Tony Doludea

Dari Gajahoya ke Cortland (Sebuah Renungan Pendidikan Karakter)

Oleh Tony Doludea

1

Sudah dua tahun Gendari mengandung, namun tak kunjung melahirkan. Bukan hanya suaminya, namun keluarga istana dan seluruh negeri dirundung kegalauan. Sore itu tiba-tiba Gendari menjerit dan berteriak kesakitan. Erangan berhenti namun tidak ada suara tangisan bayi. Yang keluar hanyalah seonggok daging besar. Daging itu menggelundung di lantai pualam istana yang basah oleh merah darah.

“Duarrr!” Tiba-tiba dalam sekejap onggokan daging segar itu pecah berkeping-keping. Sebagian di lantai, sebagaian lain  menempel di dinding, di meja dan tempat tidur. Destarastra dengan ajian Lebursaketi  membuat daging itu hancur menjadi serpihan daging kecil-kecil yang berjumlah seratus. Destarastra kemudian memutuskan untuk keluar dari istana Hastinapura, membawa istri dan bayi-bayinya menuju Gajahoya – yang jah dari istana.

Gajahoya . Di sana bayi-bayi itu tumbuh. Dan pagi itu – kita melihat sebuah pemandangan ganjil. Banyak anak-anak kecil di sana sini. Sebagian tampak terlelap tidur di  dalam tenda lusuh, tergeletak di hamparan rumput dan  di kubangan lumpur. Sebagian yang sudah bangun berlarian saling kejar, saling pukul dan berkeroyokan, suasana tampak kacau sekali. Para balita itu dengan ganas dan liar saling cakar, sikut, injak dan lempar berebut untuk mendapatkan makanan. Beberapa mengejar-ngejar serta memakan ayam itu hidup-hidup.

Seratus balita itu tidak tersentuh oleh pendidikan budi pekerti. Mereka liar, brangasan dan bengis, tidak tahu sopan santun. Mereka tidak pernah berpikir untuk berbagi dan menciptakan suasana bahagia bersama. Tidak ada kata-kata lagi yang sanggup mendidik dan mendewasakan mereka. Tidak ada contoh teladan lagi yang sanggup menuntun mereka ke jalan kehidupan. Kurawa menantang siapa saja. Di usia balita itu para balita Kurawa ini tidak mendapatkan ajaran, pendidikan, tuntunan dan teladan kesatria sejati. Mereka tidak mendapatkan pendidikan karakter ksatria yang benar. Akibatnya di kemudian hari, mereka akan memantik, mengobarkan dan mengakhiri karma mereka dalam Bharatayudha.

2

Thomas Lickona, seorang ahli pendidikan di SUNY Cortland, menyadarkan dunia Barat tentang pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good) dan melakukan kebaikan (doing the good). Sementara itu, Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) juga pernah menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha membuat anak itu Ngerti, Ngroso lan Nglakoni. Anak tidak hanya dididik untuk ngerti (cognitive) saja, melainkan juga ada keseimbangan dengan ngroso (affective) serta nglakoni (psychomotoric). Dengan demikian diharapkan setelah menjalani proses belajar anak dapat mengerti dengan akalnya, memahami dengan perasaannya dan dapat melaksanakan pengetahuan yang sudah diperoleh itu dalam kehidupan bermasyarakat.

Pendidikan karakter tidak sekadar mengajar membedakan yang benar dan yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga anak paham, mampu merasakan dan mau melakukan yang baik. Karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan niat dan komitmen terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, pendidikan karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides) dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).

Pendidikan karakter adalah usaha sadar, sengaja dan terencana untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas kemanusiaan yang baik secara objektif, bukan hanya baik untuk individu perorangan, tetapi juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan. Usaha sadar dan terencana serta sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai moral, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga negara secara keseluruhan. Tujuan pendidikan karakter adalah membimbing para generasi muda menjadi cerdas dan membentuknya untuk memiliki perilaku yang baik dan berbudi. Tujuan pendidikan karakter adalah menanamkan dan membentuk sifat atau karakter yang diperoleh dari cobaan, pengorbanan, pengalaman hidup, serta nilai yang ditanamkan sehingga dapat membentuk nilai intrinsik yang akan menjadi sikap dan perilaku peserta didik.

