Berpikir Puitis: Apresiasi atas Filsafat Bali
Oleh I Gde Jayakumara
1
Secara umum, atau yang lebih populer, kata filsafat merupakan gabungan dua kata ‘philo’ dan ‘sophia’, diartikan secara keseluruhan: mencari kebijaksanaan.
Dalam studi filsafat, setidaknya, terdapat dua jalur utama, yaitu filsafat secara sistematik yang terbagi atas tiga cabang: (a) epistemologi; (b) metafisika; dan (c) aksiologi. Masing-masing cabang filsafat ini mempunyai karakteristik persoalan berbeda. Misalnya saja, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan asal-usul dan sahnya pengetahuan yang dimiliki manusia. Lalu muncullah paham pengetahuan yang dianut dalam empirisme, rasionalisme, fenomenalisme Kant dsb. Epistemologi ini terbagi lagi menjadi dua cabang, yaitu: Logika dan Filsafat Ilmu.
Akan halnya, cabang filsafat metafisika terbagi jadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus yang terdiri dari: filsafat manusia, kosmologi dan filsafat ketuhanan.
Sedangkan cabang filsafat aksiologi terbagi lagi jadi dua: Etika dan Estetika.
Pembagian filsafat semacam ini diajukan pertama kali oleh filsuf Christian Wolff pada abad ke XVI dan digunakan hingga saat ini. Setidaknya dalam buku-buku filsafat berbahasa Indonesia.
2
Cara lain dalam memahami filsafat adalah dengan mempelajari sejarahnya, yaitu Sejarah Filsafat Barat. Biasanya, pemahaman filsafat pada titik ini dipahami dengan cara periodik, masing-masing periode memiliki isu utama berbeda dibandingkan dengan periode lain. Misalnya, tema utama filsafat pra-sokratik adalah kosmologis, berbeda dengan tema perbincangan filsafat abad pertengahan yaitu sosok Tuhan monoteistik, sehingga filsafat diejek menjadi alicea theologia.
Bila yang dipersoalkan dalam artikel ini adalah filsafat Bali, maka dengan cara berpikir deduktif bisa kita terapkan Kosmologi Bali, Etika Bali dsb. Tetapi yang menjadi persoalan di sini, sistematika yang dikemukakan di atas itu mendapat kritik tajam yang dinilai mengkhianati pengertian filsafat saat kelahirannya secara historis di Yunani.
Filsafat adalah cara berpikir yang ditunjukan dengan pertanyaan tentang dasar Ada. Dalam bahasa awam: kenyataan yang dilalui sehari-hari oleh manusia memiliki struktur dasar yang layak dipertanyakan dan diketahui kemana arahnya. Inilah yang disebut Ada (Being) atau dalam bahasa Jawa Kuno di sebut Hana.
Pada era pra-sokrates pertanyaan tentang Ada dijawab oleh pemikir dengan ketakterbatasan (Anaximendes), dunia terdiri dari matematika (Phytagoras), pertentangan antar-unsur (Heraklitus). Pada era Plato, pertanyaan tentang Ada dijawab dengan alegori manusia gua, bahwa kebenaran yang ditangkap manusia adalah semu. Kebenaran sejati hanya di dunia ide. Seperti bayangan manusia di gua yang berisi api.
Periode berikutnya, tema besar filsafat hanya berkisar pada pola pikir warisan dari Plato, dunia ide yang sempurna dan dunia empiris yang semu. Aristoteles mendefiniskan dunia ide Plato dengan ‘causa prima’, lalu diadopsi oleh pemikir abad pertengahan menjadi sosok Kristus. Periode berikutnya, ide Plato mengalamai transformasi menjadi ‘cogito’ yang berpikir; das ding an sich (Kant); dan Roh Mutlak (Hegel). Pertanyaan tentang Ada dilupakan.
Berdasarkan pemahaman filsafat seperti inilah, kurikulum filsafat disusun: filsafat bercampur aduk dengan dunia supersensori yang seolah-olah nyata, bahkan mengalami doktrinisasi sebagaimana terdapat dalam istilah agama. Pola berpikir seperti ini berlangsung selama abad demi abad.
Sampai pada era Nietzsche, yang mengumandangkan ‘Kematian Tuhan’. Suatu pernyataan yang dikenal sebagai akhir dari filsafat Platonisme, yang berabad-abad melupakan tugas filsafat, yaitu: mengajukan pertanyaan tentang Ada.
Dalam pandangan Heidegger, postulat ‘Kematian Tuhan’ dari Nietzsche menafikan sosok kesempurnaan dunia ide Plato (Tuhan), menghancurkan relasi subjek-objek ala Decartes dan yang tersisa adalah interpretasi atas kenyataan, sehingga kata pluralisme, perspektivisme menjadi kata kunci tema-tema filsafat pasca Nietszche.
