Pada Sampul yang Terpuji

Oleh Wahyudin

Lima tahun lalu, saya menutup esai “Sampul”—yang terbit di sebuah media daring yang kini sudah tutup—dengan kata-kata gegabah ini: “Celakanya, perkembangan estetik dan pencapaian artistik sampul buku di republik ini belum beranjak jauh dari apa yang dikerjakan penerbit Pustaka Jaya, Ong Hari Wahyu, dan Buldanul Khuri.”

(Sumber Foto: Wahyudin)

Tiga buku terbitan Yayasan Bentang Budaya dan MataBangsa dengan sampul bikinan Ong Hari Wahyu (Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Oktober 2003, cetakan kedua), Buldanul Khuri (Jazz, Parfum dan Insiden, Juni 2002, cetakan ketiga—menggunakan gambar perupa Mella Jaarsma), dan Ong Hari Wahyu dan Buldanul Khuri (Kuasa-Kata: Jelajah-Budaya Politik di Indonesia, 2000—menggunakan lukisan kaca tradisional dari Jawa Tengah).

(Sumber Foto: Wahyudin)

Tiga sampul buku Pustaka Jaya dengan komposisi artistik yang sama: gambar, bidang putih bercantum nama penulis dan judul buku, dan bidang berwarna bergurat nama penerbit. Komposisi artistik ini—mula dibuat pada awal berdirinya Pustaka Jaya, 1971, hingga masa hampir “gulung tikar” pada awal 2000-an—konon, terinspirasi dari sampul buku Penguin Books, terutama rancangan Edward Preston Young pada 1935.

Pada tiga sampul buku itu—sebagaimana sampul buku lainnya, terutama buku sastra, terbitan Pustaka Jaya dengan komposisi artistik serupa—kecuali nama pembuat gambar, tak saya temukan nama perancangnya. Gambar sampul Khotbah di Atas Bukit (1976) buatan A. Wakidjan, Dari Hari ke Hari (1975) kreasi Zaini, dan Selembar Daun (1974) bikinan Popo Iskandar. Tapi, harus saya katakan, kenyataan itu tidak lagi saya jumpai pada buku-buku Pustaka Jaya cetakan pertengahan 2000-an yang sudah membubuhkan nama perancang sampul.

(Sumber: www.penguin.com)

Sampul ini salah satu dari sepuluh sampul buku yang dibuat Edward Preston Young pada 1935, mula didirikannya Penguin Book oleh Allen Lane. Sembilan lainnya, dengan komposisi artistik yang sama, tapi beda warna (oranye, ungu gelap, hijau), adalah Ariel Andre Maurois, Poet’s Pub Eric Linklater, Madame Claire Susan Ertz, The Unpleasantness at the Bellona Club Dorothy L. Sayers, The Mysterious Affair of Styles Agatha Christie, Twenty-Five John Beverley Nichols, William E.H. Young, Gone to Earth Mary Webb, Carnival Compton Mackenzie.

Pada perkembangannya, dalam khazanah desain sampul dan penerbitan buku, khususnya di negeri Abang Sam, kover ciptaan Edward Preston Young itu diakui sebagai “the new-iconic cover design” dan masyhur dengan julukan “The Original Ten”. (Sumber: www.penguin.com dan David J. Alworth dan Peter Mendelsund, The Look of the Book: Jackets, Covers & Art at the Edges of Literatures,
New York: Ten Speed Press, 2020, hlm. 90)

Pembaca waskita tentu saja tak akan bersetuju dengan pendapat saya tersebut—terutama setelah mereka mengetahui sampul buku (Foto kiri) Fernando Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (Marjin Kiri, 2013), rancangan TINTA Creative Production dengan ilustrasi Hartmann Schedel, Schedelsche Weltchronik (1493), ini:

(Sumber Foto: Wahyudin)

Saya harus mengakui, sampul buku ini—dengan pilar artistik: bentuk, teknik, dan ide, nan mengesankan—merupakan pembaharuan dalam khazanah seni sampul di Indonesia. Pembaharuannya terletak pada bentuk terbakar di pinggir kanan sampul depan; pada lubang terbakar di ujung kiri sampul depan dengan noda hitam di sekitarnya; dan pada sisi kiri-bawah sampul belakang yang sedikit terbakar dengan noda hitam tipis di sampingnya dan noda hitam tebal di atasnya sebagaimana terlihat pada foto di bawah ini:

(Sumber Foto: Wahyudin)

Bentuk itu kelihatan benar menjelmakan realisme visual yang dikerjakan dengan teknik mumpuni, terukur dan teliti. Dengan begitu, sampul ini bukan hanya berhasil merepresentasikan secara artistik pokok soal buku ini, melainkan juga menjadi karya seni rupa yang meyakinkan—yang tak pernah ada sebelumnya dalam perbendaharaan seni kover buku di Tanah Air.

Itu sebabnya, ketika cetakan kedua atau edisi baru buku ini terbit dengan sampul baru yang entah dibuat oleh siapa pada 2017 (Foto kanan), saya harus mengatakan bahwa sampul baru itu sama sekali tak memperbaharui, apalagi melampaui, yang sudah dicapai dengan sangat terpuji oleh sampul cetakan pertama.

Tapi, untuk bersikap proporsional, saya ingin mengatakan bahwa sampul cetakan kedua itu memang tak seharusnya diperbandingkan dengan sampul cetakan pertama. Sebab, keduanya memiliki pilar artistik yang berbeda—yang baiknya dievaluasi berdasar “nilai objektif” pilar artistik masing-masing, sehingga kelebihan dan kekurangannya terukur atau ternilai dengan argumentasi yang tepat.

Namun demikian, saya tak terkejut mengetahuinya, penerbit Marjin Kiri toh memasang kembali sampul cetakan pertama itu untuk cetakan ketiga Penghancuran Buku dari Masa ke Masa yang terbit pada Agustus 2021. Alasannya, selain memenuhi permintaan pembaca, sebagaimana termaktub di Instagram penerbit yang bermarkas di Regensi Melati Mas A9/10, Serpong, Tangerang Selatan, itu: “Ini tipe sampul buku yang seru pengerjaannya, keren dikoleksi, tapi bikin orang percetakan sakit kepala.”

Dengan itu, izinkan saya memperbandingkan barang sedikit kualitas artistik sampul cetakan pertama dan cetakan ketiga Penghancuran Buku dari Masa ke Masa dengan sampul novel Herman Koch, The Dinner (Hogarth, 2013—Sumber foto: whatbellareads), atau Lydia Millet, A Children’s Bible (W.W Norton Company, 2020)

[Sumber foto: danathebooklady]

Sampul ini dirancang oleh Roald Tribels (?) dengan citraan terbakar yang melubangi bagian tengah sampul berwarna putih bertuliskan judul dan nama pengarang novel dengan aksentuasi noda hitam dan coklat api di sekelilingnya. Citraan itu berarti sampul ini tak benar-benar terbakar secara material sebagaimana sampul cetakan pertama dan cetakan ketiga Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.

[Sumber foto: Arsip penulis]

Seperti halnya sampul The Dinner, sampul buatan David High ini memperlihatkan citraan terbakar di pinggir kanan dengan noda hitam yang mengelupaskan sedikit bagian dalam sampul, alih-alih menyingkapkan satu lapis warna kuning dan merah di bawahnya.

Atas perbandingan itu saya ingin menegaskan bahwa ketiga sampul itu memiliki kekerabatan artistik dalam “bentuk terbakar” yang tampak tiga dimensional untuk merepresentasikan isi buku-novel secara simbolik dan semiotik.
Tapi, sebagaimana telah saya singgung di atas, sampul cetakan pertama dan cetakan ketiga Pembakaran Buku dari Masa ke Masa memiliki keunggulan perbandingan pada perangkat material dan teknik. Sampulnya benar-benar benda terbakar—bukan sekadar citraan terbakar seperti pada sampul The Dinner dan A Children’s Bible—yang menjadikannya karya seni rupa atau objek artistik layak koleksi dan bersejarah dari dunia perbukuan Indonesia.

Dengan begitu—selain berhasil melampaui pencapaian artistik sampul-sampul Pustaka Jaya, Ong Hari Wayu, dan Buldanul Khuri—ia mampu menegakkan level tinggi kompetensi bagi penciptaan dan penilaian seni sampul yang menantang “produksi kebaruan” (the production of novelty) dirinya sendiri, penerbit buku, artisan di percetakan, dan para perancang sampul generasi kiwari di Indonesia seperti—untuk menyebut beberapa nama saja yang teringat—emte, Naela Ali, sukutangan, dan Leopold Adi Surya.

Mari kita nanti.

*Kurator seni rupa. Tinggal di Yogyakarta