Lukisan Motinggo Busye Disobek-Sobek

Oleh Aisul Yanto

Halaman depan Balai Budaya sekitaran tahun 1990-an masih diteduhi oleh beberapa pohon yang cukup besar. Di sebelah kanan dari arah kalau kita masuk lewat pintu gerbang, tumbuh pohon besar dari jenis karet, dengan diameter kurang lebih dua setengah meter. Tumbuh menempel pada tembok pembatas dengan tanah kosong sebelah. Tembok pembatas itu hingga hari ini masih berdiri menyatu dengan tembok baru yang dibangun oleh perkantoran tiga lantai sebelah. Bangunan selasar terbuka yang terletak di belakang ruang kantor, yang kini digunakan bagi berbagai kegiatan antara lain; setiap hari selasa dari pagi hingga magrib, kegiatan seni sketsa dsb. Di Hari Jumat biasanya ada yang bermain/berlatih musik-biola oleh sastrawan Martin Aleida dkk, pada waktu itu masih berupa tanah kosong, ada beberapa pepohonan yang tak terlalu besar tumbuh disitu, tempat tumbuh pohon Kedondong sekarang, dulu ada pohon salam yang cukup tinggi tumbuh disitu.

Di bagian belakang gedung Balai Budaya tahun sembilan puluhan masih memiliki halaman selebar kurang lebih dua setengah meter bila diukur dari berdirinya tembok belakang Balai Budaya, dengan tanah sebelah belakang dibatasi oleh tembok terbuat dari batu merah setinggi kurang lebih dua setengah meter dengan tembok telanjang, artinya tanpa acian semen halus, entah aciannya sudah rontok karena dimakan usia atau memang aslinya dibangun tanpa acian, yang jelas pada waktu itu pagarnya/tembok tua itu terlihat susunan batu merahnya. Bila siang hari ketika kami kepanasan di dalam berbagai ruang Balai Budaya yang memang pada waktu itu tak ada yang ber AC.  Kami ngadem di halaman belakang  yang cukup dingin udaranya karena tak terkena sinar matahari siang, disitu karena udaranya yang adem, temboknya pada ditumbuhi lelumutan.

Entah mulai kapan halaman belakang gedung Balai Budaya tersebut menjadi tak memiliki halaman, hingga hari ini apabila ada tukang yang sedang memperbaiki pipa air wastafel yang menjadi bagian dari toilet di ruang galeri utama/ tengah, harus ijin memasuki halaman rumah orang, tetangga belakang.  Ohh…mai Gad, betapa menjadi repotnya. Sebelum ada atau berdiri selasar terbuka yang sekarang, semasa saudara Mustika sebagai pengelola dibangun ruang tertutup dengan pintu dan jendela tersendiri, tetapi sudah belasan tahun tak pernah selesai, mangkrak hingga atapnya ambruk, kekumuhannya hampir menyerupai kandang babi. Hingga sekitar empat tahunan yang lalu telah berdiri selasar terbuka tersebut. Bangunan yang ambruk tersebut memiliki bangunan toilet kecil tersendiri yang belum pernah terpakai, terpisah dari gedung ambruk tersebut.  Tembok toilet ini telah berfungsi sebagai pembatas dengan tanah belakang. Toilet yang baru sekarang ini letaknya sedikit bergeser maju ke depan.

Sebelum pohon karet besar yang tumbuh di halaman depan dipotong, sempat menjadi tempat disandarkan sejumlah lukisan karya beberapa seniman.  Ada lukisan karya Motinggo Busye, Delsy Syamsumar dalam ukuran yang besar.  Karya Delsy yang disandarkan di luar di bawah pohon itu cukup besar formatnya sekitaran dua meter lebih, tetapi yang paling besar adalah lukisan karya Motinggo Busye panjangnya sekitar empat atau lima meter, awalnya diletakan di tempat atau ruang diskusi yang berada di depan ruang majalah Horison. Menumpuk banyak tergeletak di bawah, di atas lantai.

Kalau tak salah bekas acara pameran bersama sehubungan dengan koperasi seniman. Mungkin karena sudah bertahun lamanya akhirnya dikeluarkan, ditaruh menyandar di pohon karet tersebut. Karena sudah berbulan di luar ruang, lukisan panjang karya Motinggo tersebut kanvasnya sudah mulai robek-robek. Yang parah sobekan dari bagian atas ke bawah hampir setinggi kanvas itu sendiri ada beberapa sobekan seperti itu. Di suatu siang kebetulan aku berada di luar di depan kantor, lalu ada penulis Hamsad ikutan di luar untuk menghirup udara segar. Kemudian ia melihat lukisan besar yang sudah mulai koyak-koyak tersebut, lalu ia masuk ke dalam mengambil cutter. Ia memotong dengan alat cutter, lukisan tersebut pada bagian yang ada tanda tangan Motinggo. “Mau dibingkai nanti lukisan Busye ini, diselamatkan” tukasnya.  Objek lukisan itu sendiri kalau tak salah tentang kehidupan nelayan dalam pewarnaan yang didominasi warna-warna panas kemerahan….

Usai Subuh 1832021.Kisah-kisah ringan seputar Balai Budaya.

 

*Penulis adalah mantan anggota komite seni rupa DKJ. Sekarang pengurus Balai Budaya Jakarta