri yang amat cantik jelita. Wanita ini cantiknya melebihi bidadari khayangan. Menurut kabar angin, Yang Kui Hui itu memang memiliki kecantikan yang amat luar biasa. Sehingga terkenal di seluruh penjuru mata angin.
Pada suatu kesempatan, ketika Kaisar Beng Ong bertemu dan melihat Yang Kui Hui sendiri, seketika itu juga hati Kaisar tua itu langsung tergila-gila. Ratusan orang selir cantik pelayan muda dan perawan tidak lagi menarik hatinya lagi. Setiap saat yang tampak di pelupuk matanya hanyalah wajah Yang Kui Hui yang cantik jelita itu.
Akhirnya, Kaisar tidak dapat lagi menahan nafsu hatinya. Dengan kekerasan dia memaksa Su, puteranya sendiri itu untuk menceraikan isterinya dan mengawinkan pangeran ini dengan wanita lain.
Setelah Yang Kui Hui pada malam pertama melayani Kaisar Beng Ong, bekas ayah mertuanya itu. Maka sejak saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kekaisaran Tang.
Kaisar Beng Ong yang tadinya sangat giat mengurus pemerintahan dan memperhatikan segala urusan pemerintahan sampai ke soal yang sekecil-kecilnya. Kini mulai tidak acuh dan menyerahkan semua urusan ke tangan para Thaikam (Orang Kebiri, Kepercayaan Raja) dan para pembesar yang berwenang.
Ia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak pernah meninggalkan tempat tidur, di mana Yang Kui Hui menghiburnya dengan penuh kemesraan.
Dalam beberapa bulan saja, selir yang tercinta ini berhasil menguasai hati Kaisar sepenuhnya. Sehingga apapun yang dilakukan olehnya selalu benar, dan apapun yang diminta oleh selir ini. Tidak ada yang ditolak oleh Kaisar tua yang sudah dimabuk cinta itu.
Rupa-rupanya Yang Kui Hui bukanlah seorang wanita lemah dan bodoh. Hatinya tetap menaruh dendam kepada Kaisar Beng Ong karena ia telah dipisahkan dari suaminya yang tercinta itu.
Saat melayani nafsu berahi Kaisar tua itu, ada tersembunyi niat lain dan ia tidak menyia-nyikan kesempatan amat baik itu. Setelah Kaisar tergila-gila dan bertekuk lutut, mulailah Yang Kui Hui memetik hasil pengorbanan diri dan cintanya.
Ia menggunakan pengaruhnya terhadap Kaisar, yaitu dengan menarik keluarganya sendiri untuk menduduki tempat-tempat penting dalam kekaisaran! Bahkan kakaknya, yaitu Yang Kok Tiong diangkat menjadi menteri pertama Kekaisaran Tang.
Ketika Kaisar sedang dimabuk asmara, An Lu San, seorang jenderal muda yang amat cerdik. Ia melihat kesempatan baik sekali untuk mengangkat diri sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Yaitu menggunakan pengaruh dan kekuasaan selir yang cantik jelita itu terhadap Kaisar tua bangka tersebut.
Bukan hanya kerugian harta dan nyawa saja, akan tetapi juga setelah perang berakhir, Kekaisaran Tang kehilangan banyak kekuasaan atau kedaulatannya! Bantuan-bantuan yang diterima oleh Kaisar di waktu merebut kembali kerajaan, membuat Kaisar terpaksa membagi-bagi daerah kepada para pembantu yang diangkat menjadi gubernur-gubernur, yang lambat laun makin besar kekuasaannya dan perlahan-lahan menjadi raja-raja kecil yang berdaulat sendiri-sendiri.
********
Usianya tidak lebih dari tujuh tahun. Matanya lebar penuh sinar, tajam namun lembut. Seperti mata kanak-kanak biasa, yang hidupnya masih bebas dan bersih.
Ia berdiri seperti sebuah patung di tanah datar, yang agak tinggi di hutan Jeng Hoa San, Gunung Seribu Bunga itu. Menghadap ke timur dan sudah ada setengah jam lebih ia berdiri saja seperti itu.
