Lukisan Politik : Momentum Bersiap Pemilihan Umum

Oleh Agus Dermawan T.

Lukisan yang merekam suasana sosialisasi Pemilu 1955, yang dicipta pada 1954.
Sebuah dokumentasi politik yang artistik dan langka .
——–

DI KANVAS berukuran 100 x 150 cm Harijadi Sumodidjojo menggambarkan sekumpulan orang. Mereka kelihatan seperti bersiap mendengar pidato seorang sosialisator di panggung. Tergambar di situ gadis muda yang datang dengan bersemangat. Ada wanita berkebaya merah yang jalan bergegas. Ada dua lelaki rakyat jelata yang sedang berdialog, dengan gestur yang serius. Di sebelah lain ada lelaki berkumis, berbadan gemuk, memakai jas, dan mendongak optimis melihat masa depan. Lalu di latar belakang tampak umbul-umbul berwarna merah, kuning, putih dan hijau, yang mengesankan adanya perayaan. Lukisan ciptaan 1954 ini berjudul : Sosialisasi Pemilihan Umum.

Lukisan Harijadi Sumodidjojo, “Sosialisasi Pemilihan Umum”, 1954. (Foto: Agus Dermawan T) 

Apabila dilihat sepintas, kurang terasa bahwa lukisan yang menuntut pengerjaan lumayan rumit ini adalah gambaran dari momentum sosialisasi pemilu. Namun apabila disimak cermat, kita akan menemukan inskripsi yang menjelaskan itu. Inskripsi yang tertulis di sebelah kanan bawah lukisan tersebut berbunyi begini: Suasana Pemilihan Jogjakarta 2 Desember 1954. Pemilihan Umum pertama untuk konstituante dan Dewan Perwakilan Rakjat.

Kelahiran lukisan ini ada hubungannya dengan permintaan Kementerian Penerangan Republik Indonesia bertanggal 10 Agustus 1953 yang ditandatangani oleh Roeslan Abdulgani. Isi surat itu adalah agar Harijadi membuat 2 lukisan berukuran 100 x 150 cm, dan pemerintah akan membayarnya Rp7500. Harijadi (baca: Hariyadi) melaksanakan instruksi. Dan ia senang, karena 2 lukisan yang bertema dokumentasi sosial itu dipajang di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskwa. Rasa senang ini mendorongnya untuk menggarap lukisan bertema dokumentasi politik yang “aneh”, seperti Sosialisasi Pemilihan Umum. 

Mengapa Harijadi memilih tema yang “aneh” seperti itu? Banyak cerita yang tersimpan di dalamnya, sehingga lukisan tak hanya layak dinikmati secara visual, tapi juga harus dicermati secara historikal. Karena ternyata konten yang disampaikan memiliki dimensi berlapis, berkait dengan sejarah kebangsaan Indonesia. Begini.

Palu arit dan bintang bulan 

Syahdan pada 1952 Pemerintah Indonesia berhasrat menghelat pemilu pertama kali. Karena pemerintah sadar, sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, legislator Indonesia yang mewakili suara berbagai organisasi dan partai hanya dipilih lewat aklamasi. Atau tidak melewati pemilihan umum. Lalu, setelah dimusyawarahkan berkali-kali maka pemilu pun diputuskan diadakan pada 1955. 

Untuk mempublikasikan adanya perhelatan pemilu itu pemerintah melakukan berbagai upaya. Tujuannya agar masyarakat Indonesia, dari kota sampai desa, dari Sabang sampai Aru, tahu tentang pemilu, dan kemudian terlibat dengan segenap kegembiraan hati. Lalu berbagai upaya sosialisasi diadakan. Untuk sosialisasi di tengah publik, pemerintah (dan partai politik) memasang aneka poster dan baliho di semua penjuru. Dan untuk mendukung pemasyarakatan itu aparat pemerintah menggelar acara bertemu dengan rakyat. Dalam acara tersebut petugas pemilu berbicara kepada publik mengenai pentingnya pemilu, cara rasional dalam memilih wakil rakyat dalam pemilu, dan cara pencoblosan di bilik pemilu. Sehingga masyarakat akhirnya bersiap dalam menghadapi pemilihan umum.

Namun sosialisasi yang lebih berisi penjelasan teknis agaknya tidak cukup. Karena pemerintah juga mengharap agar perhelatan pra pemilu berlangsung aman, ceria, kondusif, serta jauh dari konflik. Agar masyarakat tidak termakan oleh kampanye negatif atau bahkan kampanye hitam yang keterlaluan. Karena sepanjang 1954 ternyata sudah banyak kampanye seperti itu berlontaran. Beberapa contoh terpetik di bawah ini. 

Mingguan Hikmah (milik kelompok Muslim yang notabene simpatisan dan anggota Partai Masyumi) misalnya, memasang iklan yang berbunyi : “Memilih Palu Arit berarti menyerahkan Indonesia kepada Kekuasaan Asing. Untuk menghindari itu, Tusuklah Bintang Bulan!” Kekuasaan asing adalah Uni Soviet, yang dilambangkan sebagai lelaki garang bertopi buruh. Bintang-bulan adalah lambang partai Masyumi.

Sementara itu koran Harian Rakjat (yang dikelola para simpatisan dan anggota PKI) memuat iklan kampanye beruar-uar begini : “Di bawah kekuasaan Masjumi-PSI, uang Saudara digunting. Pilihlah PKI.” Kalimat terakhir itu dibubuhi tanda panah yang mengarah ke gambar palu arit, lambang PKI. Dan ilustrasi sentral iklan itu adalah gambar tangan memegang gunting, yang sedang memotong uang rupiah. Perlu diketahuii, pada waktu itu Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) diisukan bakal memotong nilai nominal rupiah menjadi separuhnya saja, untuk menstabilkan ekonomi.

Iklan kampanye Pemilu 1955 yang dimuat di Harian Rakjat (kiri) dan di Mingguan Hikmah. (Foto: Historia)

Sosialisasi pemilu ini oleh pemerintah diselenggarakan di berbagai wilayah dan seluruh pelosok. Di antaranya tentu di kota besar, seperti Yogyakarta. Nah, keramaian sosialisasi pemilu di Yogyakarta yang diselenggarakan pada 1954 itulah yang direkam oleh Harijadi Sumodidjojo, seperti yang tampak pada lukisan.

Pemilu untuk DPR 1955 akhirnya sukses terselenggara pada 29 September 1955. Ketika dilakukan penghitungan manual di Gedung Olahraga Gambir pada 3 bulan kemudian, rakyat bersorak rukun menyambut para wakilnya yang terpilih. Kesuksesan pencoblosan ini lalu diteruskan dengan pemilihan anggota Konstituante pada beberapa bulan setelahnya, dan pemilihan anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) pada 1957. Semua program besar ini berjalan sesuai waktu, tanpa sedikit pun konflik. Tentu berkat gemuruh sosialisasi pemilu, seperti yang direkam oleh lukisan Harijadi.

Pemilu 1955 jelas menyentuh hati masyarakat kota. Sehingga kemudian muncul aneka lagu jingle yang menyemarakkan pemilu, dan sekaligus menjunjung partai tertentu. Di antaranya adalah jingle jalanan yang nadanya diambil dari lagu soundtrack film Anna, produksi Italia 1951, yang diperani oleh Silvana Mangano. Petikan lirik jingle jalanan itu adalah : … Bintang bulan Masyumi… Palu arit PKI… Kepala banteng segi tiga itulah PNI…, dan seterusnya. Pada mulanya lagu ini populer di kota-kota saja. Namun proses kampanye membawa lagu itu melantun di seluruh desa. Harijadi Sumodidjojo, pelukis yang gemar berseni suara, termasuk gembira menyanyikan jingle jalanan itu.

Siapa yang mencipta lirik baru lagu adaptasi ini, tidak diketahui. Yang jelas, hasil pemilu 1955 mengumumkan bahwa PNI (Partai Nasional Indonesia), partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), partai Nadhlatul Ulama, PKI (Partai Komunis Indonesia) dan Partai Syarikat Islam Indonesia berada di urutan 1 sampai 5. Beberapa nama partai yang ada dalam lagu itu memang duduk di posisi atas hasil pemilu.

Mirip “Biografi II Malioboro”

Lukisan Sosialisasi Pemilihan Umum ini mengingatkan kita kepada lukisan adikarya Harijadi, Biografi II Malioboro, ciptaan 1949, warisan Presiden Soekarno yang jadi koleksi Istana Presiden Republik Indonesia. Lihat komposisinya yang berupa kerumuman orang sedang bergerak ke kanan. Juga gestur serta pantomimik para figur, yang menggambarkan berkecamuknya aneka perasaan dan pikiran.

Lukisan Harijadi Sumodidjojo, “Biografi II Malioboro”, 1949. (Foto: Agus Dermawan T).

Lukisan yang sarat pesan politik ini memang menceritakan rupa-rupa rasa-pikir segenap bangsa Indonesia setelah kemerdekaan berhasil direbut. Di situ terlihat gambaran manusia Indonesia yang satu sama lain tidak berhubungan. Ada lelaki berkaos putih yang berjalan geram. Ada pejuang berpestol yang justru merunduk lelah. Ada wanita cantik berkebaya yang berjalan lurus penuh keyakinan. Di sisi-sisi lain tampak anak-anak, ibu-ibu dan para orang tua yang digambarkan terduduk lelah dan sempoyongan. 

Semua itu digambarkan di tengah Jalan Malioboro, tempat semua unsur bangsa berkumpul dan memperjuangkan politik secara bersama pada 1946 sampai 1949. Itu sebabnya dalam lukisan tertulis inskripsi berbahasa Belanda yang terjemahan petikannya terbaca begini: “…untuk Bersatu, harus diuji terlebih dahulu”. 

Lukisan Biografi II Malioboro memang ada kemiripan dalam  komposisi dan pergerakan figur-figurnya dengan Sosialisasi Pemilihan Umum. Namun sesungguhnya dua lukisan ini berbeda gaya. Apabila Biografi II Malioboro cenderung surealis, maka lukisan Sosialisasi Pemilihan Umum bersifat realis.

Suasana Pemilihan Umum 1955. (Arsip Agus Dermawan T).

Harijadi Sumodidjojo lahir di Ketawang, Sukoharjo, Jawa Tengah 25 Juli 1919, dan wafat di Yogyakarta, 3 Juni 1997. Semula ia adalah seniman otodidak yang bekerja sebagai pembuat poster bioskop. Namun ia meminati segala hal, sehingga pada suatu kurun ia mendalami meteorologi. Tahun 1946 ia berhimpun dengan Sanggar SIM (Seniman Indonesia Muda) pimpinan Sudjojono. Tahun 1949 ia ikut angkat senjata dan bergabung dalam Brigade 17 dari Tentara Nasional Indonesia. 

Harijadi Sumodidjojo (1919-1997), pelukis cum politikus. (Arsip Agus Dermawan T).

Yang unik, Harijadi juga penggemar balap motor, sehingga menjuarai berbagai perlombaan. Dengan motor hatinya begitu dekat, sehingga ia selalu bersiap menukar sejumlah lukisannya hanya untuk sepeda motor balap. Kendaraan kebanggaannya, BSA Gold Star misalnya, dibeli dari Mayor Jenderal Bambang Sugeng, Kepala Staf Angkatan Darat, dari hasil penjualan 4 lukisannya. 

Selain gemar menyanyi, Harijadi juga suka mencipta puisi dan main teater. Bahkan ia pernah naik pentas dalam drama yang disutradarai tokoh sastra Subagio Sastrowardoyo. Ia juga menjadi aktor dalam film Badai Selatan (1960) dan Nyoman Cinta Merah Putih (1989). Tahun 1965 Presiden Soekarno mengirim Harijadi ke Meksiko untuk belajar “mural politik” kepada seniman dunia Jose David Alvaro Siquiros.

Harijadi Sumodidjojo adalah seniman besar cum politikus, dengan karya-karya yang mendokumentasikan peristiwa politik. *

————–

Agus Dermawan T.
Kritikus. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden.