Sejarah Penerbangan Perintis di Papua
Salah satu moda transportasi yang sangat vital di pegunungan Papua adalah pesawat terbang. Penerbangan perintis di pegunungan Papua masih menjadi tumpuan bagi masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan atau terisolasi jalur darat. Penerbangan perintis di pegunungan Papua pertama kali dibuka oleh misionaris pada masa pemerintahan Belanda.
Pada awalnya untuk bisa menyapa dan melayani umat di pedalaman dan terisolasi di daerah pegunungan, para misionaris harus berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain. Selama berhari-hari, mereka menyusuri hutan di kawasan pegunungan, pindah dari satu kampung ke kampung lain. Agar misi lebih efektif dan efisien, maka mulai sejak itu mulai dilakukan penerbangan dengan menggunakan pesawat kecil dan pembuatan lapangan terbang secara swadaya.
Lapangan terbang (airstrip) hasil kerja misionaris kondisinya hanya sekedar ada. Landasan pacu berupa lapangan rumput atau tanah yang diperkeras. Posisi lapangan terbang itu terletak di atas bukit, dan diapit diantara bukit lainnya. Sedangkan di ujung landasan, jurang berdasar sungai bebatuan.
Transportasi udara dinilai paling efisien dan cepat, pesawat-pesawat kecil dan ringan jenis Cessna caravan dan twin otter berperan penting untuk mengangkut barang, dokumen, bahan pangan, serta penumpang ke tempat terpencil. Sebaliknya, setiap pesawat dari pedalaman mengangkut hasil pertanian lokal seperti sayuran, buah-buahan dan umbi-umbian untuk didrop di Sentani. Transportasi udara sangat berpengaruh pada kelancaran administrasi pemerintahan di pedalaman. Sehingga, komunikasi menjadi semakin lancar dan kehidupan masyarakat di wilayah itu semakin terbuka dan hidup.
Keunggulan pesawat kecil jenis Cessna caravan dan twin otter dapat beroperasi dengan ground equipment yang minim, dan multihop capability fuel tank. Pesawat ini bisa lepas landas dalam jarak pendek, serta mendarat di landasan yang tidak beraspal. Spesifikasi ban pesawat ini mampu mendarat di landasan berumput atau berkerikil serta jarak landasannya sejauh 600 meter.
Namun, cuaca dan arah angin yang cepat berubah sangat membahayakan keselamatan penerbangan. Kondisi geografis Lembah Baliem dikelilingi pegunungan sehingga setiap pesawat sering mengalami kesulitan dalam proses pendaratan atau tinggal landas. Semua pesawat yang menuju Lembah Baliem harus menemukan pintu masuk lembah, pintu ini merupakan satu-satunya jalan utama.
Untuk pesawat-pesawat yang tidak memiliki kemampuan terbang tinggi maka caranya yaitu dengan terbang diantara celah-celah di lereng pegunungan Jayawijaya. Pilot harus piawai mengendalikan pesawat dan meliuk-liuk diantara celah-celah pegunungan. Celah-celah ini disebut sebagai Gap yang diikuti dengan nama setempat. Beberapa diantaranya adalah Gap Bokondini, Wamena North Gap (Pass Valley) dan lain-lain. Salah satu yang populer adalah Gap Bokondini karena posisinya yang sangat menguntungkan dengan kawasan yang cukup luas untuk bermanuver dan secara statistik, cuaca di Bokondini juga mewakili kondisi cuaca di atas Wamena.
Permukaan tanah yang rata di pegunungan Papua sangat terbatas. Pada umumnya lapangan terbang di pegunungan Papua terletak di pinggir tebing dengan salah satu sisinya berupa jurang yang cukup dalam. Melakukan lepas landas atau pendaratan di lapangan terbang perintis membutuhkan keterampilan yang lihai dari pilot. Pesawat harus bisa self starting tanpa bantuan ground support unit. Salah sedikit pesawat bisa tergelincir ke dalam jurang.
Kondisi lapangan terbang ini memberi tantangan tersendiri bagi pilot yang melaluinya. Pilot pesawat kecil dilatih untuk terbang di medan berat seperti pegunungan dan daerah pedalaman lainnya serta mendarat dan lepas landas di landasan pendek. Untuk kualifikasi ini, selain handal, misionaris membutuhkan pilot plus, yakni pilot yang bersemangat misioner.
Lapangan terbang hasil kerjasama misionaris dan penduduk lokal terdiri atas lapangan terbang Karubaga (KBF) terletak pada koordinat 030 411 0511 S 1380 281 4411 E ketinggian 1561 m dpl, panjang landasan 557 meter lebar enam meter. Lapangan terbang Wamena (WMX) terletak pada ketinggian 1.550 m dpl dengan koordinat 40 051 5411 S 1380 571 9811 E . Lapangan terbang Elelim terletak pada koordinat 030 471 0011 S 1390 231 0811 E, ketinggian 455 m dpl, panjang landasan 827 m. Lapangan terbang di Wesaput, panjang kurang lebih 600 meter.
Misionaris mendirikan gereja, rumah misi, fasilitas kesehatan, asrama dan sekolah di pinggir lapangan terbang. Dalam perkembangannya kemudian di sekitar lapangan terbang, didirikan pemukiman teratur milik warga setempat yang sebelumnya rumahnya terpencar. Itulah cikal bakal pusat hunian di pedalaman seperti Kelila, Wamena, dan Angguruk. Pemerintah Belanda kemudian mendirikan kantor administrasi dan pasar di sekitar lapangan terbang.
Seiring dengan pemekaran daerah, oleh pemerintah daerah setempat, lapangan terbang perintis yang semula hanya untuk melayani penerbangan misionaris dikembangkan menjadi lapangan terbang komersil. Namun perkembangan ini tidak disertai dengan perbaikan fasilitas pendukung sesuai standar keselamatan penerbangan. Lapangan terbang perintis, dengan lebar dan panjang landasan pacu pendek. Terletak di sisi gunung dan permukaan landasan tidak rata, ujung landasan berupa jurang, ujung landasan yang satu lebih rendah, yang lainnya lebih tinggi, untuk take off dan landing hanya bisa dilakukan dari satu arah.
Kondisi landasan terbang perintis masih sangat minim sarana pendukung. Posisi landasan terbang yang tidak lurus dan runway tidak berpagar. Binatang piaraan bebas berkeliaran di sekitar landasan ketika pesawat hendak take off dan landing seolah-olah sudah menjadi hal yang biasa. Take off dan landing juga sangat tergantung pada cuaca. Cuaca di pegunungan sangat sulit diprediksi, mudah berubah dari cerah menjadi berkabut dan hujan dalam sekejap. Terdapat jam-jam khusus daerah tertentu tidak boleh didarati pesawat.
Untuk itu, para pilot harus betul-betul menguasai medan, terutama dalam proses mendekat ke lapangan terbang harus terbang visual. Sebelum terbang, para pilot harus mengetahui betul lokasi yang dituju dan jalur penerbangannya. Pada umumnya lapangan di daerah pegunungan bisa untuk landing rata-rata di bawah pukul 10.00 pagi, karena saat itu angin lebih tenang, diatas pukul 10.00 sudah tertutup awan yang tebal.
Tipe landscape pegunungan juga menjadi faktor utama penyebab terjadi jatuhnya pesawat. Kondisi cuaca di suatu lokasi yang cepat sekali berubah, alat-alat di bawah untuk memandu pesawat masih sangat minim. Fasilitas meteorologi di pegunungan yang sangat minim sehingga penerbang tidak bisa mengetahui kondisi cuaca di sepanjang rute penerbangannya.
Perubahan cuaca, seperti pembentukan awan, kabut tebal, atau hujan, sangat menghambat daya pandang. Akhirnya, meningkatkan risiko penerbangan. Lapangan terbang perintis di pegunungan tidak dilengkapi fasilitas meteorologi, sehingga sangat terbatas kemampuannya untuk mengukur indikator cuaca secara akurat dan tidak mampu melakukan prakiraan cuaca. itu tidak memiliki fasilitas navigasi.
Belum semua lapangan terbang yang ada di pegunungan Papua dilengkapi dengan communication chanel. Hal itu karena kondisi kontur wilayah dan geografis yang tidak mendukung. Untuk mengubah lapangan terbang tersebut menjadi layak dan aman digunakan tidaklah mudah. Sebab, tidak ada lahan yang cukup untuk memperluas lapangan terbang. Tantangannya ada, lapangan terbang di pegunungan tidak bisa diperpanjang atau diperluas karena letaknya ada yang di puncak dan lembah.
Setelah peralihan pemerintahan Belanda ke Indonesia, pemerintah Indonesia memperpanjang landasan terbang perintis Wamena yang semula 600 meter menjadi 1.550 meter. Lapangan terbang ini juga dilengkapi fasilitas tower dan fasilitas komunikasi modern. Lapangan terbang perintis Wamena berubah status menjadi bandara komersil dengan jadwal penerbangan teratur dan mampu didarati pesawat ATR, C-130 B Hercules dan Cessna 402 B.
Penerbangan perintis di pegunungan tengah Papua dipelopori oleh misionaris, yang pada awalnya guna mendukung misi pekabaran Injil. Lapangan terbang yang dibangun merupakan hasil kerjasama dan swadaya antara misionaris dan penduduk lokal pada masa pemerintahan Belanda. Selain membawa penumpang, pesawat misi membawa barang-barang untuk didistribusikan. Penerbangan perintis telah membuka komunikasi dengan dunia luar serta memunculkan peradaban baru, misalnya dunia pendidikan. Misi tersebut mendirikan gereja, sekolah dan asrama di pinggir lapangan terbang. Akhirnya kawasan itu berubah dalam peradaban modern masyarakat Papua.
Layanan penerbangan perintis di pegunungan Papua harus mendapat perhatian. Pemerintah wajib meningkatkan infrastruktur navigasi dan panduan untuk pendaratan (approach guide). Dengan begitu, pesawat-pesawat dengan rute pegunungan dapat memanfaatkan instrumen navigasi (instrument flight rule) yang lebih andal dan akurat. Perlunya diberikan apresiasi kepada para misionaris, karena tanpa mereka tidak ada lapangan terbang dan akan sulit untuk menjangkau daerah pedalaman.
——-
Hari Suroto. Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN