Mim: dari Ritus ke Situs (Ulasan Buku Puisi Karta Widjaya)

 

Oleh Nizar Machyuzaar

Judul: Membran
(Antologi Puisi Tunggal)
Penulis: Kartawijaya
Penerbit: Yayasan Mata Pelajar Indonesia
Penyunting: Nizar Machyuzaar
Lukisan sampul: Jordi Egea
Desain tata letak: Tim Kreatif MPI
Tahun Terbit: Cetakan I, 2022
ISBN 978-623-92829-6-7
Tebal: 129 halaman

Perjumpaan dengan puisi kadang memerangkap saya dalam domain penyair yang aheng1. Mengapa demikian? Puisi bagai sebuah monumen bahasawi yang lama tak terkunjungi –bagai situs purba. Di dalam situs tersebut terdapat bentuk kehidupan dari sebuah keyakinan tanpa melalui pembuktian faktual dan pencerapan inderawi yang melampaui kuasa abstraksi akali. Dunia kepenyairan memang sering melesap dari tuah kesadaran. Barangkali, domain puisi seperti ini menjadi pusat gravitasi makna buku kumpulan puisi Membran karya Karta Widjaya (KW).

Di dalamnya, domain puisi menginskripsi bentuk-bentuk kehidupan yang khas tak tepermanai. Puisi menjadi semacam situs semiotis yang dikukuhkan oleh pemodelan teks dalam langgam metaforis. Barangkali, ada ritus terbaca dalam situs puisi, seperti dalam sintagma puisi: //aku menyulam huruf bukan karena hendak membasuh makna yang dijerat pengatur laut, daratan, gunung, dan udara. tetapi, ada yang melolong tak putus di geraham sukmaku setelah beberapa darah hangus dalam dendam penyeduh linu //3. Dapat dikatakan bahwa sintagma puisi 2: //aku menyulam huruf bukan karena hendak membasuh makna yang dijerat pengatur laut, daratan, gunung, dan udara. tetapi, ada yang melolong tak putus di geraham sukmaku setelah beberapa darah hangus dalam dendam penyeduh linu //. Dapat dikatakan bahwa sintagma puisi tersebut menjadi awal saya melangkah untuk bere-kreasi dari ritus ke situs dalam buku kumpulan puisi Membran.

Lalu, jejaring pengalaman dan pengetahuan hidup apa saja yang melingkungi sintagma puisi bernada alegoris tersebut? Pemahaman saya masih belum utuh untuk menenunnya menjadi semacam lanskap yang membentuk paradigma puisi. Setidaknya, sintagma tersebut dapat dipahami sebagai penanda atas tegangan antara aku dan bukan aku; jagat alit (manusia) dan jagat ageung (alam semesta); atau penyulam huruf  dan pengatur laut, daratan, gunung, dan udara.  Dalam aku, jagat alit, atau penyulam huruf terdapat asosiasi atau paradigma selingkung pada kesadaran-diri sebagai negasi bukan aku. Sementara itu, terdapat dissosiasi pada sesuatu yang bukan aku –pengatur yang melampaui kesadaran-diri. Bolehlah yang bukan aku ini kita sebut dengan lelembutan 4 sebagai paradigma bukan selingkung pada sintagma puisi di atas.

Mim 5| Koordinat sintagma dan paradigma puisi telah membentuk situs puisi. Dalam andaian ini, domain puisi hadir manakala bentuk-bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup terinskripsi dalam monumen bahasawi. Sang Penulis undur peran manakala situs puisi selesai dibangun. Kata konkret 6 sebagai imbangan dan timbangan diksi; rima dan ritme; serta gaya bahasa diteguhkan menjadi ruang situs dengan kehadiran kata penunjuk dan kata depan. Serakan imaji yang seolah takberhubungan satu sama lain karena enjambemen (pemenggalan baris) disatupadukan dengan kata penghubung sehingga bersua dengan prapemahaman atas bentuk-bentuk pengalaman dan pengetahuan khas yang dimiliki pembaca potensial. Di samping itu, deskripsi suasana dicerap sensor motorik penginderaan tatkala pelekatan kata sifat dan kata keterangan memerikan detail peristiwa. Akhirnya, sebuah bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup terberi situs puisi ke dalam imaji pembaca.

Sampai di sini, bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup yang terberi oleh situs puisi tersebut memendarkan lanskap-lanskap asosiasi dan dissosiasi yang menjadi paradigma situs puisi. Di dalamnya terdapat laku-diri Sang Pembaca potensial yang mencoba memasuki vibrasi makna atau membran dari tegangan asosiasi dan dissosiasi situs puisi. Dalam  situasi resepsi pembaca seperti ini, situs puisi menawarkan dua bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup. Pertama, bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup yang mengacu pada penginderaan konkret. Resepsinya melibatkan sensor motorik anggota tubuh. Darinya, pencitraan menciptakan membran pada motorik sel dan otot tubuh yang seper sekian detik sampai di memori otak. Kedua, bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup yang mengelak sekadar mengacu pada pengalaman inderawi, tetapi menyentuh lelembutan Sang Pembaca potensial. Untuk yang terakhir ini, bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup yang khas telah mengonkretkan ke-aheng-an 7 dalam sinaran ritus-ritus semiotis.

