Dari Tiang Gantungan Sampai Martir: Etika Dietrich Bonhoeffer

Oleh Tony Doludea

Pagi itu, 9 April 1945 di kamp konsentrasi Flossenbürg, bajunya dilucuti, dengan telanjang ia melangkah menuju halaman tempat di mana ia dihukum gantung. Tubuhnya bergetar menggigil, bukan karena takut, namun karena dinginnya udara pagi itu. Tanpa gentar ia menapaki tangga dan menghadapi tiang gantungan itu.

Pada 8 April 1945 ia telah dijatuhi hukuman mati oleh hakim SS Nazi, Otto Thorbeck di pengadilan militer tanpa saksi dan pembela juga pencatatan. Ia dituduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap Hitler.

Sebelum ia meninggalkan kamar tahanannya itu, ia berlutut berdoa dengan khusyuk lalu menyerahkan buku Plutarch, yang telah ditulis nama serta alamat untuk diserahkankan kepada keluarganya. Sebagai sebuah tanda perpisahan dan kenang-kenangan. Namun baginya, oleh iman maut itu telah kehilangan sengatnya dan kubur adalah sebuah kemenangan.

Dalam pergumulannya selama berada dalam tahanan itu ia menulis puisi berdasarkan Kitab Ulangan 34, Kematian Musa.

Di atas gunung itu, di puncaknya akhirnya
Musa, nabi dan hamba Allah itu.

Menegaskan mata mamandang sekelilingnya
meneliti janji yang telah terpampang, tanah suci.

Sekarang, TUHAN, janji-Mu telah genap
bagiku Firman-Mu itu selamanya benar.

Kelepasan dan keselamatan adalah rahmat-Mu
murka-Mu telah surut, lenyap, hilang.

TUHAN setia kekal, hamba-Mu yang tak beriman ini
sungguh mengerti bahwa kehendak-Mu itu selamnya benar.
Saat ini, hari ini, jatuhkanlah penghukumanku
bungkuslah aku dengan gelap kematian tidur panjang.

Pohon anggur berbuah subur di tanah suci
yang beriman hanya tahu janji air anggur mereka.

Curahi orang yang ragu, lalu, pikirannya pahit
dan biarkan yang beriman mengucap syukur dan memuji Mu.

Mengagumkan karya-Mu yang Kau kerjakan melaluiku
mengubah pialaku dari kepahitan menjadi manis sukacita.

Izinkan aku menyaksikan selubung maut,
umatku berpesta atas kemenangan.

Aku gagal, dan tenggelam dalam kekekalan hampa
tetapi lihatlah umatku berbaris, bebas.

Allah cepat menghukum dosa atau mengampuni,
Engkau tahu aku mangasihi umatku.

Cukuplah aku membuat malu dan dosa,
dan melihat keselamatan -sekarang tidak harus hidup.

Tinggallah, gegam tanganku yang lemah, biarlah tongkatku terjatuh, ya Allah yang setia, siapkanlah aku bagi kuburku.

Namun beberapa bulan sebelumnya, ia sudah memeriksa dan meneliti dirinya. Ia ingin memahami siapakah sesungguhnya dirinya itu selama ini melalui puisi:

Siapakah Aku?

Siapakah aku? Mereka sering bilang padaku
aku berjalan dari ruang tahananku dengan tenang, riang, dan teguh
laksana tuan tanh berjalan dari rumah megahnya.

Siapakah aku? Mereka sering bilang padaku
saya biasa bicara dengan para sipir penjara
dengan bebas dan bersahabat dan jelas
padahal akulah yang harus mendengar kata-kata mereka.

Siapakah aku? Mereka juga bilang padaku
aku menanggung hari-hari malangku
dengan biasa saja, tersenyum, bangga,
laksana orang yang sudah dipastikan untuk menang.

