Pergulatan Awal Orang Inggris di Jawa

Oleh Imam Muhtarom  

Judul Novel: MATARAM, A Novel of Love, Faith and Power in Early Java

Penulis: Tony Reid

Penerbit: Monsoon Books, 2018

Tebal buku: 336 hlm.

Kali ini Tony Reid atau Anthony Reid hadir dengan novel barunya berjudul Mataram. Tony Reid tidak lain sejarawan Anthony Reid yang telah menulis berjilid perdagangan di Asia Tenggara masa pra-kolonial dan kolonial. Dalam Mataram ini visi Tony Reid sebagai pribadi muncul dalam karyanya yang akan kesulitan muncul dalam karya sejarahnya. Jika novel merupakan kenyataan yang seharusnya terjadi, maka karya sejarah adalah kenyataan yang telah terjadi, demikian Budi Darma pernah berujar.

Awal abad 17 Banten sudah ramai kedatangan orang-orang Barat. Mereka tiba di Banten semenjak Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada 1511. Jatuhnya Malaka mengubah lanskap ekonomi-politik di Asia Tenggara masa itu. Dua tahun kemudian Portugis telah mencapai Ternate, tepatnya pada 1513. Mereka tidak lagi mengandalkan pasokan rempah-rempah dari para pedagang Arab. Portugis datang menangguk sendiri dari mana rempah-rempah yang amat mereka butuhkan berasal. Sementara itu, Belanda juga telah masuk ke Nusantara. Masa itu Belanda belum menguasai sumber ekonomi dan politik di Nusantara. Mereka masih benar-benar berperan sebagai pedagang.

Di sisi lain Islam telah merasuk ke dalam kehidupan masyarakat saat itu khususnya di Banten dan di Jawa. Masa itu dikenal dalam sejarah sebagai kebangkitan Mataram dengan latar Islam di Jawa bagian tengah.

Adalah sosok Thomas Hodges dalam novel Mataram karya Tony Reid yang “terdampar” di Banten di awal abad 17 melalui kapal dagang  Inggris. Di Banten Hodges asal Inggris itu tidak mendapat tempat dari bule-bule Portugis maupun Belanda. Selain dipisahkan oleh perbedaan politik, Hodges berbeda dengan mereka sebab ia menganut Katholik. Menurut Hodges, Katholik di Inggris sejalan dengan ajaran Yesus. Ajarannya tidak dilatari oleh kepentingan uang seperti di Spanyol, Portugal, dan Roma. Di ketiga tempat terakhir ini ajaran gereja dikorupsi oleh para pimpinan gereja dengan menyatakan siapa saja dapat ke surga asal menyediakan uang (hlm. 58).

Di Banten inilah Hodges banyak dibantu oleh sosok etnik Tionghoa, bernama Ah Pong. Melalui tokoh ini Hodges punya akses ke penguasa Banten. Kemudian Hodges bertemu tokoh Sri dan selanjutnya mereka bertemu ibu suri atau dari ibu raja Banten. Sri ini berperan penerjemah Hodges dengan ibu Suri. Perkenalan ini membawa hubungan lebih jauh Sri dan Hodges. Hubungan mereka menjadi komunikasi budaya yang menarik antara Inggris dalam diri Hogdes dan Jawa pada diri Sri.

Terdesak oleh pertentangan yang dipicu oleh kalangan Islam puritan di Banten Hodges tertarik cerita tentang Jawa yang inklusif dalam hal keyakinan dan budaya. Banten akhir abad 16 dan awal abad 17 sudah diliputi kebencian terhadap segala hal yang tidak sesuai syariah yang dikobarkan kalangan Islam puritan.

Pergilah Hodges dan Sri ke Jepara. Sebelum mereka ke Jepara kedua insan beda kulit, etnik, keyakinan, menikah. Namun pernikahan mereka tidak ada yang tahu. Hodges kemudian masuk Islam. Untuk menjaga keamanan perjalanan mereka pergi ke Jepara terpisah. Sejauh di mata publik hubungan Sri dan Hodges adalah penerjemah. Sri yang lincah ditampilkan pintar oleh Tony Reid, sang novelis. Bisa bahasa Portugis, mengerti budaya Jawa cukup baik.

Hodges dan Sri tidak terlalu lama di Jepara. Hodges ke Mataram dan ingin bertemu penguasa Mataram. Hodge kini datang ke Mataram berperan sebagai konsulat Inggris. Misinya adalah misi perdamaian dan perdagangan. Tujuannya Inggris yang kalah pamor dengan Portugis dan Belanda di Jawa segera dikenali penguasa Mataram. Inggris memiliki armada laut yang besar, bahkan kekuatannya lebih besar dari Portugis dan Belanda.

Di Mataram inilah novel karya Tony Reid menemukan simpul pelik permasalahannya. Konteks politik lokal di Jawa sedang berada pada masa bergolak. Mataram sedang membangun aliansi politik untukk mengukuhkan dirinya sebagai penguasa tanah Jawa. Di sisi lain semenjak Malaka jatuh ke tangan Portugis, Nusantara berada dalam ancaman. Sewaktu-waktu bisa terjadi perang besar antara Mataram dan Portugis atau Belanda. Inggris masa itu tidak masuk dalam perhitungan Mataram. Kiprah Inggris belum tampak di Nusantara.

Hodges inilah tokoh martir yang mengintrodusir Inggris beserta identitas budayanya ke Jawa. Pihak Mataram, Pangeran Anggalaga yang nantinya dikenal sebagai Sultan Agung, tertarik dengan kehadiran Hodges asal Inggris. Anggalaga digambarkan sebagai penguasa Jawa pragmatis. Ia mau menerima Hodges yang Inggris dan Katholik sebab Hodges paham dengan baik soal meriam. Dalam pandangan Mataram yang sedang mengkonsolidasi kekuatan militer, sosok Hodges memiliki sumbangan penting apabila bergabung di pihaknya.

Hanya saja, Mataram kali ini adalah Mataram Islam. Identitas keislaman penting dan menjadi daulat yang tidak bisa ditawar. Hodges diberi pilihan untuk gabung ke Mataram dengan segala fasilitasnya dengan syarat mau terlibat di militer dan menjadi muslim. Padahal, misi utama Hodges tidak lain adalah perdamaian dan terjadinya hubungan dagang antara Jawa-Inggris.

Secara pribadi Hodges menyukai Jawa. Ia menyukai keyakinan Jawa yang terbuka. Di Jawa keyakinan tidak dipertandingkan, tetapi memperoleh titik temu. Dalam Kejawen, unsur Islam dan pra-islam bisa hadir dalam keharmonisan yang indah. Dalam budaya Jawa, perbedaan dalam hal keyakinan memperoleh tempat untuk memuja kebesaran sang pencipta. Ia melihat kesamaan Katholik orang Inggris dengan orang Jawa dalam hal keyakinan.

Katholik Pencerah Jawa

Adalah tokoh yang terbiasa dipanggil Romo muncul ketika Hodges berada di Mataram. Romo telah lama telah menetap di Mataram. Romo diterima dengan baik di kalangan bangsawan Mataram. Sosoknya yang spiritual, lurus, welas asih cocok dengan konsep sosok ideal dalam budaya Jawa. Mengerasnya Islam puritan, tokoh Romo ini tidak sepenuhnya diterima di kalangan bangsawan Mataram. Penolakan ini bersifat diam-diam. Nantinya, masalah ini menjadi batu sandungan yang tidak teratasi baik oleh Hodges maupun Romo itu sendiri.

Romo inilah yang memberi perspektif bahwa Katholik kompatibel dengan budaya Jawa. Romo memandang Katholik bisa melebur dengan Jawa, seperti Islam bisa melebur dengan Jawa dalam Islam Kejawen. Perdebatan Katholik, Jawa, Islam bersama Romo, Kyai Wirajaya, membawa novel ini ke pergulatan teologi yang menarik. Bahwasanya sebagai Katholik tetap bisa menjadi Jawa. Argumen ini meyakinkan Hodges dan Sri untuk menikah dalam sakramen Katholik.

Melalui tokoh Romo inilah Hodges bersikukuh perlunya Jawa akan Katholik, sebagaimana Jawa perlu Islam dan Budha. Sebab dengan adanya Katholik di Jawa, Jawa akan memperoleh ilmu pengetahuan yang berkembang di Inggris. Pelbagai penemuan teknologi dari perkembangan ilmu pengetahuan akan menjadi sumbangan besar  Inggris yang Katholik kepada Jawa (hlm. 318-319). Seperti Hodges juga rasakan sumbangan Jawa yang besar bagi dunia dari sudut budaya dan keyakinannya yang terbuka.

Sementara itu, perkawinan Hodges dan Sri membuahkan anak bernama Andrew Hodges. Hodges yang Katholik dan Inggris, sementara Sri yang Islam dan Jawa, tidak merancang apakah anak mereka kelak memiliih Katholik, Muslim, Jawa, atau Inggris. Yang jelas anak Hodges dan Sri adalah hasil budaya hibrid oleh perbedaan yang menyatu daalam diri anak itu.

Pada titik inilah si anak dalam masa perkembangan mengalami krisis identitas. Ia merasa tidak Jawa tetap juga tidak Inggris sebab ia berada di lingkungan orang Jawa dan ia juga tidak bisa berbahasa Inggris. Ia diperlakukan tidak sama dengan anak-anak Jawa lainnya. Ia sering diolok-olok.

Sri kemudian meyakinkan bahwa Andrew adalah anak Hodges yang Katholik. Pada saat bayinya ia dipermandikan secara Katholik oleh Romo. Dan Romo juga meninggalkan sebuah terjemahan Kitab Injil dalam bahasa Jawa. Sri berpesan kepada Andrew nantinya untuk menyelesaikan terjemahan   Injil tersebut dan dicetak sehingga bisa dibaca oleh banyak orang Jawa.

Kenapa Andrew Hodges diberi tugas melanjutkan misi Romo? Sebab Romo meninggal usai menikahkan Hoges dan Sri secara Katholik dan membabtis Andrew secara Katholik. Romo diracun oleh kalangan bangsawan atas ketidaksenangan Romo mewartakan Katholik di jantung Mataran. Sementara itu, Hodges meninggal dalam tugas kemiliterannya. Ada dugaan yang didengar Sri suaminya sengaja dibunuh koleganya sendiri dalam peperangan itu.

Novel ini bisa dilihat sebagai awal masuknya Inggris ke Jawa yang membawa bibit Katholik di tengah pergolakan Mataram Islam awal abad 17. Novel ini membawa gagasan berlatar sejarah yang kental ditulis oleh sejarawan andal Asia Tenggara Anthony Reid atau Tony Reid: bahwa Katholik bisa duduk secara harmoni dengan Jawa. Sebab Jawa itu mampu menyerap sesuatu yang asing tanpa menimbulkan pertentangan. Dan Inggris yang Katholik ini akan mencerahkan Jawa dari sudut ilmu pengetahuan, yang tidak disediakan oleh Islam.***

 

Penulis: Imam Muhtarom, dosen Universitas Singaperbangsa Karawang.