Joseph Ginting: Godot Bisa Didekati Dengan Realis

Hampir 40 tahun lalu bersama tiga sahabatnya di Teater Lembaga LPKJ/IKJ yang kini telah almarhum, Didi Petet, Sena A Utoyo, Eddie Riwanto – Joseph Ginting mementaskan Waiting for Godot untuk publik luas. Saat itu Joseph Ginting bermain sebagai Vladimir, Didi Petet sebagai Estragon, Sena A Utoyo sebagai Pozzo dan Eddie Riwanto sebagai Lucky. Pertunjukan itu tepatnya berlangsung di Teater Tertutup, Taman Ismail Marzuki 4-8 November 1982. Pertunjukan itu dianggap sebagai salah satu tonggak pementasan dari jurusan teater IKJ (Institut Kesenian Jakarta). 

Pertunjukan itu – diulang pada tahun 1989, dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta. Meski berselang tujuh tahun, pertunjukan itu tidak melorot- malah banyak dianggap kritikus teater makin matang. Dan makin bergigi. Berbagai ulasan di media besar menyampaikan pujian atas pertunjukan tersebut. Rata-rata mereka menganggap pertunjukan Waiting for Godot yang disutradarai Wahyu Sihombing (almarhum) itu terasa jelas, clear, penuh stamina dan tidak membosankan. Permainan Ginting amat dipuji. 

Wartawan budaya kawakan Kompas Efix Mulyadi misalnya di tahun 1989 itu menulis di Kompas. Dia membandingkan pementasan Waiting for Godot versi IKJ itu dengan pementasan Waiting for Godot versi Rendra di tahun 1970. Demikian petilan pendapatnya: 

…..Naskah (Waiting for Godot-red) terjemahan Rendra ini diolah menjadi tontonan yang bertempo cukup cepat dan mengalir lancar. Rendra seperti terbaca pada laporan media massa memainkan lakon ini selama empat jam, dengan sejumlah aktor tangguh yaitu: Chaerul Umam, Moortri Purnomo, Putu Wijaya. Wahyu Sihombing hanya membutuhkan waktu tiga jam, itupun diseling istirahat selama sekitar seperempat jam.

Ini memang soal pilihan. Membuat kejenuhan, kebosanan, dan rasa tak berdaya, menjadi tontonan yang lebih enak dilihat, mengapa tidak? Suasana sepi, muram, yang menunjukkan betapa hidup hanyalah sekedar mengisi waktu, digarap menjadi lebih hangat dan menyemburkan simpati. Waktu, yang seolah-olah terasa berhenti, digerakkan dan digoyang goyangkan. 

Karena itu, tidak ada adegan diam berlama-lama seperti orang dungu menunggu kereta. Hampir tak pernah panggung dibiarkan benar-benar sepi, mencekam, seperti suasana yang diperlihatkan lewat dialog dua lelaki kumal tersebut. Untuk keperluan ini, pasangan Joseph Ginting dan Didi Petet, telah menunjukkan kapasitasnya. Mereka berdualah, Ginting selaku Vladimir dan Petet sebagai Estragon, yang selalu berada di panggung selama pertunjukan…

Sementara Putu Wijaya, menulis di majalah Tempo dengan amat antusias. Begini komentarnya:

…..Di tangan Rendra, Godot menjadi teateral dan puitik. Sementara di tangan Hombing, Godot jadi realistik. Dengan pemain-pemain yang memiliki stamina yang bagus serta ketrampilan teknis yang baik, Teater Lembaga hadir memikat. Panggung tidak hanya menjadi arena diskusi tok, tetapi menyuguhkan peristiwa. Joseph dan Didi tampak kompak, mereka mengenal betul perannya dan hubungan antar keduanya. Sering muncul kelucuan-kelucuan yang segar karena Didi Petet melontarkan dialog dengan pas. Pozzo yang dimainkan Sena dengan karikatural kadang kurang selektif. Sementara Didi dan Joseph yang bermain secara realistik, Sena jadi aneh toh tetap lucu. Sementara itu Eddie Riwanto, sebagai Lucky bagus. ….”

