Rekonsiliasi Ala Kalosara
Oleh Soffa Ihsan
Suku Tolaki telah lama mendiami dataran tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini menyebar di dua wilayah yang cukup luas yakni: Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Kolaka Timur. Persebaran Suku Tolaki ini membawa serta pranata-pranata sosial, politik, ekonomi dan sosial budayanya, yang kemudian tersimpul dalam instrumen adat kalosara.
Secara harfiah, kalosara terdiri atas dua kata, yaitu: kalo berarti lilitan tiga rotan yang melingkar; dan sara berarti adat, aturan, simbol hukum. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).
Secara historis, kalosara merupakan landasan dasar dari keseluruhan sistem sosial budaya suku Tolaki yang mencakup kepemimpinan, kaidah-kaidah hidup bermasyarakat, sistem norma, sistem hukum dan aturan-aturan lainnya. Dalam kehidupan sosial budaya sehari-hari secara umum baik merupakan rakyat biasa, sebagai seorang tokoh formal maupun nonformal, nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam adat kalosara berintikan persatuan dan kesatuan, keserasian dan keharmonisan, keamanan dan kedamaian. Lambang kalosara juga menjadi landasan kultural bagi setiap individu dalam menciptakan suasana kehidupan bersama yang aman damai serta dalam menegakkan aturan baik berupa hukum adat maupun hukum negara (Tarimana, 1993; Su’ud, 1992). Karena itu, bagi masyarakat Tolaki menghargai kalosara berarti mentaati ajaran-ajaran nenek moyang. Apabila berbuat sebaliknya, diyakini akan mendatangkan bala atau durhaka.
Kalosara secara antropologis merupakan unsur kebudayaan yang merupakan suatu pusat dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan. Fokus kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh Linton (1984) disebut cultural interest atau social interest, yaitu suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak amat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1981).
Timbulnya pertentangan sosial bisa terjadi kapan saja, di mana saja, baik antar perorangan ataupun antar kelompok yang dapat meresahkan masyarakat. Konflik yang sering muncul di masyarakat, seperti masalah sengketa hak atas tanah, masalah perkawinan, pinangan ataupun masalah warisan juga diselesaikan dengan menggunakan kalosara (Su’ud, 2008). Begitu juga masalah sengketa perbatasan antar desa yang seringkali sulit dipecahkan dan diselesaikan oleh pemerintah, akhirnya diselesaikan secara adat melalui kalosara. Kebudayaan Tolaki dengan instrumen Kalosara menjadi alat dominan dalam penyelesaian setiap sengketa. Misalnya, dalam penyelesaian sengketa tanah, maka pemerintah setempat bersama tokoh masyarakat dan kepala adat melakukan kegiatan mosehe (pencucian/penyehatan negeri) (Tarimana, 1993). Upacara mosehe merupakan upaya rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai.
Foto Kalosara yang dilengkapi dengan Sirih dan Pinang
Integrasi Budaya
Dalam wawancara dengan akademisi dan budayawan Tolaki, Prof Anwar Hafid, saya mendapatkan banyak informasi tentang kalosara ini. Kalosara ada hubungannya dengan bahasa melalui fungsi kalosara sebagai bahasa lambang komunikasi. Demikian halnya dengan unsur ekonomi melalui fungsi kalosara sebagai penjaga tanaman dan pusat ladang padi, dan melalui makna simbolik kalosara sebagai asas distribusi barang-barang ekonomi.
Kalosara juga ada hubungannya dengan sistem teknologi melalui bentuknya sebagai model dari teknik mengikat dan bentuk alat-peralatan, demikian juga ada hubungannya dengan organisasi sosial melalui makna simboliknya sebagai asas organisasi tradisional, asas organisasi kerajaan, serta sebagai asas politik dan pemerintahan. Kalosara juga ada hubungannya dengan sistem pengetahuan melalui makna simboliknya sebagai konsepsi masyarakat Tolaki mengenai struktur alam nyata. Demikian juga bertautan dengan sistem religi melalui makna simboliknya sebagai konsepsi masyarakat Tolaki mengenai struktur alam gaib.