Hutan yang sungguh tepat disebut dengan Hutan Seribu Bunga yang ditumbuhi dengan tumbuh-tumbuhan beraneka warna, penuh dengan bunga-bunga indah, terutama sekali pada saat musim semi tiba.
Anak itu pakaiannya sederhana sekali namun bersih. Seperti juga badannya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya terpelihara dan bersih. Wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan bentuk muka yang rupawan.
Namun hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah yang jarang terdapat pada anak-anak lainnya. Membuatnya menjadi anak yang memberikan kesan pada hati yang memandangnya. Sebagai seorang anak yang aneh dan memiliki sesuatu yang luar biasa.
Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh daya kehidupan, ketika melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah timur. Bola merah besar dan merupakan pemandangan yang amat menarik hati, tetapi lambat laun menjadi benda yang tak kuat lagi ditatap oleh mata, karena cahayanya makin menguning dan berkilau.
Memang. Anak yang luar biasa! Demikian penduduk di sekitar Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya Sin Tong (Anak Ajaib). Semua orang menyebutnya Sin Tong karena dia sendiri tidak pernah menyatakan siapa namanya. Maka anak itu sudah terbiasa dengan panggilan ini dan menganggap namanya itu Sin Tong.
Sin Tong dengan telanjang bulat lalu menghampiri sebuah batu dan duduk bersila, menghadap matahari. Duduk tegak lurus, kedua kakinya bersilang dan napasnya masuk keluar teratur dengan halus, tanpa paksaan seperti seorang bayi sedang tidur nyenyak.
Sudah beberapa tahun ia melakukan ini, selama dua sampai tiga jam hingga tubuhnya bermandi keringat dan terasa panas. Juga ketika malam bulan purnama, mandi cahaya bulan hingga bulan lenyap bersembunyi di balik puncak barat.
Anak ajaib, anak sakti dan beberapa sebutan lainnya lagi. Mengapa orang-orang dusun, penghuni dusun di sekitar lereng Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya anak ajaib?
Karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah dan akar-akar sebagai obat yang mujarab sekali.
Siapakah sebenarnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun dari kahyangan menjadi seorang anak-anak untuk menolong seorang manusia?
Anak itu dahulunya adalah anak tunggal keluarga Kwa di Kun-Leng, sebuah kota kecil di sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san. Ia bernama Kwa Sin Liong, nama Sin Liong (Naga Sakti) ini diberikan kepadanya karena ketika mengandungnya, ibunya bermimpi melihat seekor naga berterbangan di angkasa di antara awan-awan.
Ayah Sin Liong adalah seorang pedagang obat yang terpandang di Kun-leng. Namun di malam nahas itu, malapetaka menimpa keluarga ini, tiga orang pencuri memasuki rumah mereka. Awalnya tiga orang penjahat ini hanya ingin mencuri harta keluarga kaya ini saja. Tetapi ketika mereka baru memasuki kamar, ayah dan ibu Sin Liong mempergoki mereka.
Ketika itu Sin Liong baru berusia lima tahun. Dari tempat remang-remang itu ia melihat betapa ayah-bundanya dihujani bacokan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak. Saking ngeri dan takutnya, Sin Liong menjadi gagu, matanya melotot dan tidak bisa mengeluarkan suara.
Namun tidak berhenti di situ saja, bocah ini tergetar jiwanya, tergores dan luka melihat ayah bundanya dibacoki dan dibunuh. Juga ketika melihat tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa oleh penduduk sekitar. Jiwanya makin terhimpit, luka di hatinya makin bertumpuk dan ia tidak kuat menahan lagi. Ia merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di antara sekumpulan iblis.
Maka sambil menangis tersedu-sedu Sin liong lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan Kun-leng. Terus berlari ke arah pegunungan, yang tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang rebahan, seorang dewa sakti, yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu!
Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin Liong terus berlari sampai pada keesokan harinya. Saking lelahnya, ia tersaruk-saruk di kaki pegunungan itu, kadang-kadang kakinya tersandung dan jatuh menelungkup. Bangun lagi dan lari lagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pagi-pagi, pada keesokan harinya, ia terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng-hoa-san.
