Revolusi Dimulai dari Kepala
Oleh Raihan Robby
Apakah hidup sebagai seorang bangsawan kerajaan selalu berjalan penuh kenyamanan dan kebahagiaan? Barangkali cerita itu tak sepenuhnya dialami oleh Maria Antonia Josepha Joanna yang lahir pada 2 November 1755, anak dari Kaisar Romawi Suci, Francis I dengan permaisurinya Maria Theresa, penguasa Kekaisaran Habsburg, Austria.
Sebagai seorang bangsawan kerajaan, Maria Antonia mendapatkan pendidikan a la aristokrat, hingga ia pindah ke Prancis pada umur 15 tahun untuk dinikahkan dengan Louis Auguste yang pada saat itu berumur 16 tahun. Menikahkan mereka berdua menjadi aliansi penting bagi kedua kerajaan Prancis-Austria, mengingat sejarah kedua kerajaan yang terus mengalami konflik, dan harapannya adalah kedua kerajaan itu tak mengalami gejolak revolusi seperti yang terjadi di Inggris dan Amerika.
Barulah pada 16 Mei 1770 pernikahan megah itu dilaksanakan di istana Versailles. Sekitar enam ribu tamu undangan menghadiri pernikahan pasangan bangsawan muda itu, kemeriahan dan perayaan berlanjut hingga dua minggu, makanan dibagikan di jalan-jalan, anggur tak habis-habis untuk diminum. Namun, sejak pertama kali datang di Prancis, Maria Antonia telah cukup melihat penderitaan rakyat Prancis yang kala itu dilanda kelaparan dan gagal panen.
Maka, seusai pindahnya Maria Antonia ke Prancis, namanya pun berubah sesuai pelafalan lidah orang Prancis menjadi Marie Antoinette. Tak berselang lama dari pernikahan itu, Raja Louis XV meninggal pada tahun 1774, dan Louis Auguste mendapat gelar Louis XVI sekaligus menjadikan ia raja Prancis, dan Marie Antoinette sebagai ratu yang tak memiliki darah Prancis.
Dengan kesejarahan yang kita kenal sebagai bibit-bibit awal Revolusi Prancis, Ericha Nurcholifatin mencetuskan pementasan naskah dari David Adjmi yang berjudul “MARIE ANTOINETTE” dan disutradarai oleh Juraiz Taftazani (Juyez) sebagai pertunjukan tugas akhir tata rambut jurusan Teater, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Pertunjukan itu sendiri digelar pada tanggal 6 Januari 2023 di Galeri RJ Katamsi ISI.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam lebih sedikit, saat para penonton memadati salah satu ruangan pameran di lantai 3 Galeri RJ Katamsi. Penonton dapat melihat langsung enam orang aktor (Askal, Eskhana, Yoga, Evi, Uden, dan Meme) memenuhi levelitas yang berupa beberapa buah anak tangga di satu sisi dan sisi lainnya berupa jalan menurun. Mereka berdiam diri selayaknya manekin, mematung dengan ekspresi, tatapan, dan tubuh yang beku.
Penonton dapat melihat pernak-pernik yang dipakai oleh para aktor itu, pakaian yang (tampak bekas) telah disambung-susun: korset, celana semacam cut-bray dengan potongan kain yang diolah sedemikian rupa, hingga sepatu bot kulit hitam, keseluruhan pakaian itu membuat para aktor tampak elegan sekaligus nyentrik.
Pouf Sebagai Arsitektur Rambut
Namun, ada satu hal yang benar-benar langsung ditangkap oleh mata, yaitu rambut para aktor yang menjulang tinggi, membesar hingga penuh dengan segala macam ornamen dan warna. Rambut para aktor yang dihias dan ditata itu dikenal sebagai Pouf.
Pouf adalah gaya rambut yang populer dan sensasional dalam istana Prancis pada akhir abad kedelapan belas. Gaya rambut itu memaksimalkan dan memanfaatkan rambut pemakainya sendiri dengan penambahan benda-benda, mulai dari kawat, kain, kain kasa, rambut palsu, bulu hewan hingga perhiasan. Pouf digunakan bukan hanya sebagai gaya rambut, lebih jauh lagi Pouf digunakan sebagai medium atau kanvas untuk mengungkapkan perasaan (pouf à la sentimen) atau memperingati peristiwa (pouf à la circonstance).
Seperti yang dilakukan Duchess of Chartres pada bulan April 1774, ia adalah salah seorang wanita bangsawan yang pertama kali memesan hiasan kepala untuk memperingati kelahiran putranya. Sehingga ia meminta Monsieur Léonard dan Madame Rose Bertin yang keduanya dikaitkan sebagai pencipta Pouf untuk membuat gaya rambut yang unik dan simbolik.
Hasilnya adalah empat belas yard kain kasa dan banyak bulu seolah melambai di atas dua menara dengan dua lilin yang berbentuk figur sebagai ornamen, mewakili kelahiran putranya yang berada dalam pelukan perawat. Di samping lilin itu terdapat seekor burung beo yang tengah mematuk sepiring ceri. Pada figur lilin yang lainnya, terdapat sesosok anak laki-laki Afrika yang sangat disukai duchess.
Tak cukup sampai di situ, Pouf dalam gaya rambut duchess, bukan hanya sebagai peringatan akan kelahiran putranya, lebih jauh lagi, ia menambahkan berbagai potongan rambut yang menunjukkan inisial dari Duke of Chartres, Penthievre dan Orleans yang dibentuk dengan rambut dari para bangsawan itu: suami, ayah, dan ayah mertua. Hal ini menunjukkan seberapa tinggi dan pentingnya posisi sosial yang dimiliki oleh Duchess of Chartres di kalangan kerajaan.
Pouf lantas menjadi aksesori fesyen yang wajib dan berkelas bagi semua wanita aristokrat dan kaya di Prancis pada saat itu. Tak terkecuali Marie Antoinette yang menjadi ratu baru Prancis, mau tak mau, ia perlu menunjukkan keanggunan dan kecantikan sebagai ratu, agar dapat diterima di masyarakat Prancis, yang sedari awal telah menolak Antoinette. Maka tak heran jika Pouf identik dengan Marie Antoinette, sebab ia menjadi pendobrak dalam hal yang modis (dan politis) pada dekorasi Pouf.
Contohnya, saat tengah memimpin Prancis, Raja Louis XVI harus melawan penyakit cacar yang merebak di masyarakat, salah satu upaya yang dilakukan Louis XVI adalah inokulasi, atau kita mengenalnya sebagai vaksin, yaitu proses pemindahan mikroorganisme yang berupa bakteri maupun jamur dari tempat asal ke medium baru dengan tingkat ketelitian yang tinggi dan aseptis.
Inokulasi menjadi prosedur penyembuhan yang berbahaya dalam pandangan masyarakat pada saat itu. Untuk mendukung usaha suaminya agar masyarakat tak takut pada inokulasi, Marie Antoinette mengenakan Pouf à l’inokulasi yang menampilkan simbol-simbol berupa Raja Louis, obat-obatan, dan perdamaian. Pengaruh Pouf sebagai simbol bentuk argumen visual membawa pesan bahwa proses inokulasi tidak berbahaya dan secara tidak langsung hal ini telah masuk ke dalam kesadaran publik yang memandang elegan Pouf itu sendiri.
Dengan melihat kesejarahan Pouf inilah, Ericha Nurcholifatin yang dibantu dengan beberapa penata rambut, mengolah sedemikian rupa dan modis rambut dari keenam aktornya. Juyez selaku sutradara, membuat gebrakan di awal pertunjukan, para aktor yang mematung itu, lantas berteriak sesuatu dalam bahasa Prancis, saling bersahutan, bertabrakan.
Musik pengiring lantas berubah dengan beat cepat, begitu pula dengan tata lampu. Setelahnya mereka berdiri satu per satu, dan berjalan menjelajahi arena panggung yang dekat dengan penonton itu, seperti sedang menjalankan fashion show. Para aktor berjalan dengan lenggok khasnya dan berhenti di beberapa titik dengan ekspresi yang tak kalah nyentrik.
Musik dan lampu kembali berubah. Menandakan penggantian adegan, ketiga aktor laki-laki bergerak selayaknya tubuh non playable character (NPC) di dalam game. Tubuh mereka kaku, berjingkrakan, dan berjalan dengan lamban selayaknya karakter yang tak begitu penting di dalam game.
Tak lama, para aktor perempuan kini berperan sebagai Marie Antoinette, dan beberapa wanita bangsawan lainnya sedang melaksanakan minum-minum teh. Mereka berdialog tentang banyak hal, seperti kondisi di Austria dan Prancis, hingga revolusi yang pecah di Inggris dan Amerika. Namun, tidak dengan nada getir, melainkan dengan nada yang penuh privilese dan sesekali tawa. Mereka seolah menertawakan keadaan genting yang mereka pikir tak akan sampai melanda istana Prancis.
Adalah Meme sebagai aktor yang lebih dominan mendapatkan peranan Marie Antoinette, ia bercerita tentang asal usulnya, dan mengapa ia tiba di Prancis untuk menikah dengan Louis XVI. Perpindahan dan pernikahan yang membuat ia rindu akan rumah, keluarga, dan suasana Austria. Sebab Marie Anttoinete seakan tak diterima di kalangan istana dan masyarakat Prancis sendiri. Ketidakterimaan itu menjadi rasa benci, karena Marie Antoinette tak kunjung mempunyai anak dan ia belum memiliki anak laki-laki sebagai pewaris tahta setelah melaksanakan pernikahan bertahun-tahun lamanya.
Loncatan peristiwa, pencatutan waktu-waktu penting, karakter yang dapat diperankan berganti oleh para aktor, seperti hadirnya Emperor Joseph selaku kakak dari Marie Antoinette untuk mendukung agar sang adik segera mempunyai keturunan, atau perbincangan dengan penata rambut Monsieur Léonard dan Madame Rose Bertin, dan tokoh-tokoh penting dalam hidup Marie, para aktor yang memainkan loncatan pergantian peranan itu menjadi sangat menarik.
Penonton dapat melihat bagaimana para aktor menjaga keseimbangan Pouf yang dikenakannya dalam gerak yang lincah dan lentur. Keringat yang menetes dari wajah para aktor pun terlihat dengan sangat jelas! Dialog-dialog yang hadir berupa irisan-irisan peristiwa dari hidup Marie Antoinette.
Singkatnya, para aktor membentuk untalan jalinan kisah Marie Antoinette itu dengan ciamik dan kelindan. Ada satu lanskap pertunjukan yang membuat gelak tawa pecah di bangku penonton, saat para aktor berganti Pouf yang dikenakan sedari awal menjadi tanduk domba berwarna merah muda yang sangat mentereng sekaligus lembut dipandang. Penggantian Pouf itu pun dapat terlihat dengan jelas di mata penonton, bagaimana para penata rambut melepas dan menyusun wig-wig itu, seolah tak ada yang ditutup-tutupi, hal ini menjadi nilai lebih di dalam pertunjukan, bagaimana situasi di balik peristiwa dapat dilihat dengan saksama.
Tak lama, para domba-domba merah muda itu, mengembik dengan lantang, saling menyapa satu sama lain. Sebelum akhirnya membentuk koreografi yang saling memunggungi satu sama lain dan berputar-putar kecil, mengacungkan tuduhan-tuduhan kepada Marie Antoinette. Bahwa ia mandul, ia memiliki kelainan seksual menjadi lesbian, senang berjudi dan pesta gila-gilaan, hingga ia berselingkuh dengan salah satu diplomat Swedia, Count Axel von Fersen. Domba-domba merah muda itu menjadi semacam metafora yang berisik atas gosip di kalangan istana dan masyarakat yang membenci Marie Antoinette.
Meski telah melahirkan anak laki-laki yang diharapkan menjadi putra mahkota, semua impian itu pun tak dapat terwujud, sebab sejak tahun 1788 keadan di Prancis semakin mengkhawatirkan. Kelaparan melanda seluruh negeri, sementara pihak istana terus mengadakan pesta dan berbelanja barang-barang mewah seperti perhiasan dan lainnya. Hal ini membuat Raja Louis XVI berada dalam tekanan, terlebih tekanan dari golongan ketiga yang berisi rakyat biasa yang dilanda kesusahan dan kelaparan.
Puncaknya adalah rakyat golongan ketiga ini melakukan revolusi. Mereka membentuk Majelis Nasional. Peristiwa ini digambarkan dengan baik melalui para aktor yang semula mengenakan pakaian warna-warni berganti dengan pakaian hitam seluruhnya, di belakang pakaian mereka terdapat berbagai macam tulisan tuntutan seperti “God Save The Queen”, “Welcome to the Revolution” hingga “Punk is Not Dead” tulisan dengan warna hijau mentereng ini seakan menjadi suara perlawanan dari rakyat. Tak lama terdengar pembacaan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (La Déclaration des droits de l’Homme et du citoyen) dan dapat penonton lihat Raja Louis XVI dengan tangan terikat bersimpuh di atas levelitas, seolah tengah menanti Guillotine untuk memancung lehernya.
Pada 20 Januari 1793, Raja Louis XVI tewas dieksekusi di hadapan rakyatnya. Hal ini pula menandakan berakhirnya kerajaan Prancis dan berubah menjadi republik sesuai cita-cita Majelis Nasional. Namun, duka yang dialami Marie Antoinette tak cukup sampai di situ. Ia pun dipenjara selama beberapa bulan dalam ruang tahanan yang kecil, kotor, jorok, dan tak terkena cahaya matahari di la Conciergerie.
Selama itu pula Marie Antoinette menjalani persidangan dan mendapat berbagai macam tuduhan, mulai dari ia adalah mata-mata Austria, melakukan hubungan inses hingga mempengaruhi Raja Louis XVI dalam pengambilan keputusan yang buruk. Semua itu tentu tidak berdasarkan bukti yang nyata, melainkan kebencian semata kepada Marie Antoinette yang pada akhirnya dijadikan kambing hitam dalam revolusi Prancis itu.
Para aktor perempuan lantas bermonolog mengenai sanggahan ketidak-benaran tuduhan-tuduhan yang diacukan kepada Marie Antoinette, seolah memberikan kata-kata terakhir, peristiwa yang digambarkan oleh para aktor begitu mencekam, sangat mencekam sebab dua aktor laki-laki berada di atas levelitas menarik ujung rambut yang tersambung memanjang pada tiga kepala aktor perempuan, sementara satu aktor laki-laki berbaring di atas levelitas.
Peristiwa tersebut seolah memberikan suara lain dari Marie Antoinette yang melawan tuduhan palsu dan misoginis selama persidangannya. Sebagai tahanan politis, ia begitu menderita, sebab ia tak dapat bertemu dengan anaknya, dan melalui adegan akhir itu seolah-olah Guillotine berada di atas leher para aktor perempuan, suasana sangat mencekam sekaligus penuh keharuan. Pertunjukan ditutup dengan teriakan, dan seorang aktor laki-laki yang berbaring di atas levelitas itu terjatuh ke bawah. Ia menyingkap bahan dari levelitas itu, yang ternyata menyimpan warna bendera Prancis secara vertikal. Pertunjukan pun berakhir dengan lampu muram yang tetap menyala.
Sejarah (dan Revolusi) yang Buram
Ada beberapa hal yang nyatanya cukup mengganggu saya selama pertunjukan ini berlangsung, beberapa tempelan-tempelan yang seakan tak mementingkan unsur kesejarahan dan konkretisasinya dengan pertunjukan.
Pada bagian awal misalnya, telinga saya menangkap lagu klasik Prancis yang dibawakan oleh Edith Piaf, setidaknya ada dua judul lagu yang berhasil saya tangkap “La Vie En Rose” dan “Non, Je Ne Regrette Rien”. Kedua lagu tersebut dirilis sekitar 150 tahun lebih pasca peristiwa Revolusi Prancis. Entah mengapa lagu-lagu ini dipilih sebagai latar salah satu peristiwa yang ada di pertunjukan, yang pasti lagu-lagu ini setidaknya membuat pemburaman awal terhadap sejarah Marie Antoinette sendiri, meski tentu sah-sah saja menempelkan lagu ini di dalam pertunjukan.
Pemburaman yang jauh lebih terasa adalah hadirnya semboyan-semboyan revolusi seperti yang telah disebutkan di atas. Penggunaan semboyan “God Save The Queen” semisal, identik dengan lagu kebangsaan Britania Raya dan negara Persemakmuran yang mengacu sesuai jenis kelamin penguasa yang sedang bertahta (seperti awal mulanya berjudul “God Save The King”), apa tendensi penggunaan semboyan ini? Untuk mendukung Ratu Marie Antoinette secara moril atau posisinya sebagai istri dari Raja Louis XVI? Keduanya seakan tak memiliki kesinambungan, bahkan semboyan itu sendiri jauh dan asing dalam revolusi Prancis.
Karena penggunaan semboyan itu ditampilkan oleh para aktor dalam pertunjukan yang konteks peristiwanya adalah revolusi Prancis, jika melakukan riset sedikit, peristiwa revolusi Prancis sendiri terinspirasi dari Revolusi Amerika.
Bentuk dari deklarasi Prancis, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (La Déclaration des droits de l’Homme et du citoyen) tercetus pada 26 Agustus 1789. Deklarasi ini serupa dengan Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence) yang lahir lebih dahulu pada 4 Juli 1776 sebagai tuntutan atas kesamaan hak dan kemerdekaan seluruh manusia tanpa terkecuali. Dan sebagai justifikasi untuk membebaskan dan memerdekakan tiga belas koloni dari Britania Raya.
Hal ini serupa dengan semboyan “Punk is Not Dead”, dan “Welcome to the Revolution” yang seolah hanya menjadi tempelan membara atas penggambaran peristiwa revolusi Prancis itu. Saya tak memahami tendensi penggunaan lagu, hingga semboyan yang jauh dari konteks Marie Antoinette hingga revolusi Prancis sendiri. Melihat beberapa hal itu, saya kembali merenung barangkali upaya yang dihadirkan dalam pertunjukan ini menjadi semacam satir terhadap Marie Antoinette dan revolusi Prancis sendiri.
Dan harus saya akui, jika pertunjukan ini penuh satir, maka ia hampir berhasil, setidaknya dengan upaya penghadiran Pouf yang dikenakan oleh Eskhana yang memiliki lampu di dalam wignya! Hingga Meme yang mengenakan Pouf seperti Le Pouf à la belle Poule, sebuah Pouf dengan gaya bahari yang menggambarkan kapal Prancis Belle Poule yang menang atas pertempuran laut dengan Inggris pada tahun 1778.
Usaha yang patut diberi apresiasi berlebih, sebab pertunjukan ini turut pula menghadirkan naskah mutakhir dari penulis lakon Amerika yang cukup terkenal, David Adjmi. Memberikan kesegaran tersendiri dalam sejarah teater Indonesia mutakhir.
Sebagai penutup, Marie Antoinette bukanlah sekadar nama, begitu pula semboyan hingga lagu yang hadir di dalam pertunjukan, ia menyimpan kesejarahannya sendiri yang tak dapat dicabut begitu saja, lebih lanjut jika hanya ditempelkan semata, maka ada ketumpang-tindihan sejarah, yang membuat para penonton melihat realitas yang lain, realitas yang seolah tak memiliki kesinambungan, asing dan jauh.
Januari, Yogyakarta, 2023.
———————
Daftar Bacaan:
- Rau, Meachen Dana. 2015. Who Was Marie Antoinette? New York: Penguin Workshop.
- Weber, Caroline. 2006. Queen of Fashion: What Marie Antoinette Wore to the Revolution. New York: Henry Holt and Company New York.
- Ferry Farm and Historic Kenmore. (2016). Le Pouf: Sensational Hairstyle of the 18th Diakses pada 8 Januari 2023, dari https://livesandlegaciesblog.org/2016/09/15/le-pouf-sensational-hairstyle-of-the-18th-century/
- Paris Conciergerie. Marie-Antoinette and the Conciergerie, diakses pada 9 Januari 2023, dari https://www.paris-conciergerie.fr/en/Explore/Marie-Antoinette-pass#
*Penulis adalah kritikus seni pertunjukan.