Satya: Kebenaran Dan Pasca-Kebenaran Dalam Yoga
Oleh Budi Murdono
Satya (kebenaran) adalah prinsip kedua yama setelah ahimsa. Di era pasca-kebenaran (post-truth) sekarang, prinsip ini mendapat tantangan berat dari maraknya berita bohong (hoax), disinformasi, dan teori konspirasi. Prinsip satya menuntut orang untuk berpijak pada kebenaran, sementara post-truth justru menyembunyikan kebenaran dan berupaya menanamkan kepalsuan untuk membentuk opini publik. Disinformasi atau berita bohong terus didengungkan-dengungkan oleh pelaku kampanye post-truth untuk memenangkan argumen dengan cara memanipulasi emosi ketimbang menyajikan fakta objektif. Anehnya, banyak orang lebih mempercayai berita bohong itu, meskipun mereka mengetahui kepalsuan dan niat buruk di baliknya. Institusi-institusi media yang terpercaya telah berupaya meluruskan berita atau informas itu melalui pemeriksaan fakta (fact check) yang dengan gamblang membeberkan kekeliruan atau kebohongan yang dikandungnya. Namun semua itu hampir tidak berpengaruh apa-apa, baik bagi pelaku kampanye maupun khalayaknya. Kita akan sedikit menyinggung mengapa hal itu bisa terjadi melalui konsep satya atau kebenaran dalam ajaran yoga, dan mengaitkannya dengan konsep avidya (kebodohan, ketidaktahuan, delusi atau ilusi).
“Satya-pratisthayam kriya-phalaarayatvam” (Dengan berpijak pada kebenaran, setiap perbuatan akan membuahkan hasil), demikian sabda Patanjali dalam Yoga Sutra. Beberapa komentator menafsirkan kebenaran dalam bait ini tidak hanya sebagai kesahihan (validitas) atau keaslian (otentisitas) kata-kata (ucapan maupun tulisan) tetapi juga sebagai kekuatan. Penjelasannya, banyak orang melakukan tindakan tetapi tidak membawa hasil, karena tidak ada kekuatan di dalamnya, yaitu kesadaran akan kebenaran. Saat ada kesadaran akan kebenaran di dalam tindakan itu, dan tindakan itu dilakukan atas dasar kebenaran, maka tindakan itu akan membuahkan hasil, kriyaphalashaya – maka keberhasilan tindakan pun terwujud.
Swami Vivekananda mengaitkan satya dengan konsep kebenaran yang lain, yaitu sattva (akar katanya sama – sat) yang berarti yang hakiki, sejati, atau alami. Dalam aliran filasafat Samkhya, sattva merupakan salah satu dari kualitas (guṇa) atau sifat hakiki materi (prakrti). Dalam konteks ini sattva berarti juga kejelasan (clarity), kemurnian, dan kesejatian. “Ketika sattva (kejelasan, kemurnian dan kesejatian) unggul, maka pengetahuan (kebenaran) pun muncul”, demikian kata Swami Vivekananda. Terhadap bait mengenai satya dalam sutra Patanjali itu, Swami Vivekananda bahkan menafsirkan bahwa dengan menegakkan kebenaran/kejujuran, seorang Yogi memiliki kekuatan untuk memetik hasil atau buah (pahala) tanpa harus bertindak:
“Jika kekuatan kebenaran ini dapat kamu tegakkan, maka dalam mimpi sekalipun kamu tidak akan berkata bohong, juga dalam pikiran, kata atau perbuatan; apa pun yang kamu katakan adalah kebenaran. Kamu boleh mengatakan pada orang lain: ‘Diberkatilah kamu’, maka orang itu akan penuh berkat. Jika seseorang sakit dan kamu katakan kepadanya: ‘Semoga segera sembuh’, maka orang itu pun sembuh.”
— Swami Vivekananda
Penafsiran di atas sangat mungkin berlaku bagi para yogi yang kejujuran dan ketulusannya tak dipertanyakan lagi. Sebagaimana vibrasi kekuatan ahimsa yang mampu menjinakkan dan menyembuhkan, getaran kekuatan kebenaran atau kejujuran para yogi pun akan mampu merealisasikan kehendak luhur mereka yang tulus itu. Namun, tidak mustahil juga ucapan doa atau harapan yang jujur dan tulus dari orang awam dapat membuahkan hasil tanpa melalui tindakan. Ketulusan seorang awam, yang mengharapkan atau berdoa untuk kebaikan atau keselamatan orang lain, minimal akan mencegahnya untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan doa dan harapan yang diucapkannya itu. Sikap pasif ini akan mengurangi rintangan terhadap realisasi harapan itu. Lebih jauh lagi, ketulusaan itu juga akan mendorong orang itu untuk mencegah terjadinya hal yang sebaliknya (keburukan, penyakit atau kecelakaan). Tapi, jika hanya basa-basi, tidak tulus, penuh kepalsuan dan kebohongan, ucapan itu tentu tidak berdampak apa-apa.
***
Lawan dari kebenaran adalah kepalsuan, ilusi, delusi, ketidaktahuan dan ketidajelasan. Ada komentar lain yang menyatakan, dengan pijakan yang kokoh pada kebenaran (satya), maka ketidakjelasan, kepalsuan, delusi dan ilusi disingkap dan disingkirkan. Dengan kekuatan kebenaran, seorang yogi dapat menyingkap tabir ketidaktahuan yang merupakan sumber penderitaan. Memang, pada dasarnya kita menderita karena keterikatan (bahkan kemelekatan) kita pada ketidaktahuan, kebingungan, delusi dan prasangka (avidya) di samping kemelekatan pada kesenangan (raga) dan kebencian (dvesa). Kemelekatan itu terjadi karena kita tidak pernah berupaya menyadari bagaimana pengetahuan sampai pada kita melalui cara-cara yang membuatnya tidak otentik. Kita menganggap pengetahuan atau informasi yang kita peroleh sebagai kebenaran hanya karena sesuai dengan keinginan atau penilaian kita terhadap seseorang, misalnya. Kita mempercayaiya meskipun informasi itu sudah dicemari kepalsuan untuk menumbuhkan kekaguman atau kebencian terhadap sesorang. Itulah mengapa banyak orang lebih percaya pada kebohongan, berita palsu atau teori konspirasi karena informasi-informasi yang menyesatkan itu dapat memenuhi kehausan mereka akan ilusi yang diakibatkan oleh kemelakatan mereka terhadap kepalsuan, meskipun cuma sementara.
Satya sering juga diartikan sebagai kejujuran dan lawan dari kejujuran adalah ketidakjuuran atau kebohongan. I.K. Taimni dalam komentarnya mengatakan, segala bentuk ketidakjujuran menciptakan komplikasi yang tidak perlu dalam hidup kita, dan karenanya menjadi sumber gangguan pikiran yang terus-menerus. Orang yang menggunakan kebohongan sebagai salah satu cara untuk mengatasi permasalahannya akan mengalami ketegangan dalam pikiran bawah sadarnya. Karena, biasanya, satu kebohongan membutuhkan sejumlah kebohongan lain untuk menutupinya. Cara menjaga kepalsuan dan kebohongan seperti ini pada akhirnya menyebabkan ketegangan tertentu dalam pikiran bawah sadar yang mengakibatkan muculnya gangguan emosional secara terus menerus. Inilah salah satu contoh bagaimana kemelekatan pada kebodohan dapat menimbulkan penderitaan.
Ketidakjujuran harus dijauhkan dan kejujuran harus dipraktikkan oleh praktisi yoga, karena kejujuran itu mutlak diperlukan untuk pelurusan akal budi. Seseorang yang mulai berlatih yoga tanpa terlebih dahulu memperoleh keutamaan dari kejujuran seperti orang yang masuk ke hutan di malam hari tanpa cahaya. Tidak ada yang membimbingnya ketika menghadapi kesulitan. Dia akan tersesat. Itulah mengapa yogi pertama-tama harus berpegang pada kebenaran yang sempurna dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, karena hanya dengan cahaya kebenaran itulah kegelapan akibat kepalsuan dan ilusi dapat dihilangkan.
Secara negatif, satya berarti juga sikap atau perbuatan mencegah terjadinya kebohongan dalam tindakan, perkataan (ucapan, tulisan), atau pikiran seseorang. Seseorang mungkin tidak selalu mengetahui suatu kebenaran atau seluruh kebenaran, tetapi ia pasti tahu jika ia berbohong, ikut berperanserta dalam penyebaran kebohongan atau menyebarkan kebohongan itu sendiri, melebih-lebihkan informasi, melakukan distorsi informasi dan melakukan pemalsuan atau penipuan. Dalam konteks ini, satya dapat direalisasikan dengan menahan diri untuk tidak menyampaikan kepalsuan semacam itu, baik dengan cara diam atau dengan menyatakan kebenaran apa adanya. Namun, dalam kondisi tertentu, sikap diam dalam menghadapi kebohongan justru dapat melanggengkan kepalsuan. Di sini, kebenaran harus diungkapkan dengan tidak membiarkan orang lain mengikuti delusi, prasangka, bias, kebingungan, dan pandangan keliru. Dengan cara ini, kebenaran ditegakkan secara aktif. Dengan menyatakan kebenaran seseorang dapat menghentikan atau mencegah orang lain menjadi objek penipuan, penyesatan, manipuasi dan eksploitasi. Terlihat jelas di sini adanya hubungan antara satya, kesadaran akan kebenaran, dan ahimsa, semangat cinta kasih untuk melindungi orang lain dari keburukan dan penderitaan. Ingat Mahatma Gandhi yang pernah melancarkan gerakan Satyagraha (berpegang teguh pada kebenaran) dalam perjuangan kemerdekaan India yang menggabungkan prinsip satya dan ahimsa. Satyagraha adalah gerakan dengan kebenaran sebagai tujuannya dan non-kekerasan sebagai caranya. Inilah penerapan prinsip satya dalam kehidupan sosial dan politik. Gerakan satyagraha, dengan semangat cinta kasih ahimsa, pada dasarnya bertujuan menyingkap selubung ketidakmurnian yang terwujud dalam ketidakadilan dan penindasan oleh penguasa, lalu menyadarkan penguasa, bukan memaksa dengan kekerasan, minimal agar tidak menghalangi perjuangan menuju keadilan dan pembebasan itu.
***
Sebagaimana ahimsa adalah praktik mengembangkan kemampuan untuk mengalahkan atau menghentikan kejahatan, satya terkait juga dengan kemampuan untuk melenyapkan avidya – kebodohan/ketidaktahuan dan semua keterhubungan kita dengan pandangan keliru, ilusi, delusi, dan ego yang telah memenjarakan kesadaran kita. Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah kita dapat mengembangkan kemampuan itu?
Untuk melenyapkan avidya seseorang harus memiliki terlebih dulu pengetahuan tentang avidya itu dan sebab serta bagaimana itu terbentuk. Avidya adalah tidak adanya kesadaran atau pengetahuan (awareness) tentang realitas yang sebenarnya, Avidya adalah ketidakmampuan membedakan antara yang nyata dengan yang tidak nyata. Avidya adalah salah satu sumber kemelakatan, sekaligus juga penyebab sumber-sumber kemelekatan lainnya (asmita/ilusi-ego), raga/kegemaran, dvesa/kebencian, abhinivesah/takut akan kematian).
Patanjali mengatakan bahwa avidya muncul karena adanya anggapan (identifikasi) bahwa sesuatu yang tidak kekal, tidak murni dan bukan-diri (atman, self) sebagai kekal, murni, dan juga diri. Ini terjadi ketika kesadaran murni (purusa) bertemu dengan fenomena atau materi (prakrti) melalui indera dan pikiran. Dalam pertemuan antara kesadaran murni dengan dunia materi itu terjadi identifikasi antara kesadaran dengan aktivitas mengetahui, proses berpikir dan objektivikasi. Maka lahirlah asmita, ilusi tentang aku (ego): aku yang mengetahui, aku yang berpikir, dan aku yang memiliki (aku, diriku, milikku), ilusi akibat melekatnya subjek yang melihat (mengetahui) dengan objek yang dilihat (diketahui). Karena itu, untuk melenyapkan avidya seseorang harus mamu memisahkan antara yang terlihat (drsayoh) dan yang melihat (drastr). “Drastr drsayoh samyogo heya-hetuh” (Penyebab penderitaan yang harus ditolak adalah [ilusi] menyatunya yang Melihat dengan yang Dilihat).
Itu sedikit penjelasan tentang apa dan bagimana Avidya. Sayangnya pengetahuan kognitif seperti ini tidak mampu menembus kebodohan yang sudah melekat pada orang-orang yang sudah merasa nyaman dengan pengetahuan dan penilaian terhadap sautu fenomena. Pengetahuan kognitif seperti ini, meskipun bisa diterima secara rasional tidak mampu menyadarkan orang-orang yang sudah mengidentifikasikan dirinya dengan pengetahuan yang ia peroleh, baik secara langsung melalui pengalaman (tetapi menghasilkan pandangan keliru) maupun tidak langsung berdasarkan referensi yang mereka ketahui. Itulah sebabnya mengapa banyak orang lebih mempercayai berita bohong dan sulit menerima kenyataan bahwa informasi yang mereka terima tidak betul, tidak valid, bahkan tidak rasional. Karena, informasi seperti itulah yang mereka inginkan sesuai dengan sentimen yang sudah tertanam dalam kesadaran mereka, apakah itu kegemaran, kekaguman atau kebencian terhadap seseorang atau sekelompok orang maupun terhadap kondisi sosal, kebijakan atau ideologi tertentu.
Pengetahuan tentang pemisahan antara yang nyata dan yang tidak nyata (viveka) hanya dapat menembus avidya jika pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman langsung seseorang melalui praktik kesadaran tentang kebenaran secara terus-menerus dan tidak diganggu oleh apa pun. Pengetahuan ini bukan sekadar hasil proses berpikir tapi kondisi mental yang sudah tercerahkan. Juga bukan pengetahuan berdasarkan kepercayaan atau agama yang mengajarkan kebenaran berdasarkan pengalaman seorang guru atau nabi. Tapi pengetahuan berdasarkan pengalaman sendiri melalui praktik yoga di mana guru atau ajarannya hanya memberi petunjuk bagaimana mempraktikkannya. Seperti yang dikatakan Buddha Gotama kepada petapa Bahiya:
“Dalam hal ini, Bahiya, kamu harus melatih diri sendiri; di dalam apa yang dilihat hanya ada apa yang dilihat. …, di dalam apa yang diketahui hanya ada apa yang diketahui. Dengan cara ini kamu harus melatih dirimu sendiri, Bahiya. Jika, Bahiya, di dalam apa yang dilihat hanya ada apa yang dilihat,…, di dalam apa yang diketahui hanya ada apa yang diketahui, maka Bahiya, kamu tidak akan ‘bersama itu’. Bila, Bahiya, kamu tidak lagi ‘bersama itu’, maka kamu tidak akan berada di dalam itu. Bila, Bahiya, kamu tidak ada di dalam itu, maka Bahiya, kamu tidak akan berada di sini maupun di sana, tidak juga di antara keduanya. Inilah akhir penderitaan.”
Patanjali menyatakannya dalam bait pendek: “Yoganganusthanat asuddhi-ksaye jnana-daptir aviveka-khyateh” (Dari praktik yoga, muncul pengetahuan yang membedakan kenyataan dan bukan kenyataan [viveka] dan dengan itu ketidakmurnian pun dilenyapkan). Praktik yoga (yoganganusthanat) yang dimaksud adalah yoga yang terdiri atas delapan cabang, bagian atau tahap (astanga: yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, dan samadhi).
Sekali lagi, penjelasan ini tidak akan dapat menghapuskan kecenderungan kita utuk memiliki pandangan keliru tentang realitas, kecenderungan kita untuk melekat pada pandangan keliru itu. Maksimal, penjelasan ini hanya menjadi pengantar bagi mereka yang ingin mempraktikkan yoga.
*Penulis adalah pengajar yoga-meditasi freelance