Apakah aku sebenarnya seperti semua yang dikatakan orang-orang itu?
atau aku adalah pribadi yang hanya diriku sendiri yang mengenalnya?

gelisah dan berhasrat dan penyakitan, laksana seekor burung dalam sangkar,

berjuang untuk sekadar bisa bernapas, seakan-akan ada tangan-tangan kuat yang menekan tenggorokanku,
rindu akan warna-warni, bunga-bunga, suara kicauan burung-burung,

haus akan kata-kata lembut, karena kesepian,
bergetar marah pada kelaliman dan penghinaan

tergoncang menanti peristiwa-peristiwa besar,
gentar tak berdaya bagi sahabat-sahabat nun jauh di sana,
letih dan hampa saat berdoa, berpikir, bertindak,
lesu, dan siap mengucapkan selamat tinggal untuk semuanya.

Siapakah aku? Pribadi yang ini atau pribadi yang lain?
Apakah aku adalah pribadi hari ini dan pribadi yang lain esok?
Atau keduanya pada saat yang sama? Seorang munafik di hadapan sesama,
sementara di hadapan diriku sendiri seorang melarat yang lemah dan sekarat?
Atau sesuatu di dalam diriku laksana serdadu dipukuli,
kabur dalam kegaduhan dari kemenangan yang telah dicapai?

Siapakah aku? Mereka mengolok aku, pertanyaan-pertanyaan sepi milikku. Siapapun aku, Engkau mengenalku, Oh Allah, aku adalah milikmu.

Selama berada dalam tahanan tersebut, ia tetap menjalankan pelayanannya sebagai seorang gembala. Orang-orang yang ada bersamanya mendapatkan bimbingan dan penjelasan rohani. Ia melayani tidak hanya kepada para tahanan, melainkan juga bagi para penjaga penjara itu sendiri.

Kedua orang tuanya tidak pernah dapat melacak dan menemukannya. Mereka hanya mendengarkan kabar kematiannya itu dari radio luar negeri, tiga bulan kemudian. Jasadnya pun tidak pernah ditemukan.

********

Dietrich Bonhoeffer adalah anak keenam dari Karl dan Paula Bonhoeffer, lahir di Breslau, Jerman, 4 Februari 4 1906. Ia belajar Teologi di Tübingen dan Berlin dengan disertasi berjudul Sanctorum Communio, serta program postdoctoral di Union Theological Seminary, New York. Pada 1928, ia melayani sebagai vikaris di Barcelona. Selama masa itu ia menjadi aktivis gerakan ekumenikal dan memiliki banyak kontak internasional yang kemudian membantu perjuangannya.

Setelah tahun-tahun ketidakpastian politik di bawah Republik Weimar, banyak organisasi dan lembaga Kristen merasa lega oleh munculnya kediktatoran nasionalistik Nazi itu. Gereja German Evangelical, Gereja Protestan terbesar di Jerman, menyambut hangat pemerintahan Hitler pada 1933 itu. Meskipun merupakan anggota gereja itu, namun Bonhoeffer tidak dapat menerima kenyataan tersebut.

Dietrich Bonhoeffer (Sumber Foto: https://www.britannica.com/biography/Dietrich-Bonhoeffer)

Pada 1934, 2000 pendeta Lutheran mendirikan the Pastors’ Emergency League untuk melawan Nazi yang mengendalikan Gereja Negara itu. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi the Confessing Church, Gereja Protestan bebas dan mandiri. Saat itu keberadaan dan kegiatan gereja ini dianggap sebagai tindakan melawan negara.

Dari 1940 sampai 1943 saat ditangkap, Bonhoeffer tinggal di Ettal, sebuah biara Benedictine di luar kota Munich. Ia sedang menyelesaikan bukunya tentang etika, yang berusaha merumuskan dasar etis tindakan ekstrim manusia, yang mensyaratkan pertanggungjawaban moral seseorang. Sementara pada saat itu juga, ia terlibat dalam upaya menjatuhkan the Third Reich yang dianggap sebuah coup d’etat berdarah.

Bagi Bonhoeffer orang Kristen di Jerman saat itu tengah menghadapi pilihan yang sulit. Untuk menghancurkan negaranya demi menyelamatkan peradaban, atau mengangkat kejayaan negaranya dengan itu menghancurkan peradaban.

