Audit Total MBG
Oleh: Gus Nas Jogja*
Esai ini adalah sebuah seruan epik, bukan sekadar kajian program. Ia adalah upaya untuk mengangkat sebuah kebijakan publik dari ruang sempit politik jangka pendek menuju cakrawala keabadian kognitif bangsa. Program MBG (Makanan Bergizi) ditempatkan sebagai mandat suci, sebuah gestalt pembangunan yang menolak diskursus parsial tentang angka dan efisiensi, dan sebaliknya, menuntut pemahaman holistik atas kapital manusia.
Melawan Mentalitas Instan
Secara filosofis, Program MBG adalah sebuah perlawanan terhadap tirani mentalitas instan. Saya menyebutnya sebagai kebutuhan akan Literasi Kebudayaan dan Literasi Waktu. Dalam politik, mata uang tertinggi adalah popularitas dan hasil segera—proyek fisik yang bisa diresmikan dalam hitungan bulan. MBG, dengan janji 10 hingga 15 tahun baru terlihat hasilnya, menuntut sebuah kebijaksanaan stoik: kemampuan menanam tanpa harapan memanen di masa jabatan sendiri.
MBG adalah menanam Pohon Gaharu dan Cendana, sementara politik kontemporer hanya terbiasa menanam padi. Padi menjanjikan panen instan dan popularitas jangka pendek. Namun, Gaharu dan Cendana adalah investasi strategis yang menuntut kesabaran, perlindungan ketat, dan dedikasi saintifik.
Pohon-pohon ini tidak hanya menjamin keteduhan (kualitas hidup), tetapi juga menghasilkan aroma dan sari yang nilainya melampaui perhitungan finansial biasa. Gaharu—batangnya berharga karena proses infeksi yang menghasilkan resin—melambangkan nilai yang tersembunyi dan ketahanan yang diuji. Cendana—kayu yang harum hingga ke intinya—melambangkan keunggulan kualitas yang bersifat abadi.
Niat baik Presiden Prabowo adalah angin yang meniup bibit itu; namun, integritas kebudayaan lah yang menentukan apakah bibit itu akan dipelihara melampaui masa jabatan, atau dicabut demi menanam komoditas politik musiman.
Niat baik Presiden ibarat angin yang menanam bibit itu, tetapi disiplin ilmu (ISO 22000 & 31000) adalah air dan pagar yang melindunginya, memastikan pohon ini tumbuh subur untuk menghasilkan nilai tertinggi bagi generasi yang belum lahir.
Penting dicatat, program MBG fokus pada penguatan gizi dan protein, dengan konsep itu bermakna pengakuan bahwa pembangunan sejati tidak cuma diukur dari beton, melainkan dari kualitas sambungan antar-sel otak (synaptogenesis). Kekurangan gizi, dalam kerangka ini, bukanlah sekadar kemiskinan; ia adalah pencurian potensi masa depan, sebuah perampasan struktural yang membelenggu takdir personal dan kolektif.
Sains sebagai Fatwa Absolut
Pilar pertama audit, yang berfokus pada ISO 22000/HACCP, adalah penegasan bahwa dalam ranah pelayanan vital, sains adalah kredo tak tertawar. Esai ini dengan tegas menempatkan keselamatan pangan di atas segala dalih birokrasi, geografis, atau logistik.
Mandat Kemanusiaan yang berbunyi: “Satu orang pun tidak boleh mengalami keracunan” bukan hanya target, melainkan sebuah fatwa teknis. Ia mendudukkan Hukum Fisika dan Biologi—terutama rumus pertumbuhan eksponensial bakteri N=N 0 ⋅2 t/g—sebagai otoritas tertinggi yang wajib dipatuhi. Kegagalan di salah satu Critical Control Point (CCP)—suhu pendinginan di logistik, suhu inti di pemasakan, atau batas waktu di penghidangan—adalah pelanggaran bukan hanya terhadap prosedur, tetapi juga terhadap hukum alam yang akan selalu berujung pada malapetaka.
Anekdot Satir tentang Bapak ‘Efisien’ adalah kritik filosofis terhadap utilitarianisme sempit dalam birokrasi. Menganggap perut anak TK yang lebih kecil sebagai dasar untuk menurunkan anggaran adalah kesesatan pikir (fallacy) yang fatal. Anak usia dini adalah subjek paling rentan dan paling bernilai dalam investasi kognitif; alih-alih dihemat, gizi mereka harusnya dilindungi dengan standar kualitas tertinggi. Keselamatan adalah cost of doing business yang mutlak, bukan variabel yang bisa dikonversi ke persentase efisiensi anggaran.
Pertarungan Melawan Bayangan Busuk
Pilar kedua, ISO 31000 (Manajemen Risiko Tata Kelola), membawa esai ini ke medan pertarungan moral. Ini adalah duel abadi antara niat suci di puncak kekuasaan melawan siasat busuk di relung rantai pasok.
Manajemen risiko berbasis ISO 31000 tidak hanya mengaudit angka; ia mengaudit integritas moral. Ia adalah kerangka kerja proaktif untuk mendeteksi bayangan—praktik manipulasi harga (mark-up), pengurangan kuantitas (shortage), atau penggunaan kontraktor fiktif—sebelum mereka merusak program.
Dalam konteks ini, korupsi dan manipulasi dalam MBG tidak lagi dilihat hanya sebagai kerugian finansial; ia adalah pengkhianatan ganda. Pertama, pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Kedua, pengkhianatan yang jauh lebih keji: pembunuhan karakter bangsa secara perlahan melalui sabotase asupan gizi. Memidanakan kroni yang memanipulasi takdir anak bangsa bukanlah tindakan politis, melainkan kewajiban etis untuk menegakkan keadilan kognitif.
MBG adalah sebuah ujian kepemimpinan: apakah Presiden bersedia menggunakan otoritasnya untuk membersihkan fondasi moral yang keropos yang menaungi program monumental ini? Warisan abadi hanya bisa dibangun di atas kebijakan berlandaskan ilmu dan eksekusi berlandaskan integritas moral.
Ilmu sebagai Wadah Keabadian
Penutup esai ini mencapai puncak dengan narasi: “Niat adalah api. Ilmu adalah wadah.”
Ini adalah rangkuman dari seluruh kritik yang disajikan. Niat baik tanpa penguasaan ilmu—tanpa disiplin teknis ISO 22000 dan disiplin tata kelola ISO 31000—akan menjadi malapetaka (membakar menjadi abu). Ilmu (Science) yang diwakili oleh dua standar ISO tersebut adalah jembatan yang menghubungkan niat mulia dengan hasil yang abadi.
Esai ini menyimpulkan bahwa kenaikan anggaran untuk menjamin keselamatan rakyat bukanlah pemborosan, melainkan pertukaran yang adil. Ia adalah biaya yang harus dibayar untuk memenangkan pertarungan melawan hukum fisika-biologi (keracunan) dan hukum moral-korupsi (manipulasi).
Kelak, jika program MBG ini berjalan baik dan sukses, warisan sejati Presiden Prabowo tidak hanya terukir di patung perunggu, melainkan akan terpancar dari kilau cemerlang di mata puluhan juta anak yang otaknya telah sempurna terawat. Audit Total yang kita usulkan adalah prasyarat untuk keabadian warisan tersebut.
——–
*Gus Nas Jogo, Budayawan.