Kuburan Sultan al –Malik-as-Shalih dan Persoalan Nisan Gujarat

Oleh Anapana

Nisan dan kuburan kuno adalah artefak penting bagi para arkeolog yang melakukan penelitan sejarah Islam di Asia Tenggara.  Para arkeolog mengkaji budaya material nisan untuk mengetahui awal sejarah masuknya Islam di nusantara. Louise Damais misalnya setelah mengamati tujuh makam Islam di Tralaya, Trowulan yang memiliki lambang sinar Majapahit, berpendapat bahwa di zaman Majapahit kalangan komunitas muslim sesungguhnya sudah masuk istana. Bukti bahwa nisan di Tralaya terdapat tanda sinar kerajaan Majapahit  merupakan data yang kuat bahwa ada kalangan bangsawan Majapahit yang saat itu memeluk Islam.

Banyak pembacaan baru atas nisan melahirkan polemik yang menarik. Misalnya studi Claude Guillot dan Ludvik Kalus atas nisan Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik. Selama ini nisan Fatimah Binti Maimun dianggap sebagai bukti tertua bagi masuknya Islam di Nusantara. Nisan itu berangka tahun 1082 M. Nisan itu artinya sering dianggap merupakan nisan seorang pemeluk Muslim bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal di Gresik di tahun 1082 M. Nisan ini sekarang disimpan di Museum Trowulan.

Claude Guillot akan tetapi menolak pendapat yang sudah hampir diterima umum. Menurutnya nisan itu sama sekali bukan nisan dari seorang bernama Fatimah Binti Maimun yang dikubur di Leran, Gresik pada tahun 1082 M. Nisan itu menurut Guillot  hanyalah nisan yang terbawa oleh kapal-kapal asing yang berlabuh di Leran, Gresik. Nisan itu menurut dugaan Guillot berasal dari daerah laut Kaspia dan terbawa ke Gresik karena digunakan sebagai pemberat kapal atau jangkar.  Menurut Gulliot ada empat jenis nisan lainnya yang serupa dengan nisan Fatimah Binti Maimun yang disimpan di museum Trowulan. Inkripsinya rusak, tak bisa dibaca. Menurut dugaan Guillot bersama nisan Fatimah Binti Main, keempat nisan tersebut sama-sama dibawa kapal-kapal asing yang berlabuh di pelabuhan Leran, Gresik sebagai jangkar. Guillot memperkirakan nisan-nisan itu terbawa ke Gresik sekitar abad 12 dan abad 14. Karena Pelabuhan Leran Gresik hanya ada sampai abad 14.

Penulis Elizabeth Lambourn dalam artikel: Tombstones, Text and Typologies: Seeing Sources for the Early History of Islam in Southeast Asia juga melakukan pembacaan baru sebagaimana Gulliot .Terutama penafsiran baru atas  makam dari Sultan al-Malik-as-Shalih yang dianggap sebagai sultan pertama yang memeluk Islam di Aceh .Studi tentang kuburan-kuburan muslim di Aceh sejak zaman kolonial . Sejak Aceh ditaklukan , banyak penelitian dan pendataan arkeologis dilakukan oleh Belanda.

Salah satu studi penting tentang nisan di Aceh adalah studi yang dilakukan oleh sejarawan Belanda Jean-Pierre Moquette atas kuburan-kuburan Sultan Samudra Pasai. Pada tahun 1913 Moquette menerbitkan artikel berjudul: Deeerste vorsten van Samooedra-Pase (Nord Sumatra) atau Penguasa Pertama Samudra Pasai. Moquette dalam artikel itu mengetengahkan penelitiannya atas kuburan Sultan al-Malik as Shalih . Dia menulis  Sultan al-Malik adalah raja pertama yang memeluk Islam di tanah Pasai.

Makam Sultan Malik As-Shalih
sumber gambar: http://seputarkulineraceh25.blogspot.com

Dalam artikelnya itu Moquette menyebut bahwa bahan-bahan material nisan dan makam Sultan al-Malik as Shalih  diimport dari Cambay, Gujarat, India Selatan. Moquette di masa itu baru   membaca artikel dari sejarawan Belanda Van Rokel tentang kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang menyatakan  bahan-bahan makam Maulana Malik Ibrahim diimport dari India. Moquette juga mendapat data  bahwa kuburan dari putri Sultan Zayn al Abidin Samudra Pasai yang meninggal pada 1428 Masehi  marmar makamnya juga didatangkan dari Cambay, Gujarat. Berdasarkan  perbandingan dengan kedua makam itu dalam artikelnya Moquette berani menyimpulkan bahwa kuburan Sultan al Malik-as Shalih bahan bakunya diimport dari Gujarat.  Moquette dalam hal ini adalah seorang peneliti yang menerima pendapat yang dinyatakan Drewes bahwa Islam nusantara berasal dari Gujarat karena nisan-nisan tertua yang berhasil ditemukan di  nusantara bahan bakunya dari Gujarat.

Hal inilah yang ditentang oleh Elizabeth Lambourn. Menurut Lambourn, Moquette tidak terdidik sebagai arkeolog yang terlatih untuk mengidentifikasi bahan-bahan material suatu artefak dalam hal ini kuburan. Menurut Lambourn bila dilihat  jenis bahan batuan dan bentuk-bentuk nisan dari Cambay, Gujarat sama sekali berbeda dengan materi batuan yang digunakan untuk kuburan Sultan al-Malik-as Shalih. Batu marmar dari Cambay umumnya menurut Lambourn berwarna putih. Sementara bila kita amati batu pada makam Sultan al-Malik as Shalih cendurung berwarna kuning pasir.

Nisan-nisan dari Cambay umumnya berbentuk besar dan tinggi. Sementara jika diamati nisan kuburan Sultan al Malik pendek, ujung atas memiliki desain seperti mahkota   dan pada bagian kanan kiri  ada semacam bahu atau subang atau kupingan. Adanya mahkota dan kupingan ini merupakan khas nisan-nisan produksi Sumatra Utara yang secara general disebut Batu Aceh. Menurut Lambourn, Moquette juga gagal mengamati perbedaaan desai, ornamen dan gaya kaligrafi yang antara nisan-nisan Gujarat

Kuburan Sultan al-Malik-as Shalih lokasinya berada di kawasan desa Beuringin, wilayah Samudra, 14 kilometer dari Lhok Seumawe. Dari epitaf beraksara Arab di nisannya dapat dibaca  sang sultan wafat Juni/Juli 1297.  Di sebelahg kuburan Sultan al-Malik-as-Shalih terdapat kuburan anaknya yang juga raja penggantinya: Sultan al-Malik-al-Zahir.Dari nisannya dapat dibaca dia meninggal 9 November 1326. Adanya keberadaan dua sultan tersebut didukung oleh dua sumber  sejarah tertulis lokal terkenal: Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sulalat al-Salatin.

 

Pintu masuk Makam Sultan Malik As-Shalih. sumber gambar: mimbarkata.blogspot.com

Dari empat bentuk gaya nisan berkuncup mahkota dan memiliki kupingan yang disajikan oleh Othman Yatim, Elizabeth Lambourn berkesimpulan gaya dan bentuk  (juga ornamen dan gaya kaligrafi epitaph ) nisan Sultan Malik as-Shalih cenderung  berasal dari kelompok nisan berkuncup mahkota yang muncul tahun 1500 an. Artinya menurut Elizabeth Lambourn sesungguhnya nisan yang ada di kuburan Sultan Malik as-Shalih itu dibuat dari periode 200 tahun sesudah kematiannya. Dia memperkirakan nisan Sultan Malik as-Shalih dibuat antara tahun 1470-an dengan tahun 1520-an. Artinya itu nisan baru, bukan nisan asli yang dibuat saat sang sultan wafat tahun 1297. Nisan tersebut dibuat jauh 2 abad sesudah kematian Sultan Malik as-Shalik. Penguasa Aceh di tahun 1500-an menurut Elizabeth Lambourn  mungkin melakukan renovasi atas makam Sultan Malik as-Shalih dengan nisan gaya baru.

Untuk mendukung argumentasinya bahwa nisan Sultan Malik as Shalih sesungguhnya berasal dari tahun 1500, Elizabeth Lambourn melakukan perbandingan dengan nisan-nisan lain yang berasal dari tahun sekitar 1500 . Misal nisan Sultan Mansur Shah dari Malaka yang meninggal 7 November 1477. Menurut Elizabet gaya, dekorasi, ornament, kaligrafi nisan Sultan Malik as Shalih sangat mirip dengan nisan Sultan Mansur Shah. Dia juga membandingkan dengan kuburan Sultan SAceh dan keluarganya di pekuburan Kuta Alam, Banda Aceh. Nisan-nisan di sana yang bertahun 1511-1512 M gaya dan corak nisannya sangat serupa dengan nisan Sultan Malik as Shalih.

Pada titik ini penelitian Elizabeth sesungguhnya membuka peluang diskusi bahwa apakah benar penyebaran Islam paling awal di nusantara berasal dari Gujarat? Sebab nisan Sultan Malik as Shalih, pemeluk Islam pertama di tanah Aceh   yang biasanya dianggap sebagai “bukti keras” bahwa penyebaran Islam pertama di nusantara masuk dari Gujarat-ternyata adalah nisan yang baru terbuat dari era belakangan yaitu tahun 1500-an. Dan secara material sendiri desain, ornament, bentuk, kaligrafi pada nisan itu ciri-cirinya sama sekali berbeda dengan nisan-nisan yang ada di Gujarat. Saya kira seperti juga Guillot yang melakukan pembacaan kritis atas sesuatu yang telah diterima umum dan kemudian menjadi taken for granted,  diskusi tentang nisan Sultan Malik as Shalih dan apakah betul awal masuknya Islam ke nusantara berasal dari Gujarat telah dibuka Elizabeth Lambourn.