Di Antara Stanislavski dan Brecht ada Tabakov

Oleh Iwan Jaconiah

DRAMATURG ternama asal Argentina, Carlos Maria Alsina, 63, pernah menulis sebuah buku berjudul “De Stanislavski A Brecht: Las Acciones Físicas teoria y practica de procedimientos actorales de construction teatral(edisi bahasa Spanyol). Ini buku sempat menggemparkan dunia teater di Amerika Latin dan Eropa Timur, empat tahun lalu. 

Alsina berani membandingkan antara teoritis raksasa teater Rusia-Uni Soviet Konstantin Stanislavski (1863-1938) dengan praktisi teater Jerman Timur Bertolt Brecht (1898-1956). Banyak kalangan menilai bahwa, perbandingan tersebut tidak masuk akal. Namun, seiring berjalan waktu maka kini dapat diterima secara logis dari sisi akademik. 

Teori dan teater terus berkembang, baik ketika era modern, post-modern maupun kontemporer kini. Perubahan mendasar adalah pemanfaatan teknologi untuk mendukung sebuah produksi. Termasuk, cara kerja sutradara dan aktor. Meminjam istilah sutradara nasional Remy Sylado bahwa kelompok teater selalu mengikuti zamannya. 

Buku “De Stanislavski A Brecht” karya Carlos Maria Alsina

Perbedaan tersurat dalam karya Alsina itu memang ada. Menyiratkan bahwa Stanislavski percaya akan semua tindakan di atas panggung haruslah memiliki pembenaran batin. Namun, Brecht lebih tertarik untuk menunjukkan aksioma tindakan; acapkali tidak dibenarkan dalam konteks sistem sosial dan politik. 

Tidak ada yang salah, antara Stanislavski dan Brecht. Masing-masing mereka memiliki tujuan berbeda. Itu menjadi tesis Alsina lewat buku tersebut. Sehingga, analisis dan perbandingannya telah menjadi bahan pembelajaran. Termasuk, di kampus-kampus ternama di Moskwa. Bahkan, bukunya telah diterjemahkan ke sejumlah bahasa. 

Pada sebuah ajang bergengsi Future Theatre Festival di Moskwa, pada 22-29 Februari 2020 lalu, pelaku teater, teoritis, aktor, dan kritikus, berkumpul. Ajang berlangsung sebelum terpaan pandemi. Para pekerja seni membincangkan dan mendiskusikan tentang kondisi teater masa kini. Mereka pun memprediksi akan situasi teater di tahun 2030 mendatang. 

Saya mendapatkan undangan dari rekan penyair cum kurator Media Poetry Lab, Daria Petrova. Dia adalah salah satu generasi pasca-soviet yang berpikir terbuka, tidak konservatif, dan humoris. Ibu muda itu hadir sebagai pembicara tentang tantangan teater dan puisi era digital. 

Daria dan saya hanya saling mengetahui nama saja. Itu terjadi saat perhelatan 2nd Poetry Festival Taburetka di Monchegorsk, Murmansk, pada 26 Agustus 2017. Saat itu, saya sebagai peserta dan Petrova adalah kuratornya. Saya berangkat dengan menumpangi kereta ekonomi jelang petang hari dari Leningradsky Vokzal. 

Selama menempuh perjalanan lebih kurang 29 jam Moskwa-Murmansk, polisi dan intel sempat tiga kali mengecek identitas saya di kota-kota persinggahan berbeda. Satu dari tiga tempat yang saya ingat betul, yaitu di Petrozavodsk. 

Mereka meminta paspor dan memotretnya. Barangkali saya penumpang berkulit coklat sendiri di kereta. Apalagi, saat itu sedang marak pemberitaan tentang para imigran gelap asal Asia dan Afrika mengadu nasib ke daratan Eropa. 

Mungkin pula polisi dan intel menduga-duga saya salah satu dari imigran. Meski demikian, saya persilakan diri untuk diperiksa. Tak ada gentar dan ragu. Toh, semua dokumen resmi bercap invitasi Kementerian Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan Rusia. 

Mengetahui lebih dekat akan pengetahuan seorang “Topas” ini akan Stanislavski dan Brecht, Petrova pun kian merasa nyaman. Diskusi dan pertemuan sastra selalu dia kabari saya, baik on location maupun virtual. Terakhir, dia mengabari acara baca puisi di Petersburg, baru-baru ini. Namun, saya sedang di Jakarta untuk sebuah penelitian akademik. 

Isu-isu yang terkuak pada Future Theatre Festival, antara lain kelompok teater harus siap tampil di panggung tanpa penonton. Begitu pula sebaliknya, kelompok teater harus mampu mementaskan lakon di rumah-rumah. Ya, bisa saja, asalkan penonton mampu membiayai produksi dan memiliki kapasitas ruangan yang memadai. 

