Puisi-Puisi Zaim Rofiqi

HUJAN PERTAMA

Keheningan terpapar begitu luas
dan panjang.

Di luar,
pekarangan rumah menjelma halaman
sebuah buku purba
entah siapa
penulisnya.

Dan rerintik hujan itu,
rintik-rintik hujan pertama,
menjelma kata-kata
jajaran kata yang tumpah
dari langit.

Frasa demi frasa pun terbentuk
kalimat demi kalimat tersusun
paragraf demi paragraf berjajar
di tanah,
hamparan yang kini basah.
Dan kilat, petir
juga guruh dan guntur
menjelma tanda baca:
koma, titik, titik-koma,
tanda seru,
tanda tanya.

Dan kau, aku
juga mereka
hanya bisa bertanya:
apakah cerita yang sedang dikisahkan,
lakon apa yang sedang digelar,
di sana?

 

KACA KRISTAL

Dan inilah yang terjadi:

Mimpi menjelma cahaya dalam air
yang mengeruh.
Sebab seseorang telah mengubal
dasar yang semula tenang.

Harapan menjadi pecahan kaca kristal
yang tertebar
berkilau, memendar
cemerlang
namun menggoreskan luka
saat kita menyusurinya,
memijaknya.

Saat itulah kita seperti tidur, senantiasa tertidur
dan ketika terbangun
kita tak tahu kota apa
yang terhampar:
rerumah dengan pintu tertutup
berhimpitan
wajah-wajah datar
tanpa mata tanpa telinga
berlalu-lalang
toko-toko terbuka
tanpa barang dagangan
akanan memudar,
mengabur dari pandangan.

Lalu kita kembali tidur, selalu tidur
dan ketika terbangun
kita tak tahu
apakah waktu
masih seperti yang dulu:
sebuah jembatan yang menghubungkan
dua daratan tak bertuan,
dua pulau yang lama
sangat lama
terkoyak kemarau panjang.

Kita tak tahu
apakah waktu akan kembali menjadi
seperti dulu:
bongkahan es yang mencair perlahan
menjelma genangan demi genangan
yang selalu memberi kesegaran.

 

KATA-KATA

Ada kata-kata yang membuat kita terhanyut
menyelam begitu dalam
hingga mencapai dasar sebuah samudera
dan kita tak melihat apa-apa
sebab di sekeliling
yang ada hanya kegelapan.

Lalu kita mencoba merangkai mereka
dengan kata-kata lain,
hingga sebersit terang terpancar
dan kita mulai mengapung
mendekati permukaan samudera.

Namun segulung ombak besar menerpa
dan rangkaian kata-kata itu
terberai, tersebar, terpencar-pencar
kembali menjelma pulau-pulau kecil
terpisah satu sama lain
dan kita, sendirian,
terbenam lagi begitu dalam
hingga dasar samudera
tempat pekat kegelapan meraja.

 

PADA AKHIRNYA

Pada akhirnya telah kita lakukan semua.
Dan mimpi pun sirna
dan kembali apa yang terhampar hanyalah jajaran rerumah,
jembatan yang menua; pohon-pohon, semak,
dan rerumputan yang akan kembali menjalar
membiru, menghijau.

Pada akhirnya telah kita terima semua.
Dan mimpi pun tiada
dan apa yang ada hanyalah cakrawala
akanan yang menampung hal-ihwal
sejak mula:
rerupa wajah yang senantiasa berubah,
jejalan yang tak mengenal sudah,
pepucuk gunung yang seperti tak goyah,
satu matari penentu arah.

Pada akhirnya telah kita saksikan semua.
Dan mimpi pun hilang warna.
Semua
kembali ke semula.
Dan kini, kita di sini
dunia masih tergelar
tapi tak ada lagi janji
tak ada lagi yang harus ditepati.
Batu membatu, rebah
Tanah tergelar, pasrah
Air mendingin, tenang
Angin berkesiur, melenggang.
Semua
kembali seperti sediakala,
semua, segala hal yang kita sebut: kenyataan.

 

PARA PECINTA

Terlalu cepat kami tahu rahasia itu:
di balik pintu
mimpi kami
ternyata keliru.

Terlalu cepat tersibak tabir itu:
percintaan kita
ternyata semu.

Masih kami ingat
dulu
di masa kanak
kami belajar mencintaimu
meski kami tak tahu:

dengan terbata
kami eja nama-nama
mencoba menjangkaumu
merengkuhmu
hingga terujarkan namamu
hingga fasih kami sebut asma-asma itu
dan kami percaya
petuah para guru,
leluhur kami,
akan jadi nyata:
“Dzikirkan namanya. Dan kalian akan bercahaya.
Seperti semesta.”

Masih kami ingat
dulu
saat remaja
begitu sering kami kunjungi rumahmu
meski tak ada sambutan darimu:

tanpa malu
kami merayumu
dan dengan riang
kami nyanyikan lagu-lagumu
sambil berharap muncul sayangmu
dan kami menjadi kekasihmu
sebab kami percaya
karena itu
wejangan leluhur,
para pendahulu,
akan menjelma:
“Cintai dia. Dan kalian akan sempurna.
Seperti semesta.”

Masih kami ingat
dulu
begitu dalam kami memujamu
meski kami tak tahu
bagaimana menyentuhmu:

seperti para istri
dengan tubuh wangi
telanjang dan suci
kami sajikan diri
di depan kamarmu
dan berharap
kau mau bercumbu
kami bisa merumrummu
sebab kami yakin
nasihat para guru,
para pendahulu,
akan menjelma, menjadi nyata:
“Cumbui dia. Dan kalian akan sempurna.
Seperti semesta.”

Tapi selalu saja tertutup kamarmu
dan kami tak tahu
dengan apa lagi kami harus memanggilmu
menyebutmu
menjangkaumu
membujukmu
merayumu
agar terbuka kamarmu
agar bisa kami sentuh wajahmu
kami usap kulitmu
kami raba bulumu
kami kucup bibirmu
kami pagut tubuhmu
lalu kita bercumbu
saling rumrum
hingga terengkuh
seluruhmu
hingga kami yakin
mimpi kami tak keliru
cinta kami tak semu:

Tapi kau
masih saja tak terjangkau.

Dan setelah semua
setelah cinta dan air mata
kami tak lagi tahu
dengan apa lagi
kami harus menggapaimu

maka bersama masa
bersama matangnya mata
hati kami
perlahan meyibak rahasia itu:
mungkin memang
mimpi kami keliru
mungkin memang
cinta kita semu
mungkin memang
tak mungkin
kami sempurna
sepertimu

maka bersama masa
bersama matangnya mata,
hati kami
perlahan jadi ragu
dan kami pun meninggalkanmu,
melupakanmu

 

*Zaim Rofiqi menulis puisi, cerpen, esai, & menerjemahkan dan mengedit buku. Buku kumpulan puisinya: Lagu Cinta Para Pendosa (Pustaka Alvabet, 2009) dan Seperti Mencintaimu (Q Publisher 2014); buku kumpulan cerpennya: Matinya Seorang Atheis (Penerbit Koekoesan, 2011).