Menyambut Sepuluh Windu HB X dalam Tahun Jawa: Wawancara dan Wacana: 1989-2023
Oleh: Seno Gumira Ajidarma
Memasuki bulan November 2023, tepatnya pada tanggal 25, menurut hitungan tahun Jawa, usia Sri Sultan Hamengkubuwana X mencapai sepuluh windu. Berikut adalah sebentuk mangayu bagya alias ikut merayakan, dengan cara yang sedikit diskursif: perbandingan antara cuplikan wawancara menjelang penobatan pada 1989, dan wacana dengan topik serupa (termasuk suksesi), tahun-tahun belakangan.
Sri Sultan Hamengkubuwana X dinobatkan pada 7 Maret 1989, artinya ketika saya sebagai wartawan, bersama rekan Titi Yulianti, mewawancarainya untuk Majalah Berita Bergambar Jakarta Jakarta pada akhir Januari tahun yang sama, statusnya masih seorang putra mahkota bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram.
Betapapun, posisi menjelang dinobatkan membuatnya seperti beberapa langkah lebih maju dari status tersebut. Bukan karena ayahandanya, Sri Sultan Hamengkubuwana IX, sudah mangkat, melainkan karena sebagai pengganti perlu bersikap antisipatif ketika menjawab pertanyaan tentang beberapa kebijakan, sebagai sultan di keraton yang sama, tetapi pada masa yang sama sekali berbeda.
Berjarak sekitar 34 tahun dari wawancara tersebut, mungkin menarik untuk membandingkan dengan wacana yang berlangsung kemudian, dalam berbagai topik yang saya tanyakan—dan pembaca budimanlah yang tersila berwacana setelahnya.
Saat itu Bendara Raden Mas Herjuno Darpito (nama lahirnya, dan khalayak belum ada satupun yang mengucap “HB X”) berusia 43, saya sendiri 31, dan obrolan kami pada suatu senja di bilangan Timoho, Yogyakarta, yang masih banyak sawahnya itu lumayan lama.
Berikut sejumlah cuplikan, yang demi kelancaran pembacaan telah disunting Hamzah Muhammad sebelum saya susun kembali.
Wawancara 1989: Keraton dan Dunia Luar
Apakah yang akan Anda lakukan sebagai sultan yang baru?
Saya belum bisa mengamati. Hanya mungkin seberapa jauh kondisi keluarga dan aturan yang ada, mendukung seluruh keluarga tetap berperan dalam perkembangan situasi yang kini berbeda. Untungnya rata-rata saudara saya menikmati kebebasan dibanding saudara Bapak. Tidak lebih banyak problem daripada angkatan terdahulu. Masalahnya, seberapa jauh saudara saya melihat bahwa kondisi internal dan eksternal cenderung sama.
Apakah masalah yang paling mendesak untuk segera ditangani?
Sebetulnya yang paling urgen tidak ada. Bagaimanapun Bapak sudah mengambil kebijakan-kebijakan keraton dengan dunia luar, yang saya kira membawa suasana baik secara internal dan eksternal. Jadi, sekarang dibutuhkan konsolidasi terarah. Saya kira hanya itu. Tidak ada kebijakan strategis sebagai suatu kebijakan, sebab ketentuan-ketentuan yang ada saat ini tidak mungkin.
Tugas Anda sebagai sultan sebetulnya apa?
Yang paling pokok, untuk kepentingan intern. Situasi sekarang berbeda. Dulu ada faktor kekuasaan, terkait kewilayahan. Sekarang cenderung tidak ada. Faktor tersebut masalahnya hanya menyangkut pelestarian nilai-nilai yang dituakan, kendati partisipasi eksternalnya tidak ada. Mestinya nilai-nilai yang ada tidak sekadar dipertahankan, tapi kondisi keturunan pun diperhatikan. Toh mayoritas mereka bergaul di masyarakat. Bagaimana mereka berperan? Paling sedikit, secara filosofis, karakter dan sifat ksatrianya harus bersih dari kepentingan. Paling tidak menjiwai, bukan dalam pengertian performance.
Sudah jelas sekarang, seorang sultan tidak lagi seorang penguasa dari Yogya, mungkin itu tidak sepenuhnya hilang, setidak-tidaknya dalam clan. Hak-hak perintah dan hak-hak kuasa macam apa yang masih Anda punyai?
Ya, hanya cukup internal saja. Bukan pada faktor eksternal karena faktor kewenangan HB IX sudah dilimpahkan, disumbangkan ke pemerintah RI sewaktu menyatakan dukungan untuk Republik. Jadi sebetulnya DIY memberi andil pada negara tidak sekadar perjuangan rakyat, tapi juga penyerahan dua wilayah Kesultanan dan Pakualaman kepada negara, termasuk jiwa dan raga.
Lalu fungsi keraton?
Sebagai lembaga yang punya tradisi, untuk dilestarikan. Biarpun kami mesti menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Hanya itu. Sebagai pusat kebudayaan Jawa yang pengelolaan dan pengembangannya tidak bergantung pada perkembangan masyarakat atau aktivitas keraton sendiri.
Semacam teknis pengelolaannya bagaimana?
Kalau saya ya, tidak mesti apa-apa harus dilaporkan ke keraton, dari segi budaya, yang namanya tari tradisional, kan sudah dikembangkan lembaga pendidikan Institut Seni Indonesia (ISI) atau Konservatori Tari (Konri). Nah, paling tidak, kita bisa tetap support masalah semacam itu, biarpun mungkin pelakunya bukan dari kalangan keraton. Tapi dari kondisi yang sudah ada di luar, bagaimanapun bisa tetap punya konteks komunikasi. Kondisi di internal dipertahankan karena punya ciri-ciri tersendiri. Gaya Yogya dengan Solo, kan juga berbeda.
Sekarang ini apakah keraton masih punya empu-empunya?
Masih, karena memang sebagian juga masih mengajar di Konri dan ISI. Di sana sih tidak ada masalah.
Wacana 2021: Kurikulum Muatan Lokal
HB X mengelaborasi urgensi pendidikan karakter berbasis budaya lokal. Pendidikan karakter selama ini belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap pesatnya perubahan. Implementasinya tidak bisa berjalan optimal, oleh kurang terampilnya para guru memasukkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Sekolah terlalu fokus mengejar target akademik, khususnya agar lulus Ujian Nasional (UN). Perlu re-formulasi dan re-operasionalisasi melalui transformasi budaya dan kehidupan satuan pendidikan. Perlu lebih diajarkan aspek kecakapan hidup (soft skills) yang non-akademik sebagai unsur utama pendidikan karakter.
Kurikulum Muatan Lokal disusun berdasarkan kebutuhan daerah yang sesuai lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi lokal, serta kebutuhan pembangunan daerah dalam mata ajar yang berdiri sendiri. Sri Sultan Hamengkubuwono X (HB X) meletakkan broad-based education, bahkan broad-based curriculum, dengan memasukkan materi lokal, sehingga ekosistemnya pun menjadi lebih luas dan merata ke seantero Nusantara, dengan karakteristik budaya khasnya masing-masing.
Keraton membantu lembaga-lembaga pendidikan, dengan mengizinkan pemanfaatan Sultan Ground (SG) untuk banyak kampus. Seperti ketika Keraton mendukung Universitas Gadjah Mada sejak awal berdirinya, dengan menyediakan aset-aset lahan dan gedung untuk kampus yang kini bukan saja dikenal di tanah air, melainkan juga menduduki peringkat cukup bergengsi di Asia Tenggara, dan bahkan Asia dan global. Dukungan Keraton terhadap kampus ini terus berlanjut dan melekat pada Sultan.[1]
Wawancara 1989: Perbendaharaan Budaya yang Diangkut Raffles
Tabu-tabu seperti tari sakral, yang tidak boleh ditarikan di luar keraton, masih berlaku tidak?
Sebetulnya keraton Yogya tidak mengenal tari sakral. Misalnya, dulu Lawung sakral, tapi nyatanya masyarakat menganggap itu perlu dilihat. Hanya mungkin memang ada tarian-tarian tertentu, yang mungkin susah dilacak. Dalam arti dulu mungkin pernah ada, tapi sekarang tidak dikembangkan lagi. Mungkin ada. Tapi masalah ini agak susah karena buku-bukunya banyak yang dibawa Raffles.
Buku-buku keraton?
Ya.
Ada usaha Anda untuk mendapatkan atau setidak-tidaknya mereproduksi?
Kami mencoba, tapi saya dengar buku-buku tersebut tidak disimpan di museum, namun sebagai koleksi pribadi. Sekarang milik ahli warisnya Raffles.
Misalnya buku apa?
Buku kebudayaan, dulu kan banyak yang dibawa. Sebagian ada yang tenggelam di Singapura, sebagian ada yang tidak ada. Tapi kita sudah tidak tahu pasti apa saja.
Yang sudah Anda lihat apa saja? Banyakkah perbendaharaan ilmu dan budaya yang belum terungkap?
Kalau menyangkut masalah itu, kami coba terjemahkan, karena bahasa Jawanya tidak seperti bahasa Jawa Hanacaraka sekarang. Australia dan Amerika coba memikrofilmkan, tapi dengan mikro film kita harap buku-buku itu tidak dibuka lagi karena mudah rusak. Dengan mikro film kita publikasikan, entah bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Harapannya kita lebih mudah untuk memahami.
Wacana 2008: Kewenangan dan Hak Veto
Dalam bidang kebudayaan kewenangan tersebut meliputi kewenangan penuh dalam mengatur dan mengurus pelestarian, serta pembaharuan aset dan nilai-nilai budaya Jawa pada umumnya, dan Yogyakarta khususnya.
Sedangkan dalam bidang pertanahan, kewenangan istimewa meliputi kewenangan mengatur dan mengurus kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond. Dalam kaitannya dengan kewenangan dalam bidang pertanahan di atas, Sri Sultan dan Paku Alam sebagai Parardhya Keistimewaan memiliki kewenangan dalam memberikan arah umum kebijakan, pertimbangan, persetujuan dan veto terhadap rancangan Peraturan Daerah Istimewa yang diajukan DPRD dan Gubernur dan atau Peraturan Daerah Istimewa yang berlaku.
Kewenangan ini juga berlaku dalam bidang penataan ruang. Kewenangan Parardhya juga menjangkau Perda yang terkait dengan kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang yang dihasilkan oleh pemerintah kabupaten dan kota di lingkungan DIY. Kewenangan dalam bidang pertanahan juga diwujudkan melalui pengakuan atas status hukum Kasultanan dan Pakualaman dalam bentuk Badan Hukum Kebudayaan yang memiliki hak milik atas tanah dan aset lainnya.[2]
Wawancara 1989: Sultan dalam Persiapan
Kalau mengenai karier Anda pribadi, bagaimana hubungannya dengan kedudukan sebagai sultan?
Saya kira tidak ada masalah.
Apa betul-betul bisa dipisahkan?
Ya, kita coba, kita coba! Sekarang sebetulnya itu terserah dua pihak, dalam arti tergantung saya yang coba memisahkan, tergantung juga masyarakat.dan teman-teman yang berada di organisasi, baik Kadin maupun Golkar untuk bisa melihat sisi yang berbeda. Tidak lepas dari kondisi-kondisi tersebut.
