Aku, Chekhov dan Anjing Kesayangannya
Oleh Iwan Jaconiah
JIKA sastrawan Rusia Lev Tolstoy terkenal akan kecintaannya pada kuda. Sampai-sampai, Lev atau lebih sering dicatat Leo, menulis sebuah novel berjudul “Kholstomer”(1886) dari sudut pandang kuda. Bahkan, di novel lainnya berjudul “Anna Karenina” (1877), yang berkali-kali jadi kontroversial masuk nominasi Nobel Prize di Swedia, sosok kuda bernama Fru-Fru juga Tolstoy hadirkan sebagai pemikat dan pemanis.
Maka, berbeda dengan cerpenis dan dramawan Anton Chekhov. Anak asuh Tolstoy itu, lebih mencintai anjing. Dalam beberapa karya, Chekhov mencantumkan sosok anjing kesayangannya secara gamblang. Itu tak lain sebagai ramuan jitu. Terutama, membedakan karya cerpen dan naskah dramanya dengan kompatriot pengarang sejaman.
Sebagai seorang dokter, Chekhov adalah pemikir ulung. Dia bahkan menamai dua ekor anjing kesayangannya dengan nama obat-obatan pribadi. Barang penawar rasa sakit yang selalu ada di ransel mungilnya. Dua obat populer dalam dunia medis abad ke-19, yaitu Brom = “bromida” dan Kina = “quinina”. Ketergantungan Chekhov akan obat-obat tersebut sangat tinggi. Wajib dia konsumsi sebagai peningkat daya tahan tubuh.
Sama seperti sekarang, kita sedang digempur wabah Covid-19. Begitu pula Chekhov juga pernah terserang wabah malaria di daratan Eropa. Tentu, berbeda jumlah korban dan area penyebarannya. Covid-19 dikategorikan pandemi, sedangkan malaria saat itu dikategorikan epidemi. Toh, sama-sama bahaya dan bikin ciut penduduk dunia.
Chekhov punya kebiasaan mencurahkan isi hati dan pikirannya kepada Brom dan Kina. Mereka berjenis ras “anjing sosis”. Jika berjalan, perut Kina hampir menyentuh tanah. Berbeda dengan Brom yang lebih langsing dan sedikit tinggi. Chekhov sering mengobrol dengan mereka hingga berjam-jam. Dia lakukan, baik saat santai maupun tengah sibuk mengetik naskah cerita.
Sebelumnya, Chekhov mendapatkan dua anjing tersebut dari cerpenis sekaligus editor Nicolay Leikin. Leikin tinggal di St Petersburg. Suatu hari, Chekhov main ke rumah sahabatnya itu, di kota yang pernah dijuluki sebagai “Holandia Baru dari Utara”oleh Tsar Peter Yang Agung. Di sana, Leikin mendapati Chekhov sangat ramah dengan anjing. Hatinya terusik sehingga dia memberi kedua anjingnya perdeo.
Dari St Petersburg, Chekhov menumpangi kereta senja ke Moskwa. Ditemani Brom dan Kina. Setiba di Moskwa pada pagi harinya berikutnya, dia melanjutkan perjalanan ke Melikovo. Itu terjadi pada sebuah musim semi 1893. Melikovo sendiri adalah sebuah desa asri dan tenteram di pinggiran Moskwa Oblast.
Rupanya seiring bertambanya usia anjing, Chekhov merasa perlu untuk memanggil mereka dengan cara yang lebih formal. Dia pun menambahkan patronimik. Dengan demikian, mereka dikenal oleh penduduk Melikovo sebagai Kina Markovna (Kina, si putri Markov) dan Brom Isaevic (Brom, si putra Yesaya: Isaiah).
Kini, rumah Chekhov di Melikovo telah disulap menjadi museum. Saya terakhir mampir ke sana setahun silam. Sangat padat pengunjung asing jika musim panas tiba. Dua patung Kina dan Brom juga terpasung sebagai situ sejarah. Seakan menjadi simbol kebaikan bagi warga setempat. Banyak orang berkunjung hanya untuk menengok dan menyentuh kepala patung Kina dan Brom. Konon, bisa mendatangkan rejeki bagi yang percaya takhayul. Ya, saya salah satunya.
Sedikit tarik jauh ke belakang, Chekhov lahir di desa Taganrog, Rostov Oblast, pada 29 Januari 1860. Dari masa kecil sampai remaja, dia habiskan di wilayah pesisir Laut Azov, itu. Kecintaan terhadap dunia sastra kian kuat saat dia hijrah bersekolah ke Moskwa. Pada 1879, Chekhov lolos masuk di Fakultas Kedokteran, First Moscow State Medical University. Dan, pada 1884, dia menamatkan pendidikannya.
Setelah tamat, Chekhov bekerja di sebuah klinik anak dan tinggal di rayon Tverskoy. Lokasinya dekat sekali dari apartemen, tempat saya sewa dan tinggal. Tak mengherankan, ada nama Stasiun Chekovskaya. Selama menulis cerpen, Chekhov sering menggunakan nama pena. Antara lain, Antosha Chekhonte dan Celobek Bes Selesenki yang berarti ‘orang tanpa limpa‘. Penguasaan bidang kedokteran dan keahlian menulis cerpen membuat namanya kian melambung tinggi.
Karya cerpennya berhasil menembus sejumlah surat kabar dan majalah sastra ternama di Moskwa dan St Petersburg. Gaya dan tema penulisan Chekhov begitu lekat dengan unsur satire dari kehidupan jalanan di Rusia. Pada 1882, dia menulis untuk Oskolki (Fragment), sebuah penerbit yang dimiliki oleh pengusaha kaya Nikolai Leykin.
Pada 1884 dan 1885, kondisi kesehatan Chekhov mulai menurun perlahan-lahan. Dia sering batuk-batuk di ruangan kerja. Suatu sore, saat membatuk keras, dia menemukan gumpalan darahnya sendiri bercampur dahak. Pada 1886, dia terserang tuberkolosis. Chekhov begitu introvert dan enggan memberitahukan kondisi sesungguhnya ke teman-teman dekat.
Selagi mengidap tuberkolosis, dia mendapatkan tawaran bekerja untuk surat kabar Novoye Vremya (Tempo Baru) di St Petersburg. Di surat kabar tersebut, dia sangat berperan aktif. Chekhov menulis salah satu cerita yang menarik perhatian para pembaca berjudul “Kashtanka”. Diterbitkan pada Malam Natal 1887 di Novoye Vremya, dengan seri cetakan No 4248, hal 1-2.
Dalam kondisi kesehatan buruk, dia bertahan dan bekerja bersama editor sekaligus milioner Alexey Suvorin. Chekhov sangat membutuhkan penghasilan tambahan. Agar dia bisa membuka klinik praktek sebagai seorang dokter profesional. Namun, dunia profesinya bergeser ke ranah sastra dan drama yang kelak mengharumkan namanya.
Suatu pagi di tahun yang sama (1887), Chekhov membulatkan hati. Dia keluyuran jauh ke Ukraina. Dari pengembaraannya, dia menghasilkan sebuah novella berjudul “Langkah”. Mengusung kisah perjalanannya sendiri. Penuh dengan perasaan bercampur-aduk dan tidak karuan akibat sering sakit-sakitan.
Dalam narasi “Langkah”, tergambar penuh pikiran dan proses kreatif Chekhov. Dia membangkitkan perjalanan berliku di padang rumput hijau. Melalui pandangan mata seorang pemuda yang dikirim untuk merantau jauh dari orang tuanya. Lelaki itu tinggal bersama beberapa sahabat, paman, dan seorang pedagang di sebuah paroki ortodoks.
Setahun kemudian, novella itu diterbitkan untuk pertama kalinya oleh penerbit Severny Vestnik. Ada perubahan kecil dalam alur cerita. Novella “Langkah” mendapatkan sambutan hangat para pembaca di Rusia. Sehingga, naik cetak sebanyak 13 edisi pada 1889-1899. Dalam versi revisi, karya-karya Chekhov terus diterbitkan. Termasuk, cerpen pilih terbaiknya. Dicetak kembali hingga empat volume oleh Adolf Marks.