Sama seperti orang gila yang mengemudikan mobil ke arah orang-orang yang berdiri di pinggir jalan. Bonhoeffer sebagai seorang Kristen tidak hanya dapat menunggu bencana datang, kemudian menenangkan orang yang terluka dan menguburkan orang yang meninggal. Ia bergulat untuk merebut kemudi dari orang gila itu.

Keberanian Bonhoeffer tersebut terungkap dalam tulisannya After Ten Years: A Reckoning Made at New Year 1943. Ia mengatakan bahwa orang yang dapat bertahan itu adalah ia yang tidak bersandar pada pikiran, prinsip, kesadaran, kebebasan atau keutamaannya. Tetapi yang bersedia mengurbankan semuanya itu saat diminta taat dan bertanggungjawab dalam iman dan setia kepada Allah. Orang yang bertanggungjawab adalah ia yang berusaha membuat seluruh hidupnya jawaban atas pertanyaan dan panggilan Allah.

Saat dipenjara Bonhoeffer bergumul dengan masalah kemungkinan manusia mampu untuk dapat mengatasi masalahnya tanpa harus mengandaikan Allah. Hal itu mungkin saja dan tidak berarti bahwa pernyataan religius di mana dasar Kekristenan dibangun tersebut telah usang.

Bonhoeffer di sini kemudian tidak ingin mencari kelemahan pengetahuan dan moral manusia, namun ia justru ingin menegaskan bahwa gereja harus percaya kepada kedewasaan dan kematangan manusia di dunia modern ini.

Bonhoeffer berusaha menanggalkan “agama” yang berkaitan dengan perkara rohaniah dan keyakinannya serta keasyikannya dengan keselamatan pribadinya sendiri saja. Ia menyarankan Kekristenan itu untuk ikut serta menderita bagi sesamanya manusia. Geraja memilih dan berani melepaskan warisan rohani istimewanya itu untuk menjadi orang beriman yang bebas.

Namun untuk itu semua, Bonhoeffer justru melihat bahwa gereja dan orang Kristen ini tengah menghadapi suatu masalah besar di dalam dirinya sendiri, yaitu kebodohan.

Kebodohan itu musuh kebaikan, yang jauh lebih berbahaya daripada kejahatan. Jika dibandingkan dengan orang yang jahat, orang bodoh itu sangat percaya diri, puas diri dan mudah tersinggung, lalu menjadi sangat berbahaya karena dapat menyerang balik.

Maka tidak ada yang pernah dapat meyakinkan orang bodoh dengan akal sehat, karena ini perbuatan yang tidak masuk akal dan berbahaya. Bandingkan jika melawan orang yang jahat, ini dapat dilakukan secara terbuka dan tidak perlu menggunakan kekuatan. Perbuatan jahat itu telah mengandung perlawanan di dalam dirinya sendiri, yang membuat pelakunya gelisah. Maka di sini orang bodoh itu tidak dapat dilawan.

Kebodohan bukanlah cacat bawaan, namun dalam suatu keadaan tertentu, orang dibuat bodoh atau mereka membiarkan diri mereka dibodohkan. Sementara, orang yang memisahkan diri dari kumpulan yang lain, hidup terpisah dan menyendiri, memiliki tingkat yang rendah oleh cacat ini dibandingkan orang yang terikat dan terpenjara oleh sosialitasnya.

Kebodohan secara hakiki bukanlah cacat intelektual, karena mereka yang bodoh itu secara intelektual sangat tangkas, tetapi bodoh. Sebaliknya mereka yang secara intelektual lemah namun tidak bodoh.

Maka dengan itu Bonhoeffer menyimpulkan bahwa kekuasaan di wilayah publik, baik politik maupun religius itu secara sosio-psikologis telah menginfeksi umat manusia dengan kebodohan.

Kekuasaan orang bodoh itu, memerlukan orang-orang bodoh lain. Ini mengungkapkan bahwa orang bodoh dengan kekuasaanya itu tidak dapat berdiri sendiri, namun memerlukan kebodohan orang bodoh lainnya. Itu semua dibangun melalui slogan, jargon dan kata kunci yang ditempelkan kepadanya.

