Khaidir-Asmuni

Mengeksplorasi Alam Baka Metaverse

Oleh Khaidir Asmuni

Pada dasarnya, keabadian selamanya dipertanyakan, ujar Maggi Savin-Baden dan Victoria Mason-Robbie dalam buku Digital Afterlife.

Digital Afterlife atau jika di Indonesiakan secara bebas adalah “akhirat digital” atau juga “alam baka digital” memberikan gambaran bahwa sekalipun manusia mampu berpikir melambung jauh mengenai kehidupan setelah mati, termasuk yang membuatnya abadi dalam digital, dia akan tetap fana.

Tak terkecuali dengan ditemukannya berbagai teknologi, salah satunya teknologi digital, keabadian itu masih tetap menjadi sebuah pertanyaan besar.

Pada tingkat praktis, biaya penyimpanan data dan mengubah sistem penyimpanan data mengurangi kemungkinan kehadiran digital ada selamanya. Secara tidak sengaja atau sengaja kenangan digital memiliki konsekuensi psikologis bagi manusia dan masyarakat. Namun, keabadian tetap jadi pertanyaan.

Pembicaraan mengenai akhirat digital ternyata telah lama dilakukan. Namun semakin hangat setelah adanya karya Neal Stephenson dalam Snow Crash, yang mengilhami munculnya metaverse dan baru-baru ini menjadi nama pengganti dari Facebook yang dilakukan oleh Mark Zuckerberg.

Konsepsi metaverse digambarkan Stephenson pada tahun 1992 di saat Zuckerberg sendiri baru berumur 8 tahun. Pada saat itu dalam kisah novel yang dituangkan oleh Stephenson mengungkapkan imajinasi manusia terkait dengan dunia digital.

Kisahnya tentang Hiro, yang avatarnya menjadi seorang pangeran prajurit. Aslinya dia merupakan pengantar pizza.

Hiro terjebak dalam teka-teki virus komputer dan berpacu di tengah jalan berlampu neon dalam misi pencarian untuk menghancurkan penjahat virtual yang membawa bencana informasi (infocalypse).

Cerita yang dideskripsikan Newsweek.com ini menyebut metaverse sebagai tempat pelarian yang dikuasai orang jahat seperti mafia dan pasukan bersenjata.

Di novel ini dijelaskan adanya orang orang yang nengungsi karena negaranya hancur akibat keterpurukan ekonomi dan pemerintahnya justeru sibuk dengan pekerjaan yang tak relevan dengan kebutuhan di dunia nyata.

Snow Crash menggambarkan koneksi ke metaverse yang terkena virus komputer atau hacker. User nya mengalami snow crash yang merusak avatar daring pengguna dan menimbulkan kerusakan otak pengguna di dunia nyata.

Kisah Snow Crash tidak berhenti di sini saja. Pada tahun 2019 Stephenson menuangkan kembali kisah dunia gital itu dalam novelnya Fall.

Di novel ini sebagian dari jawaban terhadap “akhirat digital”.

Jamie Cohen, ahli yang banyak melakukan penelitian masalah program tiga dimensi menilai justeru seharusnya Zugerberg memakai referensi novel Fall, yang merupakan kelanjutan dari Snow Crash karena di dalam Fall itu terdapat pembahasan masalah “akhirat digital”. Di sinilah inti filosofis dari dunia digital itu.

Dalam Fall, seperti digambarkan Jamie Cohen, dibuka dengan kematian karakter utama Richard Forthrast, juga dikenal sebagai Dodge. Kematiannya diperumit oleh dua perkembangan plot cerita novel yang penting. Pertama, dia menandatangani kontrak pada 1990-an untuk memindahkan keberadaannya ke alam baka digital dan kedua insiden berita palsu media sosial yang luas. 

Forthrast atau Dodge adalah avatar untuk cybernauts asli tahun 1990-an yang merasa dunia digital akan mengantarkan utopia libertarian. 

Dodge termasuk dalam kelompok yang dikenal sebagai Eutropian, sekelompok teknolog yang ingin hidup selamanya. Setelah kematian fisik Dodge, otaknya tetap aktif hingga dapat dipindai, sel demi sel, neuron demi neuron, koneksi demi koneksi, dan disimpan di fasilitas selama beberapa dekade hingga teknologi membuat data dapat dibaca. Setiap pengalaman, setiap memori, semua yang pernah ditambahkan ke penyimpanan.

Dodge dihidupkan kembali hampir 20 tahun setelah kematiannya, dia berada dalam kehampaan yang tak lekang oleh waktu. Pikirannya perlahan-lahan terkumpul selama ribuan tahun (berhari-hari dalam waktu nyata) karena waktu sangat tidak masuk akal dalam ruang digital yang sepenuhnya imersif. Akhirnya, Dodge mendesain dunianya dan menjadi sosok dewa. Yang penting, keberhasilan reanimasi Dodge menciptakan gelombang keinginan untuk “akhirat digital.”

Moralitas, Etika, dan Konflik Epistemologis

Di dunia Bitworld berkembang sejumlah konflik yang menuntut pembaca berpikir untuk memasukkannya dalam kerangka epistemologi. Konflik yang dikembangkan tidak lagi berdasarkan cerita-cerita konvensional hitam dan putih melainkan memiliki alasan masing-masing. Ini pula yang menjadi landasan bahwa ada aspek-aspek nilai yang harus diperjuangkan. Disinilah peran filsafat di dalam kecanggihan teknologi digital dan kebebasan berpikir itu sangat dibutuhkan. Yaitu mengambil makna dan hikmah dari kisah fiksi yang semula cenderung bebas nilai menjadi bernilai dari sisi yang bebas pula.

Konflik epistemologi yang dialami pemeran utama dalam realitas virtual digambarkan Jonathan P. Lewis seperti peperangan para dewa di mitos Yunani dan Romawi tentang penciptaan dan “Titanomachia” (tema dari Cryptonomicon) serta Genesis dan Milton’s Paradise Lost.

Dalam analisis Jonathan P. Lewis berjudul  “Nonexistence Seems Preferable”: Post-Truth, Feed Identity, and the NPC Afterlife in Neal Stephenson’s “Fall; or, Dodge in Hell” yang mereview novel Fall dijelaskan bahwa novel Fall adalah karya fantasi tinggi. Narasinya terungkap sebagai pertempuran besar antara visi kreatif yang berbeda untuk Bitworld (tetapi mengingat bahwa semua penghuninya sudah mati dan dapat di-boot ulang jika mereka “mati” lagi, terkadang tidak terasa taruhannya sangat tinggi).

Sisi lain Fall yang digambarkan Jonathan adalah hidup di dunia digital, cukup menyenangkan. Di sana bisa dibangun dunia yang menjadikan kita sebagai dewa.

Namun, ini harus dihadapi secara bijak. Apabila seseorang terbius oleh karakter Dewa yang sering dimainkan (dalam konteks ini kita sebut di dunia metaverse) bukan tidak mungkin hal itu akan terpengaruh dalam kehidupan nyata sehari-hari. Tentunya apa yang dihadapi akan sangat berbeda. Jika seseorang tidak mampu untuk membedakan dunia metaverse dengan realitas kehidupannya, akan kontraproduktif terhadap tantangan kehidupan sehari-hari baik itu secara ekonomi, sosial maupun kebiasaan yang dilakukan. 

Itulah sebabnya perlu batasan secara epistimologi di dalam pikiran setiap pengguna metaverse agar tidak terjadi benturan semu antara dunia realitas dan dunia metaverse. Jika kita memahami metaverse merupakan buah dari “aku berpikir maka aku bisa jadi dewa di dunia digital” maka harus pula dipahami “aku sadar ini hanya bagian dari dunia digital yang dibuat oleh pikiranku sendiri.”

Bagaimana dengan nilai moralitas yang dikembangkan dalam metaverse setelah novel Fall dipahami?

Konflik di dalam sebuah peperangan ataupun situasi chaos akan tetap menghadirkan orang-orang yang peduli yang tidak peduli. Juga orang-orang yang memerankan tokoh kepahlawanan. Ada unsur-unsur moral yang muncul di dalam konflik batin setiap tokoh yang masuk di dalam dunia metaverse. Jika di dalam Fall akan terlihat peran-peran para tokoh yang digambarkan oleh Stephenson.

Snow Crash, Fall dan Facebook

Kalau kita pertanyakan, apabila metaverse telah difiksikan oleh Stephenson pada tahun 1992, mengapa pada 2021 metaverse baru populer dan diterapkan?

Mengacu pada para ahli yang mengkaji masalah ini, pada tahun 1992 itu sebetulnya metaverse baru dalam tahap imajiner, belum pada tahap kenyataannya. Perkembangan dahsyat terjadi setelah facebook ditemukan dan dikembangkan sebagai sebuah teknologi digital.

Situasi ini mirip seperti yang digambarkan sebuah artikel dari Twenty Billion Neurons awal tahun 2019 lalu. Alasannya karena saat imajinasi itu muncul, teknologinya belum tumbuh.

Pernahkah kita  bertanya-tanya mengapa algoritme propagasi balik ditemukan pada 1980-an, tetapi ledakan artificial intelegency (AI) dalam pembelajaran mendalam baru dimulai lebih dari 25 tahun kemudian? Atau mengapa Charles Babbage mendesain komputer pertama di dunia pada tahun 1837 tetapi komputer sebenarnya baru dibuat seabad kemudian? Bagaimana kita memastikan apakah sebuah ide akan segera lepas landas atau terbengkalai selama beberapa dekade atau abad? Dan dari mana datangnya ide besar berikutnya dalam AI? 

Facebook awalnya dibangun sebagai saluran komunikasi bagi mahasiswa Harvard di sekitar 2004, yang karena disambut positif dan terus berkembang. Pada 2005, Facebook mendapat pendanaan US$ 14 juta. 

Zukerberg yang memang programer brilian membuat Facebook makin besar menembus dunia hingga akhirnya berkembang sampai puncaknya di tahun 2020 sebelum beralih nama menjadi Meta. Dari sinilah metaverse yang berawal dari Snow Crash “bertemu” dengan Facebook.

Memahami apa yang dijelaskan di atas, kita akan menyadari bahwa imajinasi terkadang “mendahului” iptek.

 

* Khaidir Asmuni adalah alumni Fakultas Filsafat UGM, aktif di Lembaga Democracy Care Institute.