Dacha Putih
Setelah kematian ayahnya, Chekhov pindah ke Yalta pada 1897. Sebuah kota kecil di bagian selatan Rusia, tepatnya di Republik Krimea. Yalta berada persis di pantai utara Laut Hitam. Kota bersejarah dan merupakan situs koloni kekaisaran Yunani. Chekhov membeli sebidang tanah luas dari hasil kerjanya sebagai penulis.
Di sana, dia membangun sebuah vila. Rumah tinggalnya itu kemudian hari dikenal penduduk setempat dengan sebutan “Belaya Dacha” atau Dacha Putih. Ibu dan saudara perempuannya juga turut ikut ke Dacha Putih agar bisa menikmati udara hangat. Udara Yalta bersubtropis sedang sehingga pas. Lebih hangat ketimbang Moskwa yang selalu dinginnya mencucuk tulang. Tak heran, sampai kini terdapat banyak sanatorium dan pusat kebugaran.
Sangat cocok bagi orang-orang yang memiliki riwayat penyakit jangka panjang. Udara laut sepoi-sepoi, hidup terasa lebih santai, dan tenang. Ketika tinggal di Dacha Putih, Chekhov mulai menanam pohon dan bunga. Dia banyak menghabiskan waktu menulis di sana. Bahkan Tolstoy dan Maxim Gorky pernah mampir ke Yalta atas undangan Chekhov. Mereka membakar satai domba seraya menikmati anggur merah khas Krimea yang memabukkan, itu.
Di Dacha Putih inilah, Chekhov menyelesaikan sejumlah cerpen dan naskah drama. Antara lain, naskah drama “Tri Sestry/ Tiga Saudari” (1901) dan naskah komedi “Vishnevyy Sad/ Kebun Ceri” (1904). Chekhov juga menulis sebuah kumpulan cerpen terbaiknya, “Dama s Sobachkoy/ Nyonya dan Anjingnya”. Pertama kali cerpen tersebut dipubliskasikan di majalah ternama Russkaya Mysl/ Pemikiran Rusia, No. 12 tahun 1899.
Chekhov mendapat pujian karena reputasi bagus. Lihai menghadirkan suspensi dalam alur dan cerita “Tri Sestry”. Naskah drama itu kemudian hari juga dimuat secara serial di “Russkaya Mysl”, No. 2 tahun 1901. Ada perubahan dan amandemen diterbitkan dalam edisi terpisah pada tahun yang sama oleh sebuah penerbit milik AF Marx.
Sebagai penulis, Chekhov mendapat honorarium yang besar. Saat namanya kian melambung dan memasuki usia ke-41 tahun, dia memutuskan meninggalkan masa lajangnya. Pada 25 Mei 1901, Chekhov meminang dan menikahi seorang perempuan idaman yang lama dia cintai, Olga Knipper, seorang aktris berbakat dan berprestasi. Perayaan pun sederhana dihadiri teman-teman dan keluarga dekat saja.
Knipper tergabung bersama Moscow Art Theatre. Ini kelompok seni pertunjukan yang berlokasi di Jl Tverskaya. Geliat teater profesional dan jadi barometer pertunjukan dunia. Harum namanya melambung tinggi hingga ke Eropa Barat dan Amerika Serikat. Didirikan pada 1898 oleh Konstantin Stanislavski yang juga ambil bagian sebagai sutradara. Peran Knipper di kelompok teater itu sangat penting. Dia ikut mementaskan sejumlah produksi garapan Stanislavski berdasarkan naskah drama yang ditulis Chekhov.
Selama sakit-sakitan, Chekhov selalu ditemani anjing-anjing berbeda. Bukan lagi Brom dan Kina. Sebab dua anjing terdahulu itu, telah lama pergi dan dikuburkan di Melikovo, rumah Chekhov lainnya saat tinggal di Moskwa Oblast. Selang 20 tahun sejak kematian Chekhov di usia 44 tahun di Badenweiler, Jerman, cucu-cucu anjing Brom dan Kina masih terpelihara baik. Bahkan, Knipper sempat memberi beberapa anjing ke Vladimir Nabokov, seorang penyair, novelis, dan entomolog.
Baik di Melikovo maupun Yalta, terdapat skulptur anjing. Di Yalta, khususnya, ada patung berjudul “Chekhov, Dama s Sobachkoy/ Chekhov, Nyonya dan Anjingnya”. Karya garapan dua pematung kontemporer ternama ayah-anak, Gennady Parshin dan putranya Fyodor Parshin pada 2004. Mereka berhasil menginterpretasi karya Chekhov dengan judul sama. Cerpen itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.
Patung berbahan perunggu tersebut sangat menyita perhatian orang-orang yang lewat. Terletak di bibir Laut Hitam. Musisi jalanan selalu menjadikan lokasi itu untuk ngamen. Tentu, sembari mendulang rejeki dari para pelawat yang datang untuk sekadar berfoto ria di samping patung “Chekhov, Nyonya dan Anjingnya”.
Tradisi sastrawan dan binatang peliharaan memang sangat dekat. Tidak hanya Tolstoy dan Chekhov. Namun, wajib diingat satu nama ini, yaitu Joseph Brodsky. Dia adalah penyair penerima Nobel Prize susastra 1987. Sejumlah puisi Brodsky tidak terlepas dari binatang kesayangannya. Bukan kuda atau anjing, melainkan kucing.
Terlepas dari itu semua, saya mendapati bahwa proses puncak kreativitas Chekhov bukan hanya di Yalta. Namun, perlu disebut di sini, saat dia berkunjung ke Pulau Sakhalin, dekat Jepang, pada musim panas dan musim gugur 1890. Dia seakan telah mengetahui bahwa ajalnya tak akan lama lagi tiba. Dari pelawatan tersebut, Chekhov melahirkan prosa berjudul “Ostrov Sakhalin/ Pulau Sakhalin”. Dia tulis pada 1891-1893 dengan genre catatan perjalanan. Plus, data statistik ekstensif yang dikumpulkannya.
Menurut para peneliti sastra kontemporer, genre buku itu dipengaruhi oleh “Zapiski iz Mertvogo Doma / Catatan dari Rumah Kematian” karya Fyodor Dostoevsky. Novel ini dibuat dari 1860 hingga 1862. Sejumlah tulisan dalam bab pertama novel Dostoevsky itu pernah diterbitkan di majalah Vremya/ Tempo, St Petersburg. Namun, tentu saja ada perbedaan dengan “Ostrov Sakhalin”, baik latar belakang, letak tempat, maupun sejarah kejadian.
Kini, setiap tahun di Yalta, ada berbagai festival diselenggarakan dengan disponsori kaum milioner Rusia. Mulai dari sastra, teater, tari, dan film. Yalta sempat mencekam dan tanpa wisatawan saat daerah itu masuk dalam “zona panas” konflik perang saudara Rusia-Ukraina. Untunglah, kegiatan kebudayaan pun bisa mendinginkan situasi kedua negara. Tidak sedikit seniman dari luar negeri selalu turut ambil bagian di pelbagai acara, termasuk seniman Ukraina itu sendiri.
Pertikaian antara Rusia-Ukraina di wilayah itu berakhir pada 2014 setelah referendum. Masyarakat memilih berintegrasi dengan Rusia sebab budaya dan bahasanya serumpun. Dalam sejarahnya, Krimea sudah tiga kali menggelar referendum sejak Uni Soviet runtuh pada 1991. Kawasan tersebut sangat strategis dalam peta geopolitik dan pertahanan Rusia di kawasan Laut Hitam. Itu sebabnya, masyarakat Krimea menganggap Presiden Vladimir Putin sebagai pahlawan.
Lebih dekat dengan Chekhov
Pada musim gugur 2019, saya mendapat undangan untuk mengunjungi Yalta. Itu terjadi saat sajak-sajak saya lolos kurasi pada X International Literary Festival «Chekhov Autumn». Seorang rekan penyair di sebuah komunitas sastra Moskwa, juga ikut mengirimkan karyanya, sayang tidak lolos. Itu sempat membuat hubungan kami renggang, namun hanya sepekan saja. Kami pun saling menghubungi hingga hari ini.
Panitia memberi kabar agar saya sedapatnya hadir. Ya, untuk ikut membaca puisi-puisi yang lolos pada Festival Sastra Chekhov, 21-24 Oktober. Awalnya, saya mengetahui info festival dari Literaturnaya Gazeta, sebuah surat kabar sastra tertua di Rusia. Sajak-sajak Alexander Pushkin dan Gorky pernah dipublis di situ.
Saya iseng-iseng dan coba-coba kirim naskah puisi-puisi dalam tiga bahasa ke panitia Festival Sastra Chekhov. Tidak kepikiran untuk bisa lolos ke festival bergengsi tersebut. Yang ada hanyalah keinginan kuat untuk melihat dengan mata kepala sendiri Dacha Putih yang historis. Sebuah tempat Chekhov menghabiskan hari-harinya terakhir sebelum dibawah berobat ke Jerman.
Kabar keikut-sertaan saya di Festival Sastra Chekhov langsung menyebar. Hingga sampai ke telinga sebagian rekan-rekan sesama mahasiswa dan warga Indonesia di Negeri Rusia. Shofhal Jamil, satu-satunya mahasiswa S2 asal Indonesia di Crimean Federal University, langsung mengontak saya lewat Instagram. Dari obrolan singkat di jejaringan sosial itulah, akhirnya kami pun bikin janji untuk bersua. Lokasinya di Bandara Udara Simferopol, pada pukul 16.40, sehari sebelum pembukaan festival.
Sayang, sungguh sial dan nahas. Saya harus gigit jari sebab ketinggalan pesawat rute penerbangan Moskwa-Simferopol akibat suatu kejadian. Padahal, tiket sudah saya kantongi. Dengan berat hati dan kesal, terpaksa saya harus mengeluarkan lagi isi dompet. Membeli tiket baru untuk penerbangan yang sama. Namun begitulah, kursi belum aman, ada rasa was-was, dan masuk daftar tunggu. Tiga jam saya lelah dan bingung menunggu. Cukup lama dan tanpa kejelasan dari pihak Bandara Sheremetyevo.
Tiba-tiba, seorang petugas perempuan bertubuh langsing dengan parfum wangi di sekujur tubuh, bersepatu hak tinggi, dan berambut sebahu, menghampiri saya. Sedikit senyum dan ramah menyapa seperlunya. Dia tanpa basa-basi menyodorkan selembar tiket. Syukur, kini saya sudah bisa terbang menghadiri festival. Cepat-cepat langsung menelepon Shofhal. Mengabari dia tentang jam kepastian kedatangan pesawat.
Akhirnya, kami pun bertemu pada pukul 23.45 di Simferopol. Malam itu, pertama kali saya melihat batang hidung Shofhal. Semacam ada kerinduan, lelaki berambut sebahu itu sembunyikan pada Tanah Air yang jauh. Kami saling ngobrol, ngopi, dan ngegosip ria gembira berjam-jam. Tidak terasa hingga matahari merah jambu perlahan-lahan muncul. Kini, giliran saya menunggu jemputan panitia Festival Sastra Chekhov. Meski rintangan masih ada, namun patut disyukuri dan dijalani.
Shofhal, sosok supel dan asyik. Lelaki berdarah Sunda itu berkuliah di jurusan fisioterapi spesialis disabilitas dan paralimpik. Dia bersedia menemani saya hingga ke Yalta, kota yang belum pernah kami kunjungi. Apalagi, secara geopolitik daerah itu masih “sensitif” antara Rusia-Ukraina. Semua diplomat Indonesia dilarang keras untuk mengunjungi Krimea. Pasalnya, posisi Indonesia netral dalam urusan hubungan luar negeri.