Akan halnya Wiratmo Soekito, pemikir budaya senior menulis di Harian Media Indonesia juga mengacungkan jempol untuk pertunjukan itu. Wiratmo yang  menonton pertunjukan Waiting fot Godot nya Rendra di tahun 1970 terlihat jujur saat mengatakan:

…. Sebagai sutradara Sihombing beruntung mempunyai aktor-aktor yang “balanced’ (seimbang), sehingga pementasan terasa hidup. Ia tidak mengalami kesulitan sebagai Rendra yang para aktornya kurang “balanced”, (dalam pertunjukan Rendra-red) satu dua aktor terlalu kuat di tengah-tengah sekumpulan aktor yang lemah. Dalam drama kita tidak bisa besar sendirian . “Wer Groszes Will,” kata Goethe. “Muestz sich Zusammen raften (Siapa ingin besar harus mengangkat diri bersama-sama). Memang para aktor Sihombing bermain dengan prima dalam ukuran imaginasi mereka masing-masing atas karakter masing-masing….   

Michael Radies dalam artikelnya di Jakarta Post berjudul: Sihombing’s ‘Waiting for Godot’ provokes and amuses tak bisa menyembunyikan kekagumannya atas tafsir para aktor Sihombing yang menurutnya mampu membuat naskah Godot yang berat dan filosofis menjadi sebuah pertunjukan yang mudah dicerna semua kalangan. Ia menulis demikian: 

….In Teater Lembaga‘s staging under Sihombing‘s direction, playing at Gedung Kesenian Jakarta, it is clear almost from the very beginning that Sihombing has changed Godot from terrible philosophical statement questioning the existence of God, hope and meaning into a “real play”. His characters are human; they are not the pawns in a senseless game of chess Beckett made them. Sihombing’s version of Waiting for Godot is a popular version, one that even non Beckett fans will find enjoyable….     

Wahyu Sihombing kini telah wafat. Dari empat aktor Teater Lembaga pendukung Waiting for Godot kini hanya Joseph Ginting yang masih hidup. Ia masih segar dan sehat. Lelaki kelahiran Kaban Jahe, Sumatra Utara, lahir 23 Oktober 1951 tahun ini genap berumur 70 tahun. Ia masih ingat betul proses di balik pementasan tersebut. Ia masih ingat berbagai hal-hal kecil seputar proses latihan pementasan itu. Banyak hal menarik – termasuk cara dirinya dan teman-temannya Didi Petet (Estragon), Sena A Utoyo (Pozzo) dan Eddie Riwanto (Lucky), menafsirkan Waiting for Godot yang patut diketahui masyarakat teater kita. Untuk itulah Seno Joko Suyono dan Edy Susanto melakukan wawancara dengan Joseph Ginting untuk menggali berbagai informasi mengenai pementasan Waiting for Godot versi teater Lembaga tersebut.

Foto pada saat wawancara Joseph Ginting oleh Seno Joko Suyono dan Edy Susanto

Wawancara dilakukan di sebuah pagi – di pinggiran kota Bekasi sembari ngopi pagi rileks (Ginting lebih suka teh panas untuk tambahannya). Wawancara – disela-sela menikmati kudapan tahu Sumedang hangat – dan jeda makan siang – serta mendengarkan musik. Ginting tampak semangat saat bercerita. Ia duduk, berdiri – menirukan akting – dan hal-hal lucu saat itu, ketika bertutur. Wawancara ini sekaligus dimaksudkan untuk restropeksi Joseph Ginting melihat ulang bagaimana ia memerankan karakter Vladimir 40 tahun lalu – di saat masih muda. Dan bagaimana di umur 70 tahun ini ia memaknai kembali apa itu Waiting for Godot dan bagaimana posisi Vladimir dalam naskah itu. Berikut petilan wawancaranya: 

Bisa Anda ceritakan bagaimana Anda terlibat pementasan Waiting for Godot di tahun 70an? Apakah betul itu awalnya ujian Diploma Empat (D-4) LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) dengan pembimbing karya Wahyu Sihombing?