Orang bodoh sesungguhnya berada di bawah kekuatan kendali sihir, dibutakan, diperalat dan disalahgunakan. Sehingga dijadikan suruhan, bahkan sampai mampu berbuat jahat apapun juga, tanpa melihat itu sebagai sebuah kejahatan. Ini merupakan bahaya diabolis yang menghancurkan umat manusia.

Oleh sebab itu, menurut Bonhoeffer, untuk mengatasi kebodohan diabolis tersebut, yang dibutuhkan bukan intstruksi, melainkan tindakan pembebasan. Karena pembebasan dalam secara pribadi akan berhasil apabila pembebasan luar diri terlebih dahulu dilakukan.

Jika tidak, maka percuma saja meyakinkan orang bodoh untuk keluar dari kebodohannya itu. Sehingga dalam suasana tersebut tidak penting untuk mencari tahu bahwa apa yang mereka pikirkan itu adalah suatu kesia-siaan belaka.

Bagi Bonhoeffer untuk sampai ke situ, orang harus melakukan tindakan pengurbanan itu tanpa pamrih. Ia tidak berkehendak tindakannya itu berbalik kembali demi reputasi dan karakter dirinya sendiri. Namun demi orang lain, sesamanya manusia itulah pusat perhatian tindakannya tersebut. Ia bertindak melayani kebutuhan material dan spiritual sesamanya manusia.

Selanjutnya, orang yang bertangggung jawab itu menurut Bonhoeffer, tidak ragu-ragu bertindak dan tidak takut berbuat dosa. Karena tidak ada seorang pun juga dapat terlepas dari rasa bersalah dan murni secara moral. Namun orang yang tidak bertanggung jawab itu akan menghidari konflik moral, berusaha menghapus rasa bersalah dan mempertahankan kemurnian moral.

Menurut Bonhoeffer Etika itu bukan masalah “How can I know the good?”, “How can I do good?“, “How can I be good?”, tetapi “What is the will of God?”. Sebab Etika itu perkara memahami kehendak Allah dan hidup sesuai dengannya.

Etika berpusat pada tuntutan kepada orang yang bertanggungjawab untuk bertindak di tengah kejahatan. Tentu dalam hal itu bagi Bonhoeffer adalah Nazisme. Komitmen berjuang untuk tetap setia atau menjadi pengikut suatu agama yang mensahkan Hitler.

Bagi Bonhoeffer, etika itu berbicara lebih pada karakter seseorang. Bahwa manusia itu dinilai bukan dari tindakan dan perbuatannya, namun karakternya. Perbuatan jahat memang harus dihindari, tetapi yang harus dihindari dengan segenap kekuatan adalah kecenderungan untuk melakukan yang jahat, yang merupakan bagian dari karakter orang itu. Sebab hal yang lebih buruk dari berbuat jahat adalah berkepribadian jahat.

Berbohong itu tentu jahat, tetapi seorang pembohong itu lebih buruk dari berbohong. Karena pembohong merusak apapun yang ia katakan, sebab apapun yang dikatakannya itu bertujuan untuk menipu, untuk sesuatu yang tidak benar. Maka menurut Bonhoeffer adalah suatu yang sangat buruk jika seorang pembohong itu berkata benar, daripada pencinta kebenaran berbohong. Sebab jauh dari kebenaran itu lebih buruk daripada gagal berbuat yang benar.

Maka kemudian Bonhoeffer menegaskan bahwa dasar sikap etis seseorang itu ada pada bagaimana kenyataan duniawi ini dan kenyataan ilahi menyatu dalam kenyataan pribadi Kristus. Kenyataan Kristus itu mewujud dalam seorang pribadi yang bertanggungjawab, orang yang melakukan tindakan sesuai dengan dan memenuhi kehendak Allah.

Karena Bonhoeffer menolak bahwa manusia itu dapat memahami baik dan buruk. Sehingga tidak ada kepastian moral di dunia ini. Maka ada dua tuntunan untuk menentukan kehendak Allah, yaitu kebutuhan orang lain dan Yesus dari Nazaret sebagai contoh moral.

