Akar Kekerasan Dan Agama: Rene Girard
Oleh Tony Doludea
Pada tahun 1157, Jayabaya, raja Kadiri, memerintahkan Mpu Sedah untuk menulis Kakawin Baratayuda, sebagai simbol perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala, yang sama-sama adalah keturunan Raja Airlangga. Perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti kisah perang dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa, yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa.
Dalam wiracarita Mahabarata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa, yang dipimpin oleh Yudistira melawan sepupu mereka, yaitu para keluarga Kurawa, yang dipimpin oleh Duryudana. Pasukan Pandawa berjumlah 1.530.900 prajurit. Pasukan Kurawa sebanyak 2.405.700 prajurit. Jumlah seluruh pasukan yang terlibat dalam perang itu adalah 3.936.600 orang. Senjata yang digunakan dalam perang di Kurukshetra itu adalah panah, tombak, pedang, parang, kapak, golok, gada, dan sebagainya. Masing-masing pasukan dibagi menjadi 21.870 pasukan berkereta kuda, 21.870 pasukan penunggang gajah, 65.610 pasukan penunggang kuda dan 109.350 pasukan infantri. Pertempuran berlangsung selama 18 hari. Pertempuran dimulai saat matahari terbit dan berakhir pada saat matahari terbenam. Siapa yang bertahan hidup dan berhasil memusnahkan lawan- lawannya, dialah pemenangnya. Hanya sepuluh kesatria yang bertahan hidup dari pertempuran itu, yaitu Lima Pandawa, Yuyutsu, Satyaki, Aswatama, Krepa dan Kertawarma.
Bibit pertikaian antara Pandawa dan Kurawa sesungguhnya sudah tumbuh sejak orang tua mereka masih muda. Satu hari, Pandu, ayah para Pandawa membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari dan Madrim. Kemudian Destarata, kakaknya yang buta itu diberi kesempatan untuk memilih dari ketiganya. Destarata memutuskan untuk memilih Gendari. Karena buta, Destarata memilih ketiga putri itu dengan cara mengangkat satu per satu. Maka ia memilih Gendari yang mempunyai bobot paling mantap. Destarata berpikir bahwa dengan bobotnya itu, Gendari akan memberinya banyak anak. Kejadian itu telah membuat putri dari Kerajaan Plasajenar ini murka dan menaruh dendam terhadap Pandu. Dirinya yang jelita dan mantap itu hanya mendapatkan Destarata yang kurang sempurna. Dia merasa cemburu dan iri terhadap Kunti dan Mandrim yang kurang mantap, namun mendapatkan Pandu yang sempurna. Dia lalu bersumpah bahwa keturunannya kelak akan membalas dendam kepada anak-anak Pandu. Kemudian Gendari bersama Sengkuni, adiknya itu, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, kelima anaknya itu semakin menderita. Nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka. Usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu.
Rene Girard (1923-2015) adalah seorang pemikir Perancis yang menulis dari Kritik Sastra, Psikologi, Antropologi, Sosiologi, Sejarah, Hermeneutik Kitab Suci sampai Teologi. Girard belajar di École Nationale des Chartes dan Indiana University. Ia kemudian mengajar di Indiana University, State University of New York di Buffalo, Duke, Johns Hopkins, Bryn Mawr dan Stanford. Ia mengajar Sastra Eropa, khususnya novel karya Cervantes, Stendhal, Flaubert, Dostoyevsky dan Proust. Ia kemudian tertarik juga kepada budaya ritual pengurbanan dalam masyarakat kuno maupun kontemporer, juga dalam mitos dan tragedi Yunani, yang akhirnya menghasilkan bukunya berjudul Violence and the Sacred (1972).
Gagasan utama Girard, yaitu “Mimetic Desire” sesungguhnya didasarkan pada hominization, yaitu proses perubahan dari binatang menjadi manusia. Hominisasi merupakan proses evolusi kemampuan anatomi dan neurologi yang sangat rinci, yang membuat manusia dapat berkomunikasi secara simbolis. Olehnya, kemudian hari manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu sistem komunikasi simbolik yang membuatnya berbudaya. Di sinilah asal- usul budaya manusia terbentuk. Bagi Girard budaya manusia memiliki tiga bagian yang saling terkait: (1) mimetic desire, (2) ritual pengurbanan, (3) mitos tentang pengurbanan bagi kemaslahatan manusia. Menurut Girard gabungan ketiga hal tersebut membentuk “scapegoat mechanism” (mekanisme kambing hitam). Agama yang terdiri dari ritual, larangan dan mitos adalah produk dari pengurbanan kejam tersebut. Sedangkan semua bentuk budaya manusia lainnya merupakan turunan dari keberagamaan ini.
Bentuk-bentuk budaya manusia merupakan turunan agama pengurbanan, yaitu berupa sastra, teater, hukum, ekonomi, pengobatan dan susunan masyarakat.
Dalam pandangan Girard, akar pengambinghitaman itu terletak pada gagasan tentang “mimetic desire” (keinginan mimetik). Girard menjelaskan bahwa keinginan mimetik itu adalah tanggapan instingtif seseorang terhadap orang lain, yang akan berakibat pada persaingan. Girard mendapatkan bahwa para pemikir kurang memberikan perhatian pada kenyataan, yaitu bahwa manusia itu meniru keinginan orang lain, yang berujung pada terjadinya persaingan, konflik dan kekerasan. Jika seseorang meniru keinginan orang lain, mereka akan mengingini satu hal yang sama. Mereka akan memperebutkan satu hal yang sama dan sangat mudah memunculkan persaingan di antara mereka, yang kemudian berakhir pada kekerasan.
Dalam “mimetic desire” Gerard menemukan “external mediation” (mediasi luar) dan “internal mediation” (mediasi dalam). Mediasi luar merupakan suatu bentuk keinginan psikologis, yang memang sudah ada sejak masa awal pertumbuhan seorang bayi, di mana ia mencari acuan untuk ditiru dari orang yang lebih tua. Memang hampir semua yang diinginkan oleh seseorang itu dimediasi oleh mereka. Meniru adalah kemampuan dan mekanisme dasar bagi manusia dalam belajar. Seorang anak akan meniru orang tua, saudara atau gurunya dalam proses perkembangan dan belajar.
Sedangkan mediasi dalam, mediator dan orang yang dimediasi itu saling terkait pada satu titik, yaitu mengingini hal yang sama. Mereka bersaing dan sangat sadar akan persaingan itu, sehingga membuat persaingan itu semakin sengit. Mediasi dalam ini memediasi seseorang dari dalam dan mempermudah munculnya persaingan yang dapat berakibat tragis. Proses di mana seseorang terpengaruh oleh pilihan dan keinginan orang lain disebut “mediation”. Orang yang menjadi acuan peniruan keinginan disebut “mediator”. Misalnya, ketika sebuah produk diiklankan, proses “mediation” ini menggunakan seorang selebriti sebagai “mediator”, untuk memediasi keinginan, yaitu dengan menggugah orang untuk menirunya mengingini produk yang diiklankannya itu. Produk itu diiklankan bukan berdasarkan kualitas yang terdapat di dalamnya, melainkan hanya karena para selebriti menginginkannya. Melalui kajian tentang novel-novel yang ditulis oleh Cervantes, Dostoevsky, Stendhal, Flaubert dan Proust, Girard menemukan gagasan “mimetic desire” tersebut. Girard menambahkan bahwa asal keterasingan diri adalah ketidakpuasan seseorang dengan dirinya sendiri, ditambah dengan obsesinya untuk menjadi orang lain, dan hal ini sesungguhnya merupakan suatu usaha yang tak mungkin.
Sementara itu, selain keinginan mimetik, Gerard juga menemukan adanya “metaphysic desire” (keinginan metafisik). Keinginan metafisik adalah keinginan untuk menjadi orang lain. Keinginan seseorang terhadap sebuah objek merupakan suatu bagian pendahuluan saja dari keinginan besarnya, yaitu untuk menjadi mediatornya. Gerard melihat keinginan mimetik dapat berkembang menjadi keinginan untuk menjadi mediator. Konsumen sebuah produk tertentu tidak hanya mengingini barang tersebut karena kualitasnya, namun ingin menjadi selebriti yang mengiklankan barang itu. Proses ini meletakkan orang yang mengingini itu berada dalam “mimetic double bind”. Pada satu sisi mediator mengatakan ingini barang ini, di sisi lainnya ia mengatakan bahwa engkau tidak dapat memiliki barang itu. Si mediator memperlihatkan kekurangan orang tersebut dan menghalanginya untuk meraih barang itu. Keadaan ini membuat seseorang yang mengingini membenci dan akhirnya memusuhi mediator tersebut.
Keinginan metafisik sangat jelas ditemukan dalam cerita Adam dan Hawa ketika mereka berada di Taman Eden. Allah memerintahkan mereka untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Jika mereka makan maka mereka akan mati. Hingga datang ular untuk menggoda Hawa. Ular menyatakan bahwa hal itu dilarang karena Allah tahu bahwa ketika mereka makan buah itu mata mereka akan terbuka dan mereka akan menjadi seperti Allah sendiri. Ular secara tidak langsung memberi tahu Hawa bahwa Allah adalah pesaing manusia. Sadar akibat perkataan ular tadi, maka Hawa memandang bahwa buah tersebut enak dipandang dan baik untuk dimakan dan menarik hati karena memberi pengetahuan. Lalu Hawa mengambil buah itu. Ular memediasi Hawa untuk mengingini dan bersaing dengan Allah.
Dalam pemandangan Girard, mediasi dalam tidak menimbulkan persaingan, mediasi luarlah yang memunculkan persaingan. Namun, keinginan metafisik membuat orang tidak hanya bersaing dengan mediator, tetapi juga membuatnya terobsesi dan benci kepada mediatornya. Mediator menjadi penghalang besar untuk memuaskan keinginan metafisiknya, karena tidak ada seorang pun dapat menjadi orang lain. Pada tahap ini orang akan sadar bahwa halangan terbesar untuk menjadi mediator adalah mediatornya itu sendiri. Menurut Girard, keinginan metafisik dapat menjadi suatu kekuatan yang sangat merusak, karena ia memunculkan kebencian terhadap orang lain. Kebencian ini sangat mudah untuk viral kepada orang lain secara masif. Olehnya masyarakat berada dalam “crisis of differences”. Keinginan mimetik membuat setiap anggota masyarakat justru menjadi serupa satu dengan yang lainnya. Keadaan tidak adanya perbedaan seperti ini justru memunculkan kekacauan.
Mediasi dalam dan keinginan metafisik akan menghasilkan persaingan dan kekerasan yang mengancam bahkan meneror keberadaan suatu masyarakat. Keadaan seperti ini ditandai oleh meningkatnya kebencian, marah dan dendam, yang berujung pada kekerasan. Kekerasan dapat mengarah kepada:
(1) mediator (pembunuhan); (2) subjek (bunuh diri, kegilaan atau tunduk); (3) pihak ketiga, secara semena-mena (kambing hitam). Hal yang pertama dan kedua mudah untuk dimengerti. Namun yang ketiga sulit untuk diterima. Karena kemarahan itu secara enteng dan membabi buta ditimpakan kepada pihak ketiga, yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kedua pihak yang bersaing itu.
Kambing hitam sebagai pihak ketiga dipandang sangat berbeda dengan pihak yang sedang bertikai oleh masyarakat. Segala kesalahan yang awalnya diarahkan kepada pesaingnya, kini dilimpahkan ke orang lain. Orang ini dianggap bersalah atas dosa seluruh masyarakat dan bertanggungjawab atas semuanya itu. Ia dipandang sebagai perwujudan yang jahat, puncak kesetanan dan pesaing terkeji bagi semua orang. Tiba-tiba secara tidak sadar masa menganiaya dan membunuh orang itu. Ia adalah kambing hitam. Pemilihan kambing hitam terjadi secara begitu saja.