Heidegger lalu mengajukan, apa yang disebut, berpikir secara puitis sebagai lanjutan proyek ‘Kematian Tuhan’ dari Nietzsche. Kata ‘puisi’ di sini bukanlah diartikan secara sempit sebatas pada persoalan linguistik, tetapi dalam arti luas. Puisi dipahami penyingkapan kebenaran dan kejadian (atau peristiwa) dan oleh karenanya ia bisa meliputi hal-hal yang sifatnya non-linguistik, seperti arsitektur, lukisan, film dsb.
Sebagaimana Nietzsche, dalam berpikir puitis unsur subjektivitas adalah musuh utama, dan dengan demikian leburlah relasi subjek-objek dalam dikursus filsafat selama berabad-abad. Sekedar catatan: pandangan Nietzschean-Hedeggerian ini saat ini tumbuh subur di Perancis. Tiga filsuf Perancis yang paling berpengaruh saat ini, yaitu Foucault, Derrida dan Deleuze sangat kuat dipengaruhi oleh Nietzsche dan Heidegger. Deleuze dan Felix Guattari, misalnya, dalam volume pertama buku ‘Anti-Oedipus’ mengajukan istilah ‘subjek non-fasis’ sebagai tandingan pemikiran kontemporer yang begitu banyak dipengaruhi Freud dan Adam Smith yang melahirkan subjek-subjek fasis.
3
Apa yang menarik di sini adalah paralelitas berpikir puitis dan berbagai kejadian di Bali. Artinya, pertanyaan filsafat tentang Ada sudah dijawab dalam kebudayaan Bali.
Kita bisa memulai diskusi ini dengan menyimak bagaimana orang Bali merespons alam, membentuk kawasan, pemukiman tempat tinggal, hidup bersosialisasi dan menyambut kematian-diri. Kalau, merujuk pada skema filsafat sistematik di atas, kita sedang melakukan perbincangan tentang kosmologi Bali.
Dalam pembentukan suatu hunian kawasan orang Bali selalu mengunakan poros kaja kelod, kangin kauh sebagai orientasi; lalu perpotongan dua garis imajiner ini dinyatakan sebagai catusphata. Sangat berbeda dengan paham pemikiran subjektivitas yang membentuk kawasan secara simetris-matematis. Inilah yang disebut cara berpikir puitis orang Bali, yaitu merespon alam dengan membentuk ruang untuk tinggal-berhuni.
Penentuan catusphata sebagai poros dalam perkembangn akan memunculkan pemukiman-pemukiman yang yang mengunakan catusphata awal sebagai orientasi. Lalu dibentuklah penzonaan tiga pura: Puseh–Dalem dan Desa. Terbentuknya rumah tinggal pun mengunakan pola dan orientasi yang sama, sehingga perjalanan Matahari dari Timur ke Barat dianalogikan menjadi perjalanan manusia hidup. Misalnya, rumah meten lebih tinggi dari rumah tinggal karena di dalamnya tinggal orang tua yang mulai beranjak mendekati langit. Demikian pula mrajan lebih tinggi bangunannya dari rumah tinggal karena di dalamnya leluhur akan datang sewaktu-waktu. Inilah sebabnya, mengapa orang Bali dimanapun ia berada, bahkan di luar Bali pun, saat pertama masuk ke ruangan selalu mencari arah kangin-kauh, kaja-kelod untuk merebahkan kepala.
Dengan demikian status manusia di bumi adalah sebagai pemelihara bukan penguasa alam.
Penjelasan di atas bukan sekedar menunjukan bagaimana membentuk ruang untuk tinggal-berhuni, tetapi juga hendak menunjukan bagaimana orang Bali membentuk dunia dengan cara — pinjam istilah Heidegger: ‘tinggal di bumi secara puitis’.
Ekspresi orang Bali tinggal-berhuni di bumi sebagai pemelihara ditunjukan dengan cara secara bersama-sama membentuk karya seni. Dengan kata lain, karya seni di Bali selalu bersifat kolektif, bukan personal sebagaimana yang terjadi pada tradisi berkesenian yang berbasiskan pada paham metafisik subjektif. Karya-karya seni berupa kakawin, misalnya, selalu diawali dengan pernyataan pengaburan subyek penulis dengan menyebut diri sebagai sosok yang rapuh, bodoh atau apapun itu. Karya sastra di Bali. Biasanya diawali dengan perkenalan sang penulis (baca: Kawi) diikuti dengan kalimat: “karya ini boleh ditambahi atau dikurangi, bahkan boleh diakui oleh siapapun….”
Perseteruan pemilik museum seni lukis modern Bali Suteja Neka dan pelukis Ida Bagus Poleng yang menolak keras lukisannya digantung di museum menunjukan pertikaian ideologi cara berpikir metafisika subjektif dan berpikir puitis orang Bali. Dua ilustrasi di atas menunjukan satu karakteristik yang menonjol dalam berpikir puitis orang Bali adalah — pinjam istilah Deleuze — sifat subjek non-fasis.
Sebagaimana puisi yang di dalamnya terdapat elemen penyingkapan- penyembunyian, maka dalam dunia kesusastraan Bali pun terdapat tingkat kerumitan tinggi, multi-interpretatif yang bila dialami mampu mengundang kebenaran hadir di dalamnya. Menarik di sini untuk membicarakan Dyah Tantri sebagai satu contoh.
Secara garis besar karya sastra Dyah Tantri berisi tentang seorang raja yang berkehendak mengawini anak salah seorang pungawa yang berusia 16 tahun. Singkat ceritera: tidak terjadi kontak fisik, karena sepanjang malam Dyah Tanri mendongengi sang raja dengan struktur argumentasi yang bertingkat — entah sampai berapa tingkat. Dengan kata lain: keperawanan sang gadis aman.
Tapi, apa itu persoalan atau pesan yang hendak disampaikan ?
Masyarakat Bali, sejauh pengamatan saya, kebanyakan menuding sang raja dengan menghukum secara moral — salah satu produk pola berpikir subjektif. Karya teater Putu Satria Kusuma tentang Dyah Tantri, misalnya, menunjukan hal itu.
Mungkin kita bisa pinjam pisau analisa filsuf asal Perancis, Michel Foucault yang menyebutkan distingsi penting pemahaman seks di Timur dan Barat. Menurutnya, pemahaman seks di Timur tidak diorientasikan pada puncak asmara yang disebut orgasme, tetapi lebih pada erotisme. Beda orgasme dan erotis adalah: bila orgasme menjadikan tubuh lemas, erotis justru sebaliknya, membuka kemungkinan tubuh untuk lebih memperkaya-diri, memperkuat-diri. Foucault menyebutnya ars erotica. Sementara pemahaman di Barat — atau yang dalam istilah Heidegger disebut ‘metafika subjektif’ — seks sudah masuk dalam diskursus keilmuan atau disebut ars scientica. Dalam ars scientica, tubuh dikontrol oleh kekuatan yang anonim dan produktif.
Dengan perspektif ini, pertanyaan dapat diajukan ulang: apakah Raja dan Dyah Tantri bercinta?
Jawabannya ‘iya’, tetapi tidak secara fisik. Lewat bahasa atau aksara, yaitu dongeng. Raja memerlukan energi yang dimiliki Dyah Tantri untuk memerintah negeri (baca: menghadapi para penjilat-pengkhianat dan secara bersamaaan men-jamin kesejahteraan rakyat) dan itu harus dipilih, yaitu gadis yang sedang mengalami puncak pertumbuhan, yaitu 16 tahun. Sejajar dengan William Shakespheare, yang memberi karakterisasi Hamlet sebagai pemuda 25 tahun — puncak kemampuan psikis, fisik dan akal.
Kontak fisik antara Raja dan Dyah Tantri, terjadi di akhir ceritera. Itu pun hanya sentuhan tangan secara halus.
Elemen penyingkapan-penyembunyian dapat dikemukakan di sini bila pertanyaan dilanjutkan, yaitu tentang judul dari karya sastra ini, Dyah Tantri. Artinya, ‘ideologi’ yang melarbelakangi karya sastra ini adalah Tantrisme: sang raja harus menghujamkan diri ke bumi melalui sosok Tantri, agar bisa menyebarkan kesejahteraan manusia keseluruh negeri.
Mengapa ?
Karena kata Tantri berasal dari kata tanra, artinya: ‘menghujam’ dan ‘menyebar’. Simbolnya lingga-yoni.
4
Tentu saja masih banyak karya sastra Tantrisme lain di Bali yang masih hidup dalam dunia keseharian orang Bali, seperti Bukbusah-gagakaking, Cupak-Grantang yang sedang tersembunyi maknanya dan menunggu untuk disingkap dalam diskusi — atau dalam kesempatan lain.
Akhir kata: artikel ini ini hanyalah salah satu interpretasi atau lebih tepatnya apresiasi atas Bali. Bisa saja salah, apalagi dilakukan oleh orang yang bukan lahir di Bali dan — lebih gawat lagi — berlatar belakang sastra.
*Penulis adalah Pengajar Fakultas Ilmu Agama, Seni dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia, Denpasar