Graffiti Gratitude dan Cyberpuitika, Dua Tonggak Sastra Online

Oleh: Tulus Wijanarko*

Bayangkanlah sebuah keadaan tanpa Facebook, Twiiter, WhatsApp, Line dan para sejawatnya yang kerap di sebut bagian dari media sosial itu. Pada awal dekade 2000-an, semua medium tersebut belum ada dan “tempat” berkumpul paling asyik di dunia maya saat itu adalah mailing-list (milis). Sekadar menyegarkan ingatan, milis adalah sebuah grup diskusi, biasanya dibentuk berdasar kesamaan minat, yang anggotanya terdiri dari akun-akun email pribadi. Milis, bisa juga menjadi sekadar media komunikasi internal guna memperlancar koordinasi.

Bermula dari pergaulan di milis itulah pecinta puisi sempat melakukan gebrakan di jagat sastra tanah air pada awal dekade. Disebut gebrakan karena mereka berhasil memproduksi karya-karya yang memaksa khalayak sastra lebih luas untuk menengok dan memicingkan mata. Karya-karya yang kemudian dibukukan dan ada juga yang disimpan dalam format compatc disc (CD) karena keunikannya. Banyak kumpulan karya yang terbit berbasis interaksi di milis saat itu, namun dua diantaranya yang berhasil memancing diskusi panjang adalah: Graffiti Gratitude, Sebuah Antologi Puisi Cyber (YMS, 2001) dan Cyberpuitika, Antologi Puisi Digital (YMS, 2002).

Tulisan yang tidak dimaksudkan sebagai kajian akademis ini, berusaha mengungkap-ulang segala hal di sekitar munculnya kedua tonggak berkembangnya –katakanlah— sastra online yang terus bertahan hingga hari ini. Dengan sudut pandang sebagai pelaku, karena keterlibatan penulis dalam kedua proyek tersebut, maka membuka peluang bahwa banyak klaim subyektif akan mewarnai tulisan ini. Tentu saja hal-hal tersebut tidak terlarang untuk membuka peluang diskusi lebih lanjut.

Graffiti Gratitude, atau mari kita singkat dengan Gra-gra saja, secara fisik tak berbeda jauh dengan banyak buku antologi puisi lain. Ada sekitar 90 penulis puisi yang menyumbangkan karya, dari dalam dan luar negeri, senior maupun yang namanya baru terdengar sayaup-sayup di dunia kepenyairan waktu itu.

Mereka yang di awal dekade itu baru menancapkan nama dan ikut memasukkan karyanya dalam antologi ini, antara lain: TS Pinang (saat itu masih memakai nama Teguh Setiawan), Rukmi Wisnu Wardhani, Yono Wardito, Tiar Rahman, Candra Malik, dan lain-lain.

Sedang nama-nama yang sudah lebih dulu kondang, antara lain, Soetardji Calzoum Bachri, Abdul Wachid BS, Soni Farid Maulana, Eka Budianta, Agus R Sardjono, Vidy A Daery, dan lain-lain.  Adapun penyair-penyair asing yang terlibat, misalnya: Ciranan Pirpreecha (peraih SEA Award dari Thailand), Ramli Abdul Rahim (Malaysia), Zaharah Nawawi (Malaysia), Anjum Kathyal (India), Abid Rahman (Bangladesh), dan lain-lain.

Acara peluncuran Gra-gra juga menjadi perhatian media massa karena digelar di sebuah hotel berbintang lima di jantung Jakarta. Rasanya belum pernah sebuah karya sastra diluncurkan di tempat mencorong semacam itu. Para penyair elite, macam WS Rendra, Soetardji, ikut hadir. Soetardji menjadi salah satu panelis dalam acara diskusi. Maka komplit sudah unsur-unsur di sekitar buku ini untuk menjadi sorotan media.

Tetapi sebenarnya semua itu hanyalah gimik. Yang tak kalah penting dari terbitnya Gra-gra adalah proses panjang yang dilalui sebelumnya, yakni romantika yang terjadi di milis-milis sastra. Sekurangnya ada tiga milis yang aktif, yakni: penyair, gedong-puisi, dan puisikita. Seorang editor antologi itu juga aktif di milis sastera-malaysia yang memungkinkan terlibatnya para penyair negeri jiran dalam Gra-gra.