Pembuktian kalosara sebagai pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki tidak hanya melalui hubungannya dengan beberapa sub unsur dari tiap unsur kebudayaan Tolaki, tetapi juga tampak pada fungsi kalosara dalam upacara sebagai simbol pusat yang mengintegrasikan sistem-sistem simbol yang ada dalam konteks upacara. Sistem-sistem simbol itu tercermin pada alat-alat upacara yang digunakan, waktu dan tempat upacara, dekorasi ruangan rumah upacara, golongan-golongan masyarakat yang mengikuti upacara, pakaian upacara, mantera-mantera dan doa-doa yang diucapkan oleh seorang dukun, dan hidangan makanan upacara.
Alat-alat upacara, seperti hewan korban, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda fisik lainnya, seperti batu, tanah, air, api, semuanya mengandung makna simbol. Hewan korban, misalnya kerbau adalah simbol kemakmuran; tumbuhan-tumbuhan pada umumnya mengekspresikan ide pertumbuhan dan kesuburan. Batu adalah simbol kekuatan dan ketahanan, tanah adalah simbol kesabaran, air adalah lambang kesucian, dan api adalah simbol semangat untuk hidup di masa mendatang. Waktu upacara mengekspresikan proses jalannya kehidupan yang baik di dunia. Waktu yang baik untuk upacara dipilih adalah waktu menjelang matahari naik yang mengekspresikan umur panjang dan banyak rezeki, waktu 14 atau 15 bulan di langit mengekspresikan kegenapan dan kesempurnaan hidup. Pakaian upacara adalah simbol-simbol status sosial seseorang dalam masyarakat. Dekorasi ruangan upacara mengekspresikan alam semesta dan isinya. Mantera-mantera dan doa-doa seorang dukun mengekspresikan keikhlasan manusia dalam mengakui kesalahannya karena secara tidak sengaja telah mengganggu ketentraman makhluk halus dan melanggar norma adat dan agama, dan disamping itu juga manusia memohon kepada Tuhan agar diri mereka yang telah berdosa itu dapat menjadi suci kembali. Pada akhir doanya seorang dukun mengharapkan kiranya Tuhan senantiasa memelihara mereka sehingga terhindar dari bala bencana, dan agar mereka hidup dalam suasana kesatuan dan persatuan, makmur dan sejahtera, kekal dan abadi. Hidangan makanan dan minuman mengekspresikan rasa kesyukuran atas berkah yang telah dikaruniakan, dan sekaligus mengekspresikan cita-cita akan kemakmuran dan kesejahteraan di masa-masa mendatang.
Makna simbolik dari unsur-unsur tersebut terintegrasi di dalam makna simbolik dari kalosara. Ide-ide kesatuan dan persatuan tercermin di dalam makna simbolik dari lingkaran rotan, demikian juga ide-ide keikhlasan dan kesucian tercermin di dalam makna simbolik dari kain putih, dan ide-ide kemakmuran dan kesejahteraan tercermin di dalam makna simbolik dari wadah anyaman dimana lingkaran rotan diletakkan (Tarimana, 1993).