Betul. Saya masuk ke LPKJ tahun 1977. Pada tahun 1982 saya (beserta Didi Petet, Eddie Riwanto, Sena A Utoyo -red) sudah harus ujian, saya tanya sama Wahyu Sihombing, “Pak Hombing apakah kita ini akan ujian, tanggal berapa, bulan berapa, saya bisa ujian?”   Jawaban Wahyu Sihombing : “Hah, udahlah nggak usah kau pikirkan itu. Untuk apa sih ijazah.” “Ya untuk Ibu saya Pak, supaya Ibu saya tahu bahwa saya tidak luntang lantung di sini. Bahwa saya itu ya memang sekolah,” respon saya. Wahyu Sihombing saat itu malah mengatakan: (Joseph Ginting sambil ketawa mengenang hal itu) “Bawa Ibumu kemari.” Jadi, bertengkar dulu gitu lo antara saya dan Wahyu Sihombing. Baru setelah itu, saya disuruh mencari naskah yang empat orang pemainnya, empat orang, laki-laki semua.

Lalu Anda menyodorkan Waiting for Godot? 

Bukan. Pak Hombing yang mengusulkan naskah itu. Waktu itu kami kurang membaca naskah-naskah. Kami cari naskah-naskah realis yang  pemainnya empat laki-laki tapi nggak nemu. Lalu Wahyu Sihombing mengusulkan kepada kami Waiting for Godot. Tapi tawaran ini ditolak sama Pak Djaja (Djadoeg Djajakoesoema-red). Pak Djadja itu ngomong: “Naskah apa itu nggak ada perempuannya. Tidak ada pemain wanitanya. Bukan naskah itu.”

Pak Djaja waktu itu sebagai apa?

Pak Djaja itu ketua jurusan kalau nggak salah.

Terus? 

Saya lari ke kantin. Terus di kantin saya dikasih minuman sama teman-teman ‘Emen’ (grup peminum di LPKJ saat itu menurut Ginting-red). Nah habis minum dari Emen, saya datangi lagi Pak Djaja. Karena pintu ruangan kerja Pak Djaja saat itu kayak pintu koboi, saya tendang dulu pintu tersebut. “Pak gimana nih, Pak Hombing sudah setuju, Waiting for Godot…..Bapak gimana?” “Ya sudah,” akhirnya Pak Djaja mengikuti Pak Hombing.

Foto Djaya Djayakoesuma

Foto Djadoeg Djayakoesoema

Waktu itu Anda memakai naskah Waiting for Godot terjemahan Rendra ?

Ya, Rendra. Kita minta izin sama Rendra saat itu.

Anda mendapatkan naskah Waiting for Godot terjemahan Rendra itu dari mana? Waiting for Godot rasanya setelah Rendra mementaskannya di tahun 1970, belum pernah lagi dipentaskan saat itu.

Saya mendapatkan di Bank Naskah. Semua acuan kita waktu itu ke Bank Naskah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Waktu izin memakai terjemahan Rendra saat itu bertemu langsung dengan Rendra ?

Oh nggak, lewat surat.

Terus dijawab sama Rendra?

Ya dijawab dan Rendra tidak meminta bayaran.

Bisa diceritakan bagaimana proses awal Anda, Didi Petet, Sena, Eddie membaca dan menafsir naskah secara bersama-sama. Apakah Wahyu Sihombing terlibat aktif dalam penafsiran? 

Foto Wahyu Sihoming

Foto Wahyu Sihoming

Oh nggak. Wahyu Sihombing tidak terlibat penafsiran. Pak Hombing  bilang: “Penafsiran ya urusan kalian, karena kalian yang ujian.” Pak Hombing hanya mengatakan kita harus memakai realis, memakai ‘beat,’ ‘karakter.’ Pokoknya Pak Hombing mengatakan naskah Waiting for Godot yang dikatakan para kritikus sebagai naskah absurd tersebut harus kita atasi dengan pendekatan realis. “Waiting for Godot kita atasi dengan akting dan pendekatan realis. Itu kan cuma kritikus, yang ngomongin Waiting for Godot naskah absurd. Tidak ada itu,” kata Pak Hombing. Tapi Pak Hombing juga menyarankan kita harus konsultasi dengan Pak Wiratmo Soekito. “Kalau soal absurd-absurd gitu kalian ngomong aja sama Pak Wiratmo,” kata Pak Hombing.

