Budaya Sagu Papua

Hari Suroto

Kondisi lingkungan alam (ekologi) Papua sangat berpengaruh pada pola hidup masyarakatnya. Masyarakat Papua yang mendiami daerah pesisir di zona rawa (swampy areas), pantai dan dan sepanjang aliran sungai (coastal and riverine). Masyarakat Papua yang mendiami daerah pesisir memiliki pola hidup yang berbeda dengan masyarakat dataran tinggi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan mencolok diantara lingkungan keduanya (termasuk di dalamnya tipe tanah, tingkat ketinggian, dan iklim). Perbedaan-perbedaan ini kemudian berpengaruh pada pola pemilihan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang bisa mereka konsumsi demi kelangsungan hidup mereka.

Masyarakat pesisir Papua cenderung menjadi pemburu, nelayan, dan pengumpul (terkecuali masyarakat yang diam di wilayah pesisir utara dan di daerah lepas pantai). Sebaliknya, masyarakat dataran tinggi Papua cenderung menjadi petani. Pada umumnya, makanan pokok masyarakat pesisir Papua adalah sagu. Sagu tidak dibiakkan secara tradisional dan proses pengolahan batang sagu menjadi sesuatu yang bisa dimakan tergolong proses yang relatiftidak terlalu rumit. Hasil dari pekerjaan tersebut bisa mencakup berkalori-kalori persediaan makanan bagi mereka.

Tak ada bahan baku yang dapat menghasilkan bahan makanan sebanyak sagu jika memperhitungkan tenaga kerja yang terlibat. Dalam waktu satu jam, dapat dihasilkan antara 2, 2 hingga 3, 1 kilogram sagu mentah. Lebih baik lagi, mari kita bandingkan jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi satu juta kalori. Sagu adalah yang tertinggi dalam skala tersebut, hampir sama dengan budidaya ladang yang tidak menetap dan lebih tinggi dari pertanian yang menetap, berburu atau mengumpulkan makanan. Dalam urutan menurun, kegiatan berburu yang menghasilkan jutaan kalori memerlukan 1000 jam kerja, penanaman padi-padian sebesar 600 jam kerja, jagung dan beras padi sekitar 200 jam kerja, tetapi sagu hanya sekitar 170. Yang lebih rendah, kita hanya memiliki ubi kayu dan perkebunan campuran yang berorientasi bagi kebutuhan keluarga, dengan hanya 100 jam kerja untuk menghasilkan jutaan kalori. Mengolah sagu merupakan aktivitas dengan resiko kecil, lebih aman dan sudah pasti memperoleh hasil disbanding berburu, menangkap ikan atau berkebun. Sagu tumbuh berlimpah di wilayah pesisir Papua, sebagai makanan pokok sagu dapat diolah relatif lebih cepat sehingga menyisakan banyak waktu untuk melakukan kegiatan lainnya.

Tak diragukan bahwa sagu dapat dimakan begitu saja, kandungan nutrisinya kurang jika dibandingkan dengan bahan pangan lainnya, biji-bijian seperti gandum, beras atau umbi-umbi seperti ubi jalar, talas atau bahkan ubi kayu. Kandungan protein dalam aneka jenis bahan lain tersebut berkisar antara tiga sampai lebih dari 50 kali lebih besar daripada sagu. Hal yang sama berlaku untuk sebagian besar vitamin dan mineral.

Sagu memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Papua. Tumbuhan ini juga menjadi penanda identitas, batas wilayah, hingga berfungsi dalam ritual dan adat. Sagu bahkan selalu ada dan memegang peran kunci dalam setiap ritual atau festival yang diadakan suku-suku di dataran rendah yang secara tradisional mengkonsumsinya.

Bagi orang Papua, kebun sagu merupakan lumbung alam pola panen tumbuh, yaitu memanen sagu secukupnya sesuai kebutuhan hari dan ditumbuhkan kembali anakan sagu bekas panen. Hal ini sebagai salah satu bentuk ketahanan pangan orang Papua. 

Papua memiliki diversitas sagu tertinggi, sehingga tumbuhan ini mungkin memang berasal dari kawasan tersebut. Dari Papua, tumbuhan sagu kemudian menyebar ke bagian barat Asia Tenggara melewati Garis Wallace dan ke Kepulauan Pasifik.

Leluhur orang Papua merupakan kelompok migran manusia modern pertama (Homo sapiens) yang tiba di Semenanjung Huon, Papua Nugini sekitar 40.000 tahun yang lalu. Para pemukim pertama di Papua jelas memperoleh makanan mereka dari berburu dan meramu. Mereka memanfaatkan tumbuhan lokal untuk makanan termasuk sagu. Seperti diketahui, sagu tumbuh liar di tepi-tepi sungai, danau, dan rawa-rawa. Di masa lalu, bahkan sampai kini, zona ini merupakan surga kehidupan.

Papua merupakan daerah yang mempunyai sumber tanaman sagu yang paling besar di dunia. Tanaman sagu tumbuh terutama di daerah rawa dangkal yang menerima masukan air tawar. Menokok sagu adalah aktivitas sehari-hari bagi masyarakat Papua yang tinggal di zona rawa, pantai dan sepanjang aliran sungai.

Daerah rawa dataran rendah dan berair tawar yang luas terdapat di empat tempat. Satu, di sepanjang pantai selatan, mulai dari garis batas antara Papua dengan Papua Nugini sampai ke Teluk Etna. Dua, di dataran rendah daerah Kepala Burung bagian selatan. Tiga, di pantai utara mulai dari delta Sungai Mamberamo ke arah barat sampai muara Teluk Cenderawasih. Empat, rawa pedalaman yang luas mengelilingi sunga-sungai Idenburg dan Rouffaer di daerah cekungan tengah yang berdanau-danau. 

Ada delapan genus sagu yang tersebar di berbagai penjuru belahan bumi ini, yaitu arecastrum, arenga, caryota, coryphe, eugeissona, mauritia, metroxylon, dan roystonea. Genus sagu yang banyak terdapat di Papua adalah genus metroxylon. 

Etnis Muyu (timur laut Merauke), misalnya, mengklasifikasikan pohon sagu menjadi dua jenis, yaitu sagu yang berduri dan tidak berduri. Pohon sagu yang berduri terbagi lagi atas dua jenis, yaitu sagu yang berduri pendek (disebut om aim) dan yang berduri Panjang (disebut om biom). Sagu yang tidak mempunyai duri juga terbagi atas dua jenis, yaitu om wit atau owi dan om towot. Khusus untuk sagu yang tidak berduri atau om towot mempunyai dahan dan batang berwarna merah. Pohon sagu tersebut tidak boleh ditebang atau dimakan oleh sembarang orang.

Menurut orang Sentani, seluruh pohon sagu di daerah Sentani, tergolong dalam dua golongan besar, yaitu sagu berduri (sagu yang batang dan pelepahnya berduri) dan sagu licin (sagu yang batang dan pelepahnya tidak berduri). Kandungan tepung sagu (saripati) pada jenis-jenis sagu yang berbeda tidak sama, misalnya pada pohon sagu berduri kandungan saripatinya lebih banyak bila dibandingkan dengan jenis pohon sagu tidak berduri. Demikian pula pohon sagu yang belum cukup umur atau yang telah lewat umur bila dipanen hasilnya lebih sedikit dibandingkan dengan pohon sagu yang dipanen tepat pada umur panen, yaitu pada umur kurang lebih 10 tahun.

Tidak ada tanaman lain sebagai penopang hidup di pesisir selatan Papua seperti sagu. Sagu  tersebar luas di pesisir selatan, dari ujung areal bakau hingga jauh masuk ke pedalaman. Ekologi wilayah etnis Asmat, lebih banyak sagu di bagian hulu sungai, pohon-pohon sagu yang lebat tumbuh luas di areal ini, makanan pokok etnis Asmat. Sagu merupakan sumber makanan pokok orang Asmat, tumbuh hampir di seluruh daerah Asmat, namun lebih banyak terdapat di daerah tengah dibandingkan dengan daerah pantai. Mata pencaharian pokok orang Asmat adalah meramu sagu. Pekerjaan meramu sagu, walaupun dilakukan oleh anggota-anggota dari satu keluarga batih sebagai unit kerja utama, namun seringkali kesatuan kerja meramu sagu dapat meluas meliputi lebih dari satu keluarga batih. Biasanya keluarga-keluarga batih yang terlibat dalam satu unit kerja meramu sagu terdiri dari keluarga seorang ayah bersama keluarga naka-anaknya atau bersama keluarga seorang saudara kandungnya atau bersama keluarga iparnya.

Masyarakat di Papua biasa memanen sagu saat kandungan pati di batangnya diperkirakan mencapai batas tertinggi, yaitu tepat sebelum munculnya bunga. Masyarakat Papua biasa menyebutnya usia terbaik untuk panen ini Ketika tumbuhan sagu memasuki masa bunting. Hasil panenan mereka biasanya bervariasi dari 150 hingga 300 kilogram pati kering per batang yang dipanen, tergantung jenis tumbuhannya. 

Sagu adalah makanan pokok orang Sentani. Dari semua pekerjaan keluarga yang secara tradisional dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, mungkin di sinilah pembagian kerja paling jelas terlihat. Laki-laki menebang pohon sagu dan membawa pulang batangnya, lalu membelahnya menjadi dua bagian, menggunakan tiang kayu sebagai irisan. Isi bagian dalam batang sagu yang lembut kemudian dihancurkan menjadi remahan serbuk dengan bantuan kapak batu, yang mungkin dipasang atau tidak dipasang pada pegangan. Untuk mengekstrak makanannya, remahan serbuk sagu dimasukkan ke dalam corong yang terbuat dari pelepah sagu di mana bahannya diperas oleh wanita di bawah air yang terus menerus ditambahkan. Air bermuatan pati sagu yang dihasilkan dilewatkan melalui saringan dari anyaman daun palem dan dikumpulkan dalam bak, didiamkan semalaman agar zat tepungnya mengendap. Tepung basah tersebut kemudian dikumpulkan dalam karung plastik dan dibiarkan mengering dan mengeras.

Meramu sagu bagi etnis Sentani, biasanya dilakukan oleh keluarga inti terdiri dari ayah, isteri dan anak-anak yang belum kawin sebagai unit produksi yang utama. Namun demikian pekerjaan tersebut kadang-kadang dilakukan juga secara bersama-sama oleh dua atau lebih keluarga inti, yang biasanya berasal dari satu klen kecil yang dalam bahasa Sentani disebut imeah atau dari klen kecil yang berbeda tetapi ada hubungan kekeluargaan karena perkawinan dan bertempat tinggal di rumah yang sama.

Dalam usaha meramu sagu, terjadi pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Biasanya pekerjaan menebang sagu, menguliti batang sagu dan menokok empulur sagu menjadi serat-serat terlepas dilakukan oleh kaum laki-laki. Sedangkan pekerjaan yang menyangkut membuat alat berupa bak untuk mencuci serpihan sagu dan untuk menampung endapan tepung sagu serta menganyam wadah (bahasa Sentani holobei) dari daun sagu untuk membawa pulang hasil produksi ke rumah, dilakukan baik oleh laki-laki atau perempuan, tergantung dari situasi yang dihadapi pada waktu pekerjaan tersebut dilakukan.

Bagian dalam batang pohon sagu menjadi sarat akan zat tepung yang dapat dikonsumsi manusia sesaat sebelum pohon tersebut berbunga. Tahap berbunga ini, terjadi Ketika pohon Metroxylon sagu berumur antara delapan hingga lima belas tahun, tergantung pada lokasi tumbuhnya. Tahap penting berikutnya adalah memisahkan zat tepung yang berada dalam untaian serat selulosa yang tak dapat dikonsumsi.

Pohon ditebang, dan sisi luar kulit kayu yang keras dibuka pada bagian atas di sepanjang batang pohon. Langkah selanjutnya adalah melumatkan batang dalam (empulur) yang terbuka. Di seputar bagian yang dangkal, dengan permukaan cekung, di ujung alat pangkur ini sekilas terlihat seperti sederet gigi. Bagian pegangan alat pangkur yang seperti kapak ini biasanya terbuat dari kayu keras, bagian kepala yang dipasang melintang juga terbuat dari kayu atau bambu dengan salah satu ujung sisi luar tajam atau bergerigi untuk menghancurkan empulur. Belakangan ini, ditambahkan logam pada bagian ujung kepala alat pangkur untuk memperpanjang masa pemakaian. Dengan setiap ayunan pukulan, bagian empulur yang padat terkoyak lepas. Kayu lunak ini dilumatkan Bagai remahan serbuk gergaji, memarut dan menokok oleh alat pangkur. Proses ini menghancurkan serat-serat selulosa menjadi pecahan-pecahan kecil dan melepaskan partikel-partikel yang menempel.

Kemudian, dengan cakupan dua telapak tangan (atau menggunakan sebuah keranjang) remahan empulur ditempatkan pada sisi atas palung yang dibuat dari penggabungan bagian pangkal pelepah dari dua daun sagu yang besar, diambil dari pohon sagu yang sama. Ujung atas palung ditopang memakai pelepah daun yang diletakkan vertikal, membentuk sudut curam hingga bagian bawahnya menjadi hampir datar dan dibuat sedikit lebih tinggi di atas permukaan tanah. Sebuah penyaring, dibuat secara tradisional dari serat pelepah yang diambil dari pohon-pohon kelapa, ditempatkan tidak jauh dari bagian kepala palung. Kulit kelapa atau gayung dari kulit kerang yang besar digunakan untuk menuangkan air ke dalam sejumlah besar remahan empulur di bagian kepala palung. Karena proses tersebut membutuhkan banyak air, maka harus tersedia sumber air di dekatnya. Seringkali harus digali sebuah lobang dangkal apabila tak tersedia aliran air. Kualitas air dapat mempengaruhi warna dan rasa sagu.

Campuran air dan remahan empulur yang lembab diperas, air membawa pati sagu melalui celah-celah saringan dan menghalangi serat selulosa kayu yang tak dapat dimakan. Air bermuatan pati sagu mengalir turun melalui lereng curam di bagian pertama palung menuju bagian kedua yang memanjang horizontal. Zat tepung mengendap di dasar palung dan mengeras dalam beberapa jam. Air di bagian atas endapan dituang keluar dan zat tepung yang telah mengendap diambil dari palung untuk dikemas dalam sebuah wadah (tumang) yang biasanya dibuat dari ranting dengan daun-daunan sagu. Berat sagu yang telah diproses dari sebatang pohon bervariasi antara 100 hingga 150 per kilogram.

Foto Penulis memeras sagu. (Sumber: Penulis)

Selanjutnya pekerjaan memproses serat-serat untuk mendapatkan saripati atau amylum berupa tepung sagu dilakukan oleh kaum wanita. Pertama-tama serat-serat dimuat ke tempat yang sudah disiapkan untuk pemrosesan, biasanya dekat sumber air sehingga memudahkan pengambilan air untuk pencucian. Pekerjaan berikut adalah memeras serat-serat yang telah disirami dengan air secukupnya sehingga saripatinya yang terpisah dari ampasnya. Saripati itu kemudian diendapkan dalam bak penampung menjadi padat berupa tepung basah yang kemudian diolah dalam bermacam-macam bentuk makanan pokok, misalnya dalam bentuk bubur (atau fi dalam bahasa Sentani dan papeda dalam bahasa sehari-hari di seluruh Papua), sagu bakar (bahasa Sentani euw) dan di waktu sekarang dalam macam-macam bentuk kue kering atau kue basah.

Biasanya hasil yang diperoleh dari pekerjaan meramu sagu pada hari pertama lebih sedikit dibandingkan dengan hari-hari lainnya karena pada hari pertama banyak waktu digunakan untuk menebang pohon, membersihkan batang pohon sagu dan tempat bekerja, dan membuat penyaring dan bak penampung (wa).

Sagu awalnya tidak hanya dikonsumsi orang Papua, tetapi juga masyarakat di berbagai tempat lain di Indonesia. Sagu dianggap sebagai sumber pangan awal yang dikonsumsi manusia modern (homo sapiens) saat tiba di kepulauan Indonesia, selain pisang dan umbi-umbian. Sagu sebagai sumber pangan tertua yang dikonsumsi manusia. Upaya mengekstraksi sagu dari batangnya, selain ekstraksi tepung dari umbi-umbian, merupakan fase awal sebelum manusia mengenal budi daya tumbuhan biji-bijian.

Kajian terhadap pola diet penghuni gua prasejarah di Niah, Serawak, Malaysia, menemukan adanya jejak konsumsi sagu sejak 50.000 tahun yang lalu. 

Artefak yang berkaitan dengan budaya sagu di Papua yaitu gerabah dan alat batu penokok sagu. Hasil penelitian arkeologi menunjukan bahwa gerabah banyak ditemukan di situs-situs arkeologi di pesisir Papua hingga pulau-pulau lepas pantai. Gerabah tidak ditemukan di pegunungan Papua maupun pesisir selatan Papua. 

Gerabah yang ditemukan di situs-situs hunian prasejarah di Papua berjenis tempayan, periuk dan forna. Tempayan digunakan untuk menyimpan air dan menyimpan pati sagu. Dinding tempayan yang tebal, memiliki daya tahan yang kuat sebagai media penyimpan. Periuk digunakan untuk merebus air dalam proses pembuatan bubur sagu atau papeda. Dinding periuk yang tipis, mempercepat dalam proses pemanasan makanan. 

Artefak gerabah forna di Situs Mosandurei mengindikasikan bahwa telah ada aktivitas pengolahan bahan pangan yang lebih variatif yaitu memanggang pati sagu atau sagu bakar. Forna terdiri dua bentuk, forna persegi panjang dan forna setengah bulat. Forna merupakan tungku untuk memanggang tepung sagu. Forna ini terdiri dari enam atau delapan bilik untuk menaruh tepung sagu. Teknik pembuatan forna yaitu gabungan dari teknik lempeng dengan pijit. Jejak pembuatan gerabah dengan teknik pijit dapat dilihat pada permukaan luar atau dalam yang tidak rata serta jejak jari tangan (fingermark). Bahan pembuat forna yaitu tanah liat campur pasir kuarsa kasar.

Untuk membuat sagu bakar, sagu mentah yang masih basah dipecah-pecah, lalu dijemur di panas matahari, dibuat tepung lalu diayak. Forna diletakkan di atas bara sabut kelapa. Kemudian forna yang sudah merah membara diangkat dengan capitan bambu, dan diletakkan di atas tanah. Tepung sagu dituangkan ke dalam lempengan forna, satu demi satu. Sagu lempeng matang tidak dengan cara dipanggang di atas api, tetapi kematangannya tercipta lewat proses transfer panas lewat tanah liat sebagai mediumnya. Artefak forna menunjukkan bahwa sagu merupakan makanan pokok, sagu mudah diperoleh dari hutan sagu di dekat situs. 

