Koreografi yang Sehari-Hari dan Laku Keseharian yang Koreografis

Oleh Lestari

Teater Black Box Salihara seperti biasa begitu hening dan temaram. Kursi penonton sudah hampir penuh, tetapi gelap masih membentang di panggung. Perlahan, satu sorot cahaya menghujani pojok kiri panggung. Semakin terang sorot lampu, semakin terlihat sepetak kotak berwarna putih di pojok kiri panggung. Lampu sorot dari arah berlawanan juga ikut menerangi barisan itu. Semakin terang cahaya-cahaya itu, semakin jelas bahwa sepetak kotak itu ternyata merupakan barisan orang-orang. 

Sembilan orang penampil telah berbaris membentuk tiga shaf. Mereka berdiri tegak menghadap ke belakang panggung, dibalutkan kemeja putih dan celana hitam. Orang-orang tersebut bukan ingin memamerkan wibawa dalam performativitas pasukan baris-berbaris (PBB). Justru, mereka adalah sekelompok penari yang akan menarasikan koreografi buah karya Annastasya Verina dalam pekan kedua Festival Helatari 2023. Frasa-frasa koreografi yang dituturkan Verina memang diadopsi dari gerakan baris-berbaris. Namun, tema baris-berbaris itu hanya menjadi simbolisasi dari tawaran lain yang berusaha ia sampaikan. Tulisan ini bukan hanya mengulas karya, tetapi juga mengurai tawaran yang coba Verina sampaikan melalui koreografinya yang berjudul “Waktuku Ku Kecil, Tidak besar”. 

Fragmen pertama diawali dengan gerak membisu para penampil selama kurang lebih lima menit. Kebisuan para penampil justru memantik berbagai pertanyaan berseliweran di kepala, “Kapan mereka bergerak?” “Apa selama sejam ke depan kita hanya akan disuguhi pundak dan bokong para penampil?” Lalu, tiba-tiba saja, suara berat dan tegas dari kelompok barisan berseru memecah keheningan, “Siap grak!” 

Suara itu sontak menimbulkan reaksi kaget dalam diri. Para penampil berbalik badan, roma kaget itu muncul lagi kala melihat tatapan tajam mereka. Kemudian, terdengar suara “Hormat grak!”. Mereka pun memberi hormat ala hormat upacara. Dilanjut lagi dengan perintah berhitung, orang-orang dari penjuru kanan depan ke penjuru kiri belakang mengucap dengan bergantian angka 1-9, diakhiri angka 10 yang diucap serentak. 

Frasa-frasa koreografi masih tampak begitu militeristik. Barulah pada fragmen kedua, terdapat gerakan unik yang seakan menggubah gerak-gerak militeristik PBB menjadi gerak yang koreografis. Ketika komandan pleton (danton) menginstruksikan lencang kanan, anak buahnya mengambil jarak sepanjang satu lengan kanan, sambil berteriak A, I, U, EEEEE AAA! Meski diteriakkan dengan tegas, tetapi nada mereka di akhir mengingatkan saya pada lagu joget dangdut. Fragmen tersebut mulai memunculkan rasa jenaka ketimbang rasa kaku dan tegang karena unsur-unsur militer. 

Koreografi “Waktu Ku Kecil, Tidak Besar” karya Annastasya Verina di Teater Salihara. (Sumber: dokumentasi Salihara)

Fragmen ketiga lebih unik karena gerak baris-berbarisnya hampir tak pernah ditemui dalam formasi PBB mana pun. Ketika sang danton berkumandang “Istirahat di tempat grak!”, pasukannya menaruh tangan di depan kaki, menyilangkan kedua kaki, dan menekuk lutut supaya bisa duduk. Mereka menerjemahkan instruksi istirahat dengan gerak duduk di lantai. 

