Sajak-Sajak Seno Joko Suyono

The laundry*
: untuk sebuah ujian pementasan

Seprai-seprai putih digantung seharusnya menjadi
bayang bayang putra cacat yang disangka iblis bertanduk

“Binatu adalah sebuah alegori bagi tempat pencucian dosa,”

Semestinya penonton keluar dengan perasaan seperti itu
Membekas amsal rentetan perselingkuhan dan kutukan di balik cucian
basah digantung diderai angin

Namun mahasiswa mahasiswa dan dosen itu tak mengerti
Selama tiga jam dialog-dialog dilancarkan tanpa tujuan
Membayangkan ketel-ketel panas seterika, kita pun tak bisa
Ujung kalimat para aktor tak terdengar karena tertelan ludah

Pun saat pemeran direktur sirkus muncul
Tak ada pertanda sebuah sirkus besar
tengah menjamu warga kota di lapangan dekat rumah itu

“Aku butuh manusia aneh untuk tontonanku,
aku ingin menjadikannya maskot,” teriaknya growong

Panggung, sedari awal sepi bunyi sayup-sayup riuh rendah pasar malam
Samar-samar suara terumpet atau genderang riang pun nihil
Penonton kehilangan petunjuk: bahwa di luar ada tenda besar
tempat beruang-beruang menari
Dan badut-badut terbahak-bahak mengayuh pedal roda besar

Penonton tak berdebar
Saat sang juragan sirkus mencari rahasia keluarga:
anak bermuka Minotaur yang disembunyikan di loteng binatu
Turunan Lucifer yang suka bersembunyi di harum seprai-seprai

Di Gedung teater kampus itu
Kita letih karena imajinasi tak kemana-mana.
Poster-poster pertunjukan ditempel di lobi penuh omong kosong
Proscenium selalu diisi hal-hal menjemukan dan mengecewakan
Di kursi-kursi teater kampus kita menua bersama-sama

*Naskah karya David Gueron

 

Gunungsari *

Wajahku bertopeng putih lembut
Mataku sipit
Daguku tak runcing
Begitu layar dibuka
Aku seolah keluar dari sela pepohonan pule
Yang batangnya dipangkas untuk membuat mukaku

Aku menari sangat halus, banyak yang mengiraku perempuan
Kubetulkan jamang rambutku. Agar rambut panjangku tak lepas terbakar obor
Aku pengembara ragu. Puluhan kilo berjalan mencari pertapa hutan,
begitu ada pesta desa, kuhentikan keinginan khalwatku.

Selendang putihku kulambaikan
keris kumasukkan warangka. Kutinggalkan binatang-binatang yang menemaniku
Juga makhluk makhluk gaib yang memberiku susu

Menatap kursi-kursi tobong dari lubang kecil mata topengku
Aku mencari kekasih abadiku Ragil Kuning
Acap kali ia menghilang dari istana Lembu Amerdadu

Mencariku ke taman-taman purbakala yang jauh
Membuntutiku ke sudut-sudut kumuh pabrik berkilang
Mengejarku ke judi-judi malam dusun
Menapaktilasiku ke panti panti mesum
Dan diam-diam menyamar sebagai penonton lelaki yang lugu

Musuh-musuhku selalu datang dengan wajah mirip aku
Meletup letup hasratnya
Tegang lingganya
Tapi dewi sayembaraku tak bisa direbut.
Ia tahu mana aku yang asli atau tidak

Bau pundakku telah ia hafal sejak dari loket
Rasa lidahku telah ia cecap sejak dari tempat parkir
Bangir hidungku telah ia lumat dari toilet
Kulit kuningnya bila didekapkan ke coklat tubuhku akan menghablurkan warna keemasan
10 kembaranku yang tak pernah
menyatukan tubuh dengan tubuhnya akan segera dikenali tipu dayanya

Jadi menembanglah aku malam itu
Lagu dari kawasan melati tempat Panji dan Sekartaji bersua
Aku mengembangkan tanganku seperti seekor merak kasmaran
Lalu kugedruk gedruk tapak kakiku ke lantai agar gonseng yang melilit tumitku
Nyaring berbunyi ke segala penjuru
Aku tahu tubuh kekasihku saat itu bergetar dan hangat
Sebab pancaran birahi mengalir dari tulang punggung sampai lengan dan kaki-kakiku
Putik bunga, serbuk serbuk mawar pun berhamburan

Bunyi gonseng creng creng creng di kakiku melucuti kedok-kedok
Mereka yang berpura-pura menjadi aku

*sahabat Panji dalam Topeng Malangan

 

Late Check Out

Kami saling menyamar
Ia menjadi seorang perempuan arkeolog
Aku menjadi pensiunan wartawan yang gagal

Tak banyak barang yang kami bawa
Kami akan melakukan ekskavasi di kamar
Kami akan menggali lantai kamar dengan tangan bersahaja
Mencari cari prasasti cinta yang tak bisa dibaca

Resepsionis menunjuk lift
Tapi kami memilih tangga

Supaya kami bisa mendengar tok-tok langkah tua sepatu kami
Menghindari aturan-aturan hotel syariah

Kami meminta handuk lebih banyak malam itu
Dan menyuruh petugas mengganti gorden
Menyalakan AC hingga pagi
Dan membukakan channel-channel perang Israel di TV
Serta menambah Aqua di kulkas kecil

Kami terantuk-antuk bersama
Mencari peripih di bawah ranjang
Mengudal-ngudal lipatan selimut mengharap lempir-lempir emas bermantra
Membalik-balik kasur berdoa ada giwang tercecer

Kami lupa apa yang kami temukan
Hanya memandang nanap sawah-sawah di balik laju kaca kereta
Sesudah late check out


Open House

Mari, mari masuk
Tak usah sungkan
Kami membuka rumah ini sebagaimana resto
Tempat berhenti bus-bus malam antar pulau

Masakan masih hangat
Silakan ambil sendiri yang tertata di meja
Gulai tunjang, kari bebek, itik cabai hijau,rica-rica kambing, Sop Patin
Jalan aspal berkelok-kelok masih panjang
Tol belum sampai di sini. Makan, sholat dan tidur dulu di mushola
Karpetnya bersih baru dicuci

Rumah kami terbiasa menjadi perlintasan
Orang-orang yang melawan dengan diam
Orang-orang yang memberontak dengan membisu

Kamu yang mencari warisan dunia baru
Bisa mencari petunjuk dari keheningan di sini

Tak ada perbincangan politik di sofa
Tak ada yang membawa pataka-pataka partai
Tak ada yang mendengarkan podcast-podcast
Kami tak ingin menerima bocoran-bocoran skandal apapun

Istirahatlah dulu
Selonjorkan kaki senyaman mungkin
Sebelum kami berikan denah patok-patok langit
Yang memberi petunjuk cepat sampai ke lokasi persamuhan gaib

 

Pembebasan

Sudah saatnya pergi dari ruang kerja ini
Tak ada lagi yang memandang dan mengajak bicara
Puluhan tahun mengabdi tak ada arti
Seperti orang terusir, kau turun dari lift dengan perasaan luka

Hanya satpam yang mengucapkan salam
Jangan tinggalkan topimu Bung –
Jejak-jejak apapun sebaiknya dihapus

Jam dinding kuno di dekat colokan charger di lobi
Menyambut pamitmu
Andai batinmu kaya, kembalikan saja semua THRmu,
Dentang jam yang dipindah dari kantor lama itu
Mensolilokuikan kepergianmu

Gedung ini hanya ilusi garis
Yang pada waktunya pudar
Seorang office boy membersihkan kaca dengan sabun kenangan
berusaha menjabat tanganmu
Sembari mengingatkan masa-masa lalu kau ajak menonton pameran

“Sampai sekarang aku tak mengerti Bang
Apa maksudnya instalasi-instalasi itu. Aneh,”katanya

Kau tertawa bahagia
Masih ada yang mengingat hal-hal kecil
yang membuatmu dianggap tak berguna

Bagi orang-orang yang tak diperlukan sepertimu
Perpisahan adalah sebentuk mimpi-mimpi pencapaian
Katamu: Ia pembebasan, sayangku

 

Perpustakaan Sri Aurobindo, Pondicherry

Poster-poster potretmu yang kubeli di perpustakaan ashram Pondicherry
masih tergulung rapi di rumah
Engkau bukan Kant
Saat kau mati, dikremasi. tak ada yang membuat topeng wajahmu

Rambut panjangmu sanyasinmu
Dalam foto yang berubah dari masa ke masa
Kubawa pulang. Belum ada yang kubingkai dan kupasang di dinding
Takut janggutmu rontok atau makin memutih
Atau tiba-tiba menyala, terbakar

Demikian pula, otobiografimu
The Life Divine jilid 1 dan 2
Belum kusentuh
Hanya sempat kubaca daftar isinya

Barangkali nanti akan datang seorang tamu
Membacakannya untukku.
Menguraikan bagian-bagian tersulit

Tentang purusha
Tentang kesadaran kosmis
Tentang evolusi pikiran

Tentang sebuah kota utopia bernama Aurevile
Kota tanpa agama dan uang
Yang memiliki kubah emas- tempat meditasi dengan gravitasi lain
Yang dibangun pasanganmu – tapi tak pernah kau sebut dalam bab-babmu

Aku harap tamu itu mampu membaca alinea alinea tersiratmu
Dan menunjukkan itu bukan ilusi di sini
Akan kuminta kepadanya alamat
Tempat aku bisa menjadi mursyid

Ya, aku menunggu tamu seperti itu
Tamu yang tak pernah datang-datang

***

*Seno Joko Suyono, pernah kuliah di Fak Filsafat UGM, tinggal di Bekasi.