Lalu ketika mulai, misalnya di Golkar atau ketika belajar ilmu hukum, apakah ada kesadaran bahwa kelak akan menjadi sultan?
Tidak. Tapi sejak SMP saya senang berorganisasi. Mungkin pilihan saya, tapi yang jelas kita punya kecenderungan untuk diketahui masyarakat. Terlepas pandangan masyarakat, saya juga ingin mandiri.
Pada waktu pemunculan Anda pada awalnya, tampaknya Anda selalu ada di sisi Sultan HB IX.
Lho itu jelas. Siapa pun juga, lepas dari kondisi apa pun juga, tidak mungkin kalau terus punya sosok sendiri. Itu tidak mungkin. Siapa pun juga. Tidak mungkin. Karena masih hijau tidak punya pengalaman dan sebagainya, kok sudah akan punya sosok. Sebagai individu, saya kira tidak mungkin.
Tapi seakan-akan Sultan memang sengaja mempersiapkan Anda begitu, lain dengan putra-putra yang lain.
Ya, mungkin juga. Tapi lepas dari kondisi itu saya tidak mau kalau dalam bayang-bayang terus.
Tapi Anda sadar, merasa dipersiapkan tidak?
Kalau menyadari dipersiapkan dan tidaknya, bagi saya di hati kecil ada, tapi yang penting adalah saya bisa membatasinya seminimal mungkin. Dalam suatu aktivitas seseorang itu jangan sampai terlalu diwarnai campur tangan orang tua. Itu kan tergantung kesepakatan antara si anak dan orang tua, ya toh? Misalnya, kalau bisa jangan pakai surat orang tua. Dibatasi munculnya, jangan ngomong sama orang, supaya anak saya di-anu-kan. Itu kan salah satu hal yang cenderung bisa dibatasi, sehingga lepas dari kondisi munculnya bagaimana, tapi paling sedikit kan tanggung jawab moril bagi saya sendiri sudah ada. Kalau dari awal sudah terlalu banyak campur tangan, otomatis di dalam sosok penampilan, entah mampu entah tidak, orang juga ngomongnya akan lain.
Secara eksplisit persiapan itu dinyatakan oleh HB IX tidak?
Saya kira mesti ada. Tidak mungkin orang tua itu diharapkan anaknya sebaliknya. Hanya masalahnya, batas-batas yang kira-kira dianggap tidak menumbuhkan suatu estimate yang sebaliknya perlu disadari. Ini kan tergantung pola approach kita sendiri sama orang tua.
Dengan kata lain memang dipersiapkan?
Ya, bagi saya memang demikian. Tapi dalam pengertian ‘dipersiapkan’ orang tua juga tidak terlalu dominan mewarnai.
Yang Anda rasakan, seperti apa pola persiapan itu?
Saya anggota DPRD DIY, DPD Golkar dan sebagainya. Kita harap mereka menyadari, merekrut atau memilih saya, ya toh. Orang tua tidak perlu ikut campur tangan menyangkut masalah itu, lepas dari mereka menganggap saya itu sosok. Ya, melihat saya sendiri atau anak siapa, itu urusan dia. Tapi bagi saya sangat problematis, mereka mungkin punya pertimbangan orang tua saya masih intervensi, supaya yang jadi ketua anak saya, misalnya gitu. Itu yang sama sekali kita hindari.
Sebetulnya ketika masuk itu atas inisiatif Anda sendiri?
Ndak. Dari pimpinan DPD Golkar pada waktu itu. Sesudah Pemilu 1977 saya banyak berada di Yogya, sebelumnya di Yogya-Jakarta terus. Tepatnya, saya diminta DPD Golkar masuk menjadi anggota DPRD.
Tentang hal itu apakah ada semacam dialog dengan Ayahanda?
Ya jelas. Setiap saya ke Jakarta, saya luangkan waktu untuk berkomunikasi, dalam arti ingin mengetahui dan mengkorek pengalaman beliau dengan tantangan yang ada. Dan saya juga ingin mengemukakan pendapat, bukan karena ingin menggurui, tapi seberapa jauh saya bisa mengembangkan kemampuan. Saya ingin mencari pengalaman tidak hanya dari kerja, tapi mencoba dari sisi-sisi lain yang diperlukan.
Apa ada sesuatu yang bisa dibagi untuk orang banyak?
Masalahnya banyak sih, barangkali seperti internal keluarga atau yang berkaitan karier politik dan kemasyarakatan. Politik, kemasyarakatan, dan sebagainya kan relevan, tidak terpisah-pisah. Tapi yang penting punya keberanian mengeluarkan pendapat, dengan kekurangan yang ada, dan keberanian untuk menyerap pandangan-pandangan beliau.
Wacana 2014: Among Tani Dagang Layar
Menurut HB X pengertian Among Tani Dagang Layar terdiri atas tiga pengertian, yaitu (1) pembangunan daratan beralih ke lautan, (2) menjadikan pantai selatan sebagai halaman depan, dan (3) mengenalkan kepada masyarakat akan budaya perikanan.
Ditujukan untuk penguatan ‘among-tani’ menjadi sektor agribisnis modern sebagai tulang punggung ‘ dagang layar’ baik perikanan darat, maupun perikanan laut, dan jasa, perdagangan, berikut industri pengolahannya. Kedua sektor itu, ‘among tani’ dan ‘dagang layar’ harus memiliki etos budaya kerja ‘dagang layar’ yang dinamis-eksploratif, bersifat industrious.
Among tani dan dagang layar sejak abad ke-8 telah hidup berdampingan, sehingga apabila hal tersebut menjadi tulang punggung memang telah menjadi ruh budaya kita. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya jangkar di Bengawan Solo serta tergambar pada relief-relief Candi Borobudur.
Surplus beras kita itu sebenarnya telah terjadi sejak zaman Kerajaan Majapahit, hal ini dibuktikan dalam prasasti Ujung Galuh yang ada di Muara Tuban, bahkan waktu itu Majapahit sempat ekspor beras di masa Majapahit mengembangkan Dagang layar.
Menyangkut mengenai amongtani-daganglayar ditunjukkan dengan kemajuan teknologi pertanian, sehingga kombinasi amongtani-daganglayar ini sangat harmonis mengingat waktu itu Majapahitlah negara yang menjadi agromaritim yang nyata-nyata jelas telah membuktikan antara pertanian dan perdagangan dapat beriringan dan bersama-sama diwujudkan.[3]
Wawancara 1989: Enak dan Tidak Enaknya Menjadi Anak Sultan
Anda lahir sebagai putra raja di keraton, apa enak dan tidak enaknya menjadi putra Sri Sultan itu?
Enak dan tidak enak sangat relatif. Kan saya lahirnya sesudah merdeka, tidak merasakan — kasarannya — kejayaan keraton waktu dulu. Sejak kecil, sekolah sudah di luar, SD dan SMP sampai perguruan tinggi. Bisa dikatakan 90% bergaul dengan masyarakat. Begitu lahir juga harus di luar keraton, karena di Yogya ada ketentuan, sesudah kawin harus ke luar. Jadi sebetulnya saya sendiri tidak pernah punya masalah/gap bergaul dengan mereka. Seringnya justru saya malah banyak problem. Cara menghargai orang itu sering berbeda-beda, misalnya, teman satu kelas bergaul dengan saya secara bebas. Tapi kalau kebetulan orang yang lebih tua menghargai asal-usul saya, dia lebih serve terus menghargai dengan basa laama (bahasa Jawa halus), itu kan gap sendiri.
Bagaimana cara Anda menghadapi itu?
Lha bagi saya basa ya basa, tapi dengan pola seperti itu kan ada gap tersendiri. Daripada punya gap, lebih baik saya dengan teman sekelas dan orang tua menggunakan bahasa Indonesia.
Sejak kapan kesadaran itu?
Kira-kira, dalam pergaulan SMP dan SMA lebih kelihatan karena saya punya aktivitas organisasi. Otomatis dari kondisi semacam itu paling sedikit pola pergaulan kan sudah berbeda. Saya juga banyak aktivitas bermasyarakat, keolahragaan, sehingga banyak menemukan kondisi-kondisi berbeda antara orang tua dan yang muda.
Tapi itu tetap ada masalah teknis, misalnya terirna rapot, orang tua datang, dalam hal itu pengalaman Anda bagaimana?
Orang tua jarang datang karena ada wali yang melaksanakan.
Tapi, seperti gurunya, pernah nggak, mereka itu sungkan misalnya?
Tidak, saya tidak melihat ada suatu gap.
Tapi Anda pernah merasa diistimewakan?
Tidak, saya kira tidak. Saya dapat angka merah.
Kapan muncul kesadaran bahwa Anda berbeda dengan “Rakyat”?
Saya tidak merasa karena sudah dari awal orang tua dan saudara-saudara saya tidak ada gap. Tapi seringnya masyarakat membuat gap, dalam cara menghargai, bukan untuk menghambat komunikasi. Hanya cara menghargai antara yang tua dan yang muda. Jadi, kita tidak ada masalah dengan yang muda, karena tidak ada gap. Kecuali kalau datang ke rumah, saya harus pakai kain, ya mungkin itu problem terbesarnya. Tapi Bapak waktu itu membebaskan teman masuk ke rumah dengan pakaian seadanya. Jadi tidak pernah kami mengalami suasana yang berbeda antara di luar dan di dalam. Setiap saat kami, orang tua, bisa menerima teman, saya pergi ke luar juga tidak ada hambatan, asal pamit dengan orang tua, tapi tidak pernah ada gap yang menghambat pergaulan.
Sebagai laki-laki mungkin sering agak ugal-ugalan atau berandalan, dalam hal ini anda bebas melakukannya?
Ya, itu biasa, dalam perkembangan remaja punya kelompok tertentu. Hal yang sudah dialami saya dan saudara-saudara saya.
Anda main band atau apa?
Kalau main band tidak, saya tidak bisa nyanyi soalnya.
Jadi bentuknya apa?
Olah raga atau seni tari.
Bisa menceritakan masa kecil secara mendetail?
Sebetulnya saya tidak punya peluang untuk membandingkan, antara kondisi keraton dulu dan sekarang, bagi saya sangat sulit untuk merasakannya. Bedane nggon apa to? Itu susah, karena dari awal memang bebas. Kecuali kalau seperti zaman dulu, saya sering dapat cerita, saudara-saudara Bapak untuk ketemu orang tuanya sendiri. Harus lapor karena pintunya hanya satu. Jika boleh lalu masuk ke Keputren. Tapi zaman saya, tidak pernah seperti itu, karena Bapak membuat pintu lain yang setiap saat dibuka sehingga tidak perlu lewat piket jika akan masuk. Jadi saya merasakan seperti kehidupan rumah tangga biasa.
Ketika dewasa ada beban mental tidak? Bagaimanapun kan anak Sultan?
