Film Tari Mahendraparvata: Topeng Mengungkap Misteri
Oleh Yudhi Widdyantoro
Topeng adalah gambaran diri. Topeng mewakili aneka karakter. Sifat tegas, lembut, tegas, lemah manusia bisa muncul dan terefleksikan dalam topeng. Topeng menjadi analogi buku, kitab, atau manusia itu sendiri dalam lintasan sejarah.
Sejarah adalah lintasan waktu dan wilayah. Sejarah menjadi penghubung yang terpisah. Sejarah bisa dikenali dari tinggalan arkeologis yang tidak bisa dibantah. Mempelajari tinggalan sejarah akan mengurangi dongeng dan kisah.
Dalam studi arkeologi, hubungan Jawa dan Kamboja di masa kuno dapat diketahui dari terjemahan prasasti Sdok Kak Thom yang ditemukan di perbatasan Thailand dan Kamboja. Prasasi yang ditulis pada tahun 974 Saka dan diterjemahkan oleh George Coedès, arkeolog Prancis, menjelaskan bahwa pada abad 8-9 terdapat hubungan antara Jayawarman II, penguasa Kamboja dan negeri di Jawa.
Jayawarman II diperkirakan pernah berada dalam lingkungan istana Syailendra. Dan, maka dari itu diperkirakan sempat melihat pembangunan Borobudur.
Hubungan kedua imperium kuno itu, dicoba telusuri lewat topeng di dalam film tari produksi Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF).
Seorang laki-laki melakukan olah gerak di antara pepohonan, bebatuan, dan tepi sungai. Dia menjumpai seonggok gundukan lumpur yang ternyata sebuah topeng. Kamera menangkap olah geraknya, sesekali dari ketinggian sehingga terlihat lanskap luas hutan yang rimbun, serta gunung di kejauhan.
Gerakan laki-laki itu meniru, atau merespons bentuk-bentuk relief di candi di Siem Rep: gestur tangan, kaki. Pada kesempatan lain, kamera mengikuti gerak tari penari putri sebelum kemudian mereka bertemu.
Gerak, blocking-blocking dan dramaturgi tari diambil dari sudut-sudut tafsir sinematik, termasuk pengunaan lighting, dan musik pengiring. Film tari (dance film) menjadi suatu genre tersendiri dalam dunia perfilman. Selain membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam dunia tari, juga dalam industri film.
Berbeda dengan film Pina karya Wim Wenders, sutradara Jerman yang menginterpretasi (baca: mengapresiasi) ketokohan Pina Bausch, maestro tanztheater, teater tari kelas dunia, para penari Pina bergerak dalam lanskap kota. Sesekali, Wenders menyisipkan potongan karya Pina yang monumental: Palermo-Palermo, Kafe Muller. Dalam film tari Mahendraparva gerak dan blocking-blocking dilakukan di dalam hutan, dan situs arkeologis.
Topeng yang mengalir dan ditemukan penari di sungai di Kamboja. Dibawa menyusuri situs-situs arkeologis, ditemukan juga oleh penari di sungai Elo di dekat Mendut-Borobudur di Jawa. Dengan cerdas film ini mengalegorikan hubungan Kamboja dan Jawa sudah sedemikan lama.
Sepertinya, film tari Mahendraparvata dipikirkan dengan serius dalam proses produksinya.
Dunia perfilman Indonesia boleh bergirang hati menyambut kelahiran, “anak”, genre baru: film tari.
*Penulis adalah instruktur yoga, pencinta film dan seni pertunjukan