Girard memikirkan bagaimana suatu masyarakat dapat keluar dari keadaan Bellum omnium contra omnes (semua melawan semua) seperti itu. Untuk mengakhiri teror tersebut, para filsuf sudah menawarkan kontrak sosial. Bagi Gerard, mekanisme kambing hitam adalah dasar kehidupan bersama umat manusia selama ini, bukan kontrak sosial seperti yang diusulkan oleh para filsuf sebelumnya. Namun Girard memandang bahwa kekerasan tidak dapat dihilangkan dalam masyarakat, tetapi hanya dapat sedikit dikurangi. Ketika persaingan semakin meninggi dan kekerasan semakin meluap dan mengancam keberadaan semua masyarakat. Maka akan muncul mekanisme
psikososial aneh, yaitu kekerasan komunal itu tiba-tiba akan ditimpakan kepada satu orang individu. Sehingga semua orang yang bersaing dan saling membenci, saat itu menyatukan upaya untuk melawan orang yang dipilih menjadi kambing hitam. Orang yang tadinya saling bermusuhan, kini menjadi teman, sebagai satu masyarakat yang bersama-sama melawan kejahatan terhadap musuh bersama.
Girard melihat bahwa manusia alamiah menjadi berbudaya bukan melalui kontrak sosial, melainkan melalui pengulangan mekanisme kambing hitam ini. Keinginan mimetik dan keinginan metafisik selalu ada dalam diri manusia. Mekanisme kambing hitam memang tidak selalu berhasil. Masyarakat membutuhkan mekanisme kambing hitam secara berkala untuk memelihara kedamaian dalam masyarakat dan membangun kembali hubungan yang baru. Kekerasan yang dilakukan oleh umat manusia telah menciptakan yang suci (the sacred), namun hal ini disalahpahami sebagai sebuah pengalaman akan yang ilahi. Kekerasan adalah hati dan jiwa yang tersembunyi dari yang kudus (the sacred). Segala sesuatu dalam kehidupan manusia didasari dan dikaitkan oleh kekerasan suci ini.
Pengurbanan adalah suatu mekanisme budaya yang bertujuan untuk mencegah berbalas kekerasan, yang dapat berujung pada kehancuran peradaban manusia. Ritual pengurbanan adalah pembalasan dendam kemarahan kepada kurban yang tidak dapat membalas dan menyerang balik. Ritual pengurbanan ini merupakan kekerasan yang “baik” untuk mengatasi kekerasan yang “jahat”. Ritual ini tidak dapat dipergunakan untuk meraih keadilan. Demikian dengan hukum modern, yang tidak mencari keadilan, namun berusaha menghukum yang bersalah dan itu merupakan rasionalisasi pembalasan dendam juga.
Pengurbanan dirancang untuk mengendalikan kekerasan yang merajalela. Racun adalah sekaligus penawar, sebagaimana arti ganda dan paradoks dari kata pharmakon. Dengan menggunakan sedikit dosis bibit penyakit tertentu akan memiliki dampak menyembuhkan. Paradoks ini tanpa perlu disadari sudah mendarah daging dalam diri manusia. Keinginan mimetik adalah sebuah masalah tetapi juga mengandung pemecahan masalah. Secara paradoks, kedamaian dan keteraturan yang dialami umat manusia ini disebabkan oleh pengurbanan kambing hitam dari yang kudus. Kambing hitam berasal dari kekerasan yang dilakukan umat manusia. Penipuan diri ini menghalangi manusia untuk mampu melihat kekerasannya. Kambing hitam tersembunyi. Kekerasan itu tertutupi oleh jejaknya sendiri. Di sini terjadi transfer ganda (the double transference). Transfer menyalahkan (blame) dan rasa bersalah (guilt) seseorang atau sekelompok orang. Kegandaan ilahi pengurbanan kejam itu diciptakan oleh proyeksi pikiran kerumunan manusia di sekeliling kurban kambing hitam. Proyeksi ini terjadi dan muncul karena ilusi dan salah pikir.
Mengalihkan kesalahan dan kebencian ke pihak lain. Memandang adanya kesatuan antara ketidakbersalahan dan kasih datang dari si korban. Menyalahkan kematian korban dan kematian itu dipandang sebagai kehendak ilahi dan karya ilahi. Kematian yang tidak berarti sama sekali. Korban tidak mati, namun hidup dalam “kekudusan”.
