Tony Doludea

Kitab Ratapan: Sastra Ibrani Memulihkan Kemanusiaan

Oleh Tony Doludea

Pada sekitar musim panas 587 SM, Kerajaan Yehuda di Israel Selatan jatuh setelah dikepung oleh Nebukadnezar II sejak Desember 589 SM. Puncaknya adalah kehancuran kota dan runtuhnya Bait Suci Allah, serta pembuangan bangsa pilihan Allah itu ke Babel. Ini merupakan malapetaka paling dahsyat sepanjang sejarah bangsa Israel.

Selama pengepungan, antara 18 sampai 30 bulan, tidak ada lagi makanan di kota itu. Kelaparan yang sangat mengerikan merajalela, rakyat menderita. Pada tahun kesebelas pemerintahan Raja Zedekia itu, Nebukadnezar menerobos tembok kota Yerusalem dan merebut kota itu.

Zedekia dan pengikutnya melarikan diri tetapi ditangkap di dataran Yerikho dan dibawa ke Ribla. Di sana, Zedekia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri anak-anaknya dibunuh, kemudian ia dibutakan, dibelenggu dengan rantai tembaga dibawa sebagai tawanan ke Babel, di mana ia menjadi tawanan sampai kematiannya.

Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal raja Babel itu masuk ke Yerusalem. Ia membakar rumah TUHAN, rumah raja dan semua rumah di Yerusalem. Semua rumah orang-orang besar dibakar dengan api dan tembok sekeliling kota Yerusalem dirobohkan.

Tiang-tiang tembaga, kereta penopang dan “laut” tembaga yang ada di rumah TUHAN dipecahkan dan tembaganya diangkut ke Babel. Kuali-kuali, penyodok-penyodok, pisau-pisau dan cawan-cawan serta segala perkakas tembaga yang dipakai untuk menyelenggarakan kebaktian. Perbaraan-perbaraan dan bokor-bokor penyiraman, baik yang dari emas maupun yang dari perak. Seraya, imam kepala dan Zefanya, imam tingkat dua dan ketiga orang penjaga pintupun ditangkap.

Nebuzaradan menangkap kepala pasukan raja, lima orang pelayan pribadi raja, panitera panglima pasukan dan enam puluh orang lainnya. Ia membawa mereka kepada raja Babel. Lalu raja itu menyuruh membunuh mereka di Ribla, di tanah Hamat.

Sisa-sisa rakyat yang masih tinggal di kota itu dan para pembelot yang menyeberang ke pihak raja Babel dan sisa-sisa khalayak ramai sekitar 20 ribu orang diangkut ke pembuangan. Hanya beberapa orang miskin yang disisakan untuk menjadi tukang-tukang kebun anggur dan peladang-peladang.

********

Dalam kalender liturgi (peribadatan) Ibrani, peristiwa dahsyat kehancuran Yerusalem itu diperingati dengan melagukan isi Kitab Ratapan. Kitab yang merupakan salah satu dari kitab-kitab dalam Megillot (Scrolls), Lima Gulungan Kitab.

Lima Gulungan (Ibrani: חמש מגילותחמש מגילות, Hamesh Megillot) adalah bagian dari Ketuvim (Tulisan), bagian utama ketiga dari Tanakh (Alkitab Ibrani) atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen.

Lima Gulungan ini terdiri dari Kitab Kidung Agung, Kitab Rut, Kitab Ratapan, Kitab Pengkhotbah dan Kitab Ester. Sedangkan Tanakh itu terdiri dari Torah (Ajaran) atau Taurat, yaitu Lima Kitab Musa, Nevi’im (Nabi-nabi) dan Ketuvim (Tulisan).

Kitab megillot ini dalam tradisi Ibrani dibacakan secara khidmat di depan umum di sinagoge sepanjang tahun. Kitab Ratapan dibacakan pada tanggal sembilan bulan Av (Tisha B’Av atau sekitar pertengahan Juli-Agustus). Ketika dibaca di sinagoge, kitab ini dilantunkan dengan tanda nyanyian. Syair-syair Kitab Ratapan ini merupakan sebuah peringatan kebingungan, penderitaan dan kesedihan umat TUHAN yang mengalami kehancuran.

Kata ratap, Eikhah (Ibrani: אֵיכָה) artinya “mengapa”, “dengan cara apa” atau “betapa”. Varian kata eikhah, yaitu אֵיךְ, eikh dan אֵיכָכָ֤ה, eikhakhah dapat digunakan sebagai kata tanya dan kata seru.