Kalosara merupakan aktivitas kebudayaan yang berfungsi memenuhi dan memuaskan banyak kebutuhan dasar dalam naluri manusia.Kebutuhan-kebutuhan dasar itu misalnya ingin menyampaikan perasaan dan pikirannya kepada sesamanya secara sopan. Untuk itu, mereka menciptakan kalosara dan menggunakannya sebagai bahasa lambang. Mereka butuh akan keamanan ladang dan kebun serta tanaman di dalamnya dalam rangkaian kebutuhan akan makan. Mereka lalu menciptakan kalosara dan digunakan sebagai penjaga ladang dan kebun serta tanaman di dalamnya. Mereka butuh keamanan rumahnya dari gangguan bencana alam dan lain-lain gangguan dari luar dalam rangka kebutuhan dasar akan rasa keamanan fisik. Lalu mereka menciptakan kalosara dan digunakannya untuk pengikat tiang tengah rumah. Mereka butuh kawin dalam rangka menyalurkan kebutuhan dasar seks dan keturunan, karena itu mereka menciptakan kalosara dan digunakannya untuk melamar gadis dan untuk melangsungkan perkawinan. Mereka butuh komunikasi dengan sesamanya dalam rangka kebutuhan sosialnya, maka mereka menciptakan kalosara dan digunakannya untuk mengadakan hubungan antara keluarga dengan keluarga, dan antara golongan dengan golongan. Mereka juga butuh akan keindahan, maka mereka menciptakan kalosara dan memakainya
Mereka ingin tahu tentang sesuatu yang ada dalam alam sekitarnya, maka mereka menciptakan kalosara dan digunakannya sebagai alat ekspresi dan media konsepsi tentang alam semesta serta isinya. Mereka juga butuh kekuatan sakti dan kekuatan sosial, maka mereka menciptakan kalosara dan digunakannya sebagai alat upacara dan alat komunikasi dengan alam gaib (Tarimana, 1995).
Tampak kelebihan kalosara dalam fungsinya memenuhi dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dibandingkan dengan sub unsur lain dari unsur-unsur kebudayaan Tolaki. Misalnya sub unsur kebudayaan “perang’’ hanya berfungsi sebagai alat produksi dalam rangkaian unsur sistem ekonomi, dan berfungsi sebagai senjata dalam rangkaian unsur teknologi.
Tertib Sosial dan Moral
Demi menrciptakan ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat, digunakanlah ajaran-ajaran kalosara sebagai pedoman hidup. Disini, kalosara berfungsi sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral. Misalnya usaha memulihkan suasana kelaparan karena panen tidak jadi, suasana kecelakaan karena bencana alam, suasana kematian karena wabah penyakit, suasana penganiayaan karena permusuhan, dan suasana keretakan karena kesalahpahaman antara orang seorang, antara keluarga dengan keluarga, antara golongan dengan golongan.
Masyarakat Tolaki menganggap bahwa timbulnya suasana yang tidak baik tersebut diakibatkan manusia yang telah melanggar adat dan norma agama. Artinya, perkataan masyarakat Tolaki sendiri telah melanggar ajaran kalosara sebagai adat pokok mereka. Untuk memulihkan suasana-suasana yang demikian, maka tak ada jalan lain yang lebih menjamin berhasilnya pemulihan, kata mereka, kecuali mengadakan upacara dimana kalosara digunakan. Upacara itu disebut mosehe wonua (upacara besar yang diikuti oleh sebagian besar warga masyarakat Tolaki). Dalam upacara itu diungkapkan bahwa mereka telah melanggar adat dan norma agama. Pernyataan ini dikumandangkan oleh dukun upacara agar didengar oleh seluruh peserta upacara dan Tuhan. Dukun upacara juga menyatakan bahwa mereka telah tobat, dan bersumpah bahwa mereka akan kembali kepada ajaran-ajaran kalosara yang sesungguhnya, adat pokok mereka. Akhirnya, dukun upacara meminta kepada seluruh peserta upacara dan warga masyarakat pada umumnya agar kembali tertib dan berakhlak baik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka kembali hidup dalam suasana kecukupan, aman dan tentram, sehat wal afiat, damai, serta suasana kekeluargaan yang akrab, bersatu, kuat, dan kokoh (Tarimana, 1993).
Dalam suasana profan yang bersifat sakral, sering terdengar kata-kata orang tua bahwa barangsiapa yang tidak mentaati kalosara, maka ia menjadi bere-bere olutu ruru mbenao, artinya tersisih dari pergaulan masyarakat umum. Ia tidak dikunjungi oleh sesamanya dan begitu sebaliknya, karena ia telah dianggap berakhlak rendah oleh warga masyarakat. Apabila sudah begitu keadaannya, maka ia menjadi seorang yang disebut mbirito, artinya manusia yang tidak memiliki harga diri lagi. Biasanya orang demikian tidak betah lagi untuk bertahan menetap di lingkungannya, dan terpaksa ia harus pindah ke negeri lain, dan jika ia tidak mampu melakukannya, maka terpaksa ia bunuh diri.
Kalosara Sebagai Pemersatu
Masyarakat Tolaki memperlakukan kalosaranya sebagai alat pemersatu untuk pertentangan konseptual dan sosial terurai di atas bersumber dari pandangan mereka bahwa kalosara itu adalah simbol kesatuan dan persatuan. Abdurauf Tarimana dalam Kebudayaan Tolaki (1995) menjelaskan bahwa kesatuan dan persatuan itu terungkap dalam pertentangan konseptual antara tubuh dan jiwa yang lalu dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara kale-kale, yaitu kalosara yang dipakaikan pada pergelangan tangan dan kaki bayi, dan kalosara pebo, yaitu kalosara yang dipakai sebagai ikat pinggang orang dewasa. Pertentangan konseptual antara kanan dan kiri, demikian antara muka dengan belakang, antara atas dan bawah, dan antara luar dan dalam, semuanya dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara sambiala, yaitu kalosara yang dipakai di dada seorang anak. Pertentangan konseptual antara dunia nyata dan dunia gaib, demikian antara dunia atas dan dunia bawah, dan antara Timur dan Barat, Utara dan Selatan, semuanya dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara eno-eno, yaitu kalosara yang digunakan dalam upacara-upacara ritual di lapangan. Khusus pertentangan konseptual antara orang hidup dan orang mati dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara ula-ula, yaitu kalosara yang digunakan untuk pekabaran tentang adanya orang meninggal, dan kalosara yang disebut kalosara lowani, yaitu kalosara yang dipakai sebagai tanda berkabung. Pertentangan konseptual antara petani dan tanamannya dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosarakinalo yaitu kalosara yang digunakan untuk menjaga ladang dan peternak dan ternaknya dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara selekeri atau kalosara kalelawu yaitu kalosara yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau. Begitu pula antara pemburu dan hewan buruannya dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara o oho, kalosara o taho, kalosara ohotai, kalosara o hopi yaitu kalosara yang masing-masing digunakan untuk menangkap kerbau, rusa, anuang, ayam hutan, dan aneka-ragam burung.
Selain kalosara berfungsi sebagai pemersatu untuk pertentangan-pertentangan konseptual terurai di atas, juga berfungsi sebagai pemersatu untuk pertentangan-pertentangan sosial dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Unsur sosial bertentangan dari klasifikasi dua itu yang dapat dipersatukan oleh kalosara adalah meliputi unsur pertentangan yang terdapat pada klasifikasi dua dalam masyarakat. Unsur-unsur sosial yang bertentangan itu adalah golongan bangsawan dengan golongan budak, atau golongan pemerintah dengan golongan rakyat, keluarga mempelai perempuan dengan keluarga mempelai laki-lai, dan antara person dengan person.
Timbulnya pertentangan sosial antara golongan bangsawan dan golongan budak biasanya bersumber dari perlakuan tidak sewajarnya terhadap satu sama lain. Demikian pula pertentangan sosial antara golongan pemerintah dan golongan rakyat biasanya bersumber dari perbedaan faham dalam soal politik. Sedangkan timbulnya pertentangan antara keluarga dengan keluarga biasanya bersumber dari sengketa yang timbul karena soal kawin lari, dan timbulnya pertentangan antara individu biasanya bersumber dari sengketa yang timbul karena soal harta pusaka.
Semua unsur sosial bertentangan di atas dapat dipersatukan oleh kalosara. Kalosara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan golongan bangsawan dan golongan budak disebut kalosara mbutobu, yaitu kalosara yang digunakan untuk menghadap kepada putobu (kepala wilayah) agar kepala wilayah turun tangan menyelesaikan perselisihan di antara golongan bangsawan-dan golongan budak. Kalosara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan golongan pemerintah dan golongan rakyat disebut kalosara mokole, yaitu kalosara yang digunakan untuk menghadap mokole (raja) agar raja turun tangan memulihkan perselisihan di antara golongan pemerintah dan rakyat. Kalosara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan dua pihak keluarga yang berselisih karena soal kawin lari disebut kalosara sokei, yaitu kalosara yang digunakan untuk membentengi diri dari pihak keluarga laki-laki yang melarikan gadis dari serangan pihak keluarga yang anak gadisnya dilarikan. Kalosara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan orang dengan seorang yang berselisih disebut kalosara mekindoroa, yaitu kalosara yang digunakan untuk menyelamatkan hidup seseorang yang berselisih karena keduanya saling mengancam untuk membunuh lawannya (Tarimana, 1993).
Solusi Kasus
Prospek pemanfataan kalosara dalam kehidupan saat ini tampaknya masih dibutuhkan. Dinamika masyarakat yang begitu cepat dan begitu kompleks, sehingga tidak ada lagi suatu daerah atau komunitas yang tertutup sama sekali dari pergaulan antar etnis, antar latar budaya dan juga antar agama. Di sisi lain, sering timbul gesekan antar individu dan antar kolompok masyarakat dari latar yang berbeda. Dalam situasi seperti ini kalosara diperlukan kehadirannya untuk dapat mencegah dan atau menyelesaikan masalah.
Seperti umumnya terjadi sengketa pertanahan di daerah yang bermula ketika pemerintah menempatkan warga transmigrasi di suatu daerah. Menurut Karsadi (2002) sejak penyelanggaraan program transmigrasi di Kabupaten Kendari dengan menempatkan transmigran dalam jumlah yang relatif besar telah berdampak terhadap menyempitnya lahan pertanian secara tradisional. Keberadaan lahan-lahan pertanian tradisional seperti diungkapkan dari hasil penelitian Su’ud (1986) dan Tawulo (1991) yang menunjukkan sebagai tanah hak adat, yakni: (1) waworaha adalah di atas sebidang tanah terdapat tanaman lama yang ditinggalkan oleh pemiliknya, (2) walaka adalah tempat menggembala atau memelihara ternak kerbau, (3) o epe adalah rawa-rawa tempat tumbuhnya tanaman sagu, (4) anasepu atau anahoma adalah hutan bekas ladang baru atau masih diketemukan bekas jerami (5) o sepu adalah hutan bekas ladang yang telah berumur sekirtar 6 tahun lebih dan setelah itu di olah kembali, dan (6) pinokotei adalah empang alam yang luas yang telah diurus dan dirawat dan menjadi haknya secara turun temurun.
Kasus sengketa tanah di Kecamatan Unaaha Kabupaten Kendari tahun 1994 antara Warga Desa Puosu (Komunitas Tolaki) dengan Warga Transmigrasi berhasil diselesaikan berkat adanya kalosara, yang difasilitasi oleh Bupati Kendari. Bupati meminta tokoh masyarakat dari kedua belah pihak untuk melakukan pertemuan. Selanjutnya dibentuk tim mediasi dari 2 orang tokoh masyarakat Tolaki, satu orang melakukan komunikasi secara intensif dengan tokoh dan kelompok masyarakat trasmigran dan satu orang melakukan komunikasi dengan masyarakat Tolaki. Kedua tokoh berupaya mengidentifikasi aspirasi kedua belah pihak.