Dalam perkembangan sejarah dunia, Kekristenan tidak dapat dilepaskan dari terjadinya tindak kekerasan selama 1600 tahun terakhir. Kekristenan telah melakukan banyak penganiayaan terhadap orang Yahudi, Islam, bidah dan sesamanya Kristen sendiri. Bagi Girard hal tersebut disebabkan karena Kekristenan memegang kepercayaan pengurbanan kambing hitam dan telah salah memahami ajaran Kristus. Girard melihat bahwa kematian Kristus bukanlah suatu ritual pengurbanan yang disyaratkan dan direkayasa oleh Allah, supaya dosa manusia dapat diampuni. Kematian Kristus adalah pembunuhan secara kolektif, yang dilakukan oleh umat manusia dalam rangka pelaksanaan suatu ritual pengurbanan kambing hitam dalam budaya manusia tadi. Girard justru berpendirian bahwa sesungguhnya penyaliban itu merupakan suatu tindakan ilahi untuk mengakhiri dan membebaskan manusia dari perintah ritual dan mitos pengambinghitaman yang keji tersebut. Kematian Kristus sesungguhnya telah membongkar akar agama berhala yang berlumur darah itu. Hal ini kemudian menyadarkan orang bahwa sudah tiba saatnya bagi umat manusia untuk saling mangampuni dan mengasihi satu dengan yang lainnya.
Namun Girard juga menyadari bahwa praktik kuno mekanisme pengambinghitaman itu telah dijungkirbalikkan oleh berita Perjanjian Baru (Injil). Umat manusia tidak dapat lagi bersandar pada mekanisme tindakan pengambinghitaman ini untuk dapat membangun kedamaian. Karena pada saat korban kekerasan dinyatakan tidak bersalah, pengambinghitaman tidak dapat lagi dijadikan dasar untuk menghadirkan perdamaian. Oleh sebab itu, saat ini, kekerasan justru menghadapi penolakan yang paling tegas. Perjanjian Baru sangat mengecam kekerasan. Mekanisme kambing hitam tidak berdampak lagi. Karena mekanisme ini sudah kehilangan efektifitasnya, dan jika tetap dipraktikkan justru akan membawa kekerasan yang lebih hebat. Cara membangun perdamaian bukanlah melalui mekanisme kambing hitam, tetapi melalui penghapusan menyeluruh kekerasan tersebut.
Ironisnya, Girard melihat justru kekristenan telah berhasil menghadirkan lebih banyak kekerasan. Meskipun kekerasan tidak begitu saja secara langsung dapat dilekatkan kepada Kekristenan. Namun kepada umat manusia yang keras kepala, yang tidak menghiraukan peringatan Perjanjian Baru dan tetap bersikeras menghilangkan kekerasan yang disebabkan oleh kekerasan mekanisme tradisional kambing hitam. Melalui kekerasan manusia akan menciptakan kepunahan dan kemusnahan dirinya sendiri, bukan karena hukuman Tuhan. Injil justru mengajarkan tentang pengurbanan yang sejati, yaitu kerelaan seseorang untuk mempersembahkan dirinya bagi sesamanya. Orang rela menanggung derita menjadi kambing hitam dunia untuk mengeluarkan sesamanya dari jerat pengambinghitaman. Orang mengurbankan dirinya karena ia tidak dapat melakukan yang sebaliknya, dan tetap berpegang teguh pada pandangan tanpa kekerasan dan tanpa persaingan. Orang ini mati untuk mengakhiri mekanisme pengurbanan kejam dalam budaya manusia, di mana selama ini manusia dibutakan oleh peniruan yang berbahaya itu. Ritual pengurbanan berpuncak pada pembunuhan pesaing mimetik seseorang.