Dalam laku-diri penulis dan pembaca seperti ini, resepsi atas situs puisi masuk ke dalam arus ritus semiotis. Barangkali, dibutuhkan disiplin tubuh, bukan sekadar abstraksi akali. Ritus seperti tirakat, mlaku, atau jalan kepenyairan menjadi  semacam kesepakatan tak tertulis sebagai kode bahasawi, tekstual, dan kontekstual yang  menyasar asosiasi dan dissosiasi situs puisi. Darinya, pengalaman inderawi dan akali dinisbat sebagai penanda bahasa, teks, dan konteks yang membentuk petanda lelembutan. Petanda inilah yang diyakini masyarakat Timur sebagai kaweruh yang mampu menyingkap penanda-penanda, baik di dalam tubuh manusia sebagai jagat alit maupun di dalam tubuh alam sebagai jagat ageung. Dengan kata lain, situs puisi terbentuk dari ritus-ritus laku-diri pembaca potensial semenjana penulis terjarak. Karenanya, proses dari ritus ke situs puisi menuntut keterlibatan disiplin tubuh untuk dapat menyinkronkan asosiasi dan dissosiasi atas  tegangan penanda-penanda jagat alit dan jagat ageung. 

Kurang lebihnya, sinkronisasi asosiasi dan dissosiasi atas tegangan penanda-penanda jagat alit dan jagat ageung ini yang terus dikodifikasi secara sadar dan tak sadar dalam ingatan kolektif sejarah peradaban manusia, pun seorang penyair. Barangkali, tepat pada pernyataan ini kita telah sampai pada mim sebagai perangkat lunak kodifikasi pengalaman dan pengetahuan hidup dalam ingatan kolektif sejarah peradaban manusia. Sebuah sinkronisasi asosiasi dan dissosiasi atas penanda-penanda jagat alit dan jagat ageung yang diwariskan turun-temurun dalam tradisi tutur antargenerasi lintas zaman8.

Mim sebagai satuan terkecil pembawa sifat dalam evolusi budaya boleh jadi mengalami seleksi alam seperti satuan gen sebagai pembawa sifat dalam evolusi tubuh. Karenanya mim yang terseleksi dapat pula dianggap memiliki bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup yang universal sehingga mampu bertahan, bahkan hidup, dalam peradaban lintas zaman. Namun, seperti dipahami bersama, tak sedikit mim yang mati terseleksi oleh capaian-capaian pengalaman dan pengetahuan manusia yang menelanjangi pesona mitis jagat ageung. Hilangnya pesona mitis jagat ageung akan paralel dengan hilangnya pesona mitis jagat alit sedemikian. 

Setidaknya, saya menemukan kodifikasi mim dalam buku kumpulan puisi Membran, seperti lugas  terbaca dalam puisi “Saptawara”, “Pancawara”, “Dalam Pangkur”, … . Namun, pada dasarnya, semua puisi dalam buku kumpulan puisi ini memang bagai membran yang digerakkan oleh sintagma dan paradigma sebagai penanda. Kedua puisi ini telah menginskripsi bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup yang tidak sekadar mengacu pada pengalaman inderawi dan pengetahuan akali, tetapi, lebih dari itu. Sebagai pembaca yang berkunjung ke dalam situs puisi, saya terjebak dalam membran makna yang terbentuk karena vibrasi petanda lelembutan penyair sebagai penanda jagat alit. Dengan semestinya, jagat ageung yang telah tersinkronisasi dengan jagat alit menjadi menyatu dalam situs puisi. Kodifikasi mim dari ritus ke situs puisi memendarkan tegangan asosiasi dan dissosiasi pengalaman dan pengetahuan hidup yang terinskripsi. Hasilnya, dissosiasi menjadi asosiasi; antonim menjadi sinonim; atau kekacauan menjadi keserasian. 