Selama di hutan itu, kebiasaannya menjemur diri di sinar matahari pagi dan di bawah terangnya bulan purnama telah menguatkan tulang dan membersihkan darahnya. Sehingga para datuk dunia persilatan berebut untuk mengangkatnya menjadi murid.
Banyak pesilat yang ingin mengangkatnya menjadi murid. Tapi ada pula yang berniat jahat, yaitu ingin menghirup sum-sum, darah dan sari pati tubuh anak kecil ini, demi menyempurnakan ilmu sesatnya. Di antara mereka itu adalah Pat-jiu Kai-ong (Raja Pengemis Berlengan Delapan) dan pesilat wanita, Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai Berpayung Pedang).
Selain mereka berdua, ada lagi pesilat lainnya, Siang-koan Houw, lebih dikenal dengan Tee-tok (Racun Bumi), Thian-tok (Racun Langit), Ciang Ham julukannya Thian-he Te-it (Sedunia Nomor Satu), Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak) dan Lam-hai Seng-jin (Manusia Sakti Laut Selatan).
Mereka bertanding, namun tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Di saat perkelahian bersama inilah, maka datanglah pangeran Pulau Es, yaitu Han Ti Ong. Han Ti Ong ini pendekar yang sangat aneh, ia memiliki ilmu inti sari dasar gerakan semua ilmu silat. Sehingga semua pesilat yang ada di sana dapat dikalahkannya dengan jurus silat mereka masing-masing.
Semua pesilat terkagum-kagum, mengapa Han Ti Ong bisa menyerang dan mengelak dengan gaya ilmu silat mereka semua. Bahkan pangeran Pulau Es ini dapat melakukan semua gerakan itu dengan sempurna, penuh tenaga dan dengan kecepatan yang luar biasa.
Dari sinilah, kemudian Sin Liong diangkat oleh Han Ti Ong menjadi muridnya dan dibawa ke Pulau Es. Istana Pulau Es, di laut utara itu merupakan suatu tempat yang sudah menjadi seperti cerita dongeng saja di kalangan kangouw.
Beberapa puluh tahun kemudian, karena kemampuan silat dan filsafatnya yang tidak terukur nalar, Sin Liong dijuluki Bu Kek Siansu. Ia dilegendakan sebagai manusia setengah dewa karena kesaktiannya yang amat luar biasa itu.
Bu Kek Siansu itu adalah anak yang dahulu disebut Sin-tong (Anak Ajaib), yaitu pemuda Kwa Sin Liong. Yang menghilang bersama sumoinya, Han Swat Hong dan yang kabarnya menetap di Pulau Es, tidak pernah lagi terjun ke dunia ramai.
Bu Kek Siansu, saat ini adalah seorang laki-laki tua yang sederhana namun yang pribadinya penuh cinta kasih, cinta kasih terhadap siapa pun dan apa pun.
Bu Kek Siansu memiliki kebiasaan menurunkan satu jenis ilmu silat di setiap awal musim semi, tanpa membedakan sesat atau lurus, siapapun yang beruntung akan mendapat petunjuknya.
Namun, Bu Kek Siansu hanya mempunyai tiga orang murid, yakni Kwee Seng, Kam Bu Song dan Kam Han Ki. Pendekar lain yang beruntung mendapat petunjuk darinya, meski tidak secara langsung adalah Maya dan Khu Siauw Bwee,
Dan memang seorang manusia seperti Bu Kek Siansu ini tidak pernah ingin menonjolkan diri. Selalu bergerak tanpa pamrih dan hanya digerakan oleh cinta kasih. Maka tidak ada satu orang pun yang dapat mengikuti jejak seorang manusia seperti Bu Kek Siansu ini. Yang hanya kadang-kadang saja terlihat muncul di antara orang banyak dan di dalam dunia persilatan.
Namun ada juga yang pernah hanya dapat mendengar lantun nyanyian dari balik keremangan kabut setelah badai di laut:
“Langit, Bulan dan Lautan kalian mempunyai Cinta kasih namun tak pernah bicara tentang Cinta kasih!
Kasihanilah manusia yang miskin dan haus akan Cinta Kasih, bertanya-tanya apakah Cinta Kasih itu?
Bilamana tidak ada ikatan tidak ada pamrih dan rasa takut tidak memiliki atau dimiliki tidak menuntut dan tidak merasa memberi.
Tidak menguasai atau dikuasai tidak ada cemburu, iri hati tidak ada dendam dan amarah tidak ada benci dan ambisi.
Bilamana tidak ada iba diri tidak mementingkan diri pribadi, bilamana tidak ada “Aku” barulah ada Cinta Kasih……..”
Demikinlah, Kho Ping Hoo terpaksa menutup kisah Bu Kek Siansu ini, yang menceritakan pengalaman pemuda Kwa Sin Liong sewaktu ia belum menjadi seorang Bu Kek Siansu. Sewaktu ia belum memiliki cinta kasih, sehingga masih diombang-ambingkan oleh suka dan duka dalam kehidupannya.
Dengan mengenangkan isi nyanyian itu, Kho Ping Hoo mengajak para Pembaca Budiman-nya untuk sama-sama mempelajari dan berharap mudah-mudahan akan dapat memiliki Cinta Kasih melalui pengenalan diri pribadi. “Teriring salam bahagia dari pengarang dan sampai jumpa kembali di lain cerita,” Kho Ping Hoo mengakhiri ceritanya ini.
********
Usianya tidak lebih dari lima belas tahun, lahir di Desa Sukowati di Sragen, tidak jauh dari Gunung Lawu, dalam keluarga sederhana. Ia adalah anak ke-2 dari 12 bersaudara. Mereka tinggal di rumah ukuran 6 meter x 4 meter berdinding anyaman bambu dan beralaskan tanah. Itu membuatnya sejak kecil sudah kenyang dengan pengalaman hidup pas-pasan serta disiplin.
Matanya jeli, daya khayalnya tinggi namun berwarna-warni, ceria dan jenaka. Pikirannya tajam, suka bermain meskipun demikian tidak recehan dan tidak dangkal, tetapi sangat luas serta mendalam. Semangatnya gigih membara, tegar dan tekadnya membaja.
Sejak itu pula ia telah digembleng ilmu bela diri oleh ayahnya, Kho Kian Po. Ternyata, pengalaman berlatih ilmu bela diri sewaktu kecil itu telah memberi bekal yang berharga dalam menjalani hidupnya. Ketika berusia 12, ia sudah membantu kedua orang tuanya. Saat itu ayahnya membuka sebuah warung makan sederhana di Sragen. Ia membantu ayahnya berjualan.
Hidup susah sejak masa kecilnya. Sekolah pun hanya sampai kelas 1 MULO (setingkat SMP), tetapi ia masih sempat belajar Tata Buku. Di samping itu, Kho Ping Hoo kecil ini telah melahap berbagai buku, tentang filsafat, sejarah, budaya dan agama. Pikirannya berusaha meramu segala kisah tentang kebajikan kuno itu sejak masih bocah.
Ayahnya, Kho Kiem Poo berasal dari Tiongkok dan Sri Welas Asih, ibunya itu berasal dari Desa Bakulan Yogyakarta. Dari sang ayah, Kho Ping Hoo mendapatkan cerita-cerita silat Cina, sementar dari sang ibu ia banyak belajar dan memahami petuah-petuah kuno tentang kehidupan orang Jawa.
Sri Welas Asih memang mahir bertutur dengan menggunakan kalimat-kalimat bijak yang mudah dipahami. Kemahiran itulah yang kemudian diwarisi Kho Ping Hoo sehingga terampil menyuguhkan cerita secara menarik.
Cerita silat yang ditulis oleh Kho Ping Hoo memiliki kesan apik dan hidup. Ia memiliki keahlian dalam menyisipkan fakta-fakta sejarah dan menggabungkan bumbu-bumbu imajinasi ke dalam ceritanya dan digambarkan secara rinci.
Kho Ping Hoo memang tidak menguasai Bahasa Mandarin, namun dengan modal Bahasa Inggris dan Belanda, serta Jawa dan Sunda ia dapat menggunakan buku sejarah Cina yang diterbitkan oleh Rumah Percetakan Bahasa Asing di Beijing dan peta-peta Cina sebagai rujukan.