Terus Anda ke Wiratmo Soekito?

Ya, setelah kita berempat berdiskusi – masing-masing menafsirkan Godot – dan pusing sendiri, kita lalu bertemu Wiratmo Soekito. Pak Wiratmo saat itu mengajar di LPKJ. Pak Wiratmo ini memang membaca banyak naskah absurd. Untuk melengkapi kelulusan keaktoran kita saat itu diharuskan memainkan dua karya. Kami berempat selain memainkan :Waiting for Godot juga kemudian memainkan Hilang Tanpa Bekas. Untuk kedua pementasan itu kami konsultasi dengan Pak Wiratmo.

Hilang Tanpa Bekas karya Sartre?

Ya. Naskah itu diterjemahkan oleh Asrul Sani (Judul aslinya: Morts Sans Sepulture: Mati Tanpa Kuburan –red). Sebetulnya untuk kelulusan keaktoran saat itu awalnya mahasiswa LPKJ harus memainkan tiga naskah: naskah klasik, komedi sama realis. Tapi kemudian akhirnya menjadi dua. Saat mementaskan Hilang Tanpa Bekas, pementasan itu tidak diujikan.

pementasan "Hilang Tanpa Bekas"

Foto kliping pementasan Teater Lembaga “Hilang Tanpa Bekas”

Waktu ketemu Pak Wiratmo untuk konsultasi, Anda masih ingat apa yang dikatakan Pak Wiratmo?

Pak Wiratmo bilang:” Wah kamu bikin saya naik-naik tangga. Saya harus bongkar lagi semua buku saya.” Pak Wiratmo saat itu mengatakan dua tokoh Waiting for Godot: Vladimir dan Estragon dia ibaratkan sebagai James Joyce (novelis Irlandia –red) dan Samuel Beckett (penulis Godot yang juga berdarah Irlandia-red). Menurut Pak Wiratmo, James Joyce dan Samuel Beckett pernah duduk-duduk bareng di sebuah boulevard, keduanya tidak saling mengobrol, tapi saat pulang mereka kemudian masing-masing menulis. Pak Wiratmo mengatakan naskah Waiting for Godot itu situasinya seperti orang buta mengobrol dengan orang tuli dan bisu – tidak menyambung. Situasi naskah itu sama seperti orang yang meminta ke Dewa atau ke Tuhan namun tidak mendapat sambutan apa-apa, tidak mendapat balasan apa-apa… 

Wiratmo Soekito

Foto Wiratmo Soekito

Apakah Pak Wiratmo sempat menjelaskan karakter Vladimir, Estragon?

Dia menyebut Vladimir dan Estragon seperti pengembara. Tokoh Pozzo dan Lucky seperti majikan dan pembantu. Budaknya ini pintar, kalau dibuka topinya dia pinter, bicara tentang teknologi, bicara yang rumit-rumit. Namun kalau topinya tidak dibuka, dia tidak bisa apa-apa…

Apalagi penjelasan Pak Wiratmo?

Nah Pak Wiratmo menafsirkan demikian. Menurut Pak Wiratmo, Vladimir itu berasal dari Rusia, Estragon berasal dari Inggris, Pozzo dari Italia dan Lucky dari Amerika…  

Wah menarik ini. Umumnya orang memahami ke empat karakter itu dari Inggris semua….

Analisisnya Pak Wiratmo dari sudut nama. Vladimir menurut pak Wiratmo adalah nama Rusia, Estragon nama Inggris, Lucky nama Amerika dan Pozzo nama Italia. 

Jadi ada 4 warga? 

4 warga dunia yang berbeda suku bangsa. ”Mereka itu bukan satu bangsa,” kata Pak Wiratmo saat itu. 

