Sajak-sajak Seno Joko Suyono
Jika Kita Sepasang Mahasiswa Arkeologi di Kabul
Helikopter Chinook yang meraung-raung
Turun di kedutaan
Jangan kau kira mengevakuasi kita, sayang
Sudah lama kita ditinggal.
Dari lantai 9 apartemen lusuh ini
Kita menghindar perempatan yang dipalang
Kubis di lemari es basi. Daging berjamur. Kentang growong
Berjalan ke museum – tempat arca-arca Avalokitesvara itu disimpan
Akan dihadang pertanyaan-pertanyaan batu.
“Kami pemilik waktu,” kata mereka.
Sebentar lagi blok akan kosong
Satu persatu sudah menyebrang tapal batas
Flat abu-abu dipenuhi warna hantu
Kota tilas. Kota yang ketakutan terhadap denah
Cobalah telepon konsevator galeri
Jika dia masih hidup. Cari tahu bagaimana artefak-artefak langka
Gandhara dan Bactria – disembunyikan dari patroli
Buddha tak lagi khusyuk. Apollo tak lagi tampan
Vajrapani dan Herakles
Semua kembali bercucuran air mata saat
Seorang jurnalis ditembak lagi
“Eksodus akan sia-sia. Kalian akan terbunuh di border.”
Aku harus mengenakan sorban dan gamis
Galon air telah habis. Agar listrik tetap menyala.
Seprai pun kau jelmakan burqa.
Selimut pastel. Menjadi cadar gelap
Senin atau Sabtu sekarang?
(20 tahun lalu masih sanggup kau kumpulkan
remah-remahan patung gigantik yang didinamit)
Penanggalan di kalender sudah tak berguna
Mendengar Ceramah Slavoj Sizek tentang Taliban
Panggillah arwah Freud. Untuk menganalisa
Mental pasukan yang lari dari detasemen
Siapkan pisau psikoanalisa aka hipnoterapi – mengorek
jendral-jendral yang menyembunyikan diri
Ada sebuah bangunan tinggalan komunis Sovyet
Ia tersamar. Kelabu dan muram di depan –
Sedikit terang – di tengah. Dan hanya lilin redup di penghunjung
Di situ masih sempat muncul gaung lirih
Senandung seseorang komandan – melantunkan
antara mars perlawanan dan pertobatan kepengecutan
“Demi Asmaul Husna, barikade terbaik adalah
Mencegah pertumpahan darah.”
Lalu – ia mengibarkan bendera putih dari kain kafan
Tak perlu kau –menggunakan hermeneutika lain
Seperti artikel Foucault di Teheran
Untuk membongkar lapis-lapis ketidaksadarannya
“ Yankee,Yankee bawa aku pergi”
Teriakan di bandara – yang kau analisa dari Ljubljana
Tidak sesimpel yang kau duga
Di dalam permintaan tolong itu ada sajadah
Surat Imajiner dari Lembah Panjshir
Bung yang baik, aku aman-aman saja
Benteng di sini tak tertembus apapun
Ngarai –menghalangi intaian drone
Google map pun tak mampu mencandra
Lokasi persembunyian kami
Apalagi jika ada legiun nekad memanjat tebing
Bila tak tergelincir. Tentu menjadi bidikan mudah snipper kami
Alexander Agung dulu pun enggan kemari
Mongol dan kekaisaran Maurya – hanyalah mitos.
Lembah ini penuh bangkai-bangkai kendaraan lapis baja Sovyet
Panser-panser itu tak kami kuburkan sebagai bukti
Jikalau ada mata-mata orang kerdil –dikirim menyusuri sungai
ia pasti terseret kelokan arus yang salah
Atau ada yang menerjunkan batalyon parasut dari pesawat
Sebelum sampai menjejak tanah, mereka tercekik – kehabisan oksigen
Jurang jurang di sini berbisa
Kami berada di titik yang tak terlihat
Tapi bisa melihat siapapun yang datang
Puluhan ribu infantri mengepung
Akan kami adu domba saling mencelakakan sendiri
Langit selalu bersahabat dengan kami
Langit akan selalu memunculkan burung-burung
yang menjatuhkan batu racun kepada siapapun
yang menggempur kami
Kami bertahan di sini bukan dengan ladang opium
Tapi dengan nyanyian-nyanyian syahdu
Seperti: Melati dari Jayagiri
Untuk Sebuah Komposisi Erick Satie
Katakanlah, ini sebuah kota yang dicampakkan warga
Karena Covid. Atau dilengangkan pemberontak.
Wabah hablur – lenyap, timbul, sirna,musnah,meruyak lagi..
Penjarah muncul, hilang, kembali, undur, datang lagi
Lalu mengusir penduduk pergi
Dan Grand piano itu tertinggal di bar terselimut debu
bertahun-tahun. Sebagaimana alat cuci rambut salon
Yang – dianggap kontra syariah
Sampai tiba suatu purnama:
Nada-nada minor unggun sendiri.Tuts-tuts
Melolongkan kota-kota yang jatuh
ke tangan penyamun dalam tempo singkat
Sebuah nada kres berkeliling mengetuk-ngetuk sekujur kaca
Memutar-mutar di ruangan tak henti-hentinya
Menciumi, menggoser-goserkan pipinya ke kap lampu,
Wastafel, pigura poster. Menangis, menyungkup – di lantai
Alkisah seorang pelarian kelaparan.
Pernah tersesat dan mendengar lamat perulangan nada itu
Gemetar menyadari distrik lengang – serta suara aneh.
Ia sekarat. Sampai akhirnya di hari kelima
Ia memicing dari jendela
Setengah tak percaya
Di kejauhan ada bintik kecil, bergerak menuju tatapannya
Ia mengigil, membayangkan bertemu seorang kurir
yang membawa partitur lain
Dari kota-kota yang belum direbut dan dikosongkan para kombatan
Partitur yang membuat – siapa saja yang terdampar di situ
Tetap bisa membayangkan menjalani hari biasa
Mimpi Bamiyan
Vairocana raksasa itu bekasnya tak pernah hilang di tebing
Meski ratusan kali tembakan tank memborbadirnya
Lipatan-lipatan kainnya – yang dibeli dari Athena
Walau musnah. Tetap membayang
Syahdan, dulu banyak arca diletakkan tepi jurang
Menghadap tenang ke arah ceruk yang dalam
Seperti Ratnasambhawa di Borobubudur
Tak guyah- kokoh memberi berkah ke arah selatan
Biku-biku melukis di gua
Mudra, genta – cawan, stupa dijadikan fresko
Menunggu datang musafir dari kepulauan
Mendaraskan sutra yang tak pernah dipelajari
Tapi yang ditunggu tak pernah sampai
*Seno Joko Suyono telah menerbitkan kumpulan puisi: Di Teater Dionysus (2020), Novel Tak Ada Santo Dari Sirkus (2010), Novel Kuil Di Dasar Laut (2014) dam kumpulan naskah drama : A Flood on Java –tiga lakon tentang pandemi (2020)