Pada akhirnya semua perbuatan dan tindakan manusia itu diserahkan kepada penilaian Allah sendiri, yang memang tidak ada seorangpun dapat luput dari kasih dan anugerah Allah yang sudah pasti itu. Karena di hadapan Allah, pembenaran diri manusia sendiri itu sesungguhnya adalah dosa.

Tindakan bertanggung jawab itu merupakan suatu upaya yang berisiko tinggi. Usaha yang tidak objektif dan tidak pasti, serta tidak dapat dipertimbangakan terlebih dahulu di depan. Namun ini merupakan cara bagaimana orang ikut serta dalam kenyataan Kristus, yaitu bagaimana ia bertindak sesuai dengan kehendak Allah.

Orang Kristen secara historis tidak dapat mengelak untuk bertindak bertanggung jawab. Olehnya ia menghadapi pilihan berat, yaitu saat dihina oleh kejahatan, ia harus langsung menentangnya. Tidak ada pilihan lain.

Membiarkan kejahatan tersebut berlangsung adalah gagal untuk bertanggung jawab. Dan tidak boleh ada penilaian atas pilihan seseorang untuk menanggapi kejahatan itu. Bagi Bonhoeffer, orang yang bertanggung jawab itu akan bertindak tanpa pertimbangan terlebih dahulu, karena hanya itu yang ia hadapi.

********

Pada 9 Juli 1998, George Carey, Uskup Agung Canterbury meresmikan 10 patung para martir Abad XX, yang dipahat dari batu kapur French Richemont dan diletakkan di atas Pintu Barat Westminster Abbey, London. Upacara peresmian itu dihadiri oleh Ratu Elizabeth II.

Para martir modern tersebut dipilih karena telah memenuhi persyaratan, yaitu mereka mati dibunuh demi mempertahankan iman atau memperjuangkan kepentingan orang lain. Salah satunya adalah patung Dietrich Bonhoeffer. Patung ini dipahat oleh Tim Crawley, pematung asal Inggris. Tanggal 9 April juga dimasukkan dalam kalender liturgi beberapa denominasi gereja, bahkan masuk bagian dari pelayanan misa kudus untuk menghormatinya.

Penetapan Bonhoeffer sebagai seorang martir ini kemudian menjadi sangat sulit dimengerti, ketika orang memperhatikan dengan sadar pertentangan dalam Etika Kristen yang berusaha dibangunnya itu. Bahkan sebagai teolog liberal, ia juga ikut serta meragukan pewahyuan Kitab Suci, kelahiran Yesus dari perawan Maria, ketidakaberdosaan-Nya, keilahian-Nya dan kebangkitan Kristus. Padahal andaikata Kristus itu tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan Injil dan sia-sialah juga kepercayaan Kristen.

Bonheoffer rupanya berusaha membangun sebuah etika luhur yang sangat kokoh dan spiritual, bahkan untuk itu ia berani mati, dari dasar dan sumber yang ia sendiri sudah ragukan. Ini seperti perbuatan terbodoh yang pernah dilakukan oleh orang paling bodoh di tengah-tengah perkampungan orang-orang bodoh. Lalu kebodohan ini dijaga dan dipelihara selama lebih dari 100 tahun, serta dihormati oleh orang-orang bodoh di kampung itu. Betapa menyedihkan menyaksikan seorang pahlawan bodoh semacam ini.

Bonhoeffer tahu bahwa rencana pembunuhan tersebut bertentangan dengan kredo anti kekerasannya. Ia tetap menjalani pertentangan itu dan tidak berusaha meninggalkannya. Dalam keadaan moral sangat tidak menentu dan tidak ada peluang untuk lolos dari kejahatan seperti itu. Hanya ada dua pilihan, yaitu perlawanan yang keras atau menerima kekejaman itu bahkan tanpa mengeluh. Keduanya sama-sama mengandung kebersalahan. Pada akhirnya Bonhoeffer memilih berbuat dosa demi kebenaran. Ia melakukan dosa dengan gagah berani.

Sehingga muncul pertanyaan, benarkah Bonhoeffer mati syahid karena mempertahankan dan membela imannya atau karena terbukti, meskipun secara tidak langsung terlibat dalam usaha pembunuhan itu? Penetapan penghormatan kepadanya itu jadi sangat membingungkan.