Lha itu kan menyangkut masalah sikap. Tapi dalam pergaulan sebetulnya tidak ada gap. Kita mencoba karena orang-orang tertentu sering membuat jarak, mungkin dalam pengertian menghargai. Berarti inisiatif harus muncul dari kita dulu. Dalam arti, mungkin dia ingin komunikasi atau dekat dengan saya tapi mungkin sungkan. Otomatis ndak ada alternatif, kecuali saya yang harus mengambil inisiatif dulu. Mungkin kalau tidak, dia akan ragu.
Seperti menyelesaikan kuliah yang agak panjang. Apa ada pikiran waktu itu, karena pantasnya sebagai orang yang dijagokan, sebaiknya selesai, begitu?
Sebetulnya saya hanya punya pandangan, begitu selesai sarjana, kehidupan bermasyarakat sudah saya pegang, dalam arti saya beranggapan sangat jadi problem kalau saya sebagai sarjana terjun di masyarakat ndak tahu apa-apa. Sehingga saya melakukan dua aktivitas, menyelesaikan sekolah tapi juga bergaul dalam masyarakat, karena mungkin saya dominan mandiri. Bapak pada waktu itu mengingatkan, tidak mungkin dalam suatu kondisi seperti itu saya bisa menyelesaikan sekolah dan punya pengalaman untuk sendiri. Salah satu mesti ada yang jadi korban.
Itu sebabnya lulusnya agak lama?
Ya, memang begitu. Tapi saya tetap punya pilihan bahwa kemandirian mutlak saya perlukan.
Tentang Hukum itu secara kebetulan atau memang sudah pilihan?
Sebetulnya saya orang bidang sosial. Fakultas Hukum punya visi yang lebih mendalam dari Sospol. Jika ambil jurusan Sospol di sini, tingkat satu kan sudah ada jurusannya. Tapi kalau fakultas Hukum di sini sifatnya umum. Baru nanti skripsinya ambil jurusan yang dianggap memenuhi syarat angkanya.
Apa tesis Anda dulu?
Pemerintahan.
Kenapa tertarik pada topik itu?
Ya, kebetulan mungkin angkanya yang memenuhi syarat.
Tidak ada alasan khusus?
Soalnya pada waktu itu mata pelajaran Hukum Pidana hanya dapat nilai enam. Kan tidak bisa. Kebetulan di pelajaran Pemerintahan angka tujuh. Ya mau tidak mau peluangnya di situ.
Tidak ada pikiran untuk S2 atau S3?
Sebetulnya juga ingin, tetapi sudah lain ya…
Wacana 2019: Peran Tanah dalam Kebangkitan Aristokrat
Setelah menganalisis Kesultanan Yogyakarta secara detail, sebuah tesis menguji apakah temuan yang diperoleh dari kasus ini berlaku di daerah lain. Ditemukan bahwa tingkat penguasaan tanah juga menentukan hasil kampanye kebangkitan aristokrat di Ubud, Ternate, Gowa, dan Palembang. Dalam dua kasus pertama, aristokrasi mempertahankan beberapa bentuk penguasaan tanah setelah tahun 1960, yang memungkinkan mereka muncul sebagai aktor yang cukup kuat pada era pasca-Suharto. Dua yang terakhir, sebaliknya, gagal memberikan dampak karena basis tanah Kesultanan telah dihancurkan baik selama periode kolonial atau melalui reformasi tanah.
Tesis ini menyoroti peran sentral tanah sebagai sumber daya politik yang tersedia (atau tidak tersedia) bagi aristokrasi setelah tahun 1998. Perspektif ini, pada gilirannya, menambah nuansa signifikan pada literatur tentang politik aristokrat yang sering didominasi oleh studi antropologi di kontrol mistis, religius, atau spiritual para bangsawan atas bekas rakyat mereka.[4]
Wawancara 1989: Tentang Beringin yang Tumbang
Anda senang wayang?
Senang.
Hafal lakon wayang?
Bukan lakon, tapi filosofis. Bagi saya Pendawa Lima yang paling komplet. Puntadewa simbol Ketuhanan Yang Maha Esa, Werkudoro simbol kekuatan kebenaran. Tanaka simbol kebijakan, sedang Nakula simbol loyalitas dan adil. Jika salah satu hilang tidak bisa genap. Misalnya, kalau Pancasila salah satunya hilang, ya ndak genap.
Sering nonton wayang kulit?
Sering.
Di Keraton sering?
Sering, setahun tiga kali.
Itu mempengaruhi sikap kehidupan Anda sehari-hari?
Saya kira itu tergantung menafsirkan ceritanya sendiri atau arti filosofis yang terkandung di dalam lakon itu.
Siapa dalang favorit Anda?
Dalang dilihat dari sisi mana? Misal sekarang yang populer kan Gito, dari sisi generasi muda dia komunikatif. Tapi dari sisi bahasa yang genep itu sebetulnya Timbul. Untuk suatu figur saya tidak begitu… Semua ada kelebihan dan kelemahannya.
Sekarang masih sempat nonton?
Setiap malam di radio swasta kan mesti ada. Sambil akan tidur saya mendengarkan. Itu sudah kebiasaan. Kalau tidak rasanya ra genep (tidak genap).
Kalau yang agak modern, misalnya musik jazz atau apa?
Kalau istri saya senang musik, tapi saya tidak. Sudah kebacut (terlanjur) senang gamelan. Maka sering ribut kalau mau pergi tidur. Acara bagus-bagus diganti, cari wayang.
Masalah beringin yang roboh mengganggu Anda tidak?
Tidak, ya mungkin kebetulan saja, dipikir-pikir repot.
Katanya tepat hari ke-40 ada ular di keputren, tepat 100 hari beringin roboh, kan orang tua biasanya selalu memasalahkan itu?