Ritus | Situs “Pancawara” dan “Saptawara” dapat dianggap sebagai ritus yang menuntut disiplin tubuh untuk membuka tabir semiotis pada sistem ketandaan primbon. Lebih khusus, pengodingan fenomena-fenomena jagat ageung dalam sistem ketandaan baku sehingga jagat alit manusia mampu selaras dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Demikianlah ihwal membaca cipta dalam proses <sup9 yang terinskripsi dalam penamaan hari  (pasaran atau perhitungan hari dalam Jawa Kuna). Bait-bait yang membangun subsitus Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon menautkan Sang eMpu-nya wara yang maujud dalam Lelembutan. Hal yang berbeda terbaca dalam tradisi penandaan logosentris ala Cartesian yang berpusat pada Kuasa Manusia atas alam. Namun, inskripsi atas Lelembutan masih terbaca ngungun  karena toh laku-diri dari ritus ke situs “Pancawara” disemat dalam  domain bahasawi, seperti terbaca berikut ini: //semua tumbuh/dalam doa diam//semua yang diam/bersulur temaram//.

Dalam ritus seperti ini, sintagma puisi akan memendarkan asosiasi pada perhitungan enam hari (sadwara)<sup10 dan tujuh hari (saptawara)11. Lalu, Sang Penyair yang menubuh dalam ritus dapat dianggap semesta logos yang siap menggelontorkan imaji-imaji tolak bala //”bul kukus cahya agung/yang tak ada/semoga tersedia”//. Tubuh Sang Penyair adalah dissosiasi situs itu sendiri: //malam repas/bintang berpijaran memanggil matahari/suhu berloncatan/antara panas dan hujan/bertumbukan//. Akhirnya, Sang Penyair bagai Anak bayang menggiring saderek papat kalima pancer. Tak lain tak bukan yang dimaksud adalah lelembutan. 

Sementara itu, dalam situs “Saptawara” terinskripsi mim dari ritus-ritus leluhur dalam pasaran (wara) hari berjumlah tujuh (sapta). Sub-subsitus Radite, Soma. Anggara, Buda, Respati, Sukra, dan Tumpek menarasikan metafor awan, bunga, api, daun, angin, air, dan tanah dan sebagai bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup yang melampaui penginderaan tubuh.  Ada hasrat imanensi ‘keyakinan atas keberdayaan yang bukan aku’ yang menyeruak dalam mim ini. Mim telah menggerakkan sintagma sub-subtema “Saptawara” ke dalam membran lelembutan tak bertuah kesadaran sedemikian. 

Pengalaman inderawi seperti apa yang mendasari leluhur kita sampai pada pengetahuan simbolik atas pasaran tujuh hari ini? Lalu, sebagai mim yang diembuskan melalui membran lelembutan penyair terjarak, ketujuh sintagma itu membangun jembatan metaforis dan mengantarai narasi simbolis tujuh unsur alam dengan dunia aheng. Ketujuh sintagma menjadi penanda bahasawi atas petanda peristiwa dan makna dalam ritus-ritus yang menubuh dalam ingatan sejarah kolektif suatu komunitas. Bahwa mim ini pernah lekat dan likat dengan pandangan hidup leluhur adalah keniscayaan yang terberi oleh situs puisi “Pancawara” pada jeda lintas zaman dengan pembaca potensial sekarang. Pembaca potensial, seperti juga penyair terjarak, terbaca ngungun. Hal ini  lugas dikukuhkan dalam sintagma puisi pada situs “Gunung yang Tersusun dari Batu”: //buih, leluhur hanya kita buat buih/tak tersambung dengan kini//.

Sampai di sini, kita dapat menemukan bahwa berbagai mim yang terinskripsi dalam primbon, geguritan, pupuh atau macapat, mantera, dan secara umum folklore dari leluhur menjadi semacam ritus-ritus semiotis kepenyairan KW dalam usaha menyelaraskan asiosiasi dan dissosiasi; jagat alit dan jagat ageung, lelembutan dan tubuh, atau mim dan gen. Bineritas ritus-ritus semiotis ini menciptakan membran yang mengaktifkan seluruh penginderaan tubuh. Sesiapa menghampirinya, be-rekreasi pada situs-situs puisi dalam kumpulan puisi Membran, mesti menyiapkan laku-diri sebagai pembaca potensial dengan disiplin tubuh yang memancarkan keweruh. 

Situs | Shahdan, sebagai situs, puisi dibangun dari tumpukan bata bernama kata dan diplester dengan diksi dan gaya bahasa. Tumpukan bata tersebut menyusun sebuah dinding? Dinding itulah yang kemudian kita sebut dengan larik. Lalu, larik-larik bersikukuh membangun sebuah ruang bernama bait. Akhirnya, sebagai pembaca potensial, kita terjebak dalam monumen bahasawi. Kita berjalan setahap demi setahap memamah bata, dinding, ruang, dan keseluruhan situs. Tentu, sebelum masuk kita memandang situs tersebut dari kejauhan sambil menatap lebih erat dalamannya melalui pintu judul. 