Memang dengan jernih dan tegas Bonhoeffer menyatakan bahwa zaman jahiliah masa itu membutuhkan orang-orang yang bertanggung jawab untuk melawan dan mengalahkan kebodohan dan kejahatan yang sedang merajalela. Ia jelas mengatakan bahwa orang yang bertanggung jawab itu adalah mereka yang melakukan kehendak Allah, seperti Kristus telah menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.

Dalam The Cost of Discipleship (1937), Bonhoeffer menyebutkan bahwa tidakan seperti itu adalah sebuah costly grace, anugerah yang tidak murahan. Anugerah karena memberi manusia kehidupan yang sejati. Tidak murahan karena manusia harus membayar sendiri dengan hidupnya. Anugerah karena manusia berdosa telah diampuni dan dibenarkan. Tidak murahan karena dosa manusia telah dihapuskan dengan harga Allah sendiri, yaitu Anak-Nya yang telah membayar dengan hidup-Nya. Anugerah tidak murahan adalah Allah yang berinkarnasi.

Memang benar bahwa cheap grace, anugerah murahan itu adalah pemberitaan pengampunan tanpa pertobatan, baptisan tanpa disiplin gereja. Perjamuan kudus tanpa pengakuan Iman. Anugerah murahan adalah anugerah tanpa pemuridan, anugerah tanpa salib, anugerah tanpa Yesus Kristus, hidup dan menjelma.

Namun Bonhoeffer tidak benar ketika menyatakan bahwa anugerah tidak muarahan dan etika itu perkara mengorbankan diri bagi orang lain karena Nachfolge (mengikuti dengan taat dan setia) kepada kehendak Allah, sama seperti yang Yesus telah lakukan. Sehingga orang tidak ragu untuk bertindak karena tidak takut berdosa. Tidakkah dengan ini peristiwa di Taman Eden dulu itu terulang kembali di abad 20?

Padahal jelas sekali bahwa justru pandangan Bonhoeffer seperti itu kemudian menjadi sangat berbahaya. Bukankah telah terbukti dalam sejarah manusia bahwa banyak kejahatan yang dilakukan manusia mengatasnamakan kehendak Allah, yang berakhir dengan pemusnahan sesamanya manusia itu sendiri? Atas nama Allah manusia telah “playing God”.

Tidakkah pandangan seperti itu justru sangat bertentangan dengan firman Allah itu sendiri. Sebab Kristus dihukum mati bukan karena terbukti terlibat atau berbuat kejahatan. Bahkan Pontius Pilatus, yang mengadili-Nya secara hukum Romawi itu menyatakan bahwa ia tidak menemukan satu kesalahan pun pada diri orang Nazaret itu dan berusaha untuk dapat melepaskan-Nya.

Pemuda Nazaret ini dihukum mati bukan karena ikut dalam perencanaan atau perbuatan jahat tertentu. Ia tidak pernah merencanakan untuk membunuh Kaisar Roma Tiberius (42 SM-37 M), yang telah menjajah mereka, atau Pontius Pilatus wali negeri Yudea, Wakil Kaisar itu. Atau Herodes Raja Galilea, juga Hanas dan Kayafas Imam Besar itu, dan Ahli-ahli Taurat yang telah memeras, menindas dan menganiaya umat Allah.

Orang Nazaret ini dihukum mati karena ia memberitakan Injil Kerajaan Allah. Ia berkeliling di seluruh Galilea, mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah adalah pemerintahan Allah yang penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih dan setia itu di dalam diri, di tengah-tengah manusia dan tinggal bersama-sama manusia.

Kerajaan Allah itu hadir di dalam diri Yesus, melalui pengajaran dan pelayanan-Nya. Ketika Ia mengajarkan bahwa Allah itu sangat mengasihi manusia, bahwa Allah telah mengampuni pelanggaran, pemberontakan dan dosa manusia. Saat Ia mengajarkan bahwa orang yang percaya itu harus saling mengasihi, mengampuni dan menerima satu dengan yang lainnya. Waktu Ia melakukan perbuatan-perbuatan ajaib, menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati dan mengampuni dosa. Karena itulah Imam Besar, Tua-tua dan ahli Taurat menjatuhi hukuman mati atas-Nya.