Ya, memasalahkan, tapi juga kira-kira. Beringin itu memang sudah ada sejak HB I, sudah 200 tahun lebih, jelas sudah kropos. Apalagi di bawahnya ada gelandangan yang masak di situ, kan logis pohon itu rusak?
Wacana 2019-2020-2021: Kebijakan Diskretif Bagi Konflik
Terdapat dinamika suksesi pemerintahan raja di keraton Yogyakarta, yang memasuki masa krisis karena tidak adanya penerus raja laki-laki. Munculnya wacana permaisuri yang menggema di keraton Yogyakarta sejak 2010 silam, memicu ketegangan baru bagi kerabat keraton. Diskusi ini terus berkembang. Perkataan raja yang dikumandangkan Sultan HB X dengan dalih gender menjadi ambisi politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Menggunakan metode (ilmu) sejarah untuk menjawab permasalahan, tercatat bahwa dalam setiap pergantian rezim di Keraton Yogyakarta, selalu diikuti konflik perebutan tahta yang berdampak pada masyarakat di luar keraton, seperti pecahnya Mataram Islam menjadi empat kerajaan. Saat itu, masyarakat ikut serta dalam peperangan regional. Dampak ini muncul karena adanya keinginan dari setiap keturunan raja yang merasa berhak untuk menjadi raja berikutnya. [5]
Dalam pengamatan lain, disebut tiada mekanisme penyelesaian sengketa di dalam keraton serta tidak ada institusi resmi yang dapat memutus dan menyelesaikan sengketa tersbut. Hingga saat ini hanya menerapkan hukum adat atau paugeran (ketentuan) adat yang mengizinkan perempuan mengambil alih tahta dan menjadi sultanah sekaligus gubernur. [6]
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat konflik suksesi pada kerajaan-kerajaan yang tidak memiliki keturunan laki-laki. Konsekuensinya, diperlukan kebijakan diskretif (bijaksana) untuk mengubah tradisi yang membatasi penerus perempuan. Implikasi teoretisnya adalah bahwa teori aristokrasi tidak dapat diterapkan pada semua kerajaan. Pembuat kebijakan dalam sistem monarki perlu menyiapkan kebijakan diskretif, untuk meminimalkan konflik selama suksesi ketika tidak ada keturunan laki-laki. [7]
Wawancara 1989: HB XI dan Pancer
Sekarang Anda menjadi HB X, sementara Anda tidak punya putra laki-laki. Lantas bagaimana untuk menentukan HB XI?
Oh mudah, alternatif banyak. Yang penting kan pancer (anak) laki-laki. Pengertian pancer laki-laki tidak musti harus anak sendiri. Saudara saya banyak. Jadi, itu bukan suatu masalah.
Masalah ke-X kan sudah pasti?
Saya kira pasti, karena demikian keputusannya.
Kalau ke-XI nanti?
Wah, saya tidak tahu. Sebetulnya angka itu hanya untuk membedakan satu dengan yang lain, pada generasi yang berbeda.
Apa tidak mungkin nanti timbul masalah yang lebih rumit, karena pancer itu apa bisa pasti?
Tidak. Dia nanti kan juga punya pancer sendiri. Entah yang menggantikan anak atau saudara saya, kan juga punya pancer sendiri.
Wacana 2015-2019: Petunjuk Langit dan Paugeran Wadon
Pada pertengahan 2015, Sultan HB X mengangkat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, putri sulungnya yang semula bernama Pembayun, sebagai kandidat Raja Keraton Yogyakarta. Namun, jalan puteri mahkota menuju takhta terhambat oleh UU 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pasal 18 ayat (1) huruf (m).
Pasal tersebut menyatakan: “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: (m). menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak.”
Kata “istri” dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta harus berjenis kelamin laki-laki.
Namun berdasarkan Putusan Nomor 88/PUU-XIV/2016, dilakukan permohonan pengujian terhadap pasal 18 ayat 1 huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, bahwa berdasar pada putusan tersebut MK menilai, adanya kata “istri” berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Ketentuan yang berlaku pada pasal tersebut bersifat akumulatif atau dengan kata lain, semua persyaratan yang ada di dalam pasal harus terpenuhi. Sehingga dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menghapus frasa “yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam hal ini perempuan boleh mencalonkan diri sebagai gubernur atau wakil gubernur DIY.
Pada masa kepemimpinan HB I hingga HB VIII, perempuan selalu diposisikan di belakang pria, artinya ada ketidaksetaraan posisi perempuan dibandingkan laki-laki. Kedudukan perempuan mulai berubah ketika Keraton dipimpin oleh HB IX. [8]
Posisi perempuan Jawa memang kerap ditenggelamkan dalam narasi sejarah karena begitu dominannya patriarki dalam feodalisme Jawa. Namun, sifat tersebut seharusnya cukup menjadi relik masa lalu dan tidak menjadi alasan penolakan terhadap kemungkinan munculnya seorang sultan perempuan dalam puncak kekuasaan Jawa modern. Bahkan, keputusan HB X terhadap urusan suksesi tersebut adalah langkah modernisasi yang brilian, selaras dengan nilai-nilai kekinian, setelah sebelumnya menghentikan tradisi poligami dan selir. [9]
Pada 2015, HB X mengeluarkan empat kali Sabda dan Dawuh Raja yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan di Kasultanan Yogyakarta. Tanpa memiliki putra laki-laki, Sultan HB X menunjuk putri sulungnya sebagai penerus takhta yang menganut patrilineal.
Berdasarkan pada teori efektivitas rezim, efektivitas rezim aristokrasi Sultan HB X diuji dari implikasi politik Sabda Raja dan Dawuh Raja. Terbahas, penggunaan petunjuk langit sebagai basis legitimasi politik tidak cukup efektif menciptakan dukungan politik bagi rezim Sultan HB X.