Kho Ping Hoo dapat menghidupkan suasana alam dengan gambaran keindahan dan keasrian dalam semua ceritanya itu. Ia berhasil membuat para pembacanya untuk dapat ikut merasa, hadir, bahkan mengidentifikasikan sifat diri mereka, baik yang baik, apalagi yang buruk dan jahat dangan tokoh-tokoh karangan Kho Ping Hoo tersebut. Juga dengan peristiwa-peristiwa genting dan penting, yang menjadi konteks alur cerita dan penokohan karangannya itu.
Kho Ping Hoo sering dan banyak menyisipkan hasil perenungan spiritualnya itu melalui perkataan bijaksana dan nasihat-nasihat yang diucapkan oleh tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh tersebut berfilsafat dan seperti memberikan nasihat kepada para pembacanya mengenai kebaikan dan kebijaksanaan. Kho Ping Hoo secara fasih menyitir Tao Te Cing, Dhammapada, ajaran Konghucu, Dewi Kwan Im, ajaran Jawa Kuno, dll.
Dengan itu para pembacanya juga dapat memasuki saat reflektif, bahkan meditatif, untuk berkaca dan merenungkan secara mendasar drama perjalanan hidup mereka masing-masing.
Meskipun di saat-saat tertentu, para pembaca juga mendapat pelajaran praktis teknik rayuan gombal kepada wanita, misalnya dari Pendekar Mata Ke Ranjang, Tang Hay Hay. Bahkan rayuan paksa dan penaklukan wanita oleh Tang An Bun, Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) Penghisap Kembang, ayah Tang Hay Hay, seorang Jai Hwa Cat (Penjahat Pemetik Bunga) itu. Membuat perasaan para pembacanya terbang ke mana-mana.
Kho Ping Hoo juga mampu membangkitkan selera gastronomi dan kulineri para pembacanya. Misalnya pada saat salah seorang tokohnya, yang tengah kelaparan lalu berburu ayam hutan, burung atau kelinci, juga ikan. Mengolah buruan tersebut, membumbuinya dengan racikan warisan keluarga, pemberian gurunya atau dari dapur kerajaan dan para bangsawan. Membakarnya atau memasak, daging panggang itu lalu mengeluarkan aroma yang sangat harum menyeruak dalam hutan atau padang itu. Tetapi ada juga makanan aneh demi peningkatan ilmu silat, seperti laba-laba beracun, kalajengking, kelabang raksasa dan ular berbisa aneh, dst.
Demikian juga dengan menu makanan mewah nan lezat di rumah makan yang banyak dikunjungi oleh para pelancong, termasuk pesilat dan pendekar terkenal. Bakmi, bakmoy, bakpau dan bakso. Tidak ketinggalan teh harum, dan guci-guci yang berisi arak wangi mahal yang memabukkan, serta musik tradisional bersama penyanyi cantiknya. Kho Ping Hoo tentu saja telah membuat perut para pembacanya langsung kroncongan.
Masakan khusus Raja dan Kaisar yang diolah secara khusus di dapur kerajaan oleh juru masak kerajaan yang sudah sangat berpengalaman turun-temurun. Menyajikan angsa, bebek, bangau, kepiting, siput, kerang, ikan, udang, cumi-cumi, katak, beruang, harimau, dst. Semua binatang yang ada di darat, sawah, sungai, pohon, laut dan yang terbang di udara. Juga segala macam sayur mayur dan buah-buahan dari yang berwarna hijau, putih, kuning, ungu, merah, dst.
Kho Ping Hoo juga mengkhayalkan jurus-jurus silat sakti dengan kekuatan mujizat, yang merupakan ciri khas masing-masing tokoh ceritanya. Seperti Inti Sari Ilmu Silat yang digunakan oleh Han Ti Ong dan Bu Kek Siansu. Thi Ki I Beng (Mencuri Hawa Pindahkan Nyawa) milik Cia Keng Hong dan Cia Sin Liong. Kim Siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) oleh Pendekar Suling Emas Kam Hong. Sin Liong Hok Te (Naga Sakti Mendekam di Bumi) dipakai oleh Dewa Bongkok dan Naga Sakti Gurun Pasir. Soan Hong Lui Kung (Ilmu Silat Badai dan Petir) yang digunakan para datuk sesat. Swat Im Sinkang dan Hwi Yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Es dan Tenaga Sakti Inti Api) milik keluarga Pulau Es.