Romantika? Ya, ada banyak yang terjadi di milis-milis tersebut yang secara alamiah kemudian mematangkan lahirnya Gra-gra. Lebih dari sekadar wahana untuk bertukar informasi, milis mampu memainkan fungsi lebih jauh. Ia, terutama di dunia sastra yang terkesan “wingit’, mendorong –saya menyebutnya- demokratisasi sastra. Di ranah maya, sastra tak lagi hanya menjadi “milik” penyair, kritikus, atau pegiat-nya saja. Sastra tiba-tiba milik sesiapa yang memang ingin menekuninya.

Di milis Penyair, misalnya, semua anggota bisa dan boleh memposting karya-karyanya tanpa hambatan. Ya, karena memang tidak ada proses seleksi atawa edorial dari sang admin. Kita tahu, pada beberapa milis kadang ada prosedur pemeriksaan oleh admin, manakah materi yang bisa dilepas dan hal seperti apa yang diharamkan. Di milis Penyair, batasan itu tak ada!

Pada akhirnya fenomena demokratisasi pada sastra online itu gampang dipahami dengan membandingkannya secara langsung dan setara “melawan” keketerbatasan sastra koran. Bagaimana tak terbatas? Lembar sastra pada koran hanya muncul sekali dalam sepekan, itu pun paling banter satu halaman saja. Keterbatasan inilah yang membuat prosedur seleksi karya tak terhindarkan. Wajar saja hal itu membuat hanya sedikit penulis yang mampu muncul ke permukaan.

Tapi segala keterbatasan itu bagai diterabas oleh milis sastra pada umumnya, termasuk milis Penyair. Ini mendorong kegairahan menulis puisi meningkat. Maka milis dibanjiri puisi dari siapa saja. Ibaratnya, milis seperti sebuah pintu tak terkunci dan terbuka lebar untuk mengenalkan puisi mereka ke khalayak.

Bagaimana dengan mutu? Tentu saja sangat beragam, dan ini harus diterima sebagai konsekwensi karena tak ada proses kurasi tersebut.  Berikut contoh dua puisi yag saya ambil secara acak, dan diposting pada januari 2001. Puisi pertama kiriman akun rocknroll@astaga.com dengan subject:

SAYA (Satu Adalah Yaitu Aku)

aku hijau diatas awan biru
merangkak dari benih
singgah dikala jenuh
menghilang dibalik riuh
pergi bersama sunyiku
mencari yang baru…..
SAYA….Satu Adalah Yaitu Aku….

Puisi kedua dikirim oleh akun barmazi@hotmail,com dengan subject:

KARCIS SURGA

Loket-loket itu kini penjaganya angkuh
Hanya beri tiket untuk sebuah jalan kematian
Gunung, hutan dan lautan sudah tak lagi berwajah
Masjidku jauh, gereja adalah tetanggaku, dan candi ada di tanah air
Maka di jejeran bangku-bangku gereja itu aku bertasbih
Mengalirkan air mata penyesalan memerah dendam
Kitab suciku beberapa halamannya sudah bertanggalan
Tapi aku masih percaya
Tuhan masih menantiku
Mesti jalanku bukan jalan kematian.

Terasa memang ada perbedaan dari sisi kualitas. Tetapi dalam “aturan” tak tertulis dunia persilatan milis: semua diterima dan semua berhak tampil. Tak ada penguasa mutu. Tak ada penjaga yang sok berkuasa atas kualitas karya. Milis itu medan yang terlalu luas untuk bersikap puritan terhadap karya-karya sajak.

Dan dari adanya keragaman mutu itulah kelebihan lain sebuah milis ambil peranan, yakni sebagai piranti yang sangat sangkil-mangkus untuk saling belajar. Karakter milis yang serta-merta dan serentak tak perlu membuat sang penulis menunggu lama untuk mendulang respon pembaca. Kritik dan pujian bisa ia baca beberapa saat seusai mengirim karya, jika memang ada yang berniat melakukan itu. Dalam sastra koran, respon ini baru bisa terbaca berpekan kemudian.