Injil Kristus itu mengajak manusia untuk bertobat, sebab Kerajaan Allah telah datang, hadir dan ada di antara manusia. Bertobat adalah berbalik, mengubah pikiran, tindakan dan arah jalan hidup. Bertobat itu berbalik dan mengikuti keputusan Kerajaan Allah. Menerima Kerajaan Allah akan membawa orang kepada suatu kehidupan, yaitu mengikuti aturan kerajaan tersebut.

Injil Kristus itu sebagaimana ketika seorang perempuan yang tertangkap basah ketika sedang berbuat zina dan dihadapkan di depan Yesus. Lalu Yesus berkata “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yohanes 8: 11). Tuhan Allah telah mengampuni manusia, namun mulai dari sekarang manusia itu harus bertobat dengan tidak berbuat dosa lagi. Ini tidak bisa ditawar. Harga mati!

Undang-undang Dasar Kerajaan Allah itu adalah kasih. Maksudnya bukan manusia yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi manusia dan yang telah mengutus Anak-Nya itu sebagai pendamaian bagi dosa-dosa manusia. Karena sekalipun seseorang membagi-bagikan segala sesuatu yang ia miliki, bahkan menyerahkan tubuhnya untuk dibakar, tetapi jika ia tidak mempunyai kasih, sedikitpun itu tidak ada gunanya.

Bonhoeffer dengan sangat cerdik telah memelesetkan secara halus dan licin Injil Kristus ini ke injil lain, dengan menggunakan Yesus sendiri sebagai panutan dan teladannya. Kata taat dan setia mengikut Yesus digunakan sebagai pretext untuk membenarkan perbuatannya tersebut, dengan dalih menyelamatkan umat Allah dari kekuatan jahat.

Namun Bonhoeffer tidak benar ketika menyatakan bahwa anugerah tidak muarahan dan etika itu perkara mengorbankan diri bagi orang lain karena Nachfolge (mengikuti dengan taat dan setia) kepada kehendak Allah, sama seperti yang Yesus telah lakukan itu. Menurut Bonhoeffer semua perbuatan dan tindakan manusia itu harus diserahkan kepada penilaian Allah saja, sebab tidak ada seorangpun dapat lolos dari kepastian rangkulan kasih dan anugerah Allah. Sebab pembenaran diri sendiri oleh manusia itu sesungguhnya adalah dosa di hadapan Allah. Sehingga orang tidak perlu ragu untuk bertindak karena tidak harus takut berdosa.

Maka dengan itu secara mudah orang dapat langsung menyimpulkan bahwa setia dan taat mengikut Yesus itu adalah bahkan sampai berani berdosa. Karena dekapan kasih dan anugerah Allah akan selalu siap merengkuh orang ini. Dan kebenaran ini ternyata telah terbukti, dilakukan dan diwujudnyatan sendiri oleh Bonhoeffer. Untuk itu ia diganjar menjadi martir Kristen. Bahwa manusia tidak dinilai dari sebuah tindakan atau perilaku tertentunya, namun karakternya. Di sini Bonhoeffer sungguh telah tertangkap basah.

Bonheoffer tidak sedang memberitakan Injil Kristus, tetapi ia mengemas injil lain itu secara rapi dan membungkusnya secara menarik dengan Injil Kristus. Ia sedang mengajarkan agama dan ideologi, bukan Kerajaan Allah. Tidak sedikit orang telah terkecoh oleh narasi romantis peristiwa hidupnya, sehingga menjadi rabun dan terkelabui oleh injil lain itu. Saking kagum oleh drama kehidupan Bonhoeffer itu, banyak orang menjadi tidak dapat melihat skandal yang tergelar di hadapan mereka. Bahkan cilakanya, mereka telah ikut membuka pintu dan jendela bagi ragi injil lain ini masuk ke dalam Kekristenan.