Hong In Bun Hoat (Ilmu Silat Sastra, Angin dan Mega) ciptaan Bu Kek Siansu yang diwariskan ke keluarga Kam dan Koai Lojin. Im Yang Sin Kiam-sut (Ilmu Pedang Sakti Im dan Yang) milik Raja Pedang Tan Beng San warisan dari Bu Pun Su. Thai Kek Sin Kun (Silat Sakti Pokok Terbesar) milik kelarga Cia dan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin. Thai Lek Pek Kong Cian (Ilmu Silat Halilitar Sinar Putih) dari keluarga Souw. Tidak ketinggalan kekuatan sinkang (tenaga dalam), ginkang (tenaga meringankan tubuh), iweekang (tenaga lembut), gwakang (tenaga luar) dan khikang (tenaga suara). Yang membuat para pembacanya sangat penasaran dan mencari rujukan ke para ahli silat untuk dapat menguasai jurus-juris maut itu demi perlindungan diri.
Ketika masih kanak-kanak, Kho Ping Hoo pernah menderita sepuluh jarinya cantengan, yang membuatnya kesakitan dan sangat menderita. Ibunya selalu berdoa bagi kesembuhan anaknya itu. Puluhan tahun kemudian kejadian itu baru disadari sebagai suatu pertanda baik bagi Kho Ping Hoo.
Kho Ping Hoo adalah seorang Kristen namun bergabung juga dengan perkumpulan olah batin, Susila Budhi Dharma (Subud). Selain memengaruhi kejiwaan, ajaran kebatinan ini juga telah memengaruhi pola pikir serta kepribadiannya.
Kebijaksanaan Subud membuat Kho Ping Hoo menjadi seseorang yang sangat bersahaja. Ia menjadi orang yang sabar dan selalu berusaha ikhlas. Setelah mendalami Subud, Kho Ping Hoo dapat lebih memahami hidup. Hal itu tentu karena Kho Ping Hoo ternyata tumbuh di tengah situasi yang memprihatinkan, yang juga telah membentuk kepribadiannya.
Ia pernah bekerja menjadi buruh bangunan, pemborong, penjaga toko, penjual obat, ketua organisasi mobil angkutan. Bahkan menjadi Kenbotai, hansip pada masa pendudukan Jepang dan membuka usaha rokok kecil-kecilan. Mengais-ngais rezeki dilakukannya. Ia berpindah-pindah tempat, dari Sragen, Solo, Kudus, Surabaya, Banjarnegara dan Tasikmalaya.
Dari Surabaya ia kembali lagi ke Sragen dan bergabung dalam Barisan Pemberontak Tionghoa (BPTH), yang ketika itu selalu berjuang bersama Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Beragam pekerjaan telah dijalaninya sejak masa mudanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Pada tahun 1949, tahun-tahun inilah di mana mulai muncul cobaan-cobaan berat yang menimpa hidupnya. Diawali dengan perusahaan rokoknya sudah berjalan, meskipun masih kecil. Namun karena Serangan Militer Belanda II meletus, maka pasukan Belanda mengobrak-abrik segala yang dimilikinya.
Kho Ping Hoo mulai dari nol lagi. Mereka mengungsi ke Solo selama dua tahun. Lalu dengan membawa dua orang anak (yang satu masih dalam kandungan istrinya) mereka pindah ke Tasikmalaya. Kho sekeluarga ini mempunyai semangat baru untuk memperbaiki nasib.
Namun terjadi peristiwa kerusuhan rasialis di Tasikmalaya pada 10 Mei 1963. Dalam peristiwa tersebut, toko, rumah dan harta milik etnis Tionghoa dirusak. Kemudian juga peristiwa mengerikan 1965 dan bencana banjir bandang 1966 di Solo itu. Kho Ping Hoo sempat merasa sakit hati dan hampir saja memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dan pergi ke Tiongkok.