Bagi pihak Tolaki menghendaki tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat Bali harus dikembalikan kepada pemilik yang sah dengan membatalkan sertifikat. Sedangkan pihak masyarakat transmigran menghendaki pengakuan tanah yang telah dimiliki dan telah disertifikatkan. Solusi yang akhirnya disepakati adalah tanah yang telah dimiliki oleh warga trasmigran dibagi dua, satu bagian tetap menjadi milik warga transmigran, dan satu bagian dikembalikan kepada pemilik awal yang sah secara adat. Puncak kesepakatan dilaksanakan dalam upacara mombesara (Upacara Pembersihan Negeri) dengan membawa Kalosara dari pihak warga transmigran di bawah bimbingan seorang mediator dari tokoh masyarakat Tolaki, selanjutnya kalosara diletakkan di tengah-tengah kedua belah pihak yang berkonflik. Dalam suasana seperti ini kedua belah pihak menyatakan siap berdamai dan menyatakan saling memaatkan. Setelah pertistiwa ini, maka tidak ada lagi konflik di antara kedua komunitas tersebut.
Era otonomi daerah sering menimbulkan sengketa politik baik antara individu internal satu partai politik, antar partai politik, maupun sengketa pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Belum banyak memanfaatkan instrumen adat lokal (local genius) untuk dijadikan media penyelesaian sengketa politik tersebut.
Selama ini, proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah sering menimbulkan gesekan diantara kelompok pendukung masing-masing. Tidak sedikit konflik sampai di meja hijau atau di Mahkamah Konstitusi, dan beberapa pelanggaran harus berakhir di pengadilan. Instrumen Kalosara memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai media penyelesaian perselisihan secara damai, dengan biaya yang relatif murah.
Situasi sosial politik tersebut memerlukan solusi dalam bentuk kalosara untuk melakukan rekonsiliasi antara individu dan atau kelompok-kelompok sosial politik yang berkonflik. Kehadiran tokoh adat Tolaki sangat penting untuk tampil menjadi pelopor dari solusi konflik dengan menampilkan instrumen kalosara sebagai media utama yang dapat diterima oleh kelompok yang bertikai atau kelompok lain yang ada di sekitarnya.
Contoh kasus lain sebagaimana diungkapkan oleh Prof Anwar Hafid, pernah terjadi perselisihan antara gubernur dengan salah seorang bupati. setelah berlangsung perselisihan selama satu tahun, kedua belah pihak masing-masing bertahan pada pendirian, gubernur menganggap dirinya harus dihormati karena poisisnya lebih tinggi, sementara bupati yang lebih tua usianya merasa sewajarnya dia dihormati oleh gubernur. Munculnya kekhawatiran masyarakat akan keberlanjutan perselisihan tersebut, maka para tokoh masyarakat melakukan musyawarah untuk menyepakati mengutus masing-masing satu orang perwakilan ke gubernur dan satu orang ke bupati. Perwakilan harus berusaha mencari titik temu secara damai, setelah melalui diskusi dari masing-masing mediator. Akhirnya disepakati bahwa kedua belah pihak bersedia bertemua dan saling memaafkan. Selanjutnya dirancanglah pertemuan di suatu tempat atau rumah salah seorang tokoh masyarakat. Pertemuan dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, setelah kedua belah pihak berada di tempat pertemuan. Disitu sebuah kalosara dalam ukuran besar diletakkan di tengah-tengah hadirin. Lalu kedua belah pihak langsung saling merangkul dan menyatakan saling memaafkan. Sejak peristiwa ini, maka keduanya tidak bisa lagi menyimpan dendam untuk selamanya.
Tak pelak, Kalosara sebagai instrumen utama tata kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat, terutama dalam kehidupan sosial budaya. Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk dalam tataran politik dan ekonomi, kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi masih perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Berbagai masalah telah terbukti berhasil diatasi melalui pemanfaatan kalosara. Masalah sengketa tanah, masalah politik, masalah perkawinan dan masalah kriminalitas terbukti kehadiran kalosara sebagai solusinya. Pemanfaatan kalosara sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah.
*Penulis adalah Penggiat Literasi Eksnapiter, Rumah Daulat Buku (Rudalku)