Ricky Warman Putra

Roh-Roh dalam Saluang Sirompak

Oleh Ricky Warman Putra

Animisme berasal dari  bahasa Latin animus. Dalam  bahasa Yunani animisme disebut anepos. Sementara dalam bahasa Sansekerta diistilahkan prana. Akan halnya dalam bahasa Ibrani disebut ruah. Arti kesemua itu adalah napas atau jiwa. Animisme adalah ajaran/doktrin tentang realitas jiwa. Masyarakat  primitif mempunyai kepercayaan bahwa semua hal yang kita lihat ini seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda benda lainnya mempunyai roh. Oleh karena itu, roh-roh tersebut mempunyi kekuatan yang dahsyat dan mempunyai kehendak, sehingga kalau marah bisa membahayakan manusia dan kalua gembira bisa menguntungkan manusia (Taylor,1998:2).

E.B Taylor dalam bukunya: Primitif Kultur mengajukan sebuah teori (teori serba jiwa), bahwa bentuk kepercayaan asal manusia adalah animisme. Animisme adalah agama orang-orang primitif, Istilah primitive dicirikan pada manusia atau sekelompok hidup pada kurun waktu lampau. Bila diterapkan pada suatu periodisasi sejarah – periode manusia primitif berada dalam stadium atau tingkatan  pertama. Tingkat kebudayaannya selalu ditempatkan pada  skala yang sangat rendah dari kebudayaan manusia kontemporer. 

Animisme dianut oleh tradisi masyarakat lama Indonesia sebelum agama-agama masuk. Mereka meyakini bahwa orang yang telah meninggal dianggap sebagai yang maha tinggi, menentukan nasib dan mengontrol perbuatan manusia. Pemujaan semacam ini lalu berkembang menjadi penyembahan roh-roh. Roh orang yang meninggal dianggap dan dipercayai sebagai makhluk kuat yang menentukan segala kehendak serta kemauan yang harus dilayani. Mereka juga beranggapan roh tersebut juga dapat merasuk ke dalam benda-benda tertentu. Roh yang masuk ke sebuah benda akan menyebabkan kesaktian atau kesakralan benda tersebut. Maka dari itu, masyarakat tadi menyembah pada roh-roh tersebut supaya selamat dari bahaya (Taylor,1998:56).

Ciri-ciri animisme lain bisa lihat dari analisa para ahli seperti, Jean- Jacques Rousseau, Karl Polanyi, Edward Burnett. Mereka menyatakan animism memiliki karakter fetish whorship. Yaitu orang yang berkeyakinan akan sebuah azimat (jimat), natura whorship adalah orang yang mempercayai roh serta kekekalannya, animal whorship adalah orang yang percaya pada seekor hewan yang dikramatkan, anchetor whorship adalah orang yang menyembah roh nenek moyang mereka (http/www.wikipedia.com).

Dari kaca mata budaya, animisme banyak memengaruhi budaya-budaya lokal Indonesia. Unsur-unsur budaya yang dipengaruhi, oleh paham animisme seperti kesenian, upacara atau ritual saat initelah membaur dengan perkembangan zaman sekarang, tetapi ada juga yang dihapuskan. Hal tersebut terjadi karena adanya pengaruh Islam, adat, dan sains modern. 

Saluang Siromak , Animisme dan Masyarakat Taeh

Saluang Sirompak salah satu kesenian yang mengandung paham animisme yang masih bertahan sampai saat ini. Sampai hari ini Saluang Sirompak masih eksis di kalangan masyarakat Taeh, meskipun peminatnya hanya orang tertentu. Saluang Sirompak mempunyai mitos lima penghuni lobang Saluang, yang bernama Si Mambang Merah, Si Mambang Hitam, Si Mambang Putiah, Si Mambang Tungga, Si Mambang Barantai. 

Setiap roh penghuni Saluang Sirompak tersebut mempunyai tugas yang berbeda-beda, tetapi pada intinya roh tersebut bertugas untuk menguna gunai seseorang yang ditujukan. Si Tukang Imbau yang biasa dibilang dukun, pada setiap malam Jum’at mengantar sesajian di tempat prosesi Saluang Sirompak dilakukan, yaitu di Palak Kayu. Dukun tersebut manyambah atau menyembah (bukan seperti menyembah Allah), membujuk roh tersebut agar roh senang dan mau menuruti keinginan si dukun tersebut (Sayute, wawancara, 25-01-2016: Taeh).

Saluang Sirompak mempunyai beberapa elemen musik seperti ritme, syair, melodi, dan tangga nada. Saluang Sirompak mempunyai ritme yang renggang dan sangat jarang memberikan tekanan pada ritme, sedangkan syairnya mengandung mantra-mantra untuk difungsikan menguna-gunai orang yang dituju yang akan dibantu oleh makhluk halus, dan melodi yang dihasilkan bersifat pengiring dendang atau mantra yang dilantunkan oleh pelaku, tangga nada yang dipakai adalah tangga nada minor yang terkesan mistis, hal ini yang menyebabkan Saluang Sirompak terkesan mistis dan orang banyak takut mendengar melodi Saluang Sirompak ini. 

 Saluang Sirompak

Foto Saluang Sirompak (Sumber: Arsip Penulis)

Pembuatan lobang Saluang Sirompak dan Mantra Khusus

Dalam prosesi pembuatan tiap lobang Saluang Sirompak digunakan mantra-mantra khusus yang berupa ayat-ayat pemanggil jin. Penguasaan pembacaan ayat- ayat ini hanya dimiliki oleh si pelaku dengan aturan dan konsekuensi yang mereka yakini sebelumnya. Dengan demikian, penulisan ayat-ayat khusus ini juga tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dengan bermacam maksud dan tujuan. Peneliti mengakui juga mendapat kesulitan untuk dapat mengetahui ayat-ayat khusus tersebut karena masyarakat memahaminya sebagai kearifan lokal terkait simbolsimbol penilaian moral dan etika. Simbol-simbol semacam ini bersifat tertutup dan meruang waktu pada lingkup lokal masyarakat penggunanya.

a. Lobang pertama

Lobang pertama dapat digarap oleh pelaku setelah terjadinya satu peristiwa kematian yang tidak wajar seorang penduduk setempat atau dari daerah tetangga di sekitarnya seperti bunuh diri melalui gantung diri. Nama yang meninggal tidak dapat diinventarisasi karena meliputi daerah lain, juga dalam kurun waktu yang tidak dapat dipastikan oleh si pelaku sendiri. Tanpa menunda waktu yang ada, sang pelaku segera melakukan penggarapan lobang pertama sambal membacakan mantra mantra khusus yang berupa ayat ayat pemanggil jin dalam penggarapan lobang pertama, Sayute menyatakan bahwa setelah terjadinya suatu kematian tidak wajar ritual dilakukan atas keyakinan pelaku sirompak pada waktu seperti ini (ketika peristiwa bunuh diri terjadi) bahwa jin dan setan bergentayangan di sekitar mayat, sehingga memudahkan si pelaku melakukan komunikasi dengan mereka.

Di samping itu, pelaku meyakini bahwa arwah mayat tersebut masih berada di sekitarnya atau rumah mayat.Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh pelaku dalam membantu menyelesaikan hasratnya, yaitu Basirompak inti dari komunikasi antara pelaku dan jin dan roh adalah pelaku berusaha untuk menempatkan pengaruh kekuatan dari jin dan roh arwah ke dalam lobang pertama sebagai wilayah bunyi/nada kekuasaannya untuk memengaruhi siapa saja yang akan dijadikan target permainan Sirompak (diguna-gunai). Penunggunya yang disebut dengan nama Simambau Hitam.

b. Lobang kedua

Pembuatan lobang kedua dapat dilakukan pada waktu ada seorang ibu yang meninggal ketika melahirkan. Pencatatan nama si ibu yang meninggal juga tidak dapat dilakukan karena kadang-kadang si pelaku tidak mengenal secara pasti namanya, tetapi hanya peristiwa meninggal ketika melahirkannya yang pelaku ketahui. Para setan sangat berperan untuk memengaruhi keluarga yang ditinggalkan agar selalu dalam suasana sedih. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pelaku untuk mengajak jin bekerja sama dalam kegiatannya nanti, yaitu dengan menempatkan pengaruh kekuatan jin dan roh arwah tersebut pada nada kedua sebagai daerah kekuasaanya yang bertujuan untuk menyampaikan nilai-nilai sedih pada objek yang akan dikenai melalui Sirompak. Sama seperti halnya proses pembuatan lobang pertama, pencatatan prosesi secara lengkap (termasuk pencatatan ayat-ayat sebagai mantra khusus) tidak dapat dilakukan karena terkait dengan sistem kepercayaan dan nilai etik masyarakat yang masih kuat dipegang. Penunggunya disebut Simambau Merah (Sirah).

c. Lobang Ketiga

Pembuatan lobang ketiga dikaitkan dengan peristiwa pembunuhan. Hal ini diyakini sebagai peristiwa yang juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan jin dan setan yang berpengaruh mengatur emosi dari kedua belah pihak yang bertikai, sehingga terjadilah pembuhuhan itu. Emosi marah dan perasaan ingin membunuh merupakan sasaran utama yang diciptakan oleh jin dan setan. Pelaku beranggapan bahwa jin dan setan ini sangat pintar dalam mengendalikan emosi jiwa seseorang. Kematian dari seseorang dianggap suatu hal yang dapat mematikan hati seseorang terhadap orang lain, dan hanya dapat berguna untuk orang yang dituju dalam Sirompak. Hal ini berarti bahwa pada lobang ketiga tersebut bersemayam kekuatan jin dan roh arwah manusia yang terbunuh, sehingga mampu mengendalikan emosi calon dari Basirompak. Lobang ke tiga, penunggunya Simambau Tungga.

d. Lobang ke empat

Kematian akibat perkelahian antara dua orang jawara merupakan peristiwa yang ditunggu-tunggu untuk pembuatan lobang keempat. Dalam peristiwa perkelahian ini biasanya kedua belah pihak berusaha ingin menang dengan menghalalkan segala cara untuk menundukkan lawan. Menurut pandangan pelaku Basirompak, alam pikiran, emosi, dan kondisi mereka pada saat itu sepenuhnya telah dikuasai oleh jin yang merasuk ke dalam alam pikiran, dan mengatur emosinya. Jin pada waktu merasuk dalam alam pikiran dianggap mempunyai satu kemampuan yang tinggi dalam memengaruhi kedua insan tersebut. Hal ini dimanfaatkan oleh pelaku basirompak untuk menjalin kerja sama dengan jin dalam penempatan daerah kekuasaannya pada lobangkeempat bersama roh arwah orang yang kalah dari perkelahian jawara tersebut, penunggunya Simambau Barantai.

e. Lobang kelima

Kematian akibat kecelakaan alam (mati terseret air atau tenggelam) adalah peristiwa yang dinantikan untuk penggarapan lobang kelima dari saluang. Kematian seperti ini dianggap sebagai sebuah kematian yang tidak wajar. Roh mayat pada saat itu dianggap masih bergentayangan dan membutuhkan pertolongan dari orang lain yang masih hidup. Kesempatan seperti ini dimanfaatkan oleh si pelaku dan dijadikan sebagai pesuruh untuk menghuni lobang kelima bersama jin pada Saluang Sirompak dengan penunggu Simambau Putih Berdasarkan lima peristiwa kematian yang ditunggu oleh pelaku Basirompak, Datuk Mukhtar Ajo Marajo menyatakan bahwa pada instrumen Saluang Sirompak tersebut telah ditempatkan roh – roh arwah dari orang yang telah mati dan jin,yang setiap saat Saluang Sirompak dimanfaatkan dalam Basirompak karena telah memiliki daya spiritualitas. Adapun untuk mempertahankan keberadaan roh dan jin yang menunggu pada masing-masing lobang, telah disediakan sesaji yang berupa kemenyan yang dibakar, lelehan dari pembakaran kemenyan diteteskan pada lobang Saluang Sirompak di bagian bawah. Saluang Sirompak ini kemudian disimpan di tempat yang aman, terhindar dari jangkauan orang yang ingin meniup atau iseng untuk memainkan instrument atau yang ingin memilikinya.

f. Gasiang Tangkurak

Gasiang tangkurak (gasing tengkorak) adalah sejenis instrument yang berbentuk bulat lonjong bahan dasar dari pembuatan gasiang tangkurak adalah tulang yang diambil dari kening orang yang telah meninggal, terutama orang yang meninggal tersebut memiliki ilmu kebatinan tinggi atau teguh menjalankan nilai-nilai syari‘at agama Islamsemasa hidupnya. Pengambilan dilakukan setelah seratus hari penguburan oleh salah satu dari pelaku Basirompak tanpa bantuan orang lain. Bagian yang diambil adalah kening dari tengkorak mayat dengan menggunakan sebilah belati. Tulang kening dianggap sebagai bagian terbaik dari orang tersebut, karena terkait dengan kepercayaan bahwa tulang kening sebagai tempat atau simbol kualitas hidup seseorang. Terlebih lagi jika syarat tulang kering tersebut adalah orang yang memiliki ilmu kebatinan tinggi atau teguh menjalankan nilai-nilai syari‘at agama Islam semasa hidupnya. Kemudian setelah berhasil diambil dari liang kubur, bagian kening tengkorak digantung di atas pohon yang cukup tinggi, dengan tujuan agar tidak diketahui orang lain.

Gasiang Tangkurak

Foto Gasiang Tangkurak (Sumber: Arsip Penulis)

Proses berikutnya selama tujuh kali setiap malam Jumat, kening tengkorak tersebut diambil dan diasapi dengan kemenyan yang disertai dengan doa-doa si pelaku agar nilai spiritualitas tetap terjaga. Setelah proses pengasapan dengan kemenyan,kening tengkorak dikembalikan pada pohon (tempat semula). Setelah tujuh kali pengasapan dengan kemenyan setiap malam Jumat dengan berturut-turut tanpa sela, malam Jumat terakhir merupakan proses pembuatan gasing (gasiang) dari kening tengkorak hingga proses pemberian tali pengikat gasing dari bahan benang pincono atau dari bahan tali kafan pengikat bagian kepala atau bagian kaki mayat. Proses pengasapan dengan kemenyantidak dibenarkan ada yang tertinggal atau tertunda sekalipun apalagi beberapa kali, karena diyakini bisa berdampak pada hilangnya atau tidak bermanfaatnya gasiang tangkoraksaat digunakan.

Seluruh proses pengambilan, prosesi,apa pun pembuatan gasiang tangkorak dilakukan secara rahasia (tidak dipublikasikan).Namun, apabila seseorang mengetahui akan adanya proses tersebut maka ia diperbolehkan mengikuti prosesi. Sejauh ini sangat jarang ritual tersebut diketahui oleh umum sehingga dapat ditonton oleh orang banyak, hanya sebagian kecil orang yang mengetahui dan boleh mengikutinya. Hal ini pada akhirnya terkait dengan gejolak masyarakat yang berhasil dieliminasi jika mengetahui adanya prosesi ritual Basirompak.

Masyarakat jarang mengetahui adanya prosesi ini secara langsung, termasuk sebagian masyarakat tidak mengetahui jika barangkali salah seorang anggota keluarganya yang telah meninggal diambil tulang kening tengkoraknya untuk pembuatan gasiang tangkurak. Masyarakat kebanyakan meyakini tidak akan ada orang yang membuka lagi jenazah yang telah dikubur, apalagi hanya untuk kepentingan memastikan pembuatan gasiang tangkurak. Dalam konteks yang lebih luas, masyarakat mempunyai pandangan sebab akibat, basabab kok bakarano, tidak ada suatu hal dilakukan jika tidak ada penyebab sebelumnya. Cara pembuatan dari gasiang tangkurak dibuat dalam bentuk kembar siamdi tengah-tengahnya diberi dua buah lobang tempat memasukkan benang tujuh warna yang telah dijalin menjadi satu untaian.

Dalam sebutan masyarakat setempat benang tujuh warna (ragam) tersebut dikenal dengan nama banang pincono. Benang ini dapat diganti dengan tali yang lain yaitu berupa tali pengikat mayat yang terdapat dibagian kepala atau bagian kaki. Pengambilannya dapat dilakukan pada saat mayat telah dimasukkan ke dalam liang kubur. Satu kebiasaan dalam upacara penguburan mayat di Minangkabau adalah saat mayat akan dimasukkan ke dalam liang kubur tali pengikat yang ada pada bagian kepala dan kaki dilepas. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pelaku atau orang suruhan untuk mengambil tali tersebut demi keperluan sang pelaku. Tidak berbeda dengan Saluang Sirompak, setelah proses spiritualitas terlaksana, benda tersebutdisimpan pada suatu tempat yang aman, dan dijauhkan dari jangkauan orang yang ingin mengetahui asal usul gasing tengkorak, atau mencoba memainkannya bahkan memilikinya.

g. Bentuk Sajian

Dalam sajian Saluang Sirompak tidak dapat dipisahkan antara sajian yang sifatnya estetis dan sajian yang sifatnya religius, yaitu sajian instrumen-instrumen yang digunakan dalam Saluang Sirompak dan dibarengi dengan dendang yang berupa mantra (mantra pokok) ataupun bunga mantra (tidak pokok) ini termasuk sajian yang memiliki nilai estetis, sedangkan kelengkapan lain dalam sajian yang tidak mungkin ketinggalan adalah sesaji. Berdasarkan uraian tersebut dapat diurai hal sebagai berikut.

h. Dendang

Dalam penyajian teks lagu ditemukan pembentukan jalinan nada-nada yang membentuk kalimat-kalimat lagu musik, yang ditentukan oleh banyaknya teks-teks lagu yang diucapkan saat pertunjukan berlangsung. Teks-teks ini berupa mantra yang keberadaannya telah tersusun dengan rapi yang mempunyai struktur baku dari zaman dahulu hingga sekarang. Jalinan nada tersebut dikenal dengan istilah melodi. Melodi ini akan berakhir setelah satu ide teks disampaikan, satu ide teks terdiri atas satu bait syair. Dalam satu bait terdapat pemakaian kalimat lagu, ataupun musik antara empat hingga tujuh baris kalimat. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dendang merupakan perpaduan antara teks-teks lagu yang berupa mantra-mantra dengan mengikuti garis-garis melodi yang disampaikan oleh pendendang.

Pendendang diperankan oleh seorang anggota dari grup Sirompak tersebut, yang ditunjuk oleh ketua kelompok (penghulu). Pelaku dendang (pendendang) duduk di samping Saluang Sirompak dengan menundukkan kepala, yang bertujuan agar dapat berkonsentrasi penuh dalam menyampaikan teks lagu yang dibawakan, dan menyatukan pikiran dengan pelaku (pelaku) dari Basirompak. Kehadiran dari penyampaian dendang ini melalui proses setelah pelaku (pelaku) bersorak ke arah atas, yang kemudian disambut oleh pemain Saluang Sirompak dengan memainkan melodi dalam beberapa frasa. Sajian selanjutnya, antara pendendang dan penyaji Saluang Sirompak saling menjalin kerjasama dalam konteks menyelaraskan nada nada. Tujuan dari jalinan kerja sama untuk berkonsentrasi menyatukan pikiran pada tujuan semula (Basirompak). Hal ini terlihat dari kekompakan yang mereka capai saat pertunjukan berlangsung dengan menyatukan alam pikiran, tingkah laku, jiwa,dan raga dalam lingkup Basirompak sebagai kegiatan spiritualitas.

Semua prosesi kesenian Saluang Sirompak ini berhubungan kepada mahkluk halus yang diberi nama Simambang Hitam, Putiah, Sirah, Tungga dan Barantai. Setiap makhluk halus tersebut menghuni lobang pada Saluang Sirompak dan dipercaya bisa disuruh untuk mengguna-gunai orang, hal ini sampai sekarang masih dilakukan oleh si pelaku namun hal ini sangat privasi dan tertutup. Saluang Sirompak salah satu kesenian yang masih tergolong pada kesenian animisme di Minangkabau.

 

*Penulis Mahasiswa Program Doktor Seni, Institut Seni Indonesia (ISI), Indonesia Surakarta.

——

KEPUSTAKAAN

Alisyahbana, S. Takdir. 1988. Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. 

Dian Rakyat: Jakarta.

Mudjahid, Abdul Munaf. 2009 Ilmu Perbandingan Agama, Perbandingan agama primitif dan agama wahyu. Jakarta: INSAN PERSADA.

Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Perkembangan budaya di Indonesia, Asal usul budaya animisme di Indonesia. Jakarta: BUMI ASKARA.

Ahimsa, Heddy Shri. 2006. Mitos dan Karya Sastra, Strukturlisme Levi-Strauus. Yogyakarta: KAPEL PRESS.

Salkind, Neil J. 2009. Teori Perkembangan Manusia, Sejarah Kemuculan, Konsepsi Dasar, Analisis Komparatif, dan Aplikasi. Bandung: NUSA MEDIA. 

Sutrisno, Mudj. 2005. Teori Kebudayaan. Yogyakarta: KANISUS.