Perang Baratayuda disebabkan oleh karena Gendari mengingini Pandu, yang dimediatori oleh Kunti dan Mandrim. Sementara Hawa ingin menjadi seperti Allah sendiri. Cerita-cerita tersebut memberitakan bahwa telah banyak jatuh korban yang dikurbankan akibat keinginan mimetik manusia. Ki Ageng Suryamentaram (1892-1962) telah mengingatkan juga bahwa manusia itu selalu iri (meri), karena merasa kalah terhadap orang lain dan ingin melebihi orang lain. Manusia tidak pernah memahami bahwa keinginan itu bersifat tidak abadi dan selalu berubah, mulur–mungkret. Keinginan itu sebentar mulur, sebentar mungkret, sehingga manusia merasa sebentar senang, sebentar susah. Kesementaraan ini yang tetap dalam diri manusia. Apabila orang mengerti bahwa rasa hidup semua manusia sama saja, yakni pasti sebentar senang, sebentar susah, maka ia bebas dari neraka iri-sombong dan masuk dalam surga ketenteraman. Sehingga ketika ia mencari kekayaan (semat), kedudukan (drajat) dan kekuasaan (kramat), dengan sikap sebutuhnya (sabutuhe), seperlunya (saperlune), secukupnya (sacukupe), sebenarnya (sabenere), semestinya (semesthine) dan senaknya (sakepenake), inilah hidup tenteram.
Dalam budaya Yunani Kuno, sikap ini disebut mesotes, sikap selaras atau tidak ekstrim, yaitu suatu keutamaan (arête), yang merupakan bentuk kebijaksanaan praktis (phronesis), dan menghantarkan manusia pada hidup yang bahagia (euzen), utuh dan penuh (eudaimonia). Sejak masa Plato dan Aristoteles, budaya Yunani telah mengenal empat keutamaan pokok, yaitu kejujuran, keadilan, keberanian dan pengendalian diri. Di abad pertengahan, Thomas Aquinas menambah tiga keutamaan lagi yang disebut keutamaan teologis, yaitu iman, pengharapan dan kasih. Sementara itu, dengan cara unik, di Pati Jawa Tengah, Mbah Mutamakkin (1645-1740) menggunakan dua ekor anjing yang dipeliharanya sebagai simbol pengingat hawa nafsu dalam dirinya. Anjing itu diberi nama Abdul Qohar dan Qomaruddin. Abdul Qohar dan Qomaruddin ini menjadi pengingat, yang menyadarkan kebersyahwatannya dan itu dapat menghindarkannya mendurhakai Allah.
Pernah diriwayatkan, bahwa pada suatu waktu masuklah dua orang perempuan sundal menghadap raja, lalu mereka berdiri di depannya. Kata perempuan yang satu: “Ya tuanku! aku dan perempuan ini diam dalam satu rumah, dan aku melahirkan anak, pada waktu dia ada di rumah itu. Kemudian pada hari ketiga sesudah aku, perempuan inipun melahirkan anak; kami sendirian, tidak ada orang luar bersama-sama kami dalam rumah, hanya kami berdua saja dalam rumah. Pada waktu malam anak perempuan ini mati, karena ia menidurinya. Pada waktu tengah malam ia bangun, lalu mengambil anakku dari sampingku; sementara hambamu ini tidur, dibaringkannya anakku itu di pangkuannya, sedang anaknya yang mati itu dibaringkannya di pangkuanku. Ketika aku bangun pada waktu pagi untuk menyusui anakku, tampaklah anak itu sudah mati, tetapi ketika aku mengamat-amati dia pada waktu pagi itu, tampaklah bukan dia anak yang kulahirkan.” Kata perempuan yang lain itu: “Bukan! anakkulah yang hidup dan anakmulah yang mati.” Tetapi perempuan yang pertama berkata pula: “Bukan! anakmulah yang mati dan anakkulah yang hidup.” Begitulah mereka bertengkar di depan raja. Lalu berkatalah raja: “Yang seorang berkata: Anakkulah yang hidup ini dan anakmulah yang mati. Yang lain berkata: Bukan! Anakmulah yang mati dan anakkulah yang hidup.” Sesudah itu raja berkata: “Ambilkan aku pedang,” lalu dibawalah pedang ke depan raja. Kata raja: “Penggallah anak yang hidup itu menjadi dua dan berikanlah setengah kepada yang satu dan yang setengah lagi kepada yang lain.” Maka kata perempuan yang empunya anak yang hidup itu kepada raja, sebab timbullah belas kasihannya terhadap anaknya itu, katanya: “Ya tuanku! Berikanlah kepadanya bayi yang hidup itu, jangan sekali- kali membunuh dia.” Tetapi yang lain itu berkata: “Supaya jangan untukku ataupun untukmu, penggallah!” Tetapi raja menjawab, katanya: “Berikanlah kepadanya bayi yang hidup itu, jangan sekali-kali membunuh dia; dia itulah ibunya.” Ketika seluruh orang Israel mendengar keputusan hukum yang diberikan raja, maka takutlah mereka kepada raja, sebab mereka melihat, bahwa hikmat dari pada Allah ada dalam hatinya untuk melakukan keadilan. (I Raja-Raja 3: 16-28).
Perempuan yang memiliki bayi hidup itu berhasil memutuskan lingkaran kekejaman melalui belas kasihannya (kerahiman) kepada anaknya tersebut. Ia rela kehilangan dan menyerahkan anaknya kepada orang yang menyaingi dan sangat membencinya. Ia memilih kehilangan bayinya supaya anak itu tetap hidup. Cerita ini rupanya telah mengajukan pilihan lain bagi budaya manusia yang selama ini terpenjara oleh lingkaran kekerasan dalam agama pengurbanan kambing hitam. Ali Abu Awwad pejuang non-violence untuk rekonsiliasi Israel-Palestina, mengutib Nicholas Klein, seorang aktivis buruh yang mengatakan: “First they ignore you, then they laugh at you, then they fight you, then you win.” Keluarga bocah Trinity Hutahaean (4 tahun), korban ledakan bom molotov dari aksi terorisme di Gereja Oikumene, Samarinda, Minggu (13 November 2016), memaafkan pelaku terorisme, Juhanda alias Jo. Kurnianto anak ibu Lim, korban meninggal dunia dalam peristiwa ledakan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela di Ngagel, Surabaya, Jawa timur, Minggu (13 Mei 2018). “Saya minta maaf mewakili mama apabila ada kesalahan, mohon dimaafkan dan doakan mama saya sudah di surga. Dan untuk pelaku, kami sudah memaafkan dan saya percaya mama saya sudah di rumah Tuhan,” ungkapnya. Yeni Widiastuti, istri Yesaya Bayang petugas keamanan gereja korban bom di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro, Surabaya, Jawa Timur. Suaminya menjadi korban ketika ingin mengejar pelaku bom yang adalah perempuan bercadar bersama kedua putrinya. Yeni pun dengan kebesaran hatinya mengaku telah memaafkan pelaku bom yang telah melukai suaminya. “Memaafkan mas,” ucapnya singkat. “Agama saya mengajarkan saling memaafkan, saya pasti maafkan,” kata Yesaya Jumat (18 Mei 2018). Ali Abu Awwad mengungkapkan bahwa musuh yang terbesar dan yang sesungguhnya itu bukanlah orang Israel, tetapi ketakutan (the fear) orang Israel. Sementara ketakutan (the fear) orang Palestina yang menderita di bawah kekejaman militer Israel adalah musuh utama orang Israel. Baik orang Israel maupun orang Palestina sama-sama ahli perlombaan dalam menderita.
Namun di atas semuanya itu, kerahiman merupakan suatu seni kemanusiaan. Belas kasihan adalah perayaan kehidupan seluruh mahluk. Umat manusia adalah korban dari syahwatnya sendiri, tetapi di dalam diri manusia seperti itulah juga terkandung kerahiman yang tersabotase dan tidak teraktualisasikan. Kemenangan manusia dan perayaan hidup terdapat di dalam kerahiman, belas kasihan dan memaafkan. Menurut Derrida memaafkan adalah memberi maaf kepada sesuatu yang tidak termaafkan dan sebelum orang meminta maaf dan karena orang itu memang tidak memiliki kemampuan untuk memaafkan. Memaafkan adalah keharusan atau perintah untuk melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan (the impossible). Memaafkan adalah melakukan lebih dari yang orang dapat lakukan (the impossibility). Namun bagi Derrida di dalam persahabatan tidak lagi ada keadilan dan memaafkan. Persahabatan melampaui keadilan dan memaafkan. Persahabatan adalah filadelfia, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian terlebih dahulu kepada mereka.”
Kekerasan berakar dalam diri manusia itu sendiri. Agama adalah siasat manusia untuk mengatasi kekerasan tersebut. Namun sayang agama seperti itu justru memuluskan tindak kekerasan manusia. Kekerasan dan agama saling berkait, saling membutuhkan dan saling memicu. Tetapi dari hati manusia yang seperti itu juga dapat muncul kerahiman sebagai penawar racun kekerasan dan agama yang haus darah. Kekerasan dan agama pengurbanan harus mendapatkan hukuman yang adil. Hukuman yang adil bagi kekerasan dan agama berlumur darah tersebut adalah pengampunan yang bersumber dari kerahiman. Jika selama ini orang menuruti keadilan yang mengatakan: “Mata ganti mata, gigi ganti gigi dan nyawa ganti nyawa.” Atau hukum yang mengatakan: “Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.” Maka sudah tiba saatnya keadilan itu berbunyi: “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.” (Matius 5: 44-dst) Hukum itu mengarahkan: “Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum!” (Roma 12: 20) Memang sungguh aneh, entah mengapa manusia selalu saja melakukan kekejian. Lebih mengherankan lagi, toh ia juga masih tetap berjuang sebaik mungkin untuk melawan kekejian tersebut dan terus berusaha melangkah maju. Anthony Bourdain (1956-2018) mengatakan: “Perhaps wisdom is realizing how small I am and unwise I am and how far I have yet to go.” “Travel isn’t always pretty. Isn’t always comfortable. Sometimes it hurts, it even breaks your heart. But that’s okay. The journey changes you, it should change you. It leaves marks on your memory, on your consiuousness, on your heart and on your body. You take something with you. Hopefully, you leave something good behind.” Manusia adalah mahluk plintat- plintut yang sangat berbahaya sekaligus patut untuk dikasihi. Manusia masih akan tetap menjadi misteri, bahkan bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu Dhammapada selalu mengingatkan manusia: “Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi, dagingnya saja yang bertambah, tetapi kebijaksanaannya tidak pernah berkembang.”
*Penulis adalah seorang peneliti di Abdurrachman Wahid Center UI
Kepustakaan
Derrida, Jacques. On Cosmopolitanism and Forgiveness. Routledge, London, 2001.
Derrida, Jacques. The Politics of Friendship. Verso, London, 2005. Fikriono, Muhaji. Puncak Makrifat Jawa: Pengembaraan Batin Ki Ageng
Suryomentaram. Mizan, Jakarta, 2012.
Girard, Rene. Deceit, Desire and the Novel. Self and Other in Literary Structure.
Baltimore Maryland, The Johns Hopkins Press, 1965.
Girard, Rene. Violence and the Sacred. Baltimore Maryland, The Johns Hopkins Press, 1977.
Girard, Rene. The Scapegoat. Baltimore Maryland, The Johns Hopkins Press, 1986.
Palaver, Wolfgang. Rene Girard’s Mimetic Theory. Michigan State University, Press, Michigan, 2013.
Williams, James G. The Girard Reader. The Crossroad Publishing Company, New York, 1996.
Sumber Internet
https://islami.co/tulisan-gus-dur-gandhi-islam-dan-kekerasan/
https://regional.kompas.com/read/2016/11/15/12545501/keluarga.trinity.mema afkan.pelaku.pengeboman.di.samarinda
https://regional.kompas.com/read/2018/05/17/08143961/anak-korban-bom- gereja-surabaya-kami-sudah-memaafkan-pelaku
https://www.suara.com/news/2018/05/19/190039/istri-korban-bom-gki- surabaya-telah-memaafkan-pelaku
https://www.tedxjerusalem.com/speaker/ali-abu-awwad/
https://www.inc.com/kevin-daum/30-quotes-from-anthony-bourdain-on- making-your-life-a-fulfilling-adventure.html