Menurut Bakdi Sumanto, saat Godot dipentaskan Samuel Beckett, saat itu situasi dunia sedang terjadi ketegangan antara Blok Barat dengan Blok Timur.

Iya. Nah mungkin karena itu – bisa ditafsirkan empat karakter di Godot itu ada Rusia, Italia, Inggris dan Amerika….

Apakah Pak Wiratmo memberi penafsiran siapa itu Godot sebenarnya?

Ya dia bilang penulisnya sendiri (Samuel Beckett) nggak tahu. Ya terserah Anda mau menafsirkan apa. 

Samuel Beckett

Foto Samuel Beckett

Selain dialog dengan Pak Wiratmo, terus konsultasi lagi dengan siapa?

Sama Ikra (maksudnya Ikranegara -red)

Ikra bicara apa?

Ikra malah bilang: “Memang kalian bisa pentaskan Waiting for Godot? Kalian  dibimbing Pak Hombing kan?”  “Apa bisa ya?” Dia kayak bergumam demikian. Singkat, singkat sih ngomongnya.

Kenapa Ikra bisa bicara seperti itu?

Waduh, nggak tahu (tertawa). Ikra itu sangsi, karena basic anak-anak LPKJ adalah realis. Sementara Waiting for Godot adalah naskah absurd. Kira-kira begitu ….

Kenapa Anda saat itu konsultasi ke Ikra? Apa waktu itu masih anggota Teater Saja (pimpinan Ikranegara-red)?

Saya saat itu main di banyak grup teater. Dan beberapa kali terlibat dalam pementasan Teater Saja. 

Bersama grup Teater Saja, Anda memainkan apa saja, waktu itu?

“Tok..Tok..Tok”..terus “Byuur”

Semua disutradarai Ikra?

Ya. Ikranegara itu kalau menyutradarai sering sambil tutup mata. Dia biarin pemain bergerak… (sambil memperagakan gaya Ikra menyutradarai). Pernah saya tanya: “Eh Mas pemain-pemainnya kok nggak diliatin.” Ikra menjawab: “Saya lagi mau dengerin ucapannya dulu benar atau nggak.” Ikranegara sering konsentrasi ke situ, apa yang dibuat pemain tidak diperdulikan dulu 

Ikranegara pernah mengajar di IKJ juga kan?

Pernah. Saya jadi asisten dia mata kuliah penulisan. 

Foto Ikra Nagara

Foto Ikranegara

Setelah konsultasi ke Pak Wiratmo dan juga bertemu Ikranegara, akhirnya pegangan Anda apa dalam memahami Waiting for Godot?

Ya seperti pendapat Pak Hombing: “Pokoknya kita atasi dengan realis. Tidak ada absurd-absurd-an.” Pak Hombing saat itu bilang: ”Nanti kalau bagus, ujian kalian kita pentaskan di TIM. Tapi kalau nggak, jangan harap ada pementasan, hanya untuk ujian saja.”

Latihannya berapa bulan, sebelum ujian akhir itu?

Tiga bulan lebih. Kita latihan setiap saat. Nggak pakai jam latihan.

Apa yang pertama Anda kejar bersama Didi Petet, Sena A Utoyo dan Eddie Riwanto saat itu? Bisa diceritain?

Yang kita kejar kekompakan bemain. Kebersamaan bermain untuk menyatu. Saat itu Didi Petet dan Sena A Utoyo juga lagi sibuk-sibuknya latihan pantomim bersama Sena Didi Mime (kelompok pantomim yang didirikan Didi Petet dan Sena A Utoyo-red). Jadi kita latihan itu sering menunggu Didi Petet dan Sena A Utoyo selesai latihan atau sibuk urusan di Sena Didi Mime. Kita latihan di kampus. Di Teater Luwes IKJ (gedung teater di kampus IKJ-red), Plaza Seni Rupa IKJ, dan di belakang Teater Arena TIM saat itu. Jadi kalau soal waktu nggak bisa ditentukan, kita latihan di mana aja – di lingkungan kampus dan TIM.