Fragmen di atas bukan saja unik, tetapi menyuguhkan pendobrakan terhadap gerak-gerak  militeristik dan kaku dari PBB. Gerak-gerak PBB secara dominan tentu berada pada level tinggi atau posisi berdiri. Tetapi, melalui bahasa koreografi Verina, ia menambah dinamika level dalam gerak PBB: level melantai. Melalui lensa artistik, hal ini menjadi salah satu unsur yang menjadikan gerak-gerak PBB terlihat koreografis. 

Dalam fragmen-fragmen selanjutnya, Verina semakin menunjukkan pendobrakan dalam formasi baris-berbaris melalui bahasa koreografi. Dalam instruksi balik kanan, Verina mengganti gerakan memutar tubuh dengan gerakan melompat. Lalu, di dalam gerakan periksa kerapihan, Verina menambah gerak-gerak memutar lengan. Dalam gerak jalan di tempat, Verina mengubah cara berjalan dengan kaki-kaki pasukan diangkat ke belakang, bukan ke atas. Gerak tersebut mirip dengan orang yang berlari atau berjalan di atas aspal panas. Melalui fragmen-fragmen yang padat dengan gerakan pendobrakan itu, maka tampak bahwa ada suatu kekangan yang dirasakan para pasukan ketika berupaya bergerak patuh.

Selain bermain-main dengan pendobrakan gerak dominan PBB, Verina juga bermain-main dengan pola lantai yang beragam. Ia membentuk pola buka formasi, membuat para pasukan menyebar dengan rapi, saling bertukar posisi dan melebarkan jarak satu sama lain. Lalu, ia membuat pasukannya berganti hadap sehingga tampak orang-orang di dalam barisan menghadapkan tubuh ke penjuru yang berbeda-beda. 

Dari posisi penari yang sudah mengacak dan berjarak, perlahan mereka kembali ke posisi baris tiga shaf. Pola lantai yang demikian semakin memperlihatkan kepiawaian Verina dalam memainkan dinamika pola lantai. 

Fragmen selanjutnya memperlihatkan fragmen yang semakin padat dengan gerak dan pola lantai. Fluktuasi tempo gerakan semakin terasa, mulai dari lamban, cepat, lamban, cepat. Fragmen ini diisi berjalan ke setiap sudut panggung dengan langkah kecil-kecil dan cepat. Lalu, dari tengah panggung pasukan menghadap ke belakang serong kanan dan berjalan sambil melompat. Pola gerak dan formasi ini diulang sebanyak tiga kali. 

Koreografi “Waktu Ku Kecil, Tidak Besar” karya Annastasya Verina di Teater Salihara. (Sumber: dokumentasi Salihara)

Hingga akhirnya pada momen ketika mereka menghadap ke belakang serong kiri panggung, suara “Brak!!” menginterupsi panggung. Seorang pasukan jatuh, diikuti satu orang lainnya. Seolah-olah mereka pingsan betulan. Beberapa detik kemudian, mereka bangun lagi dan kembali pada posisi siap. 

Momen di mana dua orang terjatuh menjadi tanda sebuah kejanggalan pada panggung, seakan sebuah konflik terjadi di dalam narasi koreografi Verina. Kejanggalan itu tak berakhir pada momen itu saja. Kejanggalan terjadi ketika seseorang keluar dari kelompok barisannya, kemudian ia menggerakkan pola yang sama dengan fragmen sebelumnya sendirian. 

Kelompok barisannya hanya diam, kemudian memulai pola yang sama seperti orang yang keluar dari barisan. Pola ini memiliki kerumitan yang indah karena ada unsur gerak canon, di mana orang yang keluar dari barisan itu memulai suatu pola gerak, lalu baru diikuti kelompoknya. Alhasil, gerak mereka seakan berkejaran. 

Namun, konflik ternyata terus menginterupsi panggung. Seseorang tiba-tiba menonjok seorang rekan berbarisnya, membuat pola gerak menjadi sedikit mengacau. Akhirnya, mereka berdua keluar dari barisan dan berkejaran. Pleton pasukan yang ditinggalkan tetap menggerakkan fragmen sebelumnya.

Keadaan semakin kacau ketika ada satu orang yang keluar dari barisan dan bergerak sendiri menjauhi kelompoknya. Pandangan penonton menjadi semakin ramai dengan dua orang kejar-kejaran, satu orang bergerak sendiri, dan kelompok barisan tetap bergerak pada kepatuhan. 

Kemudian, tanpa aba-aba apa pun, seorang yang berada di luar barisan perlahan melepas kancing baju. Terlihat pakaian bermotif bunga-bunga dikenakannya. Lalu, ia melepas ikat pinggang, menurunkan celana, dan melepas sepatu. 

Kelompok pasukan berhenti bergerak, seolah-olah Verina ingin memfokuskan gerak rebel seorang yang melepas seragam putih hitamnya. Lalu, terdengar orang itu berteriak

AIUE, AEO, AO, IE, AO, I, sendirian. Ia seperti sedang mengacaukan frasa dalam gerak lencang kanan. Kemudian, gerakan orang itu diinterupsi oleh instruksi danton untuk berhitung. Kelompok pasukan segera berhitung dari 1-10, sedangkan orang di luar pasukan buru-buru mengenakan pakaiannya lagi dan cepat-cepat masuk ke barisan. 

Koreografi “Waktu Ku Kecil, Tidak Besar” karya Annastasya Verina di Teater Salihara. (Sumber: dokumentasi Salihara)

Pasukan diam sejenak, kemudian terdengar pola ritmis yang berulang dari alat musik drum. Pola-polanya serupa dengan mars tentara. Diiringi pola ritmis perkusi, pasukan berjalan kecil-kecil mengelilingi panggung. Lama kelamaan, tidak ada keteraturan formasi pasukan karena satu per satu orang keluar dari barisan dan menggerakkan pola baris-berbaris sesuka mereka. Panggung kembali ramai dengan gerak dan pola yang acak. 

Melalui fragmen-fragmen penuh kejanggalan dan gerak yang mengacau, tampak bahwa dinamika koreografis yang Verina bangun berupaya untuk menggugat gerak-gerak yang selama ini mengekang. 

Kekacauan dalam gerak dan pola lantai pun berangsur-angsur mereda. Pasukan yang tersisa enam orang itu tiba-tiba diam membeku. Salah satu dari mereka melantunkan lagu “Waktuku kecil, hidupku amatlah senang”. Lalu, kelima penampil lainnya ikut bernyanyi. Fragmen ini seperti memecah emosi orang-orang yang duduk di kursi. Penonton yang tadinya disibukkan dengan rasa intens dari keriuhan gerak para penampil menjadi cukup emosional. Emosi ini terdorong oleh suara beberapa penampil yang mulai terisak-isak ketika menyanyi lagu “Waktuku Kecil”. Ternyata, fragmen ini tidak hanya membuat penonton emosional, tetapi juga absurd karena di tengah momen emosional dan lantunan lagu masa kecil, seorang penampil ada yang duduk, yang satunya ada yang melakukan gerakan push-up.

Lalu, perlahan lampu meredup dan suara nyanyian terdengar semakin lirih. Fragmen ini mungkin akan segera berakhir, menjadi penutup rangkaian koreografi PBB Verina. 

Namun, Verina menyimpan kejutan di fragmen terakhir. Tiba-tiba, suara gitar dan drum bergenre metal memecah keheningan Teater Salihara. Lagu-lagu dengan nuansa metal yang kental mengiringi para penampil. Mereka bergerak bebas dan mengacau, sekacau pesta klub malam dini hari. Tiba-tiba saja ada yang keluar panggung dan membawa sikat gigi, menggosok giginya seperti orang tidak waras. Lalu, ada yang mengangkat kasur dan melakukan gerak roll depan di atasnya. Bahkan, ada yang menyemprotkan party spray dan menaburkan tepung. Yang paling konyol, seorang penampil membawa seember air dan gayung. Ia mengguyur kepala dan menggosok-gosokkannya seakan sedang keramas. Frasa-frasa koreografi berubah drastis dari yang berbau militeristik PBB menuju laku keseharian yang liar.

Panggung seakan kehilangan kendali. Semakin keras suara penyanyi metal dan semakin keras genjrengan gitar elektriknya, semakin liar para penampil bergerak. Tak hanya perilaku yang liar, tetapi yang banal juga disajikan di panggung. Gerakan aktivitas seksual, minum miras, mencekoki orang, naik ke atas bahu orang lain, itu semua tersaji sedemikian kacau di atas panggung. 

Hal yang paling absurd, tiba-tiba seorang penampil membawa masuk motor Honda C70 dari depan panggung, tepatnya dari arah penonton masuk. Motor itu kemudian ditunggangi juga oleh penampil lainnya, lalu mereka mengelilingi panggung dengan wajah bangga. 

Kekacauan itu akhirnya diakhiri dengan membekunya musik metal. Para penampil ikut beku dan membisu. Semua sorot lampu padam. “Waktu Ku Kecil, Tidak Besar” mencapai pungkasan. 

Koreografi “Waktu Ku Kecil, Tidak Besar” karya Annastasya Verina di Teater Salihara. (Sumber: dokumentasi pribadi)

Frasa-frasa gerak PBB yang Verina gunakan dan digubah menjadi gerak yang koreografis seakan menjadi simbol dari gugatan dan upaya untuk keluar dari kekangan. PBB menyimbolkan sebuah ruang penuh kekangan karena di dalamnya norma kesopanan dan kedisiplinan mendominasi cara bergerak dan bertindak orang-orang yang tergabung di dalamnya. Saking dominannya norma-norma itu, seringkali kepatuhan harus mendahului segala-galanya. Bahkan, mendahului keinginan dan kebebasan diri. Ruang-ruang yang terkekang itu mengingatkan saya akan lingkungan di mana kepatuhan menjadi alat utama dalam proses kemenjadian seseorang. Bahkan, lingkungan sehari-hari, seperti rumah, sekolah, tempat kerja, atau bahkan tempat kita menuangkan hobi. Maka, koreografi PBB Verina seolah-olah menarasikan upaya untuk keluar dari ruang-ruang penuh kepatuhan dan kekangan.

Gugatan Atas Praktik Koreografi yang Umum

Lebih lanjut, fragmen kejutan dari Verina saya pikir bukan hanya ingin menaruh sensasi hura-hura di akhir setelah ketegangan yang dibangun Verina dalam koreografi PBB. Fragmen tersebut mengaburkan antara gerak-gerak keseharian dan gerak-gerak koreografis. 

Namun, hal itu justru menjadi tawaran baru dalam memandang koreografi dan perilaku sehari-hari. Frasa-frasa koreografi yang dirangkai dalam fragmen terakhir jadi terasa begitu dekat dan familiar dengan pola gerak dalam ruang keseharian. Bahkan, Verina tidak membuatnya terlihat lebih gemulai atau menggunakan gerak-gerak yang membuat tubuh melipat dan meliuk. Verina menampilkan koreografi yang senyata dengan laku keseharian. 

Sementara, dunia koreografi seringkali didominasi dengan gerak-gerak yang selalu berangkat dari tradisi yang sudah pakem, ditinggikan, dan harus dipatuhi. Lagi-lagi, terdapat unsur kepatuhan yang kadang mengekang daya kreatif dan tubuh yang ingin bebas. Melalui fragmen terakhir, kita bisa melihat bahwa gerak koreografi bisa diambil dari laku keseharian dan gerak keseharian kita bisa menjadi sangat koreografis. Upaya Verina mengambil gerak sehari-hari menjadi rangkaian koreografi ini sekaligus menjadi gugatan dalam praktik koreografi yang sudah umum. 

 

*Lestari, mahasiswa Sastra Prancis yang memilih untuk bergerak aktif dalam komunitas tari Liga Tari UI Krida Budaya. Saat ini sedang menjelajah dalam ranah kritik seni pertunjukan. Karya-karya berupa esai seni pertunjukan telah dipublikasikan di media daring, seperti Omong-omong.com dan Salihara.org.