Puisi-Puisi Asro Al Murthawy

BEMBAN BATU

Aku secuma batang kayu biasa
Mengerak dalam semak serupa jati
kukekarkan akarku mengeras batu
Menunggumu menggenggamku sebagai sebuah pedang
Separuh diriku telah menyatu dengan jiwamu
Mengerang pada kemarau menggigil pada hujan
meracik dendam pada sesiapa yang telah menabur bijiku
pada tanah tandus kering berbatu
rindu siram rindu siang

Bawalah kemarahan
pada ujung batang yang diruncing
sebagai senjata. Tak kan sia-sia
cinta yang gagal akan menemui pelampiasnya

Pada tubuh kebal lelaki perkasa itu
yang lidahmu takkan pernah fasih menyebut ayah
alamatkan rindu laknat yang perih
jangan panggil nama atau kenangan. Berdiri saja di tepi gelanggang
pegang kuat huluku . Tancapkan atas nama cinta dan pengabdian
dan masing-masing kita akan menuai takdir
sama-sama menang.

Imaji 1442 H

 

SUATU WAKTU DI TELUK WANG

di tempat ini, air bersembahyang
dengan caranya sendiri, bisikmu

kita juntaikan kaki bersisihan
air berdebur membentuk gelombang
riak-riak kecil melebar lalu hilang
menggegaskan gerak sapit udang
mengusik sekumpulan seluang

di tempat ini, air bersahadat
dengan caranya sendiri, bisikmu

kita surutkan waktu
saat air berdebur merendam kenang
sejarah yang tak pernah ditulis
tentang pertempuran demi pertempuran
kapahlawanan, penghianatan dan mungkin cinta
mengusik sekumpulan ingatan

di tempat ini, air bermunajat
dengan caranya sendiri, bisikmu

mari berenang sebelum hari gegas
dan maghrib jatuh menautkan sesulur masa lalu
menghubungkan dengan jiwa
dan masa depan.

Imaji, 1438 H

 

BAIT PENGAKUAN DWARAPALA

Maafkan, jika baru kini
dapat kutuliskan pengakuan ini
Bukan maksudku menelikung sejarah rapuh
yang rentan di tiap kelokan tahun
apalagi merekontruksi prasasti beku
dengan gemerlap namaku. Bukan itu!

Kau tahu, semestinya ada dua dwarapala
Aku: Kala dan kembarku :Amungkala
berselempang semangat bergada berani mati
menjaga kanan kiri gerbang candi
menjaga prajnaparamita tetap suci
dari gebalau angin tenggara
dendam gemuruh bandang, dedemit dan datu datu
Tapi kuyakin kau takkan pernah tahu
diam-diam aku bersengkongkol dengan waktu
merapuh tanpa jejak pasti

Maafkan jika baru kini
dapat kutuliskan pengakuan ini
Bukan maksudku melontar dalih apologi
melepas tanggung jawab atas semua yang terjadi
apalagi mengurai buhul jati diri. Bukan itu!

Kaupun tentu tahu, bulir kesadaran tumbuh
bergantung pada musim dan cuaca
Maka, ijinkan aku kembali
menziarahi lelumut mencecap remah sejarah
menyusun kembali puing batu candi
yang lama digerus sunyi

Imaji Bangko, 1432-1442 H

*Dwarapala adalah dua patung penjaga bangunan suci. Pada Situs Candi Muara Jambi, cuma ditemukan satu patung Dwarapala

 

DARA  PETAK  DARA  JINGGA

Perempuan tak pernah tahu apa-apa
hanya hanyut menghilir
menyisir tebing-tebing curam
atau menyaran pada rantau yang tenang
tak tahu dimana letak muara
~Melayu o Melayu kami pergi tanpa permisi~

Dua dara, putih dan tembaga
tak sadar gebalau nasib yang membelit
dalam pasrah menatap hari-hari runcing
tatap ganjil antara takjub dan iba
~kamilah upeti itu
Bersama emas, rempah dan pekasam pacat~

Waktu melipat. Bumi memilin berkali-kali
dan pada sesobek buku pelajaran sejarah
dua nama tercetak tebal pada pangkal silsilah
mungkin nama-nama perempuan itu. Letih
~kami cuma ingin menghilir
Tak lebih~

Imaji Bangko 1442 H

 

TERSEBAB KAU LAHIR DARI KUTUK

: tupai jenjang

Tersebab kau lahir dari kutuk
mantra tetua yang memerangkap tubuh
meleraimu dari sifat meninggi dagu
perangkap yang meruncing tertera di dahi
menganakpinak gelisah sepanjang bujur danau
bimbang mengungkung gigir gunung
Kerinci o Kerinci
tempat sunyimu menunas merimbun
menyerah pada kodrat
jiwamu yang kuat perkasa
terbelenggu nista wujud badani

Tersebab kau lahir dari kutuk
Harap ibu tersuruk di palung begitu dalam
Memintal waktu demi waktu
menampung embun demi embun pada cawan rahim tua
anakku o anakku
mengapa demikian lama menunggu
menggumpalkan kepasrahan dalam tiap lembar tikar semedi
membilang putaran matahari
dengan keringat dan darah
meleleh dan terus meleleh
hingga kau ada.

Tersebab kau lahir dari kutuk
Jangan bosan berkabar pada cuaca
Pada gerimis yang runcing pada badai serupa lembing
dalam genang waktu yang risau
menganyam senja, jarak dan peristiwa
serupa legenda
berkawan hantu air penunggu danau
merawat sunyi jadi batu

Imaji 1437 H 

 

*Asro al Murthawy. Lahir Temanggung, pada tanggal 6 November 1969. Adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Merangin dan Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jambi. Karya-karyanya terhimpun dalam Syahadat Senggama (k.puisi, 2017) Equabilibrium Retak (2007), Lagu Bocah Kubu (puisi, tanpa tahun), Kunun Kuda Lumping (k.Cerpen, 2016) dan berbagai antologi bersama sastrawan Indonesia lainnya. Karyanya yang lain: Pangeran Sutan Galumat (2017), Pengedum Si Anak Rimba (2018), Mengenal Lima Sastrawan Jambi (2018), Katan dan Jubah Sang Raja Hutan (2019) Bujang Peniduk (2019) dan Ujung Tanjung Muara Masumai (2019) diterbitkan oleh Kantor Bahasa Jambi sebagai Pemenang Sayembara.. Hadir dalam Temu Sastra Indonesia I (2008), Pertemuan Penyair Nusantara VI (2012) Jambi, MUNSI II (2017) Jakarta, Pertemuan Penyair Asia Tenggara (2018) Padang Panjang,dan Borobudur Writter And Cultural Festival (BWCF) (2019)