Bagaimana Sang eMpunya situs membangun monumen bahasawi tersebut? Pada dasarnya, setiap situs puisi menampakkan arsitekturnya sebagai tipografi hasil pemodelan teks. Dari kelugasan pemodelan teks kita lekas menemukan filosofi tipografi yang kadang lesap. Dalam bagian ini, kita akan membahas pemodelan larik dan bait sebagai imbangan dan timbangan enjambemen dan tipografi. Dengan pembahasan ini diharapkan tergambar pemodelan teks yang membentuk arsitetur situs puisi Membran.

  1. Larik

Pemodelan teks dengan memaksimalkan pemenggalan larik terbaca pada situs puisi “Mars Penuntas Mimpi”, “Titik Dua”, “Aku Mengingatmu”, “Tak Boleh Berhenti”, dan lainnya. Pemodelan teks dengan undakan larik yang terpenggal ini menegaskan bahwa enjambemen menjadi aspek utama pembentuk tipografi. Tentu saja, pemodelan teks seperti ini mengidentikkan puisi dengan bangun bait konvensional, seperti terbaca utuh dalam bait I situs puisi “Titik Dua” berikut ini.

TITIK DUA

kita resah dalam kepastian
bahwa hidup bermuara di kematian
sebelum kembali dihidupkan
tetapi, kota-kota menuju beku
jalanan disihir lengang
kerabat dan sahabat bertumbangan
tanpa dendang

Dari pemodelan teks seperti ini, jumlah sintagma puisi tidak identik dengan jumlah larik puisi. Untuk menghitung sintagma puisi, kita dapat membuat parataksis antarlarik ke dalam satuan kebahasaan kalimat secara utuh yang membangun paragraf. Kita dapat membuat parataksis yang menandai kehadiran dua sintagma puisi sebagai berikut ini.

kita resah dalam kepastian bahwa hidup bermuara di kematian sebelum kembali dihidupkan. Tetapi, kota-kota menuju beku, jalanan disihir lengang, kerabat dan sahabat bertumbangan tanpa dendang

2. Bait

Bangun bait konvensional yang disusun dari pemenggalan larik masih berhasil guna diberdayakan dalam kumpulan puisi Membran. Namun, bangun bait berbeda terbaca dalam situs puisi “Kronologi Bertemu dan Kehilangan sebagai Entah”. Saya kutip bait pertama puisi tersebut berikut ini.

KRONOLOGI BERTEMU DAN KEHILANGAN SEBAGAI ENTAH

aku ingin mengukir tangis di telapak tanganmu menjadi bola lampu yang berpijar di ingatan setiap orang, tapi bingkai jendela itu tidak untuk dibuka sebagai penyambung dunia. tertutup sepanjang waktu dan membuat udara menjadi sayap yang rapuh berderai sebagai gerimis di setiap kota yang ditandai dengan trotoar jalanan digali untuk kabel yang menyambungkan kerakusan seolah sedang mengurus bunga mawar yang mekar

Bangun bait puisi di atas disusun bukan dari pemenggalan sintagma ke dalam larik-larik seperti pada pemodelan teks situs puisi “Titik Dua”. Bangun bait di atas disusun melalui kalimat-kalimat dalam paragraf. Tak ada ruang kosong makna yang diciptakan jeda antarlarik karena kelugasan tanda baca titik mengakhiri setiap sintagma puisi. Dalam bangun bait paragrafis seperti ini, jumlah kalimat menjadi ekuivalen dengan jumlah sintagma puisi. Dengan demikian, bangun bait tersebut juga ekuivalen dengan hasil parataksis yang diterapkan pada bait I situs puisi “Titik Dua”. Karenanya, kita pun dapat mengalihbangunkan bait tersebut dengan susunan larik berikut ini –tentu pemenggalan sintagma ini hanya sebuah alternatif saja.

aku ingin mengukir tangis
di telapak tanganmu
menjadi bola lampu yang berpijar
di ingatan setiap orang
tapi bingkai jendela itu
tidak untuk dibuka sebagai penyambung dunia
tertutup sepanjang waktu dan membuat udara
menjadi sayap yang rapuh berderai
sebagai gerimis di setiap kota yang ditandai
dengan trotoar jalanan
digali untuk kabel yang menyambungkan kerakusan
seolah sedang mengurus bunga mawar yang mekar

Namun, beberapa pemodelan teks dibangun dalam bait yang acak. Maksudnya, bait yang menyertakan bangun bait larik dan bangun bait paragrafis. Tentu,  satu sisi kita dapat menganggapkan sebagai ketidakkonsistenan pemodelan teks. Sisi lainnya, pemodelan bait acak justeru dapat dianggap sebagai variasi bangun bait yang dinamis. Berikut ini saya sertakan bait kedua situs puisi “Anatomi Berusaha Romantis” sebagai contoh.