Nampaknya, di Tasikmalaya inilah segalanya bermula, minat Kho pada tulis-menulis muncul di sini. Ketika itu ia bekerja sebagai staf dari seorang pemborong yang sedang membangun sebuah rumah sakit di Banjarnegara. Lalu menjadi Ketua Perusahaan Pengusaha Pengangkutan Truk (P 3 T) kawasan Priangan Timur.
Sekitar tahun 1951, Kho Ping Hoo mulai menulis cerita detektif, novel dan cerpen, yang dimuat oleh berberapa majalah, antara lain Liberty, Star Weekly dan Pancawarna, dengan menggunakan nama samaran Asmaraman, yang mendapatkan sambutan baik dari para pembaca.
Namun baru pada tahun 1959, Kho Ping Hoo mulai menulis cerita silat dengan judul Pedang Pusaka Naga Putih, yang diterbitkan majalah Teratai. Sejak saat itu cerita silat menjadi tema utama karya Kho Ping Hoo. Karyanya itu terbukti berhasil gemilang. Serial silat terpanjangnya adalah Kisah Keluarga Pulau Es (17 judul cerita, mulai Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es).
Pribumi etnis Tionghoa ini terbukti sangat mencintai tanah airnya, tumpah darahnya. Walaupun ia sudah dilukai dan teraniaya oleh beberapa kejadian rasial tersebut. Ia mencurahkan isi hatinya dan melepaskan tekanan dalam batinnya melalui cerita silat tersebut. Karena hampir sepanjang hidupnya ia didera berbagai peristiwa yang melemahkan perasaannya.
Dalam kehidupan sehari-hari ia banyak menghadapi ketidakadilan, penindasan dan keserakahan, tapi ia hanya bisa marah dalam hati. Ia tidak memiliki keberanian untuk mengritik. Ia hanya bisa mengritik melalui cerita silatnya itu tanpa harus menyakiti perasaan siapapun.
Lewat kisah hidup para pendekar, yang mereka lalui sebagai sebuah jalan pedang itu, Kho Ping Hoo mengajak para pembacanya untuk memahami kehidupan para tokohnya itu. Suka duka kehidupan dalam menghadapi, mempelajari, menyelidiki dan mengatasi persoalan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
Rasa cintanya kepada Indonesia terlukis dalam cerita-cerita silatnya itu. Sikap dan perilaku cinta tanah air dan bela negara itu, salah satunya dituangkan dalam kisah Bu Kek Siansu. Sikap dan perilaku Sin Liong itu merupakan suatu bentuk bela negara, karena rasa cinta tanah air, tumpah darahnya. Bela negara itu merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sikap dan perilaku tersebut sesungguhnya dilandasi keikhlasan dan kerelaan untuk bertindak demi kebaikan bangsa dan negara.
Kho Ping Hoo melalui karya-karya itu sesungguhnya telah melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia, yaitu membela negara dan mencintai tanah airnya. Kho Ping Hoo telah melahirkan setidaknya 120-an judul cerita. Beberapa karya, semula merupakan cerita silat judul lepas kemudian diterbitkan menjadi cerita silat serial dengan berbagai jilid.
Kho Ping Hoo mendapatkan penghargaan, di antaranya dari Bupati Sragen pada 2005, dari Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) Award pada 2012, serta Satyalancana Kebudayaan yang dianugerahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014.
Sebagai seorang pendekar yang sangat aneh, Sin Liong menggunakan ilmu silat warisan dari gurunya itu untuk membela yang lemah, untuk melawan yang jahat. Meskipun tidak pernah terbersit keinginan untuk melukai, apalagi membunuh orang-orang jahat itu.
Namun terlebih dari itu, Bu Kek Siansu justru ingin menggugah hati manusia yang telah digelapkan oleh kilau harta benda dan kenikmatan duniawi, kekuasaan, kedudukan dan kehormatan, untuk kemudian menjadi orang yang sadar, tercerahkan, penuh welas asih. Pendekar aneh setengah dewa ini kiranya merupakan ilustrasi khayali pribadi penulis cerita itu sendiri.
Sebagai penghayat spiritulitas Kristen, Kho Ping Hoo tentu saja tidak asing dengan ungkapan kebijaksanaan kuno, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Lagi, “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk! Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” Memang ada juga ungkapan Latin yang menyebutkan bahwa apabila ingin damai, maka bersiaplah untuk berperang (Si Vis Pacem, Para Bellum). Namun pesan singkat dari Langit tersebut justru mengatakan apabila ingin damai, berdamailah!
Ajaran kuno ini mengungkap kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam diri manusia, yang menunggu untuk diejawantahkan. Bahwa setiap orang, seluruh umat manusia itu memiliki kemampuan ilahi untuk mengubah yang jahat menjadi kasih melalui kekuatan mujizat yang memang ada di dalam dirinya. Manusia dapat memurnikan, mendistilasi segala kejahatan itu menjadi kebaikan yang tertinggi (summum bonum).
Untuk itu Kho Ping Hoo tidak menggunakan jurus-jurus silat sakti dan pedang pusaka. Pedang tajam bermata dua, yang dapat memisahkan nyawa dari tubuh, menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum.
Namun ia hanya menggunakan jari-jari tangannya, yang pernah cantengan itu untuk menari di atas tombol-tombol mesin ketiknya, lalu menghasilkan lembaran-lembaran kertas yang berisi doa dan ucapan berkat atas orang-orang yang membenci dan pernah menganiaya serta melukai hati mereka.
Cerita-cerita silat Kho Ping Hoo tersebut, bisa jadi merupakan doa dan ucapan berkat terpanjang yang pernah di tulis dalam Bahasa Indonesia. Doa dan ucapan berkat dari seorang yang pernah dilukai hatinya, dibenci, dianiaya badannya dan dijarah hartanya, untuk saudara-saudaranya sendiri sebangsa dan setanah airnya itu. Doa dan ucapan berkat Kho Ping Hoo, yaitu mengajak anak bangsa ini untuk saling manghargai, berbagi kasih, saling menjaga dan mengampuni satu dengan yang lainnya. Karena ada tertulis, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”
Saat itu, orang-orang berkerumun menunggu di taman bacaan, kios-kios penyewaan buku, took-toko buku berlomba membaca jilid terbaru karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Cerita apapun dibaca habis, tandas. Serial Bu Kek Siansu: Suling Emas, Cinta Bernoda Darah, dst. Serial Pedang Kayu Harum: Petualangan Asmara, Dewi Maut, dst. Serial Pendekar Sakti, Serial Sepasang Naga Lembah Iblis, dst.
Sekitar pukul 06.30, Jumat 22 Juli 1994 Kho Ping Hoo meninggal dunia pada usia 68 tahun di Rumah Sakit Umum Kasih Ibu, Solo akibat serangan jantung. Hari itu juga, jenazahnya langsung dikremasi di Krematorium Thiong Ting Jebres, Solo. Kemudian abunya ditabur di Laut Selatan.
Sampai akhir hayatnya itu, Kho Ping Hoo masih terus menulis cerita silat, yang memang lekat dengan kritik sosial dan penyadaran diri. Yang terakhir itu berjudul Hancurnya Kerajaan Tang. Lalu tidak ada lagi bunyi suara ketak ketik mesin ketiknya itu.
Di sepanjang hidupnya itu, Kho Ping Hoo merasa hidup dalam tiga alam. Alam nyata dengan keluarganya, alam khayal ketika berduaan dengan mesin ketik itu dan alam kasih sayang serta persahabatan umat manusia dengan para Pembaca Budiman-nya. Entah sadar atau tidak, ia telah membuat dirinya menjadi sebuah legenda. Kho Ping Hoo menapaki jalan pedangnya sendiri.
*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.
********
Kepustakaan
Kho Ping Hoo. Suling Emas. Gema, Solo, 1968.
Kho Ping Hoo. Pedang Kayu Harum. Gema, Solo, 1970.
Kho Ping Hoo. Bu Kek Siansu. Gema, Solo, 1973.
Sawega, Ardus M. (Ed.). Kho Ping Hoo dan Indonesia: Seniman dan Karyanya. Balai Soedjatmoko, Surakarta, 2012.