Studi Jawa dalam Sorotan Pesta
Oleh Emi Wijiyanti
Judul : Urip iku Urub, Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey
Editor : FX Domini BB Hera
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : II, Oktober 2021
Tebal : xlvi + 586 halaman
Daftar isi dalam buku bunga rampai lumrahnya menjadi lembar pertama yang menentukan untuk memutuskan apakah buku semacam itu layak dimiliki atau cukup sekedar dipinjam baca saja. Hal ini wajar mengingat artikel-artikel di dalamnya pasti beraneka ragam.
Daftar isi pada buku Urip iku Urub, Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey ini menampilkan nama-nama penulis yang mempunyai kredibilitas dalam jagad kesejarahan Indonesia. Total 24 nama penulis, masing-masing memberikan tulisan yang berbobot, beragam, kaya akan data dan sudut pandang. Di antaranya Sri Margana (dosen sejarah UGM), Wardiman Djojonegoro (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1993-1998), Bondan Kanumoyoso (dosen sejarah UI), Didi Kwartanada (ahli sejarah Tionghoa Indonesia), hingga Daya Negri Wijaya (dosen sejarah Fakultas Ilmu UM). Semua memberikan penghormatan bagi Peter Carey, sejarawan ahli Diponegoro dan Perang Jawa, atas seluruh dedikasinya.
Setiap judul tulisan memberi daya tarik tersendiri. Dari setiap judul yang ada, pembaca mampu menerawang topik yang dibahas sesuai dengan kebutuhan minat, mencari jawab atas berbagai pertanyaan yang belum tentu bisa dipuaskan oleh Google, sehingga Urip iku Urub perlu dimiliki sebagai salah satu sumber literatur yang suatu saat kelak akan berguna untuk membantu karya kepenulisan bagi siapapun yang tertarik pada studi Jawa prakolonial hingga abad XIX.
Buku ini kembali menemui pembaca setelah 30 bulan sejak penerbitan pertamanya (2019). Termasuk cepat terbit lagi bagi ukuran buku bunga rampai yang jarang pula mengalami cetak ulang di Indonesia. Pada terbitan kedua ini buku mendapatkan epilog dari mendiang intelektual Daniel Dhakidae (1945-2021) yang juga sesama alumnus Cornell University seperti Peter Carey. Daniel menyoroti koleganya tersebut dalam ranah pemutakhiran sejarah Indonesia.
Peminat isu perempuan yang tertarik dengan kajian seputar gender dimanjakan dengan dua judul tulisan di dalamnya. Pertama, ‘Gusti Kanjeng, Perempuan Perkasa dari Pura Pakualaman (1840-1900)’ yang ditulis oleh Sri Ratna Saktimulya, Kodikolog dan Filolog UGM. Kedua, ‘Sentuhan Tangan-tangan Fransiskanes di Mendut: Potret Pendidikan Awal Abad XX bagi Perempuan Katolik Jawa’ oleh Eka Ningtyas, sejarawati Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang kini sedang melanjutkan studi S3 di INALCO Paris, Prancis (2019-2021).
Mataram dalam Konstelasi
Teristimewa bagi penduduk eks wilayah Kerajaan Mataram Islam, tentu saja pembahasan seputar Yogyakarta-Mataram adalah hal yang menarik. Urutan berikutnya setelah membaca dua tulisan tentang perempuan diatas, pembaca dari tlatah Yogya hingga Solo dapat menikmati tiga judul yang berkenaan dengan tema tersebut.
Pertama, ‘Pandangan Dunia Maritim Masyarakat Agraris Jawa dan Orang-orang Niaga Eropa Pertama di Istana Mataram (1558-1646)’ yang ditulis oleh Sri Margana (hlm. 187-213). Tulisan ini mengaris-bawahi bahwa nilai-nilai Islam-Jawa mendasari sikap bahwa Muslim tidak semestinya bersahabat dengan orang kulit putih (Eropa) yang dianggap kafir. Namun orang Jawa mempunyai sikap mendua dalam memandang orang Eropa yang berniaga. Di satu sisi kekuasaan Eropa sudah mendominasi kekuasaan Jawa yang seharusnya diperangi dan diusir. Namun di sisi lain orang Eropa telah menjadi bagian penting dalam kehidupan para penguasa awal kerajaan Mataram khususnya dalam melakukan ekspansi kekuasaan dan memerangi musuh-musuhnya sehingga mau tidak mau dipertahankan sebagai mitra.
Tulisan Sri Margana juga memberi pengetahuan baru tentang Sultan Agung. Sosok yang berusaha menyatukan Jawa dengan bendera Islam ini gagal mengusir orang niaga Eropa dari Jawa. Babad Nitik menjelaskan bahwa serangan Sultan Agung terhadap VOC di Batavia bukan untuk mengusir mereka, tetapi untuk mengukuhkan kekuasaan dan pengakuan dari orang Eropa yang berniaga. Orang Jawa memahami kekuatan kaum niaga Eropa yang besar dan mereka memanfaatkan kekuatan itu untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Kedua, ‘Trah Kajoran-Tembayat dalam Pergolakan Politik di Keraton Jawa Tengah-Selatan, Abad XVII-XIX’ karya Kuncoro Hadi, dosen sejarah di UNY (hlm. 214-256). Wilayah Kajoran-Tembayat merupakan salah satu wilayah perdikan yang berpotensi menjadi pusat perlawanan terhadap keraton-keraton Jawa hingga Pangeran Diponegoro lahir tahun 1785. Keluarga Kajoran-Tembayat adalah keluarga ulama terhormat dan memiliki tanah-tanah perdikan yang lebih dulu ada dibandingkan Wangsa Pemanahan yang pindah ke Mentaok serta berdekatan dengan Kajoran dan Tembayat.
Guna meredam pembangkangan keluarga kontra-elite maka dijalinlah ikatan pernikahan politis antara Trah Kajoran dengan Wangsa Pemanahan. Namun demikian, keturunan Kajoran-Tembayat yang masuk lingkungan elite keraton tidak melebur. Mereka masih mempertahankan asal-usulnya. Dengan demikian mereka menjadi priyayi-ulama.
Darah keturunan Kajoran-Tembayat melekat dalam setiap tokoh-tokoh yang ikut terlibat dalam konflik elite di Jawa tengah-selatan, Pangeran Diponegoro salah satunya. Ibu Diponegoro berasal dari Majasto, dekat Tembayat. Menjelang Perang Jawa, Diponegoro berencana pergi ke Majasto untuk menggelorakan pemberontakan. Kajoran-Tembayat masuk dalam rencana perang yang akan didengungkan Diponegoro.
Ketiga, ‘Diponegoro dan Tanggapan Masyarakat Jawa Terhadap Perubahan Tatanan Dunia’ yang ditulis oleh Bondan Kanumoyoso (hlm. 339-354). Diponegoro adalah salah satu tokoh sejarah yang mendapat banyak perhatian. Mulai dari artikel untuk jurnal ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dan bahkan karya komprehensif yang ditulis oleh Peter Carey sebanyak tiga jilid, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855.
Peter Carey, Manusia Jawa
Pada umumnya, pengantar buku hanyalah sekedar basa-basi. Tidak dibaca pun tidak masalah. Namun, kali ini pengantar buku yang ditulis oleh editor cum sejarawan F.X. Domini B.B. Hera, seorang peneliti di Pusat Studi Budaya dan Laman Batas Universitas Brawijaya Malang, menarik untuk dinikmati. Terlampau sayang untuk dilewatkan. Ia menulis kalimat pembuka yang mencuri perhatian,
“Jawa bukan hanya sebuah pulau di gugusan Nusantara. Jawa juga berarti “jiwa kang temuwa” (jiwa yang dewasa), sebuah sifat yang melampaui batas-batas rasial fisik dan tempat.” (hlm. xix)
Tanpa ragu, rangkaian kata itu bak rumus yang menempatkan Peter Carey sebagai manusia Jawa dan berlaku bagi siapapun mereka yang layak menjadi Jawa. Sosok ini merupakan nama besar bagi studi Jawa, Indonesia, dan Asia Tenggara yang dengan penuh kesadaran memberikan hampir seluruh hidupnya untuk meneliti sejarah negeri orang lain. Sebuah hal yang layak bahwa dirinya menjadi pusat perayaan dalam sebuah buku pesta (festschrift) bertajuk Urip iku Urub.
Setelah perayaan syukur tujuh dekade dirinya, semoga Peter Carey bisa menerbitkan autobiografi lengkapnya tepat saat nanti berusia 75 tahun pada 2023 mendatang. Bila hal itu tercapai maka lengkaplah sudah autobiografi singkatnya yang telah termaktub dalam Urip iku Urub (hlm. 3-51) dituntaskan kelak dalam sebuah penerbitan khusus.
*Emi Wijiyanti, Guru SDN Ngrenak Godean Sleman