Milis juga memungkinkan terciptanya sebuah karya kolaboratif yang berlangsung dengan intens. Sebuah puisi yang diposting, bisa memancing inspsirasi pembaca untuk meresponnya dengan puisi pula. Atau bahkan ia meneruskan puisi terdahulu dengan bait-bait baru sesuai impuls yang muncul dalam dirinya. Saling respon itu bisa berupa duet saja (hanya aksi-reaksi dua penyair) bisa pula lebih. Hal semacam ini pernah terjadi di milis Penyair dengan melibatkan banyak penulis, sehingga akhirnya tercipta puisi yang sangat panjang.

Apa yang terjadi di ruang maya itulah kemudian dibawa kembali ke “ruang nyata” lewat penerbitan antologi Grafiti Gratitude. Pada pengantarnya, penyair Medy Loekito, Ketua Yayasan Multimedia Sastra (YMS), menulis bahwa penerbitan antologi ini untuk membuktikan adanya sinergi positip antar netizen yang multi etnis, multi ideologi, multi disiplin, dan banyak multi lainnya. Ditegaskan bahwa dunia maya yang identik dengan lahan pergerakkan teknologi internet, menyediakan berbagai kemungkinan bagi masa depan peradaban. Adalah penting untuk meletakkan rasa saling percaya antar anggota komunitas yang sifatnya antara ada dan tiada.

Tetapi menyandang sebutan “sastra cyber” –yang juga ditabalkan pada sampul buku—, pada saat yang sama adalah beban yang menumbuhkan tuntutan tersendiri. Kritik kemudian meluncur dengan pijakan identitas tersebut: Lalu apa bedanya sastra cyber dengan sastra koran jika pada akhirnya dinyatakan kepada khlayak juga lewat penerbitan buku (konvensional)? Kenapa tidak ada ekplorasi atas berbagai kemungkinan yang disediakan dalam dunia siber?

 

Cyberpuitika: Sebuah uji coba

Ada atau tanpa kritik tersebut, YMS akhirnya memang maju selangkah lagi lewat proyek Cyberpuitika (2002). Hasil akhir dari antologi ini adalah berupa karya puisi yang ditafsirkan menjadi tampilan gerak dan animasi dengan memanfaatkan aplikasi power point. Antologi yang dikemas dalam format compact disc ini memuat 169 karya dari 55 penyair. Ingat, ini berlangsung pada 2001 hingga Agustus 2002 (saat antologi diluncurkan) dimana teknologi aplikasi komputer, dan media sosial belum berkembang sepesat hari ini.

Gagasan utama dari proyek ini adalah mendaya gunakan sejauh mungkin peluang yang tersedia dalam dunia maya dan teknologi informasi, untuk menjelajah kemungkinan ekspresi baru dalam sastra (khususnya puisi). Hal itu coba dilakukan pada seluruh titik proses kreatif berkarya, yakni mulai dari memungut inspirasi hinga proses eksekusi. Dan semua komunikasi ini lagi-lagi dilakukan lewat jaringan internet (milis dan situs).

Ringkasnya, peminat akan menulis puisi berdasar tafsiran atas karya foto, lukis, dan musik yang telah disiapkan. Ada sejumlah seniman dan kreator papan atas yang menyediakan karyanya untuk kepentingan ini. Mereka adalah: Jeihan, Herry Dim, Popo Iskandar (lukis), Erik Prasetya dan Rasdian Vidan (foto), serta Iwan Hasan, Dotty Nugroho, dan Sapto Rahardjo (musik). Karya mereka dipasang di situs Cybersastra.net dan dapat disimak siapa saja.

Lalu penyair melakukan proses penafsiran dan pengendapan atas karya-karya tersebut yang tentu akan sangat personal. Begitu juga saat ia menuliskannya ke dalam sajak-sajak. Teks puisi yang ia tuliskan kemudian ditafsirkan menjadi gerak/animasi dengan program power point—bisa dia lakukan  sendiri atau dikerjakan penyair lain yang memiliki kemampuan mengunakan  aplikasi tersebut. Semuanya lalu dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah CD yang diberi judul: Cyberpuitika, Antologi Puisi Digital.

Akmal Nassery Bassal pernah menyusun makalah mengenai sastra digital dan mengambil salah satu karya dari Cyberpuitika untuk membuka tulisannya. Dia mencatat begini: Deretan alfabet tiba-tiba bermunculan di layar kosong, bersekutu menyusun kata, membangun kalimat. Bunyi gitar akustik terdengar lembut-lamat. Kemudian foto hitam putih tampil: anak jalanan dekil menatap sebuah mobil gemerlap. Aksara demi aksara kembali berjumpalitan di layar, sebelum bergerak menuju permukaan gambar. Itulah “penampilan” puisi Berpikir Bui karya A. Richa Amalia yang ditulis berdasar tafsir atas foto hasil jepretan Erik Prasetya.

Ya, menikmati puisi digital,  –dengan perangkat komputer, tentu, karena dikemas dalam bentuk compact disc— adalah menyimak perayaan diksi hingga bait-bait yang telah didekonstruksi sebagai cara baru bereskpresi. Di layar monitor, abjad-abjad akan terlihat berloncatan atau melayang. Bait diurai dan tercerai berai untuk kemudian kembali berhimpun.

Suara-suara mengiringi munculnya kata, demikian juga dengan lenyapnya. Suara bisa diganti foto dan lukisan, bisa pula semuanya tampil untuk mewakili ekspresi penyairnya. Dalam puisi digital  sajak dinyatakan tidak dengan pengucapan, tetapi dengan sejuta  cara yang dimungkinkan lewat aplikasi power point.

Kemunculan antologi ini lalu menimbulkan polemik panjang di dunia maya maupun media cetak. Poros utama perdebatannya adalah apakah hasil akhir dari karya ini masih bisa disebut puisi yang secara konvensional berbasis teks itu? Jika ini diparapi sebagai puisi digital, maka dimanakah batas “spesies’ baru tersebut?

Seluruh materi perdebatan itu dapat dimengerti karena betapa pun Cyberpuitika adalah benih bagi penjelajahan baru dalam sastra. Dan ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, karena pada saat itu hal serupa juga terjadi di belahan dunia lain, kumplit dengan polemiknya.

Salah satu ikhtiar untuk memahami puisi digital dilakukan Jorge Luis Antonio (2001) yang menulis bahwa puisi digital dapat dilihat dalam dua hal pokok, yakni citraan yang dipenuhi grafis, bayangan bergerak, dan bunyi. Juga penggunaan semaksimal mungkin fasilitas komputer seperti interaktivity, hypertekstuality, hypermedia, dan interface.

Tomita Prakosa, yang bertindak selaku manajer proyek Cyberpuitika, 10 tahun setelah proyek ini, menuliskan catatatannya: Sebagai sebuah konsep ekspresi untuk mengeksplorasi media nir-kertas, maka cyberpuitika masih relevan dan belum usang. Bahkan jangan-jangan ini semua dapat mengarah seni dalam pengertian yang luas, yakni menuju bentuk ekpresi seni baru (Tomita Prakosa, 2012).

***

Saya kira kedua antologi tersebut telah menjalani darmanya dengan baik, yakni menjadikan diri sebagai pijakan untuk penjelajahan sastra multimedia yang lebih jauh. Teknologi telah berhasil diakrabi, untuk bersama-sama mencoba kemungkinan-kemungkinan baru dalam sastra. Tentu ini bukan satu-satunya rute, karena multimedia adalah padang yang begitu luas dan siapa saja bisa menapakkan kakinya di sana.

Bagi saya hanya ada satu aturan dalam dunia sastra: tak berhenti melangkah, atau mati!

—–

* Tulus Wijanarko. Lahir 29 Juni 1966 di Sukoharjo, Jawa Tengah. Sudah menerbitkan dua antologi puisi tunggal, Malam, dengan Sebuah Tanda (2007), Surat Tantangan, Fragmen-fragmen yang Tak Pernah Engkau Kira (2014) dan sebuah manuskrip Perca Ingatan dan Ruang Tunggu Kota (2021). Mengikut sertakan karyanya ke beberapa antologi bersama, dan mengikuti beberapa acara pertamuan penyair, antara lain, di Jakarta, Ternate, Bengkulu, Bekasi dan Padang Panjang (Sumatera Barat).  Kegiatan lain adalah aktif di dunia jurnalistik dan mengelola akun “Sastra N Perjalanan” di YouTube yang memuat konten sastra dan catatan perjalanan