Kitab Ratapan merupakan kitab unik yang berisikan syair-syair, yang tersusun rapi, sebagian besar ditulis dalam bentuk “nyanyian pemakaman”. Syair-syair tersebut mengungkapkan duka mendalam, kebingungan dan ketidakpercayaan orang yang hidup dalam kengerian, tetapi masih tetap mencari TUHAN Allah mereka. Namun demikian, hal ini tidak terkait dengan sebuah perasaan manusia belaka. Kitab ini adalah renungan teologis yang mendalam dan tanggapan manusia mengenai keberdosaan dan kesengsarannya.

Dalam peribadatan Ibrani, meratap memiliki peran yang sangat paradoksal. Meratap memungkinkan umat untuk mengungkapkan perasaan putus asa yang sangat luar biasa dan keterasingan yang sangat gersang. Namun pada saat yang sama, umat dapat menyaksikan bahwa TUHAN telah menyediakan penghiburan dan pendamaian bagi mereka semua.

Meratap sering kali disalahartikan sebagai keluhan kepada Allah. Tetapi meratap itu sebenarnya merupakan doa permohonan yang diucapkan orang saat sedang berada di tengah kemelut, putus asa dan hilang harap.

Sesungguhnya meratap itu merupakan puji-pujian, namun beranjak dan bergeser secara perlahan, dan itu berakar kuat di dalam iman percaya kepada Allah. Meratap mengungkapkan ketiadaan harapan lagi, namun meratap bukannya tanpa harapan. Karena orang yang meratap itu menolak untuk mengakhiri relasinya dengan Allah. Peratap memilih untuk tetap taat dan setia kepada Allah. Meskipun tidak ada sedikitpun tanda nyata bahwa Allah datang menengok dan memberi pertolongan.

Meratap adalah suatu bagian alamiah dan wajar dalam diri manusia, siapapun dia. Meratap dalam sebuah komunitas merupakan pengalaman saling berbagi penderitaan, yang memperkokoh solidaritas di antara manusia. Juga menjadi sumber pengharapan bagi umat manusia sebagai satu keluarga.

********

Kitab Ratapan ditulis sekitar 586-575 SM, oleh penyair yang diyakini adalah Yeremia (Ibrani: יִרְמְיָה, Arab: إرميا). Yeremia adalah salah seorang nabi Perjanjian Lama yang berkarya sebelum bangsa Israel (Kerajaan Yehuda) ditaklukkan dan penduduknya dibuang ke Babel selama 70 tahun. Yeremia juga menulis Kitab Yeremia.

Yeremia lahir di Anatot sekitar 645 SM, tidak lama setelah pemerintahan raja Manasye berakhir (686-642 SM). Ia adalah anak imam Hilkia dari Anatot. Yeremia dipanggil TUHAN sebagai nabi ketika ia masih muda dan belum pandai bicara, yaitu pada masa pemerintahan raja Yosia (627 SM).

Yeremia merupakan salah satu nabi yang bernubuat tidak hanya kepada orang-orang Yehuda, tetapi juga ikut mengalami sendiri apa yang dinubuatkannya tersebut. Nubuatan Allah disampaikannya melalui pengalaman hidupnya sendiri dan itu merupakan bentuk tindak kenabian.

Yeremia menentang nubuat para nabi-nabi palsu. Yeremia menentang dua kejahatan besar yang ada pada zamannya, yaitu penyembahan berhala dan ketidakadilan. Yeremia sangat peka terhadap masalah kemanusiaan.

Dengarlah firman TUHAN, hai sekalian orang Yehuda yang masuk melalui semua pintu gerbang ini untuk sujud menyembah kepada TUHAN! Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel: Perbaikilah tingkah langkahmu dan perbuatanmu, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini. Janganlah percaya kepada perkataan dusta yang berbunyi: Ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN, melainkan jika kamu sungguh-sungguh memperbaiki tingkah langkahmu dan perbuatanmu, jika kamu sungguh-sungguh melaksanakan keadilan di antara kamu masing-masing, tidak menindas orang asing, yatim dan janda, tidak menumpahkan darah orang yang tak bersalah di tempat ini dan tidak mengikuti allah lain, yang menjadi kemalanganmu sendiri, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini, di tanah yang telah Kuberikan kepada nenek moyangmu, dari dahulu kala sampai selama-lamanya. (Yeremia 7)

Tetapi Yeremia menyaksikan sendiri bahwa umat Tuhan itu justru melakukan dan hidup penuh dengan dusta. Mereka mencuri, membunuh, bersundal dan bersumpah palsu, membakar korban kepada Baal dan mengikuti allah lain. Kemudian mereka datang berdiri di hadapan TUHAN, di rumah yang atasnya nama TUHAN dikuduskan. Sambil berseru: Kita selamat!

Mereka berhasil memugar Bait Tuhan menjadi sarang penyamun, melalui tipu daya dan laku tidak adil. Kota Allah mereka jadikan pejagalan dengan kedegilan hati dan kejahatan hidup mereka. Umat ini telah menyakiti hati TUHAN dengan mempersembahkan korban curahan kepada allah lain. Namun sebenarnya bukan hati TUHAN Allah yang telah mereka sakiti, tetapi hati mereka sendiri, sehingga mereka mendapat malu.

Sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: Sesungguhnya, murka-Ku dan kehangatan amarah-Ku akan tercurah ke tempat ini, ke atas manusia, ke atas hewan, ke atas pohon-pohonan di padang dan ke atas hasil tanah; amarah itu akan menyala-nyala dengan tidak padam-padam. (Yeremia 7)

Tetapi mereka rupa-rupanya tidak mau mendengarkan dan tidak mau memberi perhatian, melainkan mereka mengikuti rancangan-rancangan dan kedegilan hatinya yang jahat. Mereka memperlihatkan belakangnya dan bukan mukanya. Mereka menegarkan tengkuknya, berbuat lebih jahat dari pada nenek moyang mereka. Inilah bangsa yang tidak mau mendengarkan suara TUHAN, Allah mereka, dan yang tidak mau menerima penghajaran!

********

Penyair Kitab Ratapan mengawali syair ratapannya dengan mengibaratkan kota Allah itu sebagai seorang putri, seorang janda yang menderita malu dan mananggung kesedihan yang mendalam.

Ah, betapa terpencilnya kota itu,
yang dahulu ramai!
Laksana seorang jandalah ia,
yang dahulu agung di antara bangsa-bangsa.
Yang dahulu ratu di antara kota-kota,
sekarang menjadi jajahan.

Pada malam hari tersedu-sedu ia menangis,
air matanya bercucuran di pipi;
dari semua kekasihnya, tak ada seorangpun yang menghibur dia.
Semua temannya mengkhianatinya, mereka menjadi seterunya.

Lenyaplah dari puteri Sion segala kemuliaannya;
pemimpin-pemimpinnya bagaikan rusa yang tidak menemukan padang rumput;
mereka berjalan tanpa daya di depan yang mengejarnya.

Yerusalem sangat berdosa, sehingga najis adanya;
semua yang dahulu menghormatinya, sekarang menghinanya, karena melihat telanjangnya;
dan dia sendiri berkeluh kesah, dan memalingkan mukanya.

Tuhan telah menginjak-injak puteri Yehuda, dara itu, seperti orang mengirik memeras anggur.
Karena inilah aku menangis, mataku mencucurkan air;
karena jauh dari padaku penghibur yang dapat menyegarkan jiwaku;
bingunglah anak-anakku, karena terlampau kuat si seteru. (Ratapan 1)

Peratap percaya bahwa Yerusalem mengalami putus asa, karena itu merupakan penghukuman Allah yang setimpal dan adil terhadap pemberontakan dan dosa-dosanya. Baginya Sion memang layak untuk tidak mendapatkan pelipur ilahi karena dia telah memiliki banyak kekasih, yang kemudian justru meninggalkanya.

Penderitaan Sion sangat luar biasa dan mengejutkan, penyair ikut prihatin dengannya namun masih tetap menahan diri. Ia mengamati dan melukiskan keadaannya. Nadanya sangat tenang dan ia tetap mengambil jarak.

Sion berbicara kepada Allah secara langsung dan mengakui segala kesalahannya serta mengungkapkan bahwa Allah itu benar adanya. Ia memohon supaya Allah mau memandang dan memberikan perhatian kepada segala penderitaannya tersebut.

Sion merindukan ada orang yang mau memahami penderitaan beratnya itu dan dapat menyelamatkannya dari siksaan tersebut. Ia sangat sedih melihat penderitaan penduduknya, khususnya anak-anak yang telah dibawa ke pembuangan Babel. Ia mengungkapkan rasa malu dan putus asa. Namun ia tidak mendapatkan tanggapan dari Allah. Penderitaannya terus berlanjut dan ia meratap tanpa henti.