Meskipun demikian, orang juga tidak boleh begitu saja meremehkan dan kemudian membuang seluruh perjuang maut Bonhoeffer untuk mengalahkan kejahatan, yang menindas secara kejam negara, bangsanya dan gereja serta kemanusiaan pada saat itu. Penghormatan harus tetap diberikan kepadanya.

Seandainya Bonheoffer tidak meragukan pewahyuan Kitab Suci dan sesekali membaca kitab itu sepintas saja. Maka ia akan sampai dan menemukan kebenaran, kebenaran yang akan membebaskannya, bahwa seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya. Jikalau mereka telah menganiaya tuannya, mereka juga akan menganiaya hambanya juga.

Karena Kitab Suci yang telah ia ragukan itu ternyata mencatat peringatan Tuhan kepada umat Allah, “Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah… Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya. Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu. Janganlah ada di antara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau. Tetapi, jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu.” (1 Petrus 2:19-20 dan 4:13-16).

Maka orang tetap perlu mengaji secara teliti dan hati-hati apa saja yang disajikan terkait dengan “legenda” cerita hidup dan ajaran Bonhoeffer itu. Mungkin kemudian ini bisa saja mirip dengan pola cerita Will to Power dan AntiChrist Friedrich Nietzsche, yang sangat dibanggakan oleh Nazi, itu sesungguhnya hasil olahan tangan dingin Elisabeth Förster-Nietzsche, adiknya. Bahkan Hitler dan beberapa petinggi Jerman sampai hadir pada pemakaman Elisabeth Förster-Nietzsche pada 1935.

Suara Bonhoeffer tersebut sungguh tidak asing lagi bagi pendengaran manusia. Karena itu adalah suara godaan primordial purba manusia di Taman Eden dulu, “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (Kejadian 3: 4-5).

Suara yang sama itu juga telah mendatangi dan membujuk Yesus, “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu dari sini ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau, Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya untuk melindungi Engkau, dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu.” (Matius 4: 6).

Maka untuk itu Allah sendiri telah memperingatkan umat-Nya bahwa pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Nya: Tuhan, Tuhan dan mengaku bahwa mereka telah bernubuat demi nama-Nya, dan mengusir setan demi nama-Nya, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Nya. Namun sesunggguhnya Tuhan tidak pernah mengenal mereka, para pembuat kejahatan itu.

Pengadilan militer mengadili Bonhoeffer tanpa saksi, tanpa pembela dan tanpa pencatatan. Hanya satu orang saja, Hermann Fischer-Hüllstrung, dokter SS Nazi yang katanya mengaku menyaksikan eksekusi tersebut hanya berlangsung sangat singkat. Juga kamp konsentrasi itu sesungguhnya tidak memiliki tangga di tempat untuk menghukum gantung para tawanannya. Kemudian jenazahnya pun tidak pernah ditemukan. Namun orang masih dapat mengunjungi patung dan menghormatinya di hari liturgis gerejawi tersebut.

*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia

—————

Kepustakaan

Barnett, Victoria J. “After Ten Years“: Dietrich Bonhoeffer and
Our Times.‎ Fortress Press, Minneapolis, 2017.

Bethge, Eberhard. Dietrich Bonhoeffer: A Biography. Fortress
Press, Minneapolis, 2000.

Bonhoeffer, Dietrich. Ethics. Touchstone, New York, 1995.

Bonhoeffer, Dietrich. Letters and Papers from Prison.
Touchstone, New York, 1997.

Bonhoeffer, Dietrich. The Cost of Discipleship. Touchstone, New
York, 2012.

Kelly, Geffrey B. Nelson, E. Burton (Ed.). A Testament to
Freedom: The Essential Writings of Dietrich Bonhoeffer. HarperOne, New York, 2009.

Ladd, George Eldon. Injil Kerajaan. Gandum Mas, Malang, 1994.

Marsh, Charles. Strange Glory. A Life of Dietrich Bonhoeffer.
Alfred A. Knopf, New York, 2014.

Metaxas, Eric. Bonhoeffer. Thomas Nelson, Nashville, 2010.

Robertson, Edwin H. (Ed.). Dietrich Bonhoeffer’s Prison Poems.
Zondervan, Grand Rapids, 2005.