Bagi masyarakat Papua, sagu tidak hanya sumber makanan pokok, tetapi juga memberikan seperangkat emic, sumber pengetahuan, dan sistem religi. Hal ini, misalnya, terlihat saat pengambilan sagu dalam masyarakat adat yang biasanya tidak dilakukan secara serampangan, tetapi ada ritus yang mengiringinya, mulai dari meminta izin ketika hendak menebang, membersihkan semak-semak sekitar pohon sagu, penokokan, pemangkuran, hingga siap disantap, baik dalam bentuk lempeng sagu bakar atau dihidangkan dalam olahan papeda.

Foto Papeda kuah kuning khas Pulau Kapotar Nabire. (Sumber: Penulis)

Cara paling mudah untuk memasak sagu adalah dengan membentuknya menjadi sebuah bola dan meletakkannya di atas api. Tak beberapa lama, terbentuklah lapisan luar yang garing dan dapat dimakan, sedangkan bagian dalam sisanya dikembalikan ke dalam bara api sampai membentuk lapisan kulit yang sama. Cara lain untuk mengolah sagu, digemari oleh masyarakat di pesisir utara Papua, merebus tepung sagu dengan air hingga mengental, dinamakan papeda. Diperlukan sedikit latihan untuk menyantap hasil olahan yang lengket ini, seringkali disajikan Bersama kaldu ikan. Di pesisir selatan, seringkali sagu dicetak berbentuk bundar datar seperti pancake dan dipanggang di atas wajan. Parutan kelapa dapat dicampurkan dengan sagu sebelum memasaknya untuk memberi rasa.

Di Papua, sagu bisa diolah menjadi beragam jenis kuliner. Tiap-tiap suku memiliki teknik dan cara masing-masing, walaupun yang paling popular biasanya diolah menjadi bubur papeda atau diolah kering dengan cara dibakar atau biasa disebut sagu lempeng. Di Sorong Selatan, khususnya sekitar daerah Inanwatan, selain diolah menjadi papeda dan sagu lempeng, masyarakat juga mengolahnya menjadi sagu gula. 

Dalam mengelola dan menebang pohon sagu, ada aturan yang tidak boleh dilanggar. Misalnya etnis Sentani percaya ada amanat leluhur yang berpesan bahwa sagu hanya ditebang seperlunya. Tidak boleh asal tebang. Menebang pun ada aturannya, tidak boleh jatuh ke anakan sagu. Bagi etnis Sentani merawat sagu sama layaknya merawat diri sendiri. Jika sagu diperlakukan dengan baik, dipercaya akan jauh dari musibah tetapi beroleh rejeki.

Kebun sagu merupakan inti dari temporalitas kepemilikan etnis Korowai. Kebun ini memiliki siklus yang stabil. Pohon sagu siap panen membutuhkan waktu kira-kira lima belas tahun untuk menjadi dewasa, secara longgar cocok dengan usia dewasa anak-anak Korowai. Etnis Korowai dengan cepat membandingkan perbanyakan sagu dan suksesi generasi manusia. Mereka juga sering berbicara tentang kebun sagu  sebagai sumber makanan di masa depan: bukan anak-anak saat ini dan siapa yang akan mengeksploitasi mereka nanti. Tindakan orang menanam, memantau, dan merawat kebun adalah tindakan yang berkaitan dengan anak-anak mereka sebagai orang dewasa di masa depan. Tepung sagu adalah bahan kehidupan, dan melalui makanan ini orang Korowai berhubungan dengan masa depan anak-anak mereka – dan masa lalu orang tua – khususnya dalam daftar kelaparan dan rezeki. Bagi orang Korowai (orang-orang dari klan) semuanya memiliki satu tempat kebun sagu yang sama. Anak-anak Korowai jadi tidak mati karena kelaparan. Tradisi Korowai mengenal penanaman sagu oleh anak-anak ketika orang tua mereka meninggal. Mereka menganggap tanpa sagu, mereka akan mati. Menyediakan sumber makanan untuk masa depan adalah mode koneksi yang menghibur dengan orang lain melintasi diskontinuitas waktu dan kematian.

Etnis Marori di Merauke, misalnya, menjadikan sagu sebagai salah satu kelengkapan yang harus dipenuhi dan menjadi kewajiban serta tanggung jawab sosial bagi yang menyelenggarakan ritual dari kelahiran hingga kematian. Segala ritual yang dilakukan di kalangan etnis Marori tidak pernah dipisahkan dengan ketersediaan pati sagu sebagai persembahan maupun hidangan pokok untuk kesempurnaan ritual. Ritual-ritual yang berhubungan dengan produk sagu yakni lamaran,kelahiran, tindik telinga, kematian, penjemputan tamu, dan lain-lain. Bagi marga Mahuze, bagian etnis Marori, sagu merupakan totem. Karena menjadi totem bagi marga Mahuze, sagu menjadi simbol persaudaraan sehingga tidak bisa sembarang diperjualbelikan. Pada marga ini, pemanenan dan pengolahan sagu hanya dilakukan sewaktu-waktu untuk mencukupi kebutuhan penyelenggaraan pesta atau ritual adat serta konsumsi dalam rumah tangga.

Etnis Sentani mengenal 4 jenis sagu utama, yaitu phara, rondo, yebha, dan folo, karena memiliki kualitas terbaik yang hanya dipakai saat ritual dan upacara adat yang biasanya dipimpin oleh ondoafi, pemimpin adat tertinggi di kampung. Sagu phara, misalnya, harus ada sebagai hantaran keluarga perempuan ke besan mereka. Jika lelaki wajib membawa binatang, terutama babi, sebagai mas kawin, keluarga perempuan wajib membawa hantaran berupa sagu phara ini. Pohon sagu phara dipilih karena biasanya menghasilkan pati dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitasnya lebih baik jika dibuat papeda, selain putih tidak retas.

Selain mengambil sagu dari batang tumbuhan, masyarakat Papua juga memiliki tradisi memanen ulat sagu dan jamur sagu. Dengan membiarkan tumbuhan sagu di alam setelah ditebang, mereka bisa mendapatkan ulat sagu yang kaya protein. Sementara itu, jamur sagu biasanya muncul di timbunan ampas atau batang-batang sagu lapuk. Pemanenan produk pangan sekunder dari tumbuhan sagu ini merepresentasikan bentuk awal dari kebudayaan bertani (agrikultura).

Di beberapa etnis di Papua, ulat-ulat sagu menjadi menu terhormat dalam ritual dan adat. Dalam adat orang Asmat, setiap pesta akan didahului dengan menebang pohon-pohon sagu, yang kemudian dibiarkan di di tempat. Di dalam batang-batang sagu itulah akan terbentuk ulat-ulat sagu yang akan diperlukan sebagai menu terhormat di dalam festival.

Ulat sagu mungkin merupakan produk terpenting kedua dari pohon sagu. Larva yang besar ini (tiga atau empat sentimeter) dapat dimakan, berasal dari jenis kumbang tertentu, kumbang penggerek dengan nama ilmiah Rhynchophorus ferrugineus, berkembang biak di dalam batang pohon sagu yang tumbang. Ulat-ulat sagu ini memiliki kandungan protein tetapi sebagian besar adalah lemak, sangat diperlukan dalam menu masyarakat pesisir. Seratus gram ulat sagu mengandung 181 kalori dengan 6, 1 gram protein dan 13, 1gram lemak. Dapat dimakan mentah atau dibakar di atas bara api. Ulat-ulat sagu ini menjadi unsur penting dalam beberapa ritual suku Asmat, perayaan ulat sagu. Di antara suku Kamoro, sebuah ritual makanan disiapkan bagi upacara inisiasi anak lelaki, terdiri dari jenis kerrang-kerangan tertentu atau ulat sagu yang dicampur dengan sagu dan dipanggang dalam kemasan daun sagu berukuran Panjang. Kandungan lemak dari hewan-hewan yang lezat ini meresap ke dalam sagu.

Foto sagu lempeng lauk ikan bakar khas Pulau Kapotar Nabire. (Sumber: Penulis)

Bagi orang Asmat, ulat sagu merupakan makanan yang memiliki daya spiritual. Di dalam ulat sagu dipercaya terdapat banyak sekali roh leluhur. Dengan kekuatan raga dan spiritual, ia dipersonifikasikan terletak di antara persinggungan titik persendian yang menjaga agar tubuh tetap bergerak.

Merupakan hal yang paling penting dan satu-satunya ritual skala besar dari etnis Korowai, adalah festival ulat sagu, pada dasarnya menjamin kelangsungan hidup dengan fokus pada kesuburan dan kemakmuran. Perayaan ini terkait dengan dunia roh terhadap manusia, menjaga budaya dari gangguan dan bahaya. Ritual ini juga mengembalikan setiap ketidakseimbangan dalam hidup mereka dan membawa kembali suatu keadaan yang harmonis dan damai. Barang-barang dipertukarkan dalam rangka membangun dan mempertahankan hubungan sosial dalam satu marga, antar marga, dan bahkan kadang-kadang antar suku-suku.

Pohon sagu menghasilkan produk-produk lain disamping tepung sagu. Daun-daun dianyam menjadi penutup atap terbaik untuk rumah-rumah. Bagian pucuk pohon, yakni jantung palem dapat dimakan mentah atau dimasak sebagai sayuran. Beberapa kelompok membuat garam bambu dari hasil bakaran bagian tulang daunnya. Bagian ini juga digunakan sebagai dinding-dinding rumah (gaba-gaba). Tanaman sagu juga bermanfaat sebagai bahan atap rumah, pakan ternak, produksi ulat sagu, amyaan tikar dan keranjang, dan lain-lain.

Rumah tradisional etnis Kamoro di pesisir selatan Papua dinamakan kapiri kame. Kata kapiri berarti daun-daun dan kame adalah rumah. Etnis Kamoro memiliki gaya hidup semi nomaden. Rumah-rumah mereka sangatlah sederhana, sebuah bangunan rendah, beratap daun sagu yang dipasang miring dari permukaan tanah hingga setinggi sekitar satu meter pada bagian depan, dengan penutup di bagian depan dapat dibuka. Keluarga-keluarga hidup bersama dalam bangunan panjang berstruktur sederhana ini, dengan dinding dari dedaunan atau pelepah sagu sebagai pemisah ruangan bagi setiap keluarga.

Hasil penelitian menunjukan bahwa sagu merupakan tanaman penting orang Papua. Budaya sagu di Papua sudah dikenal sejak masa prasejarah, hal ini dibuktikan dengan artefak yang berkaitan dengan budaya sagu di situs-situs hunian prasejarah, artefak ini berupa wadah gerabah untuk menyimpan pati sagu, gerabah untuk memasak sagu dan alat batu untuk menokok sagu. Budaya sagu juga masih berlangsung hingga saat ini di Papua, hal ini terlihat pada tradisi menokok sagu, rumah gaba-gaba (batang pelepah sagu (gaba) untuk dinding rumah dengan lantai kulit batang), kulit batangnya juga dipakai untuk jalan dan kayu bakar, kerajinan berbahan daun sagu, briket arang sagu dan kuliner sagu. Batang sagu dipakai sebagai media untuk menghasilkan ulat sagu dan jamur sagu. Dalam relasi sosial, sagu memiliki nilai penting, baik sebagai mas kawin, pesta adat, menjamu tamu hingga sikap kerjasama dan gotong royong. Dalam mengelola sagu menjadi papeda, ada pembagian tugas berbasis gender. Tugas laki-laki menebang, menguliti, menokok sagu. Sedangkan perempuan memiliki tugas meremas sagu dan membuat papeda.

*Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN