Yoga, Post-Truth, dan Suryometaram

Oleh Yudhi Widdyantoro

Tahun baru berganti, Amerika Serikat bikin geger dunia. Adalah Presiden Trump tidak mau mengakui kekalahannya. Ucapan dan cuitannya di Twitter memprovokasi pendukung setianya untuk menduduki The Capitol –gedung DPRnya negara kampium demokrasi—saat pengumuman resmi kemenangan Joe Biden sebagai presiden terpilih. Empat orang meninggal dunia dalam insiden itu.

Saat pemilihan presiden langsung beberapa bulan sebelumnya, data perhitungan resmi jelas menunjukan keunggulan Biden, capres yang diusung Partai Demokrat. Tapi Donald Trump sangat mayakini kalau dia dicurangi. Bahwa dia adalah pemenang pemilu itu. Ulah Trump dan pengikutnya membuat dunia maya menyinggung kembali wacana soal hoax dan post-truth.

Meskipun post-ruth tidak identik dengan kebohongan, tapi istilah post-truth itu sendiri, menurut McIntyre, lahir dari concern terhadap konsep kebenaran dan bahwa kebenaran sedang diserang dan dilecehkan. Dalam kasus Trump, ada sesuatu yang tidak benar dikatakan untuk kesalahan. Kebohongan yang melibatkan penipuan diri dan delusi sampai sesorang, dalam hal ini Trump sendiri, sungguh percaya bahwa sesuatu itu benar, bahkan ketika semua sumber yang kredibel mempertanyakannya. Dan karena Trump mempunyai fans fanatik, sepertinya, bisa jadi kebohongan itu dengan maksud untuk menipu, mengingat kebohongan ada audiens-nya, yaitu pendukungnya yang pasang badan dan rela mati.

Bagaimana dengan di tanah air Indonesia yang baru saja melaksanakan Pilkada serentak di tengah masa Pandemi Covid-19? Sepertinya tidak jauh beda kalau tidak dikatan lebih miris –kalau juga ditarik sejarah lebih ke belakang.

Bangsa Indonesia membawa beban sejarah yang cukup tragis. Beban itu adalah berupa dendam dan kebencian yang terus dicoba lestarikan dan wariskan bahkan sampai hari ini, dan mungkin generasi mendatang. Adalah peristiwa yang oleh Orde Baru disebut dengan Pemberontakan G30S/PKI. Jadi meskipun Indonesia sudah 64 tahun merdeka, tapi kita belum merdeka dari kebencian dan dendam kesumat.

Setiap peristiwa tentu membawa konsekuensinya sendiri-sendiri. Ada pihak yang dirugikan, dan ada yang malah diuntungkan dengan adanya peristiwa tersebut. Dan sudah umum diketahui bahwa sejarah selalu ditulis oleh orang-orang yang menang. Tapi kita juga tahu bahwa keberuntungan dan kemalangan tidaklah abadi, karena segala sesuatu pasti berubah. Ada selebritas yang popularitasnya sedang menanjak tertangkap polisi karena kedapatan mengkonsumsi narkoba. Tentunya dia, keluarga dan penggemarnya sedih. Tidak lama mendekam di penjara dia dibebaskan untuk kasus yang hampir sama. Dia dan orang di sekelilingnya ceria kembali, ketawa-ketawa muncul di infotainment, sampai kemudian selebritas tersebut dipenjara lagi, dan kedukaan kembali menyelimuti mereka.

Dari peristiwa tersebut, kita bisa melihat bahwa ada kebencian dan keserakahan yang mendasari mengapa efek peristiwa tersebut menjadi berlarut. Dua hal tersebut, yaitu benci dan serakah sesungguhnya bersumber dari pandangan keliru dalam memahami sesuatu. Kalau keserakahan dan kebencian terpenuhi tuntutannya, maka akan ada tuntutan pemuasan yang lebih besar lagi. Tuntutan yang terus bergulir seperti bola salju yang terus membesar ibarat lingkaran setan. Pandangan keliru yang dimaksud dalah pikiran tentang kesempurnaan dan kepuasan. Betapa kesempurnaan dan rasa puas hanyalah konsep, idam-idaman, cita-cita, keinginan, dan pamrih yang justru menghalangi tumbuhnya hakekat manusia yang bebas merdeka.

Bagi orang yang tidak mengalami sendiri peristiwa seperti yang dirasakan korban, mungkin akan dengan mundah membuat penilaian-panilaian, atau bersimpati. Sebagai korban dan merasakan langsung, penderitaan yang mereka rasakan tentunya tidak dengan mudah dihapus dari ingatan. Trauma yang meraka alami tidak serta-merta pupus oleh empati atau bantuan terapi.

Sekarang kita sedang melihat kopi, “Wah, kalau sehari tidak minum kopi, tidak enak rasanya. Saya tidak bisa bekerja maksimal.” Maka kita mengatakan kopi membawa ketagihan atau kemelekatan. Tetapi sesungguhnya tidak demikian, kopi tidak membawa kemelelekatan. Pikiran kitalah yang melekat pada kopi. Karena kita menikmati kopi terus menerus. Demikian halnya yang terjadi pada mereka yang mengkonsumsi mie instan, narkoba, atau zat adiktif lainnya dan kemudian ketahihan. Atau juga “mainan orang modern” yang sedang digandrungi orang sejagad: Facebook, Twitter, Instagram, YouTube. Kemelekatan itu muncul dari kenikmatan yang diulang-ulang, berkali-kali tanpa ada kebijaksanaan. Kopi, mie, narkoba, dan sosial media tidak pernah menarik-narik orang. Kopi, mie, dan Xiaomi adalah benda mati, tetapi konsep, atau pandangan keliru yang menunggangi rasa nikmat, dan ide tentang kesempurnaan hidup itulah yang membuat kemelekatan yang seolah ingin mengatakan: hidup ini tidak sempurna kalau tidak ada benda itu! Sepertinya, tidak ada orang yang mati hanya karena tidak meng-update status di Facebook, Instagram atau membuat video prank lewat YouTube dalam sehari. Tidak pula ada kewajiban memberi komentar yang sifatnya segera atas status yang orang lain tuliskan di jejaring social media yang bernama Facebook, Twitter atau Instagram itu. Jadi minumlah kopi seperlunya, makanlah mie ketika badan kita memang membutuhkan untuk diminumi kopi dan makan mie sambil menyadari gerak-gerik batin agar keinginan itu tidak sampai membuat kemelekatan.

Ada juga praktisi yoga yang sudah merasa cocok pada satu style, kemudian anti berlatih di kelompok berlatih lainnya. Bahkan tidak jarang orang seperti itu menjelekkan dan membuat penilaian buruk pada kelompok atau tradisi di luar style yang mereka biasa berlatih.

Di alam semesta ini semua mengikuti hukum ketidakkekalan. Semuanya berubah. Adakah yang tidak berubah? Apa saja berubah! Bisa dikatakan, perubahanlah yang akan membawa kemajuan. Yang kecil menjadi besar, yang dulu tidak mampu sekarang hidup lebih baik, yang di bawah kemudian bisa naik. Tentu saja perubahan bisa membawa kehancuran: yang muda menjadi tua, yang sehat menjadi sakit. Semua itu terjadi karena adanya fenomena perubahan. Kalau tidak ada perubahan, tidak akan ada kemajuan.

Kalau kita menghadapi masalah yang sulit dipecahkan, tetapi kita menyadari bahwa di dunia ini semuanya terkena hukum perubahan, maka akan timbul optimisme, timbul harapan bahwa seberat apapun persoalan akan berubah. Kalau memang masalah-masalah itu tidak berubah, tentu kondisi, faktor lingkungan yang mengelilingi masalah itu akan berubah. Perubahan memberikan harapan bagi kita untuk maju, berkembang, mengisi dan menyelesaikan kewajiban kehidupan ini.

Tidak ada yang abadi, tidak ada yang tetap di alam semesta ini. Orang yang paling menderita adalah orang yang sulit menerima perubahan, terutama perubahan yang tidak enak. Mengapa perubahan harus kita terima dengan lapang dada? Karena kita tidak bisa menghentikan perubahan. Barang atau ide-ide tidak menyebabkan orang senang atau susah abadi, karenanya tidak ada sesuatu yang pantas dicari, ditolak, atau dihindari secara mati-matian. Agar hidup lebih berbahagia, mengikuti anjuran tokoh ilmu kejiwaan Jawa, Ki Ageng Suryomentaram menganjurkan supaya orang tidak selalu, ngangsa-angsa, merasa paling benar sendiri, dengan berpedoman pada “Enam Sa”, yakni: Sabuthuhe, Saperlune, Sacukupe, Sakepenake, Samestine, Sabenere. Hubungan barang dengan keperluan hidup agar sesuai kebutuhan, seperlunya, secukupnya, seenaknya, semestinya, dan sebenarnya.

Foto Ki Ageng Suryomentaram

“Enam Sa”-nya Suryomentaran bisa dialami kalau objek di luar “diri” yang melewati manas, pikiran dalam bahasa Sanskrit dan diolah oleh ahamkara, atau “diri” yang sudah bisa membedakan dengan “selain diri” sampai ke unsur di “diri” yang lebih dalam dan halus, yaitu buddhi, “diri yang tersadarkan”. Sehingga ketika buddhi menanggai semua objek di luar, emosi, mental dan psikis tidak ikut menyertai karena semua objek dilihat sebagaimana apa adanya. Persis seperti dikatkan dalam Yoga Sutra Patanjal I.3 ini:

I.3 tada drastuh svarupe avasthanam
tada : dan kemudian, pada saatnya
drastuh : jiwa, the seer, “Si Pengamat”, Sang Diri, ‘orang beriman’
drst : (v) melihat dengan penuh perhatian => dristi
svarupe : sva=sendiri; rupe=form, bentuk; => apa adanya
avastanam : dwells, rest, berada, berdiam

Melihat ini, bisa dikatakan Ki Ageng Suryomentaram adalah juga seorang yogi yang bisa disejajarkan dengan Patanjali, Gandhi, atau Buddha.

Untuk memperkuat mental dan pikiran yang bijaksana, beberapa latihan asana yang dengan fokus pada latihan untuk kesehatan otak yang di dalamnya terdapat fasilitas untuk meningkatkan kesadaran. Jika aliran darah dan oksigen ke otak lancar, maka pikiran akan lebih jernih, lebih terang, serta fokus. Tentunya jika latihan asana untuk kesehatan otak ini dilakukan dengan teratur, hambatan-hambatan berupa kotoran yang dapat menyumbat laju darah ke otak dapat diterabas sekaligus dienyahkan.

Salamba Sirsasana (Salamba = dengan topangan, sirsa = kepala, => headstand) dan beberapa variasinya.
Asana ini sangat istimewa, karenanya sering dikatakan sebagai rajanya asana, karena banyak sekali manfaat yang didapat dari melakukan latihan ini. Yang paling mudah untuk dirasakan manfaatnya adalah aliran darah ke kepala akan lebih lancar. Dengan oksigen yang dibawa oleh darah sebagai nutrisi untuk otak, menjadikan otak lebih sehat dan dapat berpikir lenih jernih. Selain untuk kesehatan otak, Sirsasana ini tentu juga baik untuk memperkuat jantung dan paru-paru sebagai sumber distribusi darah. Sebelum melakukan asana ini perlu juga diperhatikan, bahwa agar leher tidak sakit, bahu jangan sampai drop sehingga jika dilihat dari samping, dari ubun-ubun kepala, tulang punggung dan tulang ekor, atau dari kepala bahu, pinggul sampai tumit meajadi lurus satu garis. Bagi penderita jantung dan darah tinggi tidak dianjurkan melakukan pose ini, namun dapat melakukan persiapannya terlebih dahulu, seperti Adhomuka Svanasana.

i)      Setengah Headstand atau Postur Kelinci

ii)    Headstand pakai dua kursi

iii)  Headstand Penuh

Foto pose Salamba Sirsasana

Adhomuka Svanasana (Downward facing dog)
Dengan diafragma yang akan lebih mengarah ke dada dalam melakukan pose ini, maka jantung dan paru-paru menjadi lebih kuat dan sehat, sehingga kerja jantung dalam mengolah dan mendistribusi darah ke otak menjadi lebih maksimal. Pusar dan otot-otot perut yang mengarah ke punggung bawah akan memperkuat otot-otot perut. Letak posisi jantung yang lebih tinggi dari kepala atau otak akan memberi rasa rileks. Bantal untuk meletakkan kening atau kepala dipakai agar kerja darah mensuplai oksigen ke otak lebih berdayaguna, serta efek rileks lebih maksimal.

Foto Adhomuka Svanasana

Salamba Sarvangasana (Shoulder Stand)
Sangat dianjurkan, jika selesai melakukan rangakaian headstand, untuk melakukan postur ini agar ada keseimbangan dan latihan lebih lengkap. Kalau headstand sering dikatakan rajanya asana, maka sarvangasana ini adalah ratunya asana.

Foto pose Salamba Sarvangasana

Kembali ke Donald Tump dan diri sendiri di sini, juga bagi praktisi yoga, ketika post-truth menjadi resep mujarab dominasi politik sebagai bentuk supremasi ideologi di mana pemeluknya memaksa orang atau kelompok untuk percaya pada sesuatu tanpa peduli ada bukti pendukung atau tidak, mungkin perlu melihat kembali Yoga Sutra dan kemudian menghidupinya dalam latihan yoga dan dibawa dalam kehidupan keseharian. Dalam Yoga Sutra Patanjali ada disinggung soal satya, kejujuran yang oleh Gandhi, Bapak bangsa India dikatakan “God is Truth and Truth is God”.

*Penulis adalah instruktur yoga