ANATOMI BERUSAHA ROMANTIS

beberapa kosakata yang menunjuk rumah, memang kita miliki
dalam bayangan
mungkin lukisan
terpajang di sederet etalase yang tercermin dari matamu sebelum membasuh muka di pancuran masjid atau balaikota
balai untuk pemilik kota
pemilik balai di kota
kita apa? bahkan sepotong bambu, gagal kita buat untuk peletakan batu pertama, bagi rumahku
tentu rumahmu
hanya sedu

3. Sintagma 

Kata dan perluasan kata dalam frasa dan klausa dapat dianggap sebagai bahan pembentuk sintagma teks. Namun, kata dan perluasannya itu belum menyertakan sisi praksis bahasa. Artinya, kata, frasa, dan klausa adalah bahan baku yang terberi dari pengalaman dan pengetahuan bersama dalam sebuah komunitas pengguna bahasa sebagai kode bahasa. Saat bahasa mengemban fungsi komunikasi antarindividu dalam komunitas pengguna bahasa, satuan kebahasaan kata dan perluasannya itu menjadi kalimat, paragraf, dan wacana atau karangan.

Sementara itu, kalimat dan perluasanya dalam paragraf menjadi satuan kebahasaan pembentuk dan pemodelan teks secara umum. Dalam karangan berlabel puisi, dapat dikatakan bahwa kalimat dan paragraf adalah larik dan bait. Namun, sekali lagi, karena dalam pemodelan teks puisi  menyertakan enjambemen yang menghasilkan larik, sintagma teks dalam puisi menjadi tidak identik dengan kalimat. Jumlah larik puisi pun menjadi tidak identik dengan jumlah sintagma puisi. Pemodelan teks dengan menggabungkan dua bangun bait yang terbicarakan di atas fasih dilakukan oleh KW. Saya menganggap bahwa ini adalah suatu tawaran estetis dalam pemodelan teks puisi, seperti terbaca dalam situs puisi “Membran”, “Pancawara”, “Saptawara”, “Zaman Memanah Angin”, “Frasa Sekolah”, dll. 

Beberapa situs puisi tersusun ajeg dalam kombinasi pemodelan teks yang menyertakan komposisi bangun bait larik dan bangun bait paragrafis. Situs puisi “Membran”, “Frasa Sekolah”, “Tolak Bala”, “Prosa Aku Laba-laba”, Trilogi Bayangan Bulan”, “Janji Api-api”, “Pada Malam Kering”, “Obituari Setelah Pasang”, “Kedasih”, dan “Ode dari Pulau-pulau Terluar” memakai pemolaan teks seperti ini. Saya sertakan dengan utuh situs puisi “Membran” agar terkonkretkan pemodelan teks yang ajeg dalam komposisi dua bangun bait tersebut.

MEMBRAN

aku menyulam huruf bukan karena hendak membasuh makna yang dijerat pengatur laut, daratan, gunung, dan udara. tetapi, ada yang melolong tak putus di geraham sukmaku setelah beberapa darah hangus dalam dendam penyeduh linu

mataku sering berair
iritasi hingga dasar

aku terbuka untuk dilindas atau digendong sang juru kalam, menyebrangi muara dan hutan adalah niscaya, tak perlu menyusun wirid untuk meminta. aku terpasah, jika dihanyutkan. aku tenggelam, jika dibenamkan. aku hanya membran yang memantulkan semua bunyi dari cicit hingga geram

jernih mata air duka
bening mata jiwa berserah

Agustus 2021

Keajegan komposisi situs “Membran” terbangun dalam 4 bait dalam dua sekuel. Sekuel 1 dibangun dari dua bait, yakni bait I yang memakai bangun bait paragrafis dan bait II yang memakai bangun bait konvensional. Sekuel 2 pun dibangun dengan pemodelan teks seperti pada sekuel 1. Kesejajaran dua sekuel ini dapat dianggap merepresentasikan tegangan atas bineritas jagat alit-jagat ageung, asosiasi-dissosiasi, atau mim-gen. Untuk sampai pada asumsi ini, saya sertakan pembahasan merenik berikut ini.

Dalam bait 1, partisipan orang pertama aku menandai kehadiran tokoh. Sementara itu, peristiwa terpatri dalam kata kerja menyulam, hendak membasuh, dijerat, melolong tak putus, dan hangus. Detail latar terkonkretkan dalam rangkaian kata benda, seperti huruf, makna, pengatur laut, daratan, gunung, udara, geraham sukmaku, beberapa darah, dan dendam penyeduh linu. Keteracakan peristiwa disatupadukan dengan pemakaian konjungsi kausalitas karena, konjungsi komplementatif yang, konjungsi penaggabungan dan, konjungsi pertentangan tetapi, dan konjungsi temporal setelah. Selain itu, pembubuhan preposisi di dan dalam meneguhkan imaji latar peristiwa. 

Pada sekuel I, semua kode bahasawi ini membentuk dua sintagma, yakni 1) aku menyulam huruf bukan karena hendak membasuh makna yang dijerat pengatur laut, daratan, gunung, dan udara dan 2) tetapi, ada yang melolong tak putus di geraham sukmaku setelah beberapa darah hangus dalam dendam penyeduh linu. Dua sintagma ini merupakan tindakan konkret penulis terjarak yang tidak identik lagi dengan orang pertama aku (atau populer diistilahkan dengan aku larik puisi). Dalam sintagma 1 tokoh aku membangun situs puisi (aku menyulam huruf) bukan karena jagat ageung (hendak membasuh makna yang dijerat pengatur laut, daratan, gunung, dan udara). Sintagma 2 menjadi alasan mengapa tokoh aku menyusun situs puisi, yakni karena kesadaran bukan aku (tetapi, ada yang melolong tak putus di geraham sukmaku) sebagai jagat alit atas pancaran seluruh penginderaan tubuh (gen). Dalam kesadaran aku atas bukan aku inilah muncul dissosiasi kuasa alam atas tubuh, yakni lelembutan (mim). 

Pada sekuel II terdapat bait III yang memiliki hubungan peristiwa dan makna dengan bait I. Kita dapat menghubungkan kedua bait tersebut dengan konjungsi yang menyatakan hubungan kausalitas (karena atau sehingga), konjungsi yang menyatakan hubungan tujuan (agar, demi, maka), atau konjungsi yang menyatakan hubungan syarat (jika, bila, atau andai). Kita dapat mengonkretkan hubungan kedua bait ini sebagai berikut ini.

aku menyulam huruf bukan karena hendak membasuh makna yang dijerat pengatur laut, daratan, gunung, dan udara. tetapi, ada yang melolong tak putus di geraham sukmaku setelah beberapa darah hangus dalam dendam penyeduh linu

(karena, sehingga, agar, atau jika)
aku terbuka untuk dilindas atau digendong sang juru kalam, menyebrangi muara dan hutan adalah niscaya, tak perlu menyusun wirid untuk meminta. aku terpasah, jika dihanyutkan. aku tenggelam, jika dibenamkan. aku hanya membran yang memantulkan semua bunyi dari cicit hingga geram

Berbeda dengan bait I dan bait III, bait II dan bait IV tersusun dalam bangun bait konvensional dalam undakan 2 larik. Kedua bait ini memiliki hubungan makna  Kedua larik ini dapat dianggap sebuah sintagma dengan berbagai variasi hubungan makna melalui pembubuhan konjungsi seperti terbicarakan sebelumnya. Bait II dan bait IV dapat dibuat dalam sintagma, yakni mataku sering berair karena atau sehingga iritasi hingga dasar dan jernih mata air duka karena, agar, atau jika bening mata jiwa berserah. Akhirnya, kita dapat mengonkretkan kedua bait II dan bait IV ke dalam hubungan peristiwa dan makna berikut ini.

mataku sering berair
iritasi hingga dasar

(karena, sehingga, agar, atau jika)
jernih mata air duka
bening mata jiwa berserah

Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa representasi peristiwa dan makna pada bait I dan bait III menyertakan partisipan orang pertama aku (jagat alit).  Sebuah pernyataan muncul dari kesadaran aku hanya menyulam huruf dalam nada dendam penyeduh linu. Terbaca kesadaran aku atas bukan aku  ke dalam penandaan semiotis jagat ageung sehingga aku hanya membran yang memantulkan semua bunyi dari cicit hingga geram. Tentu, penandaan jagat ageung tersebut terbaca dalam rangkaian peristiwa yang menyusun narasi metaforis. Partisipan orang pertama aku membangun kisahan untuk mengonkretkan sesuatu dibalik adanya penanda jagat ageung, yakni petanda. Lelembutan. 

Sebaliknya,  bait II dan bait IV dengan bangun bait konvensional merepresentasikan petanda atas kesadaran bukan aku yang seolah menjadi koda, konklusi, atau generalisasi atas tegangan bineritas aku-bukan aku, jagat alit-jagat ageung, atau gen dan mim pada peristiwa dan makna di dalam bait I dan III. Pemodelan larik dan bait pada situs puisi “Membran” membuka horison bentuk pengalaman dan pengetahuan sesiapa yang berekreasi ke dalamnya. Sebuah re-kreasi dari ritus-ritus penandaan semiotis sebagai kode bahasa menuju ke situs puisi dalam pemodelan  teks yang menyertakan bangun bait dinamis. Selebihnya, kita memang terjebak dalam pantulan-pantulan membran lelembutan aku dan bukan aku saat mengunjungi semua situs puisi dalam buku ini.