Saat latihan-latihan dan diskusi berempat itu didamping Wahyu Sihombing?

Saat penafsiran itu Pak Hombing tidak mendampingi. Tapi untungnya kita berempat ternyata sangat klop. Kita mulanya menafsirkan peran masing-masing. Didi Petet menafsir sendiri karakter Estragon. Sena menafsir sendiri karakter Pozzo. Eddie Riwanto menafsir sendiri karakter Lucky. Kemudian kita bicarakan bersama. Kita lebih banyak diskusi daripada membaca. Dulu nggak ada google. Kalau sekarang di google tafsir-tafsir tentang karakter Waiting for Godot sudah banyak tersedia dan sangat membantu. Ternyata dalam penafsiran bersama tidak ada konflik. 

Anda menafsirkan karakter Vladimir bagaimana?

Tatkala kita membahas karakter Vladimir yang saya mainkan, saya mengatakan kepada Didi Petet, Sena dan Eddie bahwa Vladimir itu orangnya serius. Optimismenya tinggi. Dan Vladimir itu menurut saya orangnya tidak pernah pergi ke mana-mana- selain di lokasi tempat ia bertemu dengan Estragon, Pozzo dan Lucky itu. Jadi Vladimir menurut satu-satunya karakter di Godot yang tidak pernah pergi-pergi jauh.

Nah ini menarik Vladimir menurut Anda tidah pernah ke mana-mana. Kesimpulan  dari mana itu?

Dari dialog. Saya menafsirkan dari dialog. Vladimir itu menurut saya tetap tinggal di daerah situ. Dia terus berada di seputar tempat itu, sekitar situ, tidak pernah pergi jauh-jauh. Nggak pernah ke luar ke mana-mana. Dia tetap di sekitar situ saja- tapi tinggalnya juga bukan menetap di rumah ya.  Nah ini berlawanan dengan Estragon. Estragon saya lihat selalu ingin meninggalkan daerah itu. Dia tak tahan menunggu di situ. Estragon itu sosok yang saya tafsirkan pesimis. Pemimpi, penidur. Sementara Vladimir saya tafsirkan sosok yang optimis banget. Dia yang yakin banget akan adanya janji itu – bertemu Godot

Joseph Ginting

Foto Joseph Ginting di kampus IKJ

Penafsiran Anda agak religius….

Vladimir itu menurut saya masih percaya pada harapan. Masih percaya pada janji. Masih memiliki keyakinan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilihat. Sementara Estragon tidak. Antara Vadimir dan Estragon itu mungkin kalau dalam agama seperti Habil dan Kabil haha. Keduanya selalu bertentangan menurut saya. 

Nah, tafsir Anda makin religius……

Vladimir itu karakternya kompleks banget (di sini tiba-tiba Joseph Ginting berbicara pelan sekali seperti berbisik, seperti tidak ingin didengar orang lain ucapannya). Menurut tafsir saya dia itu seperti orang yang tidak punya agama tapi dia memiliki rasa keyakinan yang tinggi terhadap sesuatu yang tak terlihat. Hmm.. mungkin Vladimir itu seperti seorang agnotis…..

Agnotis? 

Ya. Vladimir itu  agnotis.

Karakter Vladimir yang masih kuat meyakini sesuatu yang tak terlihat itu berbeda sekali ya dengan karakter Estragon? 

Ya. Estragon adalah kebalikan Vladimir. Menurut saya Estragon selalu ingin meninggalkan sesuatu hal. Dia tidak perduli. Estragon itu karakternya acuh. Estragon itu selalu terus pengin bisa bebas sebebas-bebasnya. Dia itu pemimpi. Selalu ingin meninggalkan lokasi. Dia selalu ingin mengajak Vladimir pergi. Ayo kita pergi! Tapi Vladimir selalu menjawab tidak bisa pergi. “Kenapa nggak? tanya Estragon. “Karena kita masih menunggu,” jawab Vladimir. Percakapan itu diulang-ulang terus.

Vladimir dan Estragon itu panggilