Marguerite Porète, Si “Jiwa Sederhana”: Mistikus dan Martir

Oleh Tony Doludea

Pada hari Senin 1 Juni 1310, Marguerite of Hainault, yang kemudian dipanggil Porète, di awal umur ketigapuluhanya itu, digelandang oleh pejabat tinggi Gereja dan pasukan pengawal ke Place de Greve, sebuah lapangan terbuka di Paris. Porète kemudian diikat pada sebuah tiang yang dikelilingi oleh kayu bakar. Secara resmi api dinyalakan, ia dibakar hidup-hidup.

Dalam serangkaian pengadilannya itu, para teolog inkuisisi menemukan banyak kesesatan dalam buku yang ditulis oleh Porète, The Mirror of Simple Souls (1290-an). Buku ini ditulis dalam bahasa daerah (Perancis Kuno), bukan dalam bahasa Latin. Sehingga menimbulkan kecurigaan besar para penguasa Gereja atasnya. Karena pada waktu itu, Latin merupakan bahasa resmi elit teolog pria. Buku ini juga dianggap sebagai teks utama bagi kaum sesat “Semangat Bebas” Abad Pertengahan.

Setelah dipelajari dan diuji oleh dua puluh satu teolog. Serangkaian lima belas pernyataan yang diambil dari buku tersebut diidentifikasi sebagai proposisi sesat. Porète dituduh mengajarkan kesesatan, bahwa jiwa manusia itu dapat lenyap, musnah dalam kasih Allah. Jiwa seperti itu tidak dapat berdosa, tidak perlu menyesal dan dapat melakukan apapun juga yang diingininya. 

Ajaran resmi, kekuasaan dan kendali Gereja Katolik telah diserang oleh tulisan Porète itu, terkait persatuan mistik antara Allah dengan manusia, di mana kehendak manusia hilang dalam Allah dan tidak ada beda lagi antara manusia dengan Allah.

Selama masa persidangannya itu, Porète menolak untuk disumpah seperti yang diwajibkan oleh lembaga Inkuisisi dan ia tidak menunjukkan rasa menyesal atas ajaran sesatnya itu sama sekali.

********

Marguerite Porète adalah seorang Beguine, mistikus berbahasa Prancis. Beguines adalah komunitas religius kaum perempuan di kota-kota di Eropa Utara pada Abad Pertengahan. Mereka menjalani kehidupan yang taat namun tidak bergabung dengan ordo keagamaan resmi Gereja. 

Kata “Beguine” (Latin: beguina) mulai digunakan pada 1230-an. Asal kata ini tidak pasti, mungkin berasal dari istilah “rendah”. Komunitas ini dimulai di kalangan perempuan kelas atas dan kemudian menyebar ke kelas menengah. Selain memenuhi kebutuhan spiritual, komunitas ini juga menjawab permasalahan sosio-ekonomi, karena banyak perempuan saat itu bukan merupakan bagian dari kehidupan di perkotaan. 

Pada pertengahan abad ke-13 gerakan ini telah menyebar ke seluruh Negara-Negara Tanah Rendah (Netherlands), Jerman dan Prancis bagian Utara. Kaum Beguines tinggal bersama dalam komunitas yang disebut beguinage. Beguines mengabdikan hidup mereka untuk perbuatan baik, amal dan kesucian.

Di Jerman, kelompok ini terdiri dari 60 atau 70 perempuan tinggal bersama di rumah. Di Negara Tanah Rendah mereka biasanya tinggal di rumah-rumah tersendiri di dalam lingkungan bertembok, seperti “kota di dalam kota”. 

Sebagian besar mereka menghidupi diri sendiri, dengan beternak sapi perah, ayam, berkebun dan membuat kain renda. Waktu mereka banyak dihabiskan untuk kontemplasi religius. Mereka tidak mengucapkan kaul formal kemiskinan atau kesucian. Namun kaum Beguines bertekad menjaga kesucian selama berada di komunitasnya itu, tetapi bebas untuk meninggalkan komunitas dan menikah.

Marguerite Porète percaya bahwa Allah ada bersama dengan dirinya dan menuntunnya di dalam hidup sehari-harinya. Ia lalu disebut sebagai mistikus Kristen yang menentang struktur tradisional Gereja. 

Porète menulis bukunya itu untuk membagikan isi hati Allah yang disingkapkan-Nya kepadanya melalui pewahyuan pribadi. Inti pesan tersebut menyatakan bahwa untuk bersatu dengan Allah, orang tidak dapat melakukannya melalui pikiran. Namun Allah sendiri dengan anugerah-Nya akan menyatukannya dengan menyucikan Jiwa manusia secara teratur.

Buku The Mirror of Simple Souls ini menjelaskan iman Kristen, khususnya tentang agape, kasih ilahi dan hidup setelah kematian. Marguerite menyajikan struktur pedoman perjalanan mistik. Namun bukan penyatuan sementara dengan visi ilahi, tetapi pengosongan spiritualitas.

Tujuan Marguerite adalah pengosongan Jiwa, yang merupakan puncak dari tujuh tahapan untuk meningkatkan kesempurnaan, di mana Jiwa menjadi “Allah” di saat ia masih bertubuh. Puncak terkait dengan gagasan tentang mendaki naik, namun bagi Marguerite malah sebaliknya, bahwa Jiwa harus masuk ke dalam lembah jurang kemalangan untuk menyadari sifatnya yang sesungguhnya.

Pengosongan Jiwa didapatkan melalui ketaatan asketis berupa kemiskinan kehendak atau keinginan. Jiwa tidak memiliki keinginan lagi, selain kehendak Allah saja.

Sesorang harus meninggalkan Jiwanya melalui tujuh lapisan proses penyucian, baru kemudian bersatu dengan Allah, mencapai kasih ilahi yang sejati dan menyembah Dia.

– Meninggalkan dosa dan melakukan perintah Allah.
– Menanggalkan tubuh jasmani dengan tidak mengejar kekayaan, hormat dan kesenangan.
– Berusaha melakukan yang benar dan menjadi orang benar.
– Mengalami Kasih.
– Tercerahkan karena dibanjiri terang ilahi, sebab telah memahami bahwa Allah adalah segala yang ada.
– Jiwa menyadari ketiadaannya di dalam Allah dan merasa bebas, namun tetap tidak dapat menyatakan telah bersatu dengan Allah secara sempurna. Meskipun Allah dipercaya dapat melihat di dalam, melalui dan tanpa dirinya.
– Rahasia Kasih, persatuan sempurna yang hanya dapat terjadi setelah jiwa meninggalkan tubuh manusia.

Ajaran utama proses tersebut adalah tidak adanya lagi kehendak Jiwa, ia berserah sepenuhnya kepada kehendak Allah. Tidak mengingini apa-apa lagi, termasuk surga.

Para penghuni puncak itu, berada di atas angin dan hujan, tidak ada lagi takut dan gentar terhadap apapun yang terjadi di dunia ini.

Sebagian The Mirror of Simple Souls ditulis dalam bentuk perdebatan yang terjadi antara Amour (Kasih Allah), Raison (Pikiran) dan Ames (Jiwa). Marguerite diwakili oleh Jiwa. Jiwa sedang melakukan perjalanan yang paling menggelisahkannya, yang ditandai oleh keputusasaan terkaut, terkait pengenalan jati diri dan penderitaan untuk mengungkapkannya. Ini digambarkan dalam bentuk perdebatan antara Kasih dan Pikiran.

Kasih menjelaskan tugas pentingnya, yaitu untuk menyembuhkan kegelisahan dan rasa malu yang ada di dalam Jiwa. Kasih juga ingin membebaskan Jiwa dari ikatan hukum moral, karena setelah Jiwa disucikan dari kejahatannya, maka ia tidak lagi memerlukan ikatan struktural apapun juga.

Pengetahuan ilahi ini terjadi hanya sekejap saja dan tidak dapat bertahan hingga tiba saat kematian. Namun kilasan ilahi yang telah dicapai ini telah mengubah Jiwa. Jiwa telah menyatu dengan Allah. Yang fana dan yang baka telah bertemu dan Jiwa telah mengalami Allah dalam hidupnya yang fana ini.

Mendengar penjelasan Kasih itu, Pikiran menanggapinya secara skeptis. Bagaimana bisa Jiwa yang tidak memiliki kebaikan itu tetap baik? Kasih menjawabnya bahwa segala kebaikan Allah dapat dialami secara langsung tanpa disadari Jiwa. Kasih Allah itu tidak dapat dijangkau oleh Pikiran atau filsafat dan harus dialami secara langsung saat Jiwa disucikan dari kebutaannya. 

Di awal bukunya itu, Porète telah mengingatkan bahwa para teolog dan imam Gereja tidak akan dapat memahami tulisannya itu. Meskipun mereka itu sangat pandai, karena Pikiran akan dihancurkan oleh Kasih. Maka hendaklah mereka merendahkan ilmu pengetahuan mereka dan percaya penuh kepada pengetahuan yang dianugerahkan oleh Kasih, yang didorong oleh iman.

Kasih kemudian menjelaskan tiga jenis orang Kristen: Pertama, ‘les actifs’, orang yang aktif beribadah; Kedua, ‘les contemplatifs’ orang yang menyerahkan hidupnya untuk menyembah Allah; Ketiga, ‘les adnientifs par vraie amour’, orang yang telah “dilenyapkan” atau dikosongkan oleh penyatuan dirinya dengan Kasih Allah.

Jiwa yang telah lenyap itu tidak diharapkan lagi mengikuti aturan moral dan perilaku sosial yang normal. Lagu yang dinyanyikan oleh Jiwa ini adalah “Selamat tinggal keutamaan.” “Selamat tinggal kebajikan moral.” 

Maka Pikiran langsung terganggu dan gugup, melihat Jiwa telah menjadi gila seperti itu. Namun Kasih menyakinkan Pikiran bahwa Jiwa sesungguhnya memiliki dan hidup dalam keutamaan moral, karena ia memiliki Kasih, sumber segala keutamaan. Memang Jiwa telah meninggalkan keutamaan moral, namun keutamaan moral tidak pernah dapat meninggalkan Jiwa.

********

Kemartiran Marguerite Porète disebabkan oleh beberapa hal, namun yang paling jelas nampak karena ia adalah seorang perempuan mandiri yang telah mengancam kekuasaan hirarkis keagamaan kaum pria. Juga terkait dengan persaingan kekuasaan antara kerajaan Perancis dan kepausan Gereja. Ketika Raja Philip IV sedang berusaha membuktikan bahwa dirinya juga adalah pembela iman Katolik.

Selain itu, para teolog inkuisisi membaca paksa buku Porète itu menurut ukurannya sendiri, dengan mencuplik bagian-bagian teks tertentu dan menilai potongan-potongan tersebut. Bila dibaca dengan cara seperi itu, cuplikan tulisan Porète itu memang terkesan mengejek dan merendahkan Pikiran. Jika diambil ke luar dari konteks dapat membuat keseluruhan teks tampak seperti kata-kata kasar, yang menentang kekuasaan Gereja dan berniat membongkarnya.

Buku Porète itu mengacu pada Jiwa sederhana yang menyatu dengan Allah, sehingga tidak memiliki kehendak selain kehendak Allah saja. Disusun dalam bentuk percakapan antara Kasih, Pikiran dan Jiwa, yang mencerminkan keakraban dan kesopanan, dalam bahasa yang populer pada saat itu. Ini juga membuktikan tingginya tingkat pendidikan dan kecanggihan Porète.

Marguerite menyatakan bahwa manusia dapat menjadi Allah dengan tidak menjadi dirinya sendiri. Melalui menghilangkan kecemasan dan ambisi dan kehendak manusia. Orang dapat berhenti menjadi dirinya dan benar-benar menjadi Allah, meskipun hanya untuk beberapa saat, sebelum ia kembali ke tubuh duniawinya. 

Buku Porète itu menggambarkan manusia yang tersesat di dalam Allah seperti sungai yang mengalir dan tersesat di samudra. Klaim bahwa Jiwa tidak hanya mengenal, tetapi juga menjadi bagian dari keilahian memberikan Marguerite otoritas spiritual untuk menulis teks tersebut.

Hal ini juga memberinya otoritas spiritual untuk menolak sumber otoritas lain, yaitu Gereja. Marguerite merujuk pada Gereja abad pertengahan sebagai ‘Gereja Suci Kecil’, yang berada di bawah ‘Gereja Suci Besar’ yang terdiri dari para mistikus yang telah memiliki hubungan dengan keabadian ilahi. Gereja Suci Agung itu ada dalam wilayah Kasih, sementara Gereja Suci Kecil dikuasai oleh Pikiran. 

Lebih jauh lagi, pengalaman pribadi dan afektif Marguerite tentang Allah itu memiliki otoritas yang lebih besar daripada doktrin Gereja. Marguerite mengatakan bahwa Jiwa harus melepaskan Pikiran, yang pemahaman logis dan konvensionalnya mengenai realitas itu tidak dapat sepenuhnya memahami Allah dan menyadari kehadiran Kasih Ilahi. 

“Jiwa yang dimusnahkan” itu adalah Jiwa yang telah menyerahkan segalanya, kecuali Allah melalui Kasih. Menurut Porète, ketika Jiwa benar-benar dipenuhi oleh Kasih Allah, ia bersatu, menyatu dengan Allah, yang membuatnya melampaui kontradiksi-kontradiksi dunia ini. 

Dalam keadaan bahagia seperti itu, Jiwa tidak dapat berbuat dosa karena ia sepenuhnya menyatu dengan kehendak Allah. Maka Jiwa tidak mampu bertindak yang bersifat dosa. Porète memandang bahwa Jiwa dalam kesatuan luar biasa itu, bergerak dalam keadaan sukacita dan kedamaian abadi.

Porete berpendapat bahwa Jiwa dalam keadaan luhur berada di atas tuntutan kebajikan moral biasa, bukan karena kebajikan itu tidak diperlukan. Namun karena dalam keadaan menyatu dengan Allah, kebajikan menjadi hal yang otomatis. 

Karena Allah tidak dapat melakukan kejahatan dan tidak dapat berbuat dosa, maka Jiwa yang telah musnah, dalam kesatuan yang sempurna dengan-Nya, tidak lagi mampu melakukan kejahatan dan dosa. 

Dosa menawarkan arahan yang keliru. Orang berdosa karena ia berkeinginan kuat untuk menyatu dengan Allah. Tetapi ia dikacaukan oleh keinginan ego, yaitu untuk kepentingan dirinya sendiri. Oleh Kasih yang datang dari Allah sendiri, dosa dapat dilepaskan dari Jiwa melalui pemenuhan keinginannya untuk menyatu, namun dengan mengabaikan perbuatan moral yang diharapakannya untuk dapat menghantarkannya pada sukacita tersebut.

Melalui Kasih, Marguerite mengeksplorasi gagasan penghancuran total Jiwa dalam kesatuan mistik. Pada puncak pengalaman mistik, Jiwa dapat lenyap dan malah menjadi bagian dari Allah. Ini adalah kunci anarki spiritual yang terdapat dalam buku itu. 

Menjadi wanita yang berbahaya itu berarti melakukan yang sama yang dilakukan pria secara bebas. Di ruang sidang, perempuan ini berani angkat bicara, memerintah dan jantan. Marguerite adalah salah satu dari sekian banyak perempuan berbahaya saat itu. Perempuan yang tidak takut menghadapi inkuisisi, wanita yang tidak membiarkan batin dan kehidupannya diatur oleh kekuasaan selain apa yang diyakininya.

Oleh keyakinan atas haknya untuk menjalani hidup dan menjalankan agamanya sesuai keinginannya itu, Marguerite menolak untuk tunduk pada ajaran Gereja terkait dengan kesalehan dan kedudukan perempuan yang pantas. Dengan menulis teks mistik yang melampaui batas-batas kemanusiaan, menantang kewenangan gerejawi itu, pada akhirnya menuntut harga, yaitu Jiwa Sederhananya sendiri.

Jiwa sederhana itu membuat seseorang bertindak dalam perilaku yang khas dan istimewa. Jiwa sederhana telah hancur karena telah menyatu dengan Allah secara mistis dan transendental setelah melewati tujuh jalan penyucian. Allah menyucikan Jiwa dari kejahatan dan kerusakan, membawanya kembali pada kesempurnaan, saat ia menyatu dengan Allah. 

Gereja telah membunuh Porète karena keyakinanya itu, keyakinan bahwa Allah telah mewahyukan rahasia-rahasia, yang kemudian tidak diungkapkan oleh Gereja melalui perilakunya, melalui Kasih.

Sungguh mengejutkan, jika Gereja telah sangat jauh dari Kristus, yang menjadi dasar imannya. Yesus yang “martir” karena memberitakan dan melakukan Kasih. Sementara Marguerite mereka bunuh karena mengajarkan pembacanya untuk sungguh menyatu dengan Kasih Allah, tanpa harus mematuhi tradisi dogmatis Gereja.

Karena Allah menghendaki Jiwa untuk mengenal-Nya secara langsung dan segera, daripada melalui Pikiran. Karena Pikiran tidak mampu mengenali sukacita pengetahuan penyatuan-ekstatis dengan Allah. 

“Cahaya ilahi telah membebaskan aku dari penjara,

Secara lembut menyatukan aku pada kehendak ilahi Kasih.”

“Aku berkata bahwa aku mengasihi-Nya
-Aku telah berdusta, itu bukan aku.
Itu adalah Dia yang mengasihi aku, Dia dan bukan aku.”
“Jiwa sederhana, yang telah musnah adalah surga sejati.”

—–

Kepustakaan

McGinn, Bernard. (Ed.) Meister Eckhart and the Beguine Mystics. Continuum, New York, 2001.

Porette, Margaret. The Mirror of Simple Souls. University of Notre Dame Press, Notre Dame, 1999.

Terry, Wendy R and Stauffer, Robert. (Ed.) A Companion to Marguerite Porete and The Mirror of Simple Souls. Brill, Leiden, 2017.


*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.