Repotnya Jika Pimpinan Kampus Jadi Penakut
Oleh Doddi Ahmad Fauji *
Tahun 1990, saya masih tingkat 1 di IKIP Bandung, menonton pertunjukan Opera Kecoa oleh Teater Mahasiswa IKIP Bandung, dengan sutradara Asep Supriatna. Lakon ini merupakan naskah trilogi gubahan Allahuyarham Nobertur Riantiarno (Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini).
Pertunjukan ini sempat tidak mendapatkan izin, bukan dari pimpinan kampus, tapi oleh Kopkamtib, di mana para seniman tahu benar, di era Pak Harto dan Orde Baru, divisi ini menggeledah para seniman dan aktivitasnya. Yang dianggap bisa membahayakan negara, aktivitas kesenian akan dilarang, buku-buku yang menggugat akan dilarang beredar, seniman berangasan macam Rendra akan kena cekal, dll. Termasuk lakon Opera Kecoa saat dipertunjukan oleh Teater Koma di Jakarta, dihentikan pada hari ke-14 oleh Kopkamtib. Naskah tersebut, bahkan diedit oleh tentara, dan dilarang dipentaskan di Jepang, padahal sudah diagendakan oleh panitia di Jepang.
Namun Pembatu Retkor III IKIP Bandung kala itu, Allohuyarham Karna Yudibrata memberi izin Teater Mahasiswa IKIP Bandung untuk mementaskan lakon Opera Kecoa itu. Akibatnya Pak Karna didatangi oleh Kopkamtib ditemani Dandim. Namun Pak Karna tidak gentar, dan menjamin bahwa pementasan ini tidak akan menimbulkan kerusuhan, dan lain-lain. Resikonya, pada hari pertama, seperempat penonton tampak berkepala cepak.
Sebelum lakon Opera Kecoa, lakon Bom Waktu dipentaskan Teater Mahasiswa IKIP Bandung, dengan sutradara almukarom Godi Suwarna pada 1989, dan lakon Opera Julini dipentaskan pada 1993 dengan sutradara almukarom Gusjur Mahesa.
Pada saat akan dipentaskan Bom Waktu, bahkan di gedung Aula Barat dibuat baliho dengan tulisan: Tempat Perakitan Bom. Memang sempat membuat heboh, tapi tak terjadi apa-apa tuh. Yang terjadi, penonton membludak. Juga saat Opera Julini digelar 1993, yang sempat pertunjukan dihentikan dua hari, bukan oleh Kopkamtib juga bukan oleh pimpinan kampus, tapi karena ada salah satu aktor utama yang jatuh sakit. Tak ada apa-apa tuh.
Maka sungguh aneh, di era kebebasan berekpresi, tiba-tiba kampus kesenian atas perintah pimpinannya tentu, menggembok gedung pertunjukan, membuat crew tak bisa masuk gedung, dan pertunjukan pun batal. Hanya karena naskah yang berjudul indikatif: Wawancara dengan Moelyono, membuat kelompok Teater Payung Hitam yang hendak memperingati 43 tahun mildanya dengan pertunjukan repertoar, harus bersabar hingga berkobar-kobar.
Pertnjukan Wawancara dengan Moelyono semestinya berlangsung pada Sabtu malam, 15 Februari 2025, pukul 19.00 WIB., dengan sutradara Rahman Sabur. Warta ini saya dapat dari Diro Aritonang, aktivis seni budaya di Bandung, melalui postingan di FB, dan nama saya di tagg.
Menurut Arie Batubara, alumnis ASTI (ISBI), lewat japri di WA siang ini, dalam kejadian tersebut tidak ada pelarangan, yang terjadi adalah masalah teknis dan kesalah-pamahan di antara mereka. Biarkan mereka menyelesaikan sendiri masalah ini, tak usah ditarik ke mana-mana.
Saya memandang tetap ada apa-apa, apalagi judul pertunjukan mengandung indikasi ke arah Moelyono. Ini adalah pembatalan kedua event kesenian karena terkait Moelyono. Yang pertama adalah pembatalan pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional yang sedianya digelar pada Desember 2024 – Januari 2025.
Saya sebagai warga Bandung, tentu merasa heran dan bertanya, ada apa? Ko ketakutan pimpinan kampus sampai sebegitunya? Apakah ini masalah administrasi, atau sentimen terhadap komunitas yang lahir dari orang kampus dan turut mengharumkan nama kampus, atau ada instruksi dari geng Moelyono? Atau dalam rangka ‘meunang punteun dan duit’ dari pemerintah?
Bandung sebagai salah satu wajah kesenian Indonesia, kalah jauh euy dari gerakan kesenian di Yogya, Surabaya, Denpasar, dll. Di Bandung, tidak ada festival sastra, tak ada Biennale seni rupa, tak ada festival seni pertunjukan berskala nasional yang rutin dan menjadi kiblat secara nasional. Kumaha atuh yeuh para stake holder seni-budaya di Bandung, termasuk Komisi E DPRD Kota Bandung?
***
*Aktivis seni budaya, tinggal di Bandung.