Usulan Lickona tersebut disimpulkan berdasarkan temuan hasil pengamatan dan penelitiannya selama lebih dari 30 tahun terhadap remaja dan pelajar di negaranya itu. Sebagian besar anak-anak yang bermasalah ternyata juga memiliki orang tua yang bermasalah atau keluarga yang berantakan. Dan yang memperparah itu semua adalah bahwa lembaga yang diagung-agungkan selama ini, yaitu sekolah yang ternyata sama sekali tidak mampu menjadi jalan keluar bagi anak-anak yang mengalami permasalahan di rumah.

Sekolah yang mestinya bertanggung jawab pada pendidikan anak, karena mengklaim sebagai lembaga pendidikan ternyata sama sekali tidak melakukan proses pendidikan, melainkan hanya menjadi lembaga yang memaksa anak untuk mengikuti kurikulum yang kaku dan sudah ketinggalan zaman.

Guru-guru yang diharapkan menjadi pengganti orang tua yang bermasalah tapi ternyata tidaklah lebih baik dari pada orang tua si anak yang bermasalah tadi. Guru lebih suka memberikan pelajaran dari pada mendidik dan melakukan pendekatan psikologis untuk bisa membantu memecahkan masalah anak-anak muridnya. Guru-guru juga lebih suka saling melempar tanggungjawab ketimbang merasa ikut bertanggung jawab sebagai seorang pendidik.

Dan yang sungguh menyakitkan adalah ternyata pemerintah, khususnya yang bertanggung jawab pada bidang pendidikan hanya mementingkan masalah nilai, angka-angka dan ujian-ujian tulis. Pemerintah seolah menutup mata terhadap menurunya prilaku moral, rusaknya anak-anak sekolah dan meningkatnya prilaku kekerasan di kalangan remaja.Ukuran keberhasilan pendidikan lebih diletakkan pada menjawab soal-soal ujian dan target-target perolehan nilai, bukan pada Indikator Moral dan Pengembangan Karakter Anak. Sehingga pada akhirnya orang tua mendapati anak-anak mereka memperoleh nilai tinggi namun moralnya justru begitu rendah.

Hal tersebut oleh Lickona disimpulkan menjadi biang keladi dari permasalahan meningkatnya jumlah anak-anak yang menjadi penghuni penjara di hampir seluruh negara bagian di negara itu.Lickona melihat bahwa sesunguhnya jauh lebih penting mengajarakan anak tentang nilai kejujuran daripada nilai Matematika, Fisika dan sejenisnya, yang pada umumnya telah membuat anak menjadi tertekan dan mulai membeci sekolahnya. Sungguh jauh lebih penting mengajarkan pada mereka tentang kerjasama dan saling tolong menolong ketimbang persaingan merebut posisi juara di kelas. Sekolah hanya mampu membuat tiga anak sebagai juara ketimbang membuat mereka semua menjadi juara.

Menurut hasil pengamatan Lickona terhadap para pelajar dan para lulusan sekolah di tiap jenjang mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Ternyata dari tahun ke tahun menunjukkan suatu peningkatan grafik jumlah anak-anak yang bermasalah ketimbang anak-anak yang berhasil. Salah satu yang membuat Lickona menangis adalah ketika dia mengunjungi beberapa Lembaga Pemasyarakatan yang ada di beberapa negara bagian; yang dulu pada tahun 60an mayoritas di huni oleh orang-orang yang berusia antara 40-60an, namun apa yang terjadi pada tahun 90 itu, penjara-penjara itu penuh diisi oleh anak remaja antara usia 14-25 tahun. Jumlah peningkatan yang drastis juga terjadi pada penjara anak dan remaja.

3

Dalam tradisi Hindu kuno – pendidikan karakter kasta ksatria yang sejati adalah juga mencakup ajaran tentang mokhsa. Para ksatria sejati dilatih untuk mahir menggunakan Trisula Wedha -senjata pusaka Dewa Siwa. Wedha adalah ilmu pengetahuan dan Trisula merupakan senjata untuk perlindungan diri, bekelahi, menyerang dan berperang.

Trisula Wedha terdiri dari jejeg, jujur dan adil. Jejeg artinya berdiri tegak, memiliki pendirian yang kuat dan tidak goyah. Berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Jujur artinya tidak palsu, tidak pernah berbohong dan selalu mengatakan yang sebenarnya. Adil maksudnya tidak berpihak dan memandang semua manusia itu sama. Trisula Wedha merupakan sejata untuk memerangi dan mengalahkan nafsu dalam diri manusia sendiri, supaya menjadi manusia berbudi pekerti luhur.

Para kesatria menggunakan Trisula Wedha untuk menyelesaikan karmanya, yaitu melayani dan melindungi semua manusia. Dharmanya itu, pada akhirnya akan menghantarkannya pada Catur Viphala, yaitu: Nihsprha, tidak terikat pada sesuatu dan tujuan duniawi. Nirhana, tidak terikat pada diri, yaitu tubuh dan keakuan. Niskala, bersatu dan melebur dengan Yang Hampa, Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan dan Tak Terbandingkan. Nirasraya, meninggalkan niskala dan melebur dalam Parama-Laukika, bebas dari segala bentuk, sifat dan keadaan, mengatasi segalanya.

Nirasraya adalah moksha, yang berarti kelepasan atau kebebasan. Moksha dapat juga disebut dengan Mukti, artinya mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagian rohani yang langgeng. Moksha hanya dapat dirasakan oleh orang yang telah mencapainya. Bila seseorang sudah mengalami Moksha, maka dia lepas dan bebas dari ikatan dan kemelekatan keduniawian. Terlepas dan terbebasnya Atman dari ikatan maya.

Maya adalah kekuatan material yang menghayalkan, yaitu menggelapkan, menyebabkan lupa, menyesatkan dan membingungkan. Maya, ilusi tidak hanya karena tidak memiliki pengetahuan, tapi juga memiliki pengetahuan yang keliru. Ia mencapuradukkan tentang yang benar dengan yang tidak benar. Maya tidak dapat memahami tentang yang ada, karena hanya Brahman-lah yang sebenarnya ada. Maya tidak dapat mengucapkan tentang yang tidak ada, tentang hakikat Brahman. Maya tidak dapat membedakan yang sungguh-sungguh ada dengan yang tidak ada.

Karena itu, maya secara umum dimengerti sebagai khayalan, sesuatu yang tidak nyata, tidak benar atau tidak sejati. Tapi mereka yang sudah menyerahkan diri kepada Tuhan dapat menyeberangi atau melampaui kekuatan tersebut. Wedha mengajarkan bahwa meskipun maya adalah palsu atau sementara, tetapi yang melatarbelakanginya adalah Maheswara sendiri, sang pengendali tertinggi.

“Tenaga rohani-Ku, terdiri dari tiga sifat alam material, sulit diatasi. Tetapi orang yang sudah menyerahkan diri kepada-Ku dengan mudah sekali dapat menyeberang melampaui tenaga itu.” 

(Bhagawadgita VII. 14)

Maya adalah kekuatan luar biasa Brahman, bayangan yang menyesatkan melalui kekuatan yang sejati yang memerankan drama penampilan yang menyesatkan tentang dunia yang abadi, sebagai halnya keterikatan dan kebebasan. Maya memiliki dua fungsi, yaitu kekuatan yang menyelubungi kesejatian dan kekuatan yang memproyeksikan yang tidak sejati di tempat yang benar.Maka orang yang lepas dan bebas dari ikatan maya juga berarti bersatunya Atman dengan Brahman. Setiap makhluk dapat mencapai Moksha. Bila seseorang dapat mengurangi keakuannya dan mengarahkan pikiran dan perasaannya pada Tuhan, maka secara perlahan namun pasti akan terbebaskan.

“Setelah menjadi satu dengan Brahman jiwanya tentram, tiada duka tiada nafsu birahi, memandang semua makhluk-insani sama, ia mencapai pengabdian kepada-Ku yang tertinggi.” 

(Bhagawadgita XVIII.54)

Sedangkan kebebasan, kelepasan atau keselamatan (shalom) dalam tradisi Kitab Suci Perjanjian Baru, Rasul Yohanes mencatat dan menjelaskan kepada jemaat Gereja Tuhan ucapan Yesus Kristus yang mengatakan:

“Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.”

 (1 Yohanes 2: 17-17)

Moksha merupakan kelepasan, kebebasan, keselamatan dan hidup kekal, yaitu persekutuan atau menyatunya seorang manusia, mahluk dengan Tuhan, Sang Pencipta. Rasul Paulus menggambarkanya sebagai yang tidak pernah dilihat oleh mata, yang tidak pernah didengar oleh telinga dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia. (1 Korintus 2: 9)

Moksha adalah suatu misteri besar ilahiah. Dalam budaya dan tradisi iman yang sangat jauh berbeda itu, Bhagawadgita dan Perjanjiann Baru. Namun orang tetap saja dapat menemukan kemiripan, jika tidak ingin dan tidak boleh mengatakannya sama dan tentu saja memang sangat berbeda. Ada hal yang secara mendasar tidak dapat didamaikan.

4

Tentu saja perspektif moksha yang dijalani oleh pendidikan para ksatria Hindu di zaman dulu cukup mustahil dilakukan di era modern ini. Namun  setidaknya Lickona mengajukan sikap hormat dan tanggung jawab sebagai karakter mendasar, sebagaimana diajarkan kepada para ksatria adalah yang harus dipahami dan diajarkan kepada anak sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Lickona menjelaskan sikap hormat itu adalah memperlihatkan sikap menghargai kepada seseorang atau sesuatu. Hormat meliputi menghargai diri orang, yaitu hak dan martabat semua pribadi dan menghargai lingkungan hidup yang telah menopang kehidupan semua. Dari sisi moral, sikap hormat merupakan kendali atau pengarah yang mencegah orang untuk melanggar sesuatu yang bernilai dan seharusnya dihargai.

Sementara sikap bertanggungjawab adalah sisi aktif moralitas yang mencakup menjaga dan merawat diri sendiri dan orang lain, memenuhi kewajiban, turut ambil bagian dalam bermasyarakat, meringankan beban serta penderitaaan dan membangun sebuah dunia yang lebih baik.

Dalam proses pembentukan karakter anak ditemukan banyak persoalan yang memerlukan cara untuk mencegah bahkan menyelesaikan permasalan tersebut dengan baik agar pembentukan karakter dapat berjalan dengan baik dan berhasil. Untuk menangani permasalah pendidikan karakter bangsa secara lebih utuh dan menyeluruh, Lickona mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai pengarah bagi para pemangku kepentingan dalam mengatasi persoalan tersebut. Bagaiamana karakter dapat memengaruhi secara mendalam pada kualitas kehidupan individual dan kolektif manusia?

Bagaimana para orang tua dapat membesarkan anak-anak berkarakter dan bagaimana pihak sekolah dapat membantu para orang tua memenuhi peran utamanya sebagai guru moral anak-anak yang pertama dan terutama untuk anak-anak? Bagaimana para guru kelas dapat menciptakan suatu komunitas pembelajaran yang mendorong tindakan bertanggung jawab dan perilaku moral? Bagaimana sekolah manapun dapat menjadi sekolah berkarakter? Bagaimana melibatkan seluruh komunitas di dalam mendorong karakter yang baik?

Lickona menegaskan bahwa untuk menanamkan karakter pada anak didik, guru terlebih harus menjadi pengasuh, contoh, dan mentor. Sama seperti mengajarkan anak berenang, tidak bisa hanya sekadar memaparkan teori, namun guru juga harus masuk ke kolam renang dan memperagakan caranya.Keteladanan guru menjadi inti pengembangan sikap hormat dan tanggung jawab anak didik. Guru memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai seorang pemberi kasih sayang, pemberi contoh moral dan sebagai seorang mentor.

Hal ini mengingatkan dalam tradisi pendidikan Taman siswa, Ki Hajar Dewantara pernah mengajarkan  pembentukan karakter anak itu memerlukan penerapan metode among, artinya membimbing dengan cara, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayaniPendidikan dengan metode among, di mana guru memiliki tiga fungsi utama. Di depan, menjadi teladan atau contoh yang baik bagi para murid. Di tengah, menjadi pendorong atau pemberi semangat. Di belakang mengamati kemajuan para murid.

Ing ngarso sung tulodo, guru mengajarkan dengan memberi contoh, teladan, kedisiplinan, tata karma dan budi pekerti. Ing madyo mangun karso berarti guru memberikan semangat dan motivasi untuk membangun jiwa para siswa. Tut wuri handayani, yang artinya memberikan motivasi dan dorongan kepada anak didik untuk dibimbing dan diarahkan sesuai dengan jalurnya.

Guru dalam mengamong anak didiknya itu, ketika berperan sebagai seorang pemimpin dapat menjadi seperti: Bumi, Angin, Api, Samudra, Langit, Bulan, Bintang dan Matahari. Ini juga disebut sebagai asih (mencintai), asah (mendidik) dan asuh (membina). Bumi yang mempunyai sifat teguh, kuat dan murah hati, yang memberikan kebutuhan hidup makhluk yang hidup di atasnya, tidak pilih kasih atau membeda-bedakan.

Angin, selalu ada di mana saja serta selalu mengisi semua ruang yang kosong meskipun wujudnya tidak tampak. Guru selalu dekat dengan murid agar bisa mengetahui keadaan dan keinginan mereka tanpa membedakan derajat dan martabatnya. Api membakar habis dan menghancur leburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Guru dapat menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu.

Samudra, tempat membuang apa saja tapi tetap ikhlas dan penuh ketabahan. Air yang senantiasa mempunyai permukaan rata dan sejuk menyegarkan selalu turun ke bawah lapisan masyarakat. Guru luas hati dan sabar dalam menerima kritikan, tidak terlena oleh sajungan dan menampung segala aspirasi rakyat. Langit, kadang bersifat indah, menakutkan, kadang hujan yang menjadi berkah serta sumber penghidupan bagi semua makhluk hidup. Guru berwibawa dan menakutkan bagi siapa saja yang berbuat salah dan melanggar peraturan serta memeberikan kesejahteraan.

Bulan, memberi penerangan yang sejuk dan indah berupa kebahagiaan pada malam hari. Guru memberi kesempatan di kala gelap, memberi kehangatan di kala susah, memberi jalan keluar saat masalah dan menjadi penengah di tengah konflik. Bintang, menyinari, menghiasi langit, menjadi kiblat dan sumber ilmu. Guru menjadi kiblat kesusilaan, budaya dan perilaku serta mempunyai pikiran yang jelas. Bercita-cita tinggi mencapai kemajuan bangsa, teguh, tidak mudah terombang-ambing, bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Matahari, memberi kehangatan dan sinar kehidupan pada jagat raya. Guru mampu menumbuhkembangkan daya hidup muridnya untuk membangun bangsa dan negara dengan bekal lahir dan batin untuk dapat tetap berkarya.

5

Dari SUNY Cortland ,Thomas Lickona menyuarakan kepada dunia  paling sedikit ada 10 tanda-tanda dari suatu bangsa yang akan mengalami kemunduran, bahkan kehancuran. Apabila ternyata ke sepuluh tanda ini muncul di sebuah negara, maka sudah saatnyalah mereka melakukan perubahan besar-besaran terhadap sistem pendidikan bagi anak-anak mereka.  10 tanda-tanda itu antara lain:

1. Kekerasan dan Perusakan (Violence and Vandalism). Meningkatnya tindak perusakan, kekerasan bahkan pembunuhan pada remaja dan pelajar.

2. Pencurian (Stealing). Remaja dan pelajar semakin banyak terlibat tindak pencurian.

3. Kecurangan (Cheating). Para pemuda tidak segan untuk berbuat curang.

4. Tidak menghormati pihak yang berwenang (Disrespect for authority). Para pelajar tidak patuh dan tidak menghiraukan arahan pemimpin dan pengaturan.

5. Kekejaman Kelompok (Peer Cruelty). Melakukan kekejaman terhadap anak atau kelompok lain.

6. Kebencian (Bigotry). Prasangka buruk dan permusuhan terhadap orang yang beda ras.

7. Kata-kata kotor (Bad language). Terbiasa menggunakan kata-kata kotor dan omong jorok dalam komunikasi sehari-hari. Mengejek, mencela, memaki dan mengupat.

8. Tindak seksual sebelum waktunya dan pelecehan seksual (Sexual precocity and abuse). Banyak anak muda ditahan karena pelecehan, tindakan kekerasan seksual dan pemerkosaan.

9. Tingginya sikap mementingkan diri sendiri dan menurunnya tanggungjawab bermasyarakat.

10. Tingginya perilaku merusak diri sendiri (Self-destructive behavior). Karena sangat mementingkan diri sendiri maka anak cenderung lebih mudah merusak diri sendiri dengan penyalahgunaan obat terlarang, seks bebas, kekerasan, perusakan, pembunuhan dan bunuh diri.

Hasil penelitian Lickona itu mengungkap sejarah ciri-ciri bangsa-bangsa yang mengalami kemunduran atau kehancuran. Ciri-ciri yang sangat jelas ini dapat menjadi indikator dan petunjuk apakah sebuah negara sedang menuju ke titik kemajuan atau justru kehancuran. Bagi pembaca Perjanjian Baru, temuan Lickona tidak lagi begitu mengejutkan, karena lebih 1900 tahun lalu Paulus telah mengingatkan Timotius muridnya .

“Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah. Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya.”  

 (2 Timotius 3: 1-5)

6

Sesungguhnya perjuangan bangsa Indonesia dalam membangun negara dan karakter bangsa saat ini sangat membutuhkan teladan dalam hal saling menghormati dan bertanggung jawab satu dengan yang lainnya – agar kita tidak jatuh dalam ciri-ciri kehancuran negara yang dideskripsikan Thomas Lickona dari Cortland. Teladan – yang jauh dari sosok  Sengkuni yang menebarkan kebencian dan permusuhan di antara anak bangsa. Sengkuni yang dengan cerdik, rapih dan teliti menyiapkan padang Kurukshetra bagi terselenggaranya perang saudara Bharatayudha. Sengkuni yang i mengapitalisasi agama, kebaikan, kebenaran dan Pancasila demi kekuasaan dan harta duniawi

Raja Daud,dalam kitab suci dikisahkan mendidik anak-anak muda dan rakyat bangsanya itu dengan membagikan pengalaman hidupnya dari bawah, yaitu sebagai gembala domba. Gembala domba adalah suatu pekerjaan yang tidak dapat dibanggakan, kalau tidak mau dikatakan pekerjaan yang hina. Namun di sanalah Daud remaja belajar dan dipersiapkan untuk menjadi seorang pemimpin yang melindungi dan melayani umat Tuhan.

“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin. Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar; sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.”  

(Mazmur 1: 1-6)

Nasihat Daud tersebut kemudian menghasilkan seorang raja besar dan terkenal sangat berhikmat, yaitu Salomo (Sulaiman). Salomo bin Daud ini juga mendidik anak muda dan bangsa Israel melalui Kitab Amsal,

“Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian. Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.”

 (Amsal 9: 10 dan 1: 7)

Peradaban manusia yang sehat, berkembang dan maju itu selalu ditandai dengan orang-orang yang memberi teladan hidup yang baik dan yang benar kepada anak-anak muda. Bangsa Indonesia membutuhkan teladan-teladan seperti itu. Tidak cukupkah orang belajar dari cerita Kurawa – yang jauh dari pendidikan moksha para ksatria di atas? Kitab Dhammapada mengingatkan.

“Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi; dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang.”

  (Dhammapada XI: 152)

 

*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.