Acuh tak acuhkah kamu sekalian yang berlalu?
Pandanglah dan lihatlah, apakah ada kesedihan seperti kesedihan yang ditimpakan TUHAN kepadaku, untuk membuat aku merana tatkala murka-Nya menyala-nyala!

Dari atas dikirim-Nya api masuk ke dalam tulang-tulangku; dihamparkan-Nya jaring di muka kakiku, didesak-Nya aku mundur;
aku dibuat-Nya terkejut, kesakitan sepanjang hari.

Segala pelanggaranku adalah kuk yang berat,
suatu jalinan yang dibuat tangan Tuhan,
yang ditaruh di atas tengkukku,
sehingga melumpuhkan kekuatanku;

Tuhan telah menyerahkan aku ke tangan orang-orang, yang tidak dapat kutentangi.
Ya, TUHAN, lihatlah, betapa besar ketakutanku,
betapa gelisah jiwaku;
hatiku terbolak-balik di dalam dadaku,
karena sudah melampaui batas aku memberontak;
di luar keturunanku dibinasakan oleh pedang,
di dalam rumah oleh penyakit sampar.

Dengarlah bagaimana keluh kesahku, sedang tiada penghibur bagiku;
seteru-seteruku mendengar tentang kecelakaanku,
mereka gembira karena Engkau yang mendatangkannya!
Datanglah kiranya hari yang telah Engkau umumkan itu,
dan biarlah mereka menjadi seperti aku!

Tuhanlah yang benar, karena aku telah memberontak terhadap firman-Nya;
dengarlah hai segala bangsa,
dan lihatlah kesedihanku;
dara-daraku dan teruna-terunaku pergi sebagai tawanan. (Ratapan 1)

Penyair mengungkapkan segala tindakan penghancuran Allah yang disebabkan karena murka-Nya. Ia menuduh Allah, bukan Yerusalem. Sikapnya terhadap Sion juga telah berubah, nada bicaranya penuh gairah. Ia berada di pihak Sion, ia berbincang dengannya, berusaha mengiburnya. Menjelaskan apa yang terjadi dan menguatkannya untuk membawa perkara itu ke hadirat Allah.

Penyair sadar bahwa bencana itu bukan tanggung jawab Sion saja, tetapi juga para nabi yang gagal dan terutama juga Allah sendiri. Ini karena Allah telah membuat musuh-musuhnya menjadi besar dan kuat, sehinggga Ia harus bertanggung jawab juga terhadap kelaparan yang tak tertanggungkan serta kematian anak-anak Sion.

Lihatlah, TUHAN, dan tiliklah,
kepada siapakah Engkau telah berbuat ini?
Apakah perempuan harus makan anak kandungnya,
anak-anak yang masih dibuai?
Apakah dalam tempat kudus Tuhan harus dibunuh imam dan nabi?

Terbaring di debu jalan pemuda dan orang tua;
dara-daraku dan teruna-terunaku gugur oleh pedang;
Engkau membunuh mereka tatkala Engkau murka,
tanpa belas kasihan Engkau menyembelih mereka!

Seolah-olah pada hari perayaan Engkau mengundang semua yang kutakuti dari sekeliling.
Tatkala TUHAN murka tak ada seorang yang luput atau selamat.
Mereka yang kubuai dan kubesarkan dibinasakan seteruku. (Ratapan 2)

Penyair melanjutkan ratapannya dengan menghadirkan seorang yang hidup selalu penuh dengan penderitaan, tidak kalah pahitnya dari siksaan yang tengah diderita oleh Sion. Nada suaranya sudah tidak begitu bergairah lagi. Dalam upaya menjalani penderitaan seberat itu, orang ini selalu berusaha untuk menemukan pengharapan di tengah-tengah keputusasaan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang di sekelilingnya.

Orang ini memakai hikmat dalam tradisi mereka dan mengingat tindakan kemurahan Allah pada masa lalu, serta menggugah lagi perjanjian Allah kepada mereka. Dari putus asa, terbit pengharapan. Lantas pengharapan itu sirna, kehancuran di sekelilingnya terlalu dahsyat.

Penderitaan tersebut membuat orang ini mencucurkan air mata. Sama seperti mereka juga, ia selalu berseru memanggil Allah, untuk memperhatikan mereka dan memberikan perntolongan.

Akulah orang yang melihat sengsara disebabkan cambuk murka-Nya.

Ia membidikkan panah-Nya, menjadikan aku sasaran anak panah.

Ia menyusupkan ke dalam hatiku segala anak panah dari tabung-Nya.

Laksana beruang Ia menghadang aku, laksana singa dalam tempat persembunyian.

Ia membelokkan jalan-jalanku, merobek-robek aku dan membuat aku tertegun.

Ia meremukkan gigi-gigiku dengan memberi aku makan kerikil; Ia menekan aku ke dalam debu.

Ia mengenyangkan aku dengan kepahitan, memberi aku minum ipuh.

Engkau menceraikan nyawaku dari kesejahteraan, aku lupa akan kebahagiaan.

Ia menghalau dan membawa aku ke dalam kegelapan yang tidak ada terangnya.

Sesungguhnya, aku dipukul-Nya berulang-ulang dengan tangan-Nya sepanjang hari.

Ia menyusutkan dagingku dan kulitku, tulang-tulangku dipatahkan-Nya.

Ia mendirikan tembok sekelilingku, mengelilingi aku dengan kesedihan dan kesusahan.

Ia menempatkan aku di dalam gelap seperti orang yang sudah lama mati.

Ia menutup segala jalan ke luar bagiku, Ia mengikat aku dengan rantai yang berat.

Walaupun aku memanggil-manggil dan berteriak minta tolong, tak didengarkan-Nya doaku.

“Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu.”

Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.

Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:

Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!

“TUHAN adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.

TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.

Karena tidak untuk selama-lamanya Tuhan mengucilkan.
Karena walau Ia mendatangkan susah,
Ia juga menyayangi menurut kebesaran kasih setia-Nya.
Karena tidak dengan rela hati Ia menindas dan merisaukan anak-anak manusia.

Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN.

Adalah baik bagi seorang pria memikul kuk pada masa mudanya.

Biarlah ia duduk sendirian dan berdiam diri kalau TUHAN membebankannya.

Biarlah ia merebahkan diri dengan mukanya dalam debu, mungkin ada harapan.

Biarlah ia memberikan pipi kepada yang menamparnya, biarlah ia kenyang dengan cercaan.

Marilah kita menyelidiki dan memeriksa hidup kita,
dan berpaling kepada TUHAN.
Marilah kita mengangkat hati dan tangan kita kepada Allah
di sorga:
Kami telah mendurhaka dan memberontak, Engkau tidak mengampuni.

Air mataku mengalir bagaikan batang air,
karena keruntuhan puteri bangsaku.
Air mataku terus-menerus bercucuran,
dengan tak henti-hentinya,
sampai TUHAN memandang dari atas dan melihat dari sorga.

“Ya TUHAN, aku memanggil nama-Mu dari dasar lobang yang dalam.
Engkau mendengar suaraku!
Janganlah Kaututupi telinga-Mu terhadap kesahku dan teriak tolongku!
Engkau dekat tatkala aku memanggil-Mu,
Engkau berfirman: Jangan takut!”
(Ratapan 3)

Penyair kitab membawa para peratap menyaksikan keadaan kota yang luluh lantak dan sekolompok orang berkeliaran di jalan-jalan. Semuannya hancur lebur akibat kelaparan dan masyarakatnya telah runtuh.
Para nabi dan imam-imam telah menumpahkan darah orang yang tidak bersalah di Sion, itulah yang membuat murka TUHAN turun ke atas mereka semua.

Jerit minta tolong dan pengharapan terdengar, namun Allah tetap diam. Memang benar Allah bertahta atas segalanya, tetapi seruan “Mengapa?” bertanya atas semua penderitaan yang dipikul oleh umat-Nya.

Kitab ini berakhir tanpa penutup. Segala hal yang dapat diucapkan telah dikatakan. Umat Allah telah kelelahan, namun jerit tangis minta tolong kepada Allah untuk diingat, diperhatikan, dijenguk, bergema dalam kekosongan.

Ingatlah, ya TUHAN, apa yang terjadi atas kami, pandanglah dan lihatlah akan kehinaan kami.

Engkau, ya TUHAN, bertakhta selama-lamanya, takhta-Mu tetap dari masa ke masa!

Mengapa Engkau melupakan kami selama-lamanya, meninggalkan kami demikian lama?

Bawalah kami kembali kepada-Mu, ya TUHAN, maka kami akan kembali, baharuilah hari-hari kami seperti dahulu kala!

Atau, apa Engkau sudah membuang kami sama sekali? Sangat murkakah Engkau terhadap kami?

Penyair ingin mengajarkan bahwa penderitaan manusia karena keberdosaannya itu tidak boleh ditolak dan disangkal. Tetapi harus dikumandangkan sebagai bentuk protes untuk melampiaskan perasaan mereka dan mengungkapkan semuanya itu kepada TUHAN Allah.

Ratapan kitab ini berakhir dengan paradoks, penyair mengakui bahwa TUHAN itu memang penguasa abadi semesta. Namun umat Allah tidak dapat menemukan TUHAN. Penyair tetap mempertahankan ketegangan ini.

Penyair tidak menyajikan kesimpulan yang baik dan indah, sama seperti pengalaman rasa sakit dan penderitaan semua manusia. Bahwa ratapan, kesedihan dan doa merupakan bagian penting dari perjalanan iman umat TUHAN di dunia yang telah rusak ini.

********

Meratap adalah bagian wajar dalam hidup manusia, dalam keadaan seperti itu orang masuk ke dalam partentangan antara kehadiran dan ketiadaan Allah. Allah yang diimani namun tetap tersembuyi. Ratapan membuat dua kenyataan ini menjadi satu secara paradoksal, yang awalnya kelihatannya saling bertentangan secara logis, namun saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.

Allah tidak hadir, bahkan tidak ada, tidak ada untuk dikasihi. Namun dorongan untuk mengasihi tetap mendesak, atau paling sedikit berharap suatu saat nanti Allah hadir dan tidak diam lagi.

Meratap membuat pengharapan tetap hidup meskipun orang sedang berada dalam cengkeraman keputusasaan. Ia membuat percakapan dan hubungan antara manusia dan Allah tetap berlangsung meskipun Allah tidak hadir.

Di hadapan penderitaan, orang tidak wajib mempertahankan keberadaan Allah, atau bahkan menyakini bahwa kelak akan ada masa depan yang cerah. Yang harus dibuat adalah membentuk komunitas yang peduli, menghargai dan mendengar peratap. Peratap diterima dan bebas untuk mengungkapkan kesengsaraanya dalam kata-kata yang jujur. Sehingga percakapan dengan Allah dan sesama manusia dapat tetap berlangsung.

Meratap mengandung makna sosial. Ungkapan dan berbagi perasaan secara jujur akan memperkokoh ikatan personal dan menguatkan solidaritas bersama.

Meratap tidak berasal dari peribadatan, bukan dari Israel, bukan dari siapapun juga, melainkan bermula dari umat manusia itu sendiri. Meratap adalah “ucapan manusia” dan “muncul dari kenyataan eksistensial manusia”. Meratap percaya bahwa “ada sesuatu di luar kenyataan ini, yang dapat mengubah eksistensi manusia tanpa harus menghancurkannya.”

Meratap adalah doa yang meneguhkan kemanusiaan. Ia menegaskan pertanyaan roh manusia, mengakui pertanyaan itu sebagai karakter kesadaran manusia yang gigih dan mendasar.

Meratap merupakan saat di mana seseorang dan suatu komunitas mengungkapkan secara gamblang ulang harapan mereka kepada Allah. Meratap memperlihatkan secara jelas karakter dialogis iman, yaitu perbincangan yang jujur terbuka, blak-blakan dan sedikit urakan, namun puitis. Lebih penting lagi, ketika iman bersama tersebut dilakukan dalam satu ritus ratapan. Meratap mengandung belas kasih dan keadilan ilahi, serta pelayanan paling berhasil untuk menahan TUHAN Allah tetap di dunia ini.

*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.

——————

Kepustakaan

Archer, Gleason L., Jr. A Survey of Old Testament Introduction.
Moody Press, Chicago, 1974.

Bergant, Diane. Lamentations. Abingdon Old Testament Commentary
series. Abingdon, Nashville, 2003.

Dearman Andrew, J. Jeremiah and Lamentations. Zondervan, Grand
Rapids, 2011.

Harrison, R. K. Introduction to the Old Testament. Wm.
B. Eerdmans Publishing Co., Grand Rapids, 1969.

Harrison, R. K. Jeremiah and Lamentations: An Introduction and
Commentary. Inter-Varsity Press, Illinois, 1973.

Lalleman, Hetty. Jeremiah and Lamentations: An Introduction and
Commentary. Inter-Varsity Press, Nottingham, 2013.

Salters, R. B. A Critical and Exegetical Cemmentary on
Lamentations. T&T Clark International-A Continuum Imprint, New York-London, 2010.

Swindoll, Charles R. The Lamentations of Jeremiah. Bible Study
Guide. Insight for Living, Fullerton, 1977.

Waltke, Bruce K. An Old Testament Theology. Zondervan Publishing
House, Grand Rapids, 2007.