Lalu, ada juga kajian kekinian dalam penerapan immersive VR art project dalam teater. Terutama, penggunaan virtual reality (VR) / augmented reality (AR), 3D VR scenes, 3D 360 video, dramaturgy in 3D 360 video, serta interactive scenario. Semua sudah diterapkan di kota-kota seperti Berlin, Helsinki, Stockholm, Praha, dan Moskwa. Bukan hal yang mustahil dalam berkesenian. 

Michael Eickhoff, dramaturg dari Teater Dortmund, Jerman, yang turut hadir pun mengamini. Dia datang sebagai pemateri. Salah satu kajian Eickhoff yakni teater di masa mendatang memiliki tantangan untuk berkolaborasi antar-benua. Sebab keberadaan teknologi membuat semuanya lebih mudah. Namun, jaringan kerja lebih perlu diperluas, seperti koneksi antar komunitas dan perusahaan teater itu sendiri. 

Tak dinyana, kondisi nyata ini hari adalah kita masih dilanda pandemi. Perayaan Hari Teater Sedunia yang jatuh pada Sabtu, (27/3) akhir pekan lalu, lebih unik dirayakan. Hari bahagia bagi pekerja teater tersebut sudah berlangsung sejak tahun 1961. Situasi dan kondisi memang sedang minim penonton di gedung-gedung teater. 

Namun, geliat teater dunia daring sangat sibuk. Sejumlah pementasan lakon di Moskwa dan Petersburg, misalnya, dilakukan serba memanfaatkan teknologi. Bahkan situs budaya online terpopuler, culture.ru telah menyajikan informasi jadwal pertunjukan yang bisa diakses, baik secara berbayar maupun gratis. 

 

Tokoh teater kontemporer 

Sejak berpulang ke pangkuan Sang Ilahi tiga tahun silam, nama Oleg Tabakov (1935-2018) kini menjadi bahan obrolan hangat di kalangan pelaku teater, peneliti, dan kritikus. Tabakov adalah dramawan ternama yang terlibat dalam dunia panggung teater dan film.

Dia adalah salah satu jebolan Moscow Art Theatre. Kemudian hari mendirikan Sovremennik Theatre pada 1956 di Moskwa. Kata ‘Sovremennik’ sendiri berarti kontemporer. Tabakov banyak mementaskan karya adaptasi dua dramawan klasik. Yaitu, Moliera asal Prancis dan Antonio Salieri asal Italia. Dipentaskan selama 20 tahun. 

Oleg Tabakov saat remaja dalam pentas teater sekolah. (Tahun tak diketahui jelas)

Pada 1987, Tabakov mendirikan Teater Tabakerka atau Basement Theatre. Saat Teater Tabakerkaawal bergerak, cuma memiliki dua panggung pementasan. Pertama, di sebuah basement kosong di Malaya Sukharevkaya Square. Kedua, sebuah gedung tua di Jalan Chaplygina. Dia beli dan renovasi menjadi gedung teater. 

Peraih sejumlah penghargaan teater bergengsi itu pun terus menambah panggung-panggung di lokasi-lokasi berbeda. Pada 2016, dengan dukungan Major Moskwa Sergey Sobyanin, resmi berdirilah sebuah kompleks panggung baru yang elit di Malaya Sukharevskaya Square, No 5. Seniman-seniman sering ngafe dan ngegosip ria di sana. 

Oleg Tabakov (dokumen keluarga)

Gerakan Tabakov dan sejumlah rekannya mampu merubah geliat berteater ala ‘basement’ tumbuh subur. Dari Moskwa akhirnya merambat sampai ke kota-kota lainnya seantero Rusia. Bahkan, menyeberang hingga ke negara-negara pecahan Uni Soviet dan Yugoslavia. 

Di pelbagai forum teater, termasuk saat Future Theatre Festival, nama Tabakov sering dimunculkan. Itu menjadi diskursus menarik. Baik dalam konteks serius maupun guyon. Dia digadang-gadang sebagai sosok yang mampu disandingkan dengan Stanislavski. 

Apalagi, Tabakov semasa hidupnya sempat masuk dalam lingkaran Kremlin. Namanya kian membumi saat mendukung kampanye aneksasi Krimea atas Ukraina. Alasannya, Krimea berinang pada Moskwa, bukan Kiev. Memang ada pro dan kontra. Namun, sebagai seniman dia untung besar. Kian dicintai bangsanya sendiri karena berjiwa nasionalis. 

Oleg Tabakov di usia senja

Selain berteater, Tabakov juga ‘nyambi’ menjadi pengisi suara  (voice over) dalam sejumlah karakter animasi. Termasuk, suara si kucing Matroskin dalam Prostokvashino dan sekuelnya, pada 1979-1984. Setelah peran Matroskin, ia berlanjut mengisi suara Garfield (2004, film animasi produk Amerika) yang dialihbahasakan ke Rusia. 

Kualitas Tabakov, baik ranah teater maupun film, mendapatkan pujian. Sayang, saat memerankan tokoh-tokoh animasi itu membuat sosoknya menjadi lebih terkesan lucu, durak (dungu), dan kocak di kalangan segelintir seniman. Kesan kuat nama Tabakov pun menjadi lebih diingat banyak orang sebagai Matroskin. Meong, meong, meong! 

Penyair asal Kota Yekaterinburg, Sergey Sretenski, 69, yang saya kenal baik ketika menghadiri sebuah pertemuan sastra di Yalta, Krimea, menuturkan bahwa perbandingan antara Stanislavski dengan Tabakov tidaklah seimbang. “Stanislavski adalah seorang teoritis. Nama aslinya Alekseyev. Jika membandingkan Stanislavski dengan Matroskin tidak layak,” cetusnya, terkekeh-kekeh dalam obrolan virtual. 

Sretenski adalah salah satu seniman ‘underground’ dari generasi tersisa angkatannya. Lelaki berambut perak itu sangat memahami Indonesia. Itu dia ketahui dari  lagu Ostrova Palm atau Rayuan Pulau Kelapa ciptaan Ismail Marzuki. Lagu tersebut dialihbahasakan ke Rusia oleh penyair V Korchagin. 

Penyanyi mezzo-soprano Maya Golovnya (1926-2017), si biduan bermata lentik nan ayu, didapuk untuk menyanyikan Ostrova Palm pada 1955. Proyek rekaman ulang versi Rusia tersebut dikhususkan untuk menyambut Presiden Sukarno dalam lawatan pertamanya ke Uni Soviet pada 1956. Sukarno dijamu penduduk Moskwa bak pahlawan besar. 

Lagu tentang keindahan alam Indonesia itu sering diputar di radio-radio bergengsi pada 1950-an. Sretenski bocah mengetahui benar berita ketika Sukarno melawat ke Uni Soviet. Tak mengherankan, dia pun hafal lantaran berkali-kali didengarnya di radio. Sepucuk kenangan tempo dulu begitu kuat dan lengket di ingatannya. 

Gerakan bawah tanah Matroskin 

Bagi sebagian generasi yang tidak terlampau jauh usia dengan Tabakov, seperti Sretenski, pasti akan menyatakan ketidaksetujuan secara sopan; canda dan satir. Namun, generasi yang lahir sesudah 1990-an, akan berpikir sebaliknya. Sebab, peranan Tabakov sangat andil dalam teater kontemporer. 

Oleg Tabakov di usia senja

Memang, masih perlu kajian mendalam, baik konteks pedagogi maupun disiplin teaterologi. Namun, nama Tabakov sudah terlanjur mencuat disandingkan dengan Stanislavski. Itu baik dari segi keaktoran, penyutradaraan, maupun karismatik dalam memimpin perusahaan teater. Stanislavski mewariskan Moscow Art Theatre sedangkan Tabakov mendirikan Sovremennik Theatre. 

Sedikit berbagi pengalaman, saya pernah membaca sebuah puisi yang ditulis ketika mengunjungi Papua berjudul «Langit Pasifik» di booth mungil Vladimir Mayakovsky pada helatan Moscow Culture Forum, 23-25 Maret 2018. 

Ajang kultural tahunan itu spesial sebab para seniman dan pemangku jabatan pucuk Pemerintah Kota Moskwa menggelar sebuah program khusus untuk mengenang Tabakov. Waktu itu, dia menghembuskan napas terakhirnya 10 hari sebelum forum budaya terbesar di Eropa Timur itu dimulai. 

Seharusnya, Tabakov bakal menyampaikan pidato kebudayaan pada pembukaan forum. Namun, ajal berkata lain. Sepanjang acara, ada tersedia booth khusus memajang dokumentasi foto, rekaman audio-visual tentang kiprahnya dalam seni pertunjukan, dan kisah kehidupan pribadi Tabakov. Semua menyiratkan bahwa dia adalah tokoh penting pergerakkan teater kontemporer. 

Oleg Tabakov pada sebuah pementasan

Gerakan ‘bawah tanah’ sedang dimulai dari para simpatisan dan murid-murid setia Tabakov. Ada geliat untuk menyandingkan nama Tabakov sebagai tokoh sekaliber Stanislavski. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melihat gerakan ‘atas tanah’ secara serempak dari para pegiat teater kontemporer Rusia. 

Hari Teater Sedunia 2021 baru saja terlewati. Ada kebahagiaan dan kesederhanaan di tengah pandemi. Saya iseng menyetel dan menonton kembali aksi si kucing Matroskin yang lucu dan imut itu. Tak habis-habisnya ngakak sembari memegang perut. Di antara Stanislavski dan Brecht ada Tabakov. 

 

*Penulis adalah penyair, kulturolog, dan esais. Dia meraih beasiswa penuh pemerintah Federasi Rusia untuk belajar pada program PhD Culturology di Art Faculty, Russian State Social University. Buku antologi puisi terbarunya “Hoi!” (Terbit Press, 2020).