Hati saya juga sempat menciut. Sebab, seorang peneliti senior Rusia mengirimkan pesan destruktif. Isinya agar supaya saya mengurungkan niat berangkat ke Yalta. Hal itu bisa membuat saya kesulitan kelak jika suatu hari akan memasuki Ukraina. Sesungguhnya, itu pesan peringatan yang baik. Namun, ini naluri kian bertambah jantan dan nekat. Tidak sabar untuk segera tiba, baca puisi, dan renang di Laut Hitam.
Sejam menumpangi mobil jemputan panitia Festival Sastra Chekhov, kami pun tiba di lokasi acara. Sudah ada banyak peserta di sana dari berbagai negeri Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika. Semuanya, tidak saya kenal. Hanya beberapa nama tak begitu asing terdengar. Saya pun tahu sebab sering baca surat kabar dan majalah sastra di Biblioteka Lenina.
Ada dua penyair Rusia paling popular rekam jejak mereka di dunia sastra juga turut hadir di lokasi, yaitu Vadim Terekhin dan Nina Popova. Puisi-puisi mereka sering terpampang di media massa. Saat kami saling berjumpa dan bercuap-cuap, Terekhin dan Popova terbilang sopan, baik, dan bijak. Mengetahui saya dari Indonesia, kedua rekan sastrawan itu langsung menyodorkan buku antologi puisi mereka.
Sejurus, saya melapor dan meregistrasi diri sebagai peserta. Panitia meminta agar sedapatnya menulis data pribadi dalam alfabet Sirilik, bukan Latin. Urusan registrasi pun beres hanya dalam beberapa menit saja. Saya pun diberikan sebuah kamar mewah di lantai lima plus balkon terbuka menghadap ke Laut Hitam. Data-data semua peserta menjadi berharga. Penting bagi perkembangan sastra Rusia abad ke-21.
Tak berapa lama, seorang volunter memperkenalkan saya kepada Andrey Chernov, Presiden Festival Sastra Chekhov. Lelaki bertubuh bongsor dan buncit itu belum pernah saya lihat dan kenal. Belakangan baru saya tahu kalau dia adalah seorang profesor dan kritikus sastra ternama Rusia. Tutur kata-katanya tegas, namun sopan dan ramah. Pada saat itu pula, Chernov memberitahukan bahwa saya adalah pesastra pertama Indonesia di festival tersebut.
Saya tidak langsung senang atau jumawa. Pasalnya, penyair Malaysia dan Vietnam sudah sering membanjiri pelbagai festival sastra dan budaya di Eropa Timur. Jaringan komunitas penulis antara Rusia dan Vietnam, misalnya, sangat aktiv. Tidak sedikit sastrawan Rusia dan Vietnam seling undang-mengundang. Fasilitas tiket pesawat bolak-balik dan hotel pun gratis. Meski demikian, kehadiran di Yalta patut dibanggakan sebab secara tak langsung saya membawa nama Indonesia di Festival Sastra Chekhov.
Sepekan sebelum tiba di Yalta, saya lebih dahulu memberitahu sejumlah tokoh penting. Salah satunya, Duta Besar Indonesia untuk Federasi Rusia dan Belarusia Wahid Supriyadi, saat itu. Dia sangat mendukung sepenuh hati setelah mengetahui jikalau belum pernah ada pesastra Indonesia lolos kurasi di festival tersebut.
Ada lebih dari 200 penyair dari berbagai negara ambil bagian. Wahid notabene pernah membaca cerpen-cerpen Chekhov pun langsung turut memberi dukungan positif. Nyata atau tidaknya, pengaruh Chekhov sangat kuat. Pasti kita pernah bersentuhan, minimal membaca salah satu karyanya, baik dalam bahasa asli maupun terjemahan Bahasa Indonesia.
Chekhov dan Yalta sangat mengikat satu sama lainnya. Dacha Putih kini dirawat secara baik dan menjadi Museum Penulis. Tempat itu juga dijadikan salah satu lokasi Festival Sastra Chekhov. Bahkan di tengah kota, terdapat sebuah Monumen Chekhov. Dia tampak sedang duduk menatap ke birunya Laut Hitam. Di pelataran inilah, juga menjadi lokasi pembacaan puisi. Saya ikut membaca puisi karya sendiri berjudul “Bumi” dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Rusia.
Monumen Chekhov menjadi bukti kuat bahwa semasa hidupnya, dia telah ikut berjasa menduniakan Yalta. Di sinilah, Chekhov menyelesaikan naskah “Chayka (Camar)”, sebuah drama empat babak yang dirampungkannya pada 1895 dan diproduksi pentas pertama kali pada 1896. Naskah itu sebelumnya sempat ditulis sebagian di Melikovo.
Kini, kita baru saja memasuki peringatan ke-161 tahun Chekhov. Perayaan hari jadinya digelar secara sederhana. Situasi pandemi yang melanda dunia, termasuk Rusia, terasa besar dampaknya. Mengakibatkan pembatalan semua festival sastra, sepanjang tahun lalu. Kemungkinan, banyak penundaan juga akan terjadi di ini tahun.
Meski demikian, sejumlah sastrawan, teaterawan, dan akademisi Rusia tetap menggelar acara secara daring. Mereka bertemu ria melalui perangkat komunikasi, baik via Skype maupun Zoom. Membaca dan mengenang kembali sosok Chekhov. Masyarakat Rusia memang memiliki tradisi secara turun-temurun. Menggelar acara untuk mengingat kembali para pesastra yang pernah memberi sumbangsi penting bagi sastra Rusia di kancah internasional. Bagi mereka, sastrawan laksana “dewa kecil” dan akan dikenang manis selamanya.
Ada hal menarik tentang Chekhov. Saking mencintai anjing-anjing peliharaannya, dia selalu ikut larut menulis dan membubuhi kisah sehari-hari sederhana mereka dalam karya. Patut disebut sebuah nama, Koesalah Soebagyo Toer (alm), seorang senior alumni pendidikan di Moskwa. Dia sangat berperan aktif mengalihbahasakan karya Chekhov ke dalam Bahasa Indonesia semasa hidupnya.
Terjemahan-terjemahan karya Koesalah banyak diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Bahkan, Pemerintah Rusia melalui Kedutaan Besar Rusia di Jakarta, pernah menganugerahi Koesalah sebuah Pushkin Award, penghargaan sastra paling elit di Rusia. Koesalah dianggap sebagai tokoh pertama yang berhasil menerjemahkan karya Chekhov.
Sepekan terakhir, nama Chekhov kembali dikenang dan dirayakan masyarakat sastra dunia. Dia adalah salah satu tokoh berpengaruh dari jaman perak susastra Rusia. Dikenal luas sebagai sosok berhati lembut dan jenius. Jujur, awalnya saya tidak menyukai anjing. Namun, setelah mengunjungi Dacha Putih dan mengetahui kisah Brom dan Kina, saya pun kian jatuh hati. Selamat ulang tahun ke-161 di alam keabadian, dokter Anton Pavlovich!
*Penulis adalah penyair, kulturolog, dan penulis buku antologi puisi “Hoi!” (2020). Kini, sebagai peneliti muda Indonesia di Nusantara Society, sebuah lembaga riset sastra dan budaya nirlaba yang berpusat di Moskwa, Rusia.
Tulisan yang sangat menarik.
Opini saya, kenapa karya Anton Chekhov masih banyak dibaca, karena ceritanya masih sangat related dengan keadaan saat ini, terutama cerpennya.
Dan yang paling menarik, Chekhov mampu menceritakan hal yang berat dengan kemasan yang ringan.
Suka dgn gaya penulisannya yang mengalir, sampai tak terasa sudah sampai bagian akhir. Semangat ya, Bang Iwan.
Stay safe and healthy! ✌🏻
Tulidannya sangat bagus kk. Terus berkarya. Gbu kk Iwan Jaconiah.
Luar biasa tulisannya…Sukses selalu Kaka,…
Tulisan yang luar biasa, teruslah berkarya Bung Iwan Jaconiah.