In Memoriam : Djoko Pekik Jungkir Balik
Oleh Agus Dermawan T.
Pelukis besar Djoko Pekik telah berpulang pada 12 Agustus 2023 lalu dalam usia 86 tahun. Puluhan gambar puitis diwariskan. Ratusan lukisan prosais dipersembahkan. Dari karya-karya itu tidak sedikit cerita-cerita dramatis serta merta terlahirkan.
Djoko Pekik, kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah, aktif melukis sejak masuk Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta. Dan namanya mulai diperhatikan ketika ia bersama Amrus Natalsya mendirikan Sanggar Bumi Tarung tahun 1961. Perkumpulan seni rupa yang merupakan “adik kandung” dari organisasi Pelukis Rakyat yang didirikan Hendra Gunawan beberapa belas tahun sebelumnya.
Pada ujung tahun 1965 di Indonesia terjadi kudeta politik. PKI (Partai Komunis Indonesia) dituding sebagai biang dari prahara. PKI pun dibubarkan dan para pengikutnya ditumpas. Sementara PKI dianggap memayungi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Sedangkan Lekra disebut-sebut mengafiliasi Pelukis Rakyat. Maka Pelukis Rakyat dan “adik kandung”nya, Sanggar Bumi Tarung, segera dilumat. Drama pun dimulai : Djoko Pekik ditangkap karena dianggap sebagai bagian dari pencipta prahara.
“Saya diringkus dan dijebloskan dalam siksa gelap tahanan politik selama 7 tahun. Tanpa sedikit pun diberi pertanyaan. Tanpa sedikit pun diminta pernyataan,” kisahnya.
Kala kembali jadi orang bebas ia selalu giat melukis. Karyanya (tetap) menyuarakan hati rakyat kecil yang kehilangan kesempatan. Lukisannya senantiasa menggambarkan jelata yang apes. Oleh karena itu lukisan-lukisan Djoko Pekik jauh dari cantik – gaya seni yang sering dijauhi oleh penyuka lukisan. Sehingga Djoko Pekik pun ngupoyo upo (memunguti butiran nasi) di ranah lain : sebagai penjahit kain lurik di Yogyakarta.
Ganyang Pekik
Indonesia berencana menggelar karya seni Indonesia di Amerika pada 1991 sampai 1992. Paket besar seni ini akan dipamerkan beruntut di Houston (Texas), San Diego dan Oakland (California), Seatle (Washington), Honolulu (Hawaii). Joseph Fischer yang ditunjuk sebagai kurator kunci dalam pameran ini memilih banyak lukisan Djoko Pekik.
Kehebohan terjadi. Sejumlah seniman menggugat agar Fischer dan tim menggugurkan lukisan Djoko Pekik (dan Hendra Gunawan) dari daftar peserta pameran. Berkait dengan itu koreografer cum pelukis Bagong Kussudiardja mengecam keras. “Apa peran para mantan tapol itu dalam kegiatan diplomasi budaya Indonesia? Kita yang bersusah payah, karya-karya mereka yang dihadirkan. Karya mereka harus disisihkan! Ganyang Pekik!” Tapi Joseph Fischer, bersikukuh.
Pada suatu siang awal tahun 1990 saya bersama Kusnadi (kritikus), FX Sutopo dan Djoko Subandono (Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) mendiskusikan ihwal ini dengan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, yang bertindak sebagai salah satu penyelenggara. Mochtar ternyata tersenyum saja menyimak kehebohan itu. Sambil menyuap pecel lele (yang dibeli dari warung pinggir jalan) ia berkata : “Saya suka lukisan Hendra. Saya senang sekali dengan konten lukisan-lukisan Djoko Pekik.”
Pada tengah September 1991 di Mills College Art Gallery, Oakland, digelar seminar mengenai seni lukis Indonesia. Dalam pembicaraan 3 jam itu lukisan Sudjana Kerton, Hendra Gunawan dan Djoko Pekik menjadi sumber pembicaraan utama. Dari floor yang berjumlah lebih dari 200 orang, terletup ujaran bahwa lukisan Djoko Pekik adalah wajah Indonesia. Walau merekam pengalaman pribadi, lukisan Djoko Pekik dianggap merefleksikan riuhnya perdebatan politik di Indonesia, dan keterjepitan rakyat kecil dari masa ke masa.
Di luar forum seminar pengamat seni Astri Wright dari Amerika dan Helena Spanjaard dari Belanda mengusulkan agar pameran ini juga digelar di Amsterdam. Ia mengatakan bahwa lukisan Sudjana Kerton dan Djoko Pekik akan menjadi perhatian di sana. Usul itu dilaksanakan Maret 1993. Dan yang diprediksi menjadi kenyataan.
Djoko Pekik sepertinya tak terlampau hirau dengan simpang pendapat orang mengenai dirinya dan lukisannya. Ia melukis terus dengan tema-tema yang ia kehendaki. Bahkan tidak memperdulikan pasar. “Aku iki mung tukang nggambar kawula mambu pete. (Saya ini hanya tukang gambar yang merekam rakyat jelata,” katanya.
Sejak pameran KIAS dan Kebudayaan Indonesia di Belanda, lukisan Djoko Pekik dilirik banyak orang. Lukisan kolosalnya, Kawula Gonjang Ganjing (1989) yang menggambarkan keramaian massa pada saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX mangkat, dicari para kolektor. Berapa pun harganya, bawa! – begitu tagline yang sering terbaca. Begitu juga lukisannya yang legendaris, Keretaku Tak Berhenti Lama (1989), yang menggambarkan kereta api buruk berkapasitas ratusan ditunggu ribuan penumpang. Loko kereta itu digambarkan berlampu dua, bagai mata raksasa murka.
Bersamaan dengan itu lukisannya yang bernarasi lucu dan satire, yang semula tidak dipergunjingkan, juga dirindukan. Termasuk karyanya yang “politis”, Bebek-bebek di Bawah Beringin Hitam (1988). Lukisan yang kuat menghadirkan tafsir : para penghuni partai berlambang beringin bisanya cuma membebek kepada bayang-bayang hitam tuannya. Lukisan Djoko Pekik memang usil dan gemar menyindir penguasa yang ditengarai sebagai penyebab ketimpangan sosial dan kekacauan politik.
Pada 1996 masyarakat Indonesia yang sedang adem ayem mendadak dikagetkan oleh lukisan Susu Raja Celeng. Lukisan ini bercerita tentang seekor celeng (babi hutan) bunting berjalan lamban di tengah lapangan. Puting susunya yang berjumlah enam nyata kelihatan. Sementara di tepian lapangan berdiri ribuan orang menyaksikan. Kuat dugaan, celeng itu adalah peranimalifikasi dari seorang pemimpin yang ternyata hanya memberikan susunya kepada seorang isteri dan kelima anaknya.
Setelah ditafsirkan seragam dari mulut ke mulut, lukisan itu menimbulkan kehebohan laten. “Pak Pekik apa sudah siap ditangkap?” tanya saya. Ia menjawab : “Apakah lukisan itu tentang seseorang? Tidak. Saya hanya mau bilang, celeng yang terlalu lelah menyusui, akan cepat mati.”
Presiden Soeharto dilengserkan oleh massa pada Mei 1998. Djoko Pekik yang saya pikir bersorak gembira, ternyata tenang-tenang saja. Alasannya : dia sudah tahu soal itu sejak dua tahun sebelumnya.
Namun dalam ketenangannya itu ia melanjutkan serial celengnya menjadi trilogi. Pada 1998 ia mencipta Berburu Celeng, dengan narasi bahwa si celeng gemuk berhasil ditangkap dan diusung dengan pikulan oleh para pemburunya. Sementara di sekitar pengusung, terlihat rakyat yang gembira menari. Lukisan lainnya adalah Tanpa Bunga dan Telegram Duka. Lukisan metaforis yang meriah adegannya, tapi memilukan maknanya.
Dari lukisan-lukisan itu, dan dari lukisan-lukisannya setelahnya, Djoko Pekik menaruh dirinya sebagai pelukis penanda sejarah yang unik. Naluri seninya bisa memilih mana sejarah yang perlu ditandai dengan lukisan, dan mana sejarah yang hanya perlu ditandai dengan ingatan.
Becak menuju nirwana
Djoko Pekik pelukis sangat bersahaja. Sejak menjelang 1990 apabila ke Yogyakarta saya selalu mampir ke rumahnya yang sederhana. Jadwal kami selalu tetap : setelah minum teh, dengan naik becak kami bertandang ke kediaman sejumlah pelukis, seperti Nasjah Djamin, Sri Yunnah-Yapri Kuncana, Ida Hadjar dan seterusnya. Pada waktu Djoko Pekik sudah kaya dan punya dua mobil berwarna kuning dan hijau (entah kenapa ia menghindari mobil berwarna merah), ke mana-mana kami tetap naik becak.
Dari pengamatan runtut, kehidupan Djoko Pekik adalah hamparan kisah. Dan itu sejalan dengan isi benak Djoko Pekik yang tak henti dipenuhi hasrat mencipta kisah.
Pada April 2019, kala bangsa Indonesia mengawali proses pemilihan presiden, Djoko Pekik mendadak melukis dongeng tentang Petruk. Lukisan sebesar 205 x 500 cm ini diproses pelan-pelan sambil mengikuti perjalanan sosial politik di Tanah Air. Dan lukisan dianggap selesai pada November 2019, kala Indonesia sudah menemukan presiden pemenang : Joko Widodo alias Jokowi. Lalu lukisan pun diberi judul Petruk Dadi Ratu, Semar Kusirnya.
Lukisan ini memiliki nilai artistik tinggi, dengan warna-warna hidup dan greget yang optimistik. Dalam aspek tema, lukisan ini mengandung banyak simbol, dengan nuansa parodi. Sehingga kita boleh menafsir figur Petruk yang ada di situ adalah Jokowi. Sementara siapa Semarnya, kita boleh pura-pura tidak tahu. Lukisan ini ternyata menarik perhatian Butet Kartaredjasa, putera Bagong Kussudiardja, seniman yang dulu jadi “musuh besar” Djoko Pekik itu. “Lukisan Petruk harus punya tempat khusus,” guman Butet.
Pada akhir 2019 Jokowi melakukan perjalanan kerja di Jawa Tengah, dan dijadwalkan berlabuh di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Mampirnya Presiden ke Istana ini memunculkan ide Butet Kartaredjasa dan Djoko Pekik untuk memajang lukisan itu di istana dan mempertontonkannya kepada Presiden Jokowi. Upaya ini berhasil. Bahkan Jokowi berhasrat membeli lukisan itu, dengan proyeksi lukisan akan dipajang di Istana Presiden di Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur.
Namun Jokowi tidak ingin gegabah mengakuisisi. Untuk menyakinkan kualitasnya, dan untuk menafsirkan nominalnya, dibutuhkan saran para ahli. Maka pada 2020 ditunjuklah saya (ADT), Amir Sidharta (Kurator Museum Universitas Pelita Harapan), Watie Moerany Santosa (mantan Kepala Rumah Tangga Istana Presiden Bogor) untuk memberikan pertimbangan. Sampai akhirnya lukisan monumental tersebut resmi menjadi koleksi Istana Kepresidenan.
Dalam pertemuan di Istana Presiden Yogyakarta itu Djoko Pekik menyalami saya erat-erat. “Masih ingat kita mbecak, Mas?” katanya bersemangat. Kata-kata itu menempel kuat dalam ingatan. Karena setelah itu saya tak pernah jumpa lagi, sampai ia pergi selamanya dari alam fana.
Selamat jalan Pak Pekik. Becak Tuhan mengantarmu ke nirwana. *
Agus Dermawan T.
Kritikus, Penulis Buku-buku Budaya dan Seni, Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden RI.