Posskriptum | Pada dasarnya, sintagma puisi dapat mengambil bentuk sebuah pernyataan dalam satuan kalimat. Satu atau lebih larik dalam bangun bait konvensional dapat membangun sebuah sintagma puisi. Namun, sebagai sebuah keutuhan peristiwa dan makna, sebuah bait pun dapat dianggah sebagai sebuah sintagma, sebuah teks puisi dapat dianggap sebuah sintagma, bahkan sebuah buku kumpulan puisi pun dapat dianggap sebuah sintagma.

Sintagma dalam berbagai tingkatan tersebut memendarkan jejaring teks yang melingkunginya. Jejaring teks yang melingkungi sintagma ini dapat diistilahkan dengan paradigma teks. Dalam paradigma terdapat jejaring teks yang sinonim, yang menyubtisusi sebuah sintagma  tanpa mengubah peristiwa dan makna yang terinskripsi di dalamnya. Paradigma selingkung ini dapat diistilahkan dengan asosiasi. Namun, tak jarang sebuah sintagma memendarkan paradigma yang bukan selingkung, yang dapat mengubah peristiwa dan makna yang terinskripsi dalam sebuah sintagma. Paradigma bukan selingkung ini dapat diistilahkan dengan dissosiasi. 

Dissosiasi terjadi karena pemaksanaan menghubungkan peristiwa dan makna yang senyatanya tak berhubungan secara linear atau sinonim. Dissosiasi dapat terjadi karena pemaknasaan hubungan peristiwa dan makna secara sirkular, digresif, dan paralel. Namun, dalam ulasan ini, saya hanya menyertakan dissosiasi secara sirkular atau antonim. Seperti sudah terbicarakan di awal, situs-situs puisi yang termuat dalam buku kumpulan puisi Membran ini telah menginskripsi tegangan antara aku dan bukan aku, jagat alit (manusia) dan jagat ageung (semesta), gen dan mim. 

Dissosiasi sirkular ini memang menjadi salah satu penanda dari hasil cipta, karya, dan karsa leluhur kita sebagai Timur yang kadung dinegasikan dengan Barat. Dalam pandangan leluhur kita terdapat konsep papasangan. Aya beurang aya peuting, aya bungah aya ceurik, aya nu ngersakeun aya nu dikersakeun, dan seterusnya. Namun, saya memercayai bahwa bineritas dissosiasi sirkular ini akan mencapai pada sebuah kebakuan dalam sistem dan struktur fisik dan batin yang ajeg. Sekarang, kita mengenalnya dengan primbon, geguritan, macapat atau pupuh, mantera, dan secara umum folklore.

Dalam frekuensi kaweruh seperti ini kita dapat memaknai keberdayaan bentuk-bentuk pengalaman dan pengetahuan leluhur dalam mim-mim yang terinskripsi situs puisi. Tidak mudah menginskripsi mim-mim leluhur tersebut ke dalam situs puisi. Diperlukan disiplin tubuh dengan mengeksplorasi seluruh daya penginderaan manusia sampai ke batas aku yang bukan aku. Demikian pun mim-mim zaman now, seperti kapitalisme, modernisme, sosialisme, dependensi, sistem global. 

Semua mim, baik dari Barat maupun Timur, sering terperangkap dalam narasi mitos. Narasi ambivalen dalam dua tegangan, yakni 1) tak menuntut pembuktian faktual karena merangsek masuk dalam ranah keyakinan kita sebagai makhluk imanen dan 2) disumpahserapahi sebagai nonsense karena berhubungan dengan cerita fiktif, rekaan, dan bohong. Namun, jika pun kita mengambil sisi mim sebagai mitos ini, kita semakin terjebak pada pengultusan tokoh dalam narasi aheng sebab kita kadung terlahir dari gen logosentrisme, bukan dari saderek papat kalima pancer alias lelembutan. Tabik.

Mangkubumi, 20 September 2021


 

1 Saya gunakan istilah aheng dari bahasa Sunda sebagai padanan kata absurd. Namun, batasan kata aheng melampaui batasan kata absurd yang diserap dari bahasa Inggris. Kata absurd lebih ditempatkan sebagai ranah pengetahuan paralogis, sementara istilah aheng memiliki makna lebih, bukan sekadar pengetahuan yang melampaui abstraksi akali. Kata aheng dapat ditempatkan dalam ranah pengetahuan nirlogis, yakni melampaui abstraksi pengetahuan logis.

2  Sintagma puisi merupakan domain horizontal puisi dalam larik-larik yang membangun referensi-diri teks puisi dan makna otonom teks puisi. Sintagma puisi dapat dikatakan merupakan disposisi penyair dari pertimbangan dan perimbangan paradigma puisi, yakni domain vertikal puisi dari posisi ‘hubungan’ dan oposisi ‘pertentangan’ berbagai bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup penyair.  Dari paradigma puisi ini, pemerkayaan bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup membangun jejaring teks selingkung (asosiasi) yang sinonim dan jejaring teks bukan selingkung (dissosiasi) yang antonim.

3  Puisi “Membran” halaman 6

4  Istilah lelembutan berasal dari bahasa Sunda. Dalam tradisi pemikiran modern, lelembutan dapat disepadankan dengan logos atau pengetahuan sebagai anak sah cogito ergo sum ala Descartes. Namun, dalam keyakinan masyarakat Sunda, pengetahuan tersebut bersifat menubuh sebagai “Saudara Kembar” setiap manusia” sebagai pancaran atas kesadaran batiniah. Pada masyarakat Jawa, lelembutan dapat disepadankan dengan “Yang Liyan”. 

5 Kata mim saya gunakan untuk membedakannya dengan istilah meme. Istilah meme digunakan oleh Charles Dawskin dalam buku The Selfis of Gene (1976). Istilah meme marak naik dipakai oleh warganet di media sosial sebagai kata  serapan utuh. Namun, pola ucap bahasa Inggris melafalkannya dengan satu kata /mim/. Saya gunakan pola serapan pelafalannya untuk membedakannya dengan istilah meme yang sudah kadung dikenal sebagai konten hasil reka kreasi konten yang cenderung dianggap replikasi konten dengan tujuan memberikan hiburan dan kritik. Sementara itu, mim yang dimaksud Dowskin adalah analogi dari istilah gen dari Charles Darwin sebagai satuan terkecil pembawa sifat. Bedanya, gen terjadi dalam evolusi biologis, sementara mim terjadi dalam evolusi budaya. 

6 Aspek puisi diperikan oleh I. A. Richard ke dalam The Methode of Poetry (bentuk puisi) dan The Philosophy of Poetry (Isi Puisi). menurutnya bentuk puisi terdiri atas kata konkret, diksi, gaya bahasa, rima, dan pencitraan. Selain itu, enjambemen (pemenggalan baris) dan tipografi (rancang-bangun puisi) menjadi aspek bentuk yang dapat ditambahkan. Sementara itu, isi pusi terdiri atas tema, amanat, suasana, dan nada.

7 Terbaca lugas dalam sintagma ah, begitu banyak yang gaib, begitu banyak yang raib (situs puisi “Catatan Musim Ketiga”.

8 Dalam tradisi kesastraan Indonesia yang berpangkal pada sastra Melayu, bentuk persajakan menjadi platform yang mampu menyesuaikan dengan seleksi budaya lintas zaman. Pada andaian tersebut, platform syair, pantun, gurindam, karmina, talibun, dan seloka menjadi mim dalam tradisi kesastraan kita. Sementara itu, platform matera nasibnya miris karena berhubungan dengan fungsi sosial mantera sebagai ritus yang pudar pesona mitisnya kerena peslaiona akali yang merasionalisasikannya ke dalam logos, patos, dan etis rigorus. Dari arah lain, kita dapat membandingkan dengan platform pupuh (sastra Sunda) atau macapat (sastra Jawa) yang memang tidak berakar pada sastra Melayu. Kedua platform sastra daerah tersebut kurang berterima dengan tradisi kesastraan Indonesia yang memang berakar dari sastra Melayu. Namun, demam haiku dan tanka yang sangat fleksibel dengan luasnya layar digital smart phone menambah lugas andaian bahwa mim terjadi bukan hanya dalam lintas zaman, melainkan juga lintas budaya. Platform haiku dan tanka dari Jepang mampu menjadi pandemi di negeri kita.

9  Pancawara dapat dianggap sebagai satu bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup leluhur yang menarasikan proses penciptaan, baik jagat alit maupun jagat ageung. Sistem perhitungan lima hari dengan penamaan …………………………… ya pandangan h

10 Berbeda dengan Pancawara, Sadwara merupakan merupakan mim lain.  Hanya saja, mim sadwara tidak terinskripsi dalam buku kumpulan puisi Membran.

11  Saptawara 

——

*Nizar Machyuzaar aktif di organisasi Mata Pelajar Indonesia, Sanggar Sastra Tasik, Teater Ambang Wuruk dan Gelanggang Sasindo Unpad. Karya tulisnya telah dimuat di Laman Artikel Badan Bahasa Kemdikbud, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Kabar Priangan, dan beberapa portal berita digital. Sedangkan karya buku puisinya diantaranya adalah: buku puisi bersama Doa Kecil(1999), buku puisi tunggal Di Puncak Gunung Nun (2001), dan buku Kumpulan Puisi Bersama Muktamar Penyair Jawa Barat (2003). Terbaru, esai ulasan puisi dimuat di artikel laman Badan Bahasa Kembikbud.go.id berjudul (e)M-(e)L Acep.