Kondisi ini menjadi ciri melemahnya rezim aristokrasi, tidak hanya di luar lingkungan Kasultanan, tetapi juga ke dalam. Legitimasi mistisisme yang berdasarkan pada petunjuk langit tidak mampu menjadi basis legitimasi di tengah masyarakat yang berubah semakin rasional.
Di lingkup internal, Sabda dan Dawuh Sultan HB X menghilangkan kemampuan Kasultanan untuk memilih pemimpin politik masa depan dan bertentangan dengan paugeran yang selama ini berlangsung. Di luar tembok istana, masyarakat terbelah antara mendukung Sultan dan tantangan budaya, adat, serta sejarah. Di tengah menguatnya posisi politik Kasultanan dalam demokrasi Indonesia, kondisi ini merupakan tantangan terbesar. [10]
Menurut sejarah, kekuasaan raja keraton Yogyakarta merupakan kelanjutan dari kekuasaan Dinasti Mataram Islam. Peraturan hanya mengizinkan laki-laki yang bisa menjadi sultan atau raja.
Dalam analisis tentang bagaimana HB X mengubah tradisi lama yang mengutamakan kepemimpinan laki-laki (warisan Islam), digunakan teori strukturasi Anthony Giddens dan teori konflik Dahrendorf.
Disimpulkan, Sultan memiliki hak istimewa untuk mengubah norma. Struktur signifikansi menemukan kekuasaan raja dominan, karena Sultan memiliki sumber daya budaya, ekonomi (tanah, bangunan, pabrik gula, perusahaan), dan 4.487 orang sebagai abdi kerajaan yang setia.
Kekuasaan raja dalam politik praktisnya, mampu menciptakan struktur baru, untuk merekonstruksi pemerintahan DIY sesuai dengan kekuasaan yang dimilikinya sebagai Gubernur. Sultan mengubah Paugeran Lanang melalui hak istimewanya sebagai raja, dengan menyatakan pernyataan yang disebut Sabda Raja, pada hakekatnya adalah sebagai undang-undang. Raja menyatakan bahwa perempuan dapat menjadi penguasa yang disebut sebagai Sultanah. Sabda Raja terbaru di kerajaan Yogyakarta sebut penelitinya sebagai Paugeran Wadon.[11]
Wawancara 1989: Apakah Anda Memang Ingin Kaya?
Apakah Anda tidak khawatir keraton kelak hanya menjadi tontonan?
Saya kira ini kan tergantung pada seberapa jauh performance kami dan saudara-saudara yang memang tidak punya kekuasaan, hanya peninggalan budaya yang dilestarikan. Tapi paling tidak hal tersebut bisa dipegang masyarakat, khususnya Jawa, bahwa keraton sebagai sumber budaya Jawa dihargai arti filosofis dan simbolisnya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Saya kira selama itulah performance sekecil apa pun juga di masyarakat akan tetap dapat perhatian, asal kita punya penampilan yang memenuhi syarat di mata masyarakat. Kalau ndak ya apa artinya? Sudah ngomong macam-macam tapi masyarakat mengatakan “Ah kamu”. Nah, ini ndak ada artinya kan.
Tapi diam-diam sebetulnya Anda pernah merasa sedih tidak, bahwa masa kejayaan keraton itu telah berlalu?
Saya tidak bisa merasakan kondisi dulu. Tapi kita perlu realistis menghadapi zaman. Saya mungkin kurang bermanfaat mengembangkan keraton. Biarpun mungkin kita menjaga kelestariannya. Saya merasa berterima kasih atas kehadiran masyarakat berbangsa ini yang saling memberi manfaat. Yang tidak bisa mengabdi di sini toh bisa mengabdi di sana. Semua toh untuk kepentingan yang sama. Dalam arti, Yogya ini bukan suatu kerajaan yang terpisah di dalam negara Republik. Jadi, bagi saya tidak apa-apa.
Anda juga bergerak dalam bisnis. Apakah Anda memang ingin kaya?
Masalahnya, dalam pengertian kaya yang bagaimana? Dapur saya ingin berasap itu sudah jelas. Tapi yang penting adalah sekaya-kayanya orang, apakah bisa bermanfaat bagi orang lain. Kalau kaya untuk dirinya sendiri ya payah. Tapi kalau bisa juga ada baiknya. Bikin aktivitas apalah, aktivitas organisasi, olah raga, kemanusiaan atau minta bantuan untuk membuat masjid, gereja, dan lain-lain.
Ada suara, bahwa mungkin saja Anda memanfaatkan posisi dan keraton untuk bisnis yang mungkin pribadi?
Bisnis pribadi saya malah ndak maju, karena bagi saya sangat problematik. Saya terlanjur terjun ke masyarakat. Saya tak mau selaku Ketua DPD Golkar berkepentingan pada masalah yang berkaitan dengan bisnis. Terus terang dalam masalah bisnis individu, malah saya serahkan orang lain, untuk tidak menimbulkan rasa tidak enak para pejabat.
Usaha pribadi apa?
Kontraktor. Namun mau menang atau kalah mereka maju sendiri. Tapi yang jelas saya tidak mau membuat surat atau bentuk apa pun juga supaya menang. Dengan begitu saya akan mempersulit posisi proyek. Mungkin secara praktis saat itu saya dapat uang untuk pesanan proyek, hanya untung Rp5 juta dan Rp10 juta. Tapi dalam prospek masa depan yang lebih jauh, saya kira akan merugikan nama baik. Ya, asal dapur sudah berasap saja.
Yang bisa dikatakan nafkah Anda berada di mana?
Di Madukismo, saya diserahi tanggung jawab oleh Bapak dari awal, sebelum terjun ke politik.
Wacana 2007: Jabatan dan Larangan
Dalam Orasi Budaya pada 7 April 2007, HB X menegaskan ketidaksediaan beliau menjadi gubernur DIY selepas masa jabatannya tahun 2008.[12] Hal ini merupakan kelanjutan dari penegasan pada tahun 1998 ketika beliau menyatakan ketidaksediaannya menjadi gubernur seumur hidup[13] . Penegasan ini membuat pengisian jabatan gubernur, setelah sekian lama masih tidak jelas aturannya, sehingga membutuhkan instrumen hukum baru yang lebih jelas.
Larangan: Dalam posisinya sebagai Parardhya keistimewaan, Sri Sultan dan Paku Alam dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, terlibat dalam kegiatan bisnis yang terkait dengan fungsi-fungsinya, serta membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok ataupun kroni tertentu.[14]
Wawancara 1989: Laku dan Guru Spiritual
Sebagai orang Jawa apa ada semacam laku yang Anda jalani?
Yang dimaksud laku: Laku sebangsa kungkum (berendam) aku ora tau jé (saya tidak pernah tuh).
Kalau mutih?
Kalau puasa biasa, setiap orang Jawa kan biasa melakukannya.
Anda melakukan?
Saya melakukan.
Anda punya guru spiritual?
Ah, tidak ada.
Bapak?
Soalnya laku begitu belum tentu setiap orang sama, mereka punya cara-cara tersendiri dan tergantung keyakinannya. Kalau punya guru, yang dilaksanakan guru harus saya lakukan.
Mungkin ada suatu figur tempat Anda selalu bertanya?
Ndak, saya tidak.
Hari menjelang surup ketika obrolan berakhir 34 tahun lalu. Namun sisa cahaya masih cukup bagi juru foto Ray Bachtiar untuk memotret tanpa lampu kilat. “Boleh dipotret ya?” saya bertanya. “Ya, silakan, tapi bagian bawah jangan,” ujarnya. Di luar rumah, lelaki yang kemudian akan selalu disebut Ngarsa Dalem (Melayu: di bawah duli kaki tuanku) itu memang bertelanjang kaki sahaja.
1989/2023, Yogyakarta-Jakarta.
Wawancara ©1989 Jakarta Jakarta.
REFERENSI
[1] Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec., Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) dalam http://new.widyamataram.ac.id/content/news/peran-dan-kepedulian-sri-sultan-hamengku-buwono-x-dalam-dunia-pendidikan#.YEXAs50zbIV
[2] Cornelis Lay, Pratikno, Purwo Santoso, AAGN Ari Dwipayana, Bambang Purwoko, Haryanto, dan I Ketut Putra Erawan, Josef Riwu Kaho, Marcus Priyo Gunarto dan Andi Sandi ATTL , Substansi Keistimewaan Yogyakarta dalam KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA, Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta dalam MONOGRAPH on Politics and Government Vol. 2, No.1. 2008 (1-122). Tengok juga https://kompaspedia.kompas.id/baca/data/dokumen/undang-undang-tentang-keistimewaan-daerah-istimewa-yogyakarta
[3] http://biroumum.jogjaprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=116:gelar-budaya-jogja-semesta-garap-among-tani-dagang-layar&catid=50:gubernur
[4] Bayu Dardias Kurniadi, Power in Post-Autocratic Indonesia. A thesis of Doctor of Philosophy of The Australian National University. 2019.
[5] I. Safitri, “Keraton Yogyakarta Masa Lampau dan Masa Kini: Dinamika Suksesi Raja-Raja Jawa dan Politik Wacana “Raja Perempuan”,” Indonesian Historical Studies, vol. 3, no. 1, pp. 44-57, Jul. 2019. https://doi.org/10.14710/ihis.v3i1.4850
[6] Satriawan, Iwan dan Faishal Aji Prakosa. Institutional Disputes Settlement Mechanism Of Succession In Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate. Pelita Vol 5, No. 1 2020.
[7] Ratnawati dan Purwo Santoso, Gender politics of Sultan Hamengkubuwono x in the Succession of Yogyakarta Palace. Cogent Social Sciences, Volume 7, 2021 – Issue 1.
[8] Muhammad Andika Putra, Sultanah Jawa Pertama dan Perempuan dalam Keraton. https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20190101100620-241-357695/sultanah-jawa-pertama-dan-perempuan-dalam-keraton).
[9] Rahadian Rundjan, Sultan Perempuan Pertama dan Reformasi Yogyakarta, Akankah Menjadi Nyata?,https://www.dw.com/id/sultan-perempuan-pertama-dan-reformasi-yogyakarta-akankah-menjadi-nyata/a-44140645
[10] Kurniadi, Bayu Dardias. Menyiapkan Sultan Perempuan: Legitimasi Langit dan Efektivitas Rezim Sultan Hamengkubuwono X., dalam Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No.1 (2016).
[11] Setyowati, Retno. Searching for Gender Equality Between Male and Female in Yogyakarta Kingdom in The Perspective of Islam. ICGCS 2021, August 30-31, Padang, Indonesia. DOI 10.4108/eai.30-8-2021.2316388
[12] Kedaulatan Rakyat, 8 April 2007; Kompas, 8 April 2007.
[13] Kedaulatan Rakyat, 6 September 1998.
[14] Cornelis Lay, dkk., Naskah Akademik., op.cit.
*Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum. adalah penulis dan ilmuwan sastra Indonesia. Beberapa buku karyanya adalah Atas Nama Malam, Wisanggeni—Sang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola Tak Berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja.