Everything Everywhere All at Once: Antara Model Fisika dan Eksplorasi Filosofis

Oleh Eko Y.A. Fangohoy

Suatu waktu, Akira Kurosawa pernah bereksperimen. Berdasarkan cerpen karya Ryūnosuke Akutagawa berjudul “Rashomon”, sineas Jepang itu melahirkan film yang kemudian dikaitkan dengan terminologi ini: Rashomon effect. Istilah Rashomon effect kemudian menjadi suatu istilah yang lebih banyak digunakan dalam bidang psikologi (ketimbang film atau sastra). Dalam film atau cerpen itu, suatu kejadian diceritakan oleh beberapa orang dengan versi yang berbeda. Dengan begitu, Rashomon effect memerikan suatu fenomena dari berbagai orang berbeda serta memiliki persepsi atau memori berbeda atas suatu peristiwa yang sama. Biasanya, level diskusi selanjutnya setelah menonton film (atau membaca cerpen) ini adalah: persepsi atau memori siapa yang paling benar. Dalam kehidupan nyata, diskusi terkait film Kurosawa itu masuk ke dalam ranah praktis sehari-hari mengenai bagaimana kita bisa memercayai laporan dari beberapa orang berbeda mengenai suatu fakta atau kejadian yang sama. 

Namun, di luar “Rashomon” orang mendapati bahwa problematika yang dihadirkan “Rashomon” tidaklah berada pada level tertinggi. Pada abad ke-20, muncul berbagai film yang menghadirkan pertanyaan serius pada penonton setelah pulang dari bioskop: bukan saja siapa atau apa saja yang harus saya percayai, melainkan apakah saya sendiri bisa memercayai diri saya sendiri? Apakah kenyataan yang saya alami ini nyata ataukah semu/maya alias fiktif? Apakah ada kenyataan yang lebih nyata daripada kenyataan yang saya alami?

Konsep dalam film Matrix, misalnya, walaupun bukanlah yang pertama, tetapi tergolong dalam “genre” pasca-Rashomon tadi. Film yang dibintangi Keanu Reeves ini menyingkapkan bahwa dunia yang kita jalani sehari-hari ini hanyalah simulasi, suatu realitas maya. Walaupun bukan gagasan yang baru muncul dalam karya-karya sastra atau film-film Hollywood–mungkin Buddhisme, bisa dibilang begitu, sudah ribuan tahun mengajarkannya–namun problematika Matrix menjadi plot utama dalam banyak film yang muncul pada abad ke-20.

Kemenangan film Everything Everywhere All at Once (EEAAO) dalam ajang Oscar 2023 yang baru lalu itu menggarisbawahi hal itu. Karakter yang diperankan Michelle Yeoh (Evelyn Wang) mempertanyakan kewarasannya ketika berbagai universe atau dunia (termasuk versi dirinya yang lain) secara serentak ia masuki, di luar universe/dunianya sendiri. Jika dalam Rashomon, penonton bertanya versi kisah siapa yang benar, dalam EEAAO, karakter utamalah yang bertanya apakah dirinya sendiri memang waras alias benar atau tidak–mungkin bisa disebut sebagai Wang effect: versi diriku atau dunia/universe manakah yang benar. 

Michelle Yeoh (Evelyn Wang) dalam film Everything Everywhere All at Once. (1). (Sumber: Istimewa)

Michelle Yeoh (Evelyn Wang) dalam film Everything Everywhere All at Once. (2). (Sumber: Istimewa)

Michelle Yeoh (Evelyn Wang) dalam film Everything Everywhere All at Once. (3). (Sumber: Istimewa)

Teknik literer (literary device/technique) utama dalam EEAAO menggunakan teknik yang banyak dipakai dalam film-film sains fiksi seperti Matrix, walaupun dengan modifikasi yang berbeda di sana-sini. Tulisan ini hendak melihat bagaimana teknik literer tersebut digunakan dan terutama bagaimana pendasarannya dari segi ilmiah atau filsafat. Dengan begitu, berawal dari suatu ulasan yang bersifat kebahasaan dan sastra, tulisan ini akan diakhiri dengan paparan yang berkelindan dengan ilmu fisika dan filsafat.

Flashback, Flashforward, dan Flashside

Teknik alternate universe, yang biasa juga disebut dengan flashside, digunakan penulis sebagai strategi untuk mengundang rasa ingin tahu pembaca atau memperdalam aspek misteri dari plot utama tulisan mereka. Teknik lain yang lebih sering digunakan adalah flashback (kilas balik) atau flashforward (kilas depan). Teknik kilas balik, sebagai metode yang sering dipakai, biasa dipakai untuk menarasikan aspek masa lalu cerita, entah para karakter atau plot utamanya. Metode ini bisa digunakan oleh penulis secara datar, misalnya hanya sebagai penjelasan yang netral, atau bisa juga sebagai unsur kejutan dalam cerita, misalnya penyingkapan aspek yang belum diketahui pembaca dan pembaca memang “diharapkan” terkejut ketika mengetahui aspek ini . Salah satu contoh yang bisa diambil di sini adalah novel-novel Harry Potter, seperti terutama penggunaan sarana magis yang disebut “pensieve”, yaitu sarana yang digunakan J.K Rowling untuk memunculkan aspek kilas balik dari berbagai karakter, seperti Voldermort atau Harry Potter sendiri.

Jika teknik kilas balik diasosiasikan sebagai pendekatan tradisional, teknik kilas depan justru sering diasosiasikan sebagai pendekatan postmodernis, terutama karena ciri sinkroniknya lebih kuat ketmbang yang pertama. Teknik kilas depan, berbeda dengan kilas balik, biasanya memang digunakan untuk menekankan aspek kejutan dari cerita. Pembaca dibawa ke suatu masa yang berada di depan dari masa yang terjadi pada alur cerita utama (masa kini). Ada penyingkapan yang diharapkan membuat pembaca bertanya-tanya mengenai bagaimana karakter atau plot utama bisa bergerak sampai ke masa yang belum terjadi tersebut. Contoh yang bisa diambil adalah “A Christmas Carol”  dari Charles Dickens. Karakter utama, Ebenezer Scrooge, dibawa ke masa-masa yang akan datang, masa sesudah ia meninggal. Efek yang diharapkan muncul adalah rasa takut dan cemas. Dalam karya Dickens ini, efek bagi pembaca tidak begitu kelihatan karena masa depan yang ditampilkan memang diharapkan hanya berdampak pada karakter utama dalam cerita, bukan pada pembaca. Dengan kata lain, kilas depan itu hanyalah pengandaian yang mungkin terjadi pada karakter utama, bukan penyingkapan apa yang sesungguhnya akan terjadi.

Selain kedua teknik di atas, penggunaan teknik flashside—yang biasa disebut dengan alternate universe atau parallel universe—kerap digunakan dalam teknik bercerita. Dalam literatur klasik dan modern, rupanya teknik ini tidak begitu banyak digunakan seperti kedua teknik di atas. Penggunaan teknik ini justru lebih banyak dilakukan dalam film-film, terutama dalam genre science fiction. Teknik flashside—istilah “flash” dipertahankan hanya supaya dekat dengan kedua teknik sebelumnya—menampilkan bahwa ada dua alur waktu, alur waktu utama dan alur utama lain yang berada “di samping” atau “beriringan” dengan alur waktu utama—dari sinilah datang istilah “side”.  Film-film yang memakai teknik ini tidak sama dalam mengartikan esensi dari alur waktu “sampingan” ini. Alur waktu alternatif itu sering terungkap sebagai suatu universe yang berbeda dari universe tempat alur waktu utama berjalan. Universe berbeda itu kadang ditampilkan sebagai suatu dunia riil yang lengkap tetapi dengan ciri fisik dan hukum-hukum alam yang sama (tapi tentu dengan proses sejarah yang mandiri), misalnya dalam film seri Fringe (karya trio J. J. Abrams, Alex Kurtzman, dan Roberto Orci) atau film seri Sliders; kadang ditampilkan dengan ciri fisik dan hukum-hukum yang berbeda; dan kadang pula universe itu muncul sebagai sesuatu yang sebenarnya hanya eksis dalam pikiran atau jiwa dari tokoh protagonis (atau tokoh lain) dalam alur waktu utama, atau hanya eksis sebagai produk dari artificial intelligence, misalnya dalam tetralogi Matrix. Sering pula, pembuat cerita membuatnya ambigu dan mengundang penonton untuk menebak sendiri eksistensi universe tandingan itu—justru itu yang biasanya digunakan si pembuat cerita supaya cerita mereka lebih menarik.  

Eksistensi flashside—dalam bagian selanjutnya, digunakan istilah “parallel universe” atau “alternate universe” karena lebih sesuai dengan karakter ulasan di dalamnya—yang mengundang spekulasi penonton membuat jalannya cerita, mungkin, lebih menarik. Dalam kedua teknik sebelumnya, pembuat cerita tidak selalu memaksudkan ceritanya memiliki karakter fiksi sains, dalam teknik flashside, cerita hampir selalu memiliki dimensi fiksi sains yang kuat, entah tersirat atau tidak. Pembuat cerita sadar bahwa seiring perkembangan zaman, penonton pun semakin kritis dan dianggap memiliki pengetahuan yang cukup untuk menerima spekulasi mengenai eksistensi parallel universe tersebut. Dengan demikian, penonton dibawa ke dalam level “kenikmatan” yang berbeda jika dibandingkan dengan “kenikmatan”yang dialami oleh penonton atau pembaca cerita yang menggunakan teknik flashback dan flashshadow. 

Seperti terungkap, di dalam film, ternyata ada banyak pola atau model alternate universe yang digunakan. Model-model atau pola-pola yang digunakan tersebut berangkat dari plot cerita yang memang sengaja dijadikan tema utama film. Tentu menarik jika ditanyakan alasan mengapa ada banyak model parallel universe yang dijadikan dasar dari teknik flashside ini, dan apa yang dijanjikan dari cerita-cerita yang menggunakan plot flashside atau alternate universe ini.

Model-Model Alternate/Parallel Universe dalam Tinjauan Fisika

Mengapa dibandingkan dengan teknik flashback dan juga flashforward, teknik alternate universe/parallel universe lebih banyak digunakan dalam karya film abad ke-20 dan sesudahnya? Selain diharapkan mengundang rasa ingin tahu atau ketakjuban penonton atas jalannya cerita, tentu penggunaan teknik alternate universe sejalan dengan perkembangan ilmu astrofisika pada abad ke-20. Spekulasi ilmiah yang muncul dari penemuan-penemuan dalam ilmu ini (dan ilmu terkait lainnya) turut menunjang para penulis untuk mengeksploitasi plot cerita sejalan dengan hipotesis-hipotesis para fisikawan atau astronom. 

Melihat hal itu, tentu orang bisa bertanya, apakah ada model—setidaknya model umum atau sering digunakan—dalam penggunaan teknik plot ini? Menganalisis film-film, entah film layar lebar atau layar kaca, satu per satu, tentu tidak mungkin. Namun, mungkin uraian Rimo Sarkar, seorang pakar fisika dari Universitas Kalyani, India, bisa digunakan. Dalam ulasannya, ia tidak sedang mengulas film atau seni, sebaliknya ia berusaha mengangkat “kemungkinan” adanya universe-universe yang berbeda dan paralel tersebut. Pendekatannya tetap ilmu fisika, walaupun bersifat spekulatif. “The main question isn’t if multiverse exist but how are they like and where they might be,” tulisnya. Ia mengakui bahwa “this thinking abnormal and unrealistic,” walaupun tetap harus dicoba. 

Dalam upayanya itu, ia menemukan ada beberapa model yang kerap dikupas oleh para fisikawan atau juga para peminat fisika populer. Setidaknya ada enam model yang menurutnya cukup dominan dan menarik untuk diamati (untuk kepraktisan tulisan ini, visualisasi model-model tersebut dibuat ringkas dan berbeda dari makalah Sarkar).

Model 1 

Dalam model parallel universe ini, di dalam satu universe, terdapat beberapa “ dunia yang sama”, termasuk hukum fisika/hukum alam dan para penghuninya. Subjek A di suatu “dunia” sama dengan A yang ada di “dunia” yang lain tapi tetap berada dalam satu universe yang sama tapi infinite. Yang membedakan adalah situasi dan kondisi yang ada di dalam masing-masing dunia itu. Boleh jadi dunia yang dimaksud adalah suatu planet yang mirip bumi tetapi berada di ujung terjauh dari universe ini. Dengan demikian, parallel universe di sini seperti “beberapa tempat dengan kehidupan yang sama seperti di bumi”.

Model 2

Dalam model ini, terdapat banyak universe, bahkan sampai tak terhingga, dengan barangkali disertai oleh perbedaan dimensi dan bahkan persamaan fisika yang berbeda. Perbedaan ini bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan salah satu kemungkinan saja. Manusia di universe ini “tidak bisa” mencapai universe lain , dengan sarana apa pun, termasuk menggunakan wahana yang kecepatannya melebihi kecepatan cahaya. Ini karena universe lain bukan berada secara fisik di suatu lokasi geografis dalam universe ini, melainkan di suatu tempat yang berbeda dari universe ini. Di dalam film, salah satu alternatif yang menjadi plot model ini adalah penggunaan konsep “dimensi yang berbeda”.

Model 3

Ada suatu atau beberapa universe yang paralel yang muncul dari suatu hasil atau proses dari satu universe. Di universe yang berbeda-beda itu, ada perbedaan dalam alur waktu yang dialami oleh, katakanlah, subjek A. Subjek A, yang awalnya melakukan atau mengalami sesuatu, pada dua universe berbeda mengikuti alur waktu berbeda dengan dua akibat atau nasib yang berbeda. Di dalam berbagai plot film, biasanya suatu pemantik/pemicu yang bersifat saintis atau fantasi (atau bahkan mistik/supranatural) di suatu universe menyebabkan proses kemunculkan universe-universe yang berbeda tersebut. 

Model 4

Dalam model ini, teori fisikawan Max Tegmark mengenai multiverse level 4 menjadi acuan Sarkar. Model ini mengatributkan suatu parallel universe dengan semboyan “Our external physical reality is a mathematical structure.” Dengan begitu, Matematika bukan saja menjelaskan kenyataan fisik eksternal, melainkan kenyataan fisik itulah matematika. Ini berarti suatu kenyataan fisik yang berbeda menciptakan hukum yang berbeda. Di dalam teori ini, “hal yang penting” bukanlah apakah parallel universe itu mungkin, tetapi berapa level yang ada dari kenyataan yang berbeda ini. Tegmark menyimulasikan model-model multiverse yang dapat difalsifikasi. Dalam bahasa Sarkar: “In a multiverse hypothesis, there is regularly more than one SAS (self-aware substructure) that has encountered a previous existence indistinguishable from yours, so there is no real way to figure out which one is you.” Model ini sangat “inovatif” dan “revolusioner” jika dijadikan dasar plot suatu cerita. 

Model 5

Model ini salah satu model “tradisional”. Parallel universe tercipta akibat suatu proses time travel (perjalanan melintasi waktu), di mana subjek A tiba, katakanlah, di masa lalu pada alur waktu dalam universe-nya sendiri, dan dengan demikian mengakibatkan terciptakan universe lain yang mengikuti alur waktu sendiri yang berbeda. Universe yang parallel itu bisa ko-eksis bersama universe lain (katakanlah yang sebelumnya atau sesudahnya) atau bisa juga tidak. Dalam plot-plot cerita dengan menggunakan teknik ini, “paradoks kakek” bisa dijadikan bumbu atau bisa juga tidak. Subjek A yang melakukan perjalanan waktu ke masa lalu, membunuh kakeknya sendiri. Apakah ia mengubah universenya sendiri atau menciptakan universe yang berbeda? Keduanya sama-sama dimungkinkan.

Model 6

Menurut Sarkar, dalam model ini, semua parallel universe eksis di “tempat yang sama” dan “dalam waktu yang sama”, tetapi entah mengapa berjalan dengan alur waktu masing-masing. Dalam plot-plot cerita yang menggunakan model ini, tentu bisa diberi aksen atau ciri misalnya pada masing-masing universe, subjek A memiliki karakter atau mengalami hal berbeda dan melihat sesuatu “yang kelihatannya sama” secara berbeda pula. 

Refleksi atas Model-Model Sarkar

Dari perbandingan model-model di atas, dapat dilihat bahwa model 1, walaupun menarik tetapi tidaklah terlalu istimewa.  Pada model 2, 4, dan 6, berbagai universe yang berbeda menawarkan suatu wawasan yang lebih unik dan provokatif, dan spekulasi parallel universe dalam model-model inilah yang sering dijadikan plot utama dari berbagai film. Dengan berbagai ciri dan corak serta modifikasi, model-model 2, 4, dan 6, menyediakan suatu latar atau setting cerita yang bisa dieksploitasi untuk mengundang rasa ingin tahu atau sekadar memberi kepuasan atau kenikmatan bagi penonton. Sementara itu, model 3 dan 5 lebih merupakan varian dari model-model sebelumnya, dalam arti kedua model ini secara spesifik menjelaskan bagaimana “ parallel universe tercipta”. Di dalam kedua model itu, spekulasi berfokus pada pemicu/pemantik yang menjelaskan mengapa karakter protagonis atau antagonis atau yang lain mengalami sesuatu yang berbeda atau mengubah alur waktu utama. Pemicu atau pemantik tadi bisa berupa sesuatu yang khas dalam fiksi sains, seperti perjalanan waktu, atau  suatu peristiwa yang hanya bisa dijelaskan secara fisika, atau malah bersifat supranatural atau fantasi.

Alternate Universe dalam Tinjauan Realisme Modal

Termasuk ke dalam model manakah film peraih Best Picture pada ajang Oscar 2023 ini, jika dilihat dari enam “model fisika” di atas? “Duo Daniel” (Daniel Kwan dan Daniel Scheinert), sutradara dan penulis skenarionya, menyebutkan bahwa mereka mulai meriset konsep parallel universe sejak tahun 2010, setelah berkenalan dengan konsep atau filsafat “realisme modal” dalam film dokumenter Ross McElwee, Sherman’s March (1986). Dengan demikian, sepertinya duo Daniel lebih menyandarkan asumsi film EEAAO pada suatu konsep yang lebih filosofis. Sebelum mencari kesejajaran film EEAO dengan salah satu model fisika di atas, sangat perlu untuk mengulas filsafat realisme modal yang disebut mendasari film tersebut. 

Filsuf yang dikaitkan dengan realisme modal adalah David Lewis (1941–2001). Filsuf Amerika yang terkenal dengan dua bukunya, On the Plurality of Worlds (1986) dan Counterfactuals (1973), ini mengeksplorasi dasar-dasar yang menjadi pijakan bagi proposisi-proposisi yang biasanya diangggap hanya sebagai kemungkinan. Suatu proposisi atau pernyataan faktual ditarik atau diangkat dengan metode kontrafaktual–secara harfiah berarti kontras atau berlawanan dengan faktanya–sehingga “muncul” kemungkinan terdapatnya alternatif lain, suatu kenyataan yang mungkin. Proses atau metode ini salah satunya dilakukan dengan membangun suatu skenario perumpamaan. 

Misalnya, menurut Lewis, proposisi kontrafaktual “jika kanguru tidak punya ekor, mereka pasti akan jatuh/roboh” adalah benar jika di dalam semua “dunia” yang paling mirip dengan dunia aktual, di mana anteseden “jika kanguru tidak punya ekor” adalah benar, konkuen bahwa kanguru pada faktnya jatuh/roboh juga benar.

Penelaahan yang awalnya berada pada level filsafat bahasa atau logika di atas dibawa Lewis ke dalam ranah metafisik dengan melemparkan premis yang lebih kontroversial:  ketika kita berbicara mengenai suatu dunia di mana saya menembak di dalamnya dan saya meleset, kita juga sedang berbicara mengenai suatu dunia yang sama “riil” dengan dunia ini, dan meskipun kita berkata bahwa dalam “dunia itu” saya menembak, lebih tepatnya bukan saya yang menembak melainkan suatu “counterpart saya”, tidak meleset alias tepat sasaran. 

Dari sanalah istilah “modal” muncul: dalam tata bahasa (Inggris) suatu “modal”  atau “modal auxiliary” (kata bantu modal) merupakan suatu kata, seperti  “can” (bisa) atau “would” (akan), yang digunakan  untuk mengungkapkan gagasan atau ide mengenai kemungkinan, niat, atau kebutuhan/keperluan. Realisme modal dengan begitu mengungkapkan suatu kenyataan yang bisa, mungkin, akan, ada kecenderungan, untuk eksis. 

Dengan kata lain, realisme modal ala Lewis menemukan bahwa semua dunia yang mungkin (possible worlds) adalah nyata dengan cara yang sama seperti dunia nyata: mereka (dunia-dunia yang mungkin itu) “sejenis dengan dunia kita ini”. Menurut Lewis, predikat “aktual” yang disematkan pada dunia yang kita alami hanyalah bersifat “indeksial” atau suatu “label”, seperti suatu indeks atau entri di tengah lautan entri/indeks dalam suatu ensiklopedia. Sebagai sebuah label, kita juga bisa memberikannya, pada suatu waktu dengan berbagai alasan berbeda, pada dunia yang mungkin. 

Walaupun terlihat kontroversial, pandangan Lewis sebenarnya hanyalah salah satu varian–atau variasi yang ekstrem–dari realisme klasik. Premis pokok realisme adalah bahwa realitas eksis secara independen dari pikiran kita, sebagaimana diperlawankan dengan pandangan non-realis (misalnya fenomenologi atau sosiologi konstruktivis ala Alfred Schutz). 

Keberadaan kenyataan atau dunia yang mungkin, begitu dipikirkan dan diimajinasikan, menjadi sesuatu yang boleh jadi ada, terlepas dari pemikiran atau spekulasi kita. Pendasaran epistemologis realisme yang menggunakan pendekatan “korespondensi”, yaitu bahwa harus ada korepondensi antara apa yang muncul secara kognitif dalam pikiran kita dan apa yang ada di dunia nyata, tidak membuang realisme modal dari jajaran “keluarga besar realisme”. 

Level-level kenyataan dalam dunia yang dipredikati sebagai aktual mengizinkan realisme modal tetap bersifat realis. Dunia-dunia lain yang mungkin didefinisikan sebagai “cara-cara bagaimana hal-hal bisa saja terjadi “. Metode ini menyandarkan premis dan kesimpulannya pada “asumsi” dari bahasa yang digunakan sehari-hari. Premis dan “kesimpulan” berikut bisa dijadikan contoh:

  1. Suharto bisa saja tidak lengser pada tahun 1998.
  2.  Ada cara-cara lain bagaimana hal-hal bisa terjadi.
  3. Dunia-dunia yang mungkin adalah cara-cara bagaimana hal-hal itu bisa terjadi. 
  4. Dengan demikian, ada dunia-dunia mungkin yang lain.

Oleh pendukung realisme modal, argumen di atas disebut sebagai “argument from ways”. Langkah utama dalam argumen ini adalah pada nomor (2) di mana proposisi atau premis (1) diinterpretasikan dalam suatu cara yang melibatkan “kuantifikasi” sebagai “cara-cara”. Kuantifikasi tersebut memunculkan apa yang disebut sebagai “komitmen ontologis”, yang dalam hal ini “komitmen pada eksistensi dunia-dunia yang mungkin. Dengan demikian, secara epistemologis, pendekatan korespodensi  pada dunia-dunia yang mungkin bisa diterima. Sama seperti realisme klasik, dunia-dunia yang mungkin itu pun independen dari pemikiran kita, minimal setelah kita memikirkannya. 

Kesimpulan

EEAAO tampaknya secara sadar bermain-main dengan berbagai konsep dalam fisika dan filsafat, tanpa perlu terikat dengan salah satunya. Salah satu model dari Sarkar yang paling dekat dengan film ini barangkali adalah model 2, 4, atau 6, dengan kecondongan pada model 2 atau 6. Ditinjau dari filsafat, kesesuaian antara konsep “dunia-dunia yang mungkin” dengan model-model itu bisa terlihat. 

Walaupun tidak ada yang spesifik dari penyejajaran antara model-model fisika Sarkar dan filsafat realisme modal Lewis, namun kita bisa sedikit memberikan penjelasan pada kesejajaran ini. Karakter-karakter yang sama dalam berbagai universe pada EEAAO tampaknya memang secara riil eksis secara mandiri satu sama lain. Karakter Evelyn Wang, sebagai protagonis utama film, misalnya, memiliki karakter yang sepadan pada berbagai universe, termasuk “dunia yang ini”, “dunia aktual”. Sama seperti banyak film sains fiksi, EEAAO pun harus berangkat dari suatu dunia yang dijadikan titik atau pijakan awal dalam membangun plot utama. Dengan memakai terminologi Lewis, “dunia aktual” Evelyn Wang adalah dunia yang menjadi “indeks” awal untuk membangun dunia yang mungkin yang secara indeksial akan muncul kemudian.

Mengikuti Lewis, plot cerita utama dalam EEAAO berkembang menjadi suatu realisme yang modal, yaitu bagaimana sesuatu yang abstrak atau mustahil kemudian berkembang menjadi kenyataan yang boleh jadi, bisa jadi, atau mungkin eksis. Dunia-dunia yang mustahil, sebagai titik awal film, berubah menjadi dunia-dunia yang mungkin. Dunia-dunia yang mungkin ini sejajar dengan parallel universe dalam model-model 2, 4, dan 6 dalam pendekatan fisika Sarkar. Jika dalam model-model fisika Sarkar, berbagai universe itu eksis “di samping” universe yang kita kenal, di dalam filsafat Lewis, universe-universe itu adalah penjelmaan dari berbagai dunia yang mungkin, yang mandiri dari pemikiran kita. 

Jika divisualisasikan, eksistensi dunia-dunia yang mungkin atau parallel universe itu adalah sebagai berikut.

Semua dunia atau universe saling mandiri satu sama lain, dengan tentu, setidaknya dalam film EEAAO, ada suatu dunia atau universe yang menjadi titik pijak awal, yang dalam istilah Lewis adalah “dunia aktual”. Semua dunia atau universe memilki alur waktu sendiri yang terpisah satu sama lain, dengan karakter yang sama memiliki sifat dan jalan hidup yang masing-masing berbeda. Tentu, plot utama EEAAO adalah bagaimana dunia atau universe berbeda ini saling bersentuhan dan berkelindan.

Walaupun keduanya kontroversial, baik pendekatan realisme modal maupun model parallel universe Sarkar menawarkan latar belakang yang secara kreatif bisa digunakan oleh film-film untuk bukan hanya mengundang rasa ingin tahu atau ketertarikan lebih dalam pada cerita yang mereka tampilkan, melainkan juga mengajak mengeksplorasi kemungkinan yang dibuka oleh ilmu fisika dan filsafat kontemporer. Melampaui rasa ingin tahu atau penasaran yang dimunculkan teknik kilas balik atau kilas depan, pendekatan cerita yang menggunakan realisme modal atau model parallel universe membuka ruang-ruang yang lebih luas.***

—–

Bacaan

Johnson, James R., “Multiverse Assumptions and Philosophy”, dalam Philosophy and Cosmology, Volume 20, 2018.

Luyang Sun, “Evaluation of Lewisian Modal Realism with Comparison to Classical Realism”, dalam Journal of Education, Humanities and Social Sciences, Volume 8 (2023).

Sarkar, Rimo, “Insight on Some Interesting Models of Parallel Universe”, dalam Physical Education Research Journal  Vol. 4 No. 1 (2022).

Wynn, Freda A., “Alternative Realities/The Multiverse: A Metaphysical Conundrum”, Tesis, Georgia State University, 2006.

——

*Penulis adalah chief editor buku populer-humaniora di sebuah penerbit. Cerpennya berjudul “Omongan” terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik dalam Lomba Cerpen Nasional Bertemakan Bebas oleh Rumahkayu Publishing. Terbit dalam buku “Tarian Hujan: Kenangan yang Terus Bersemi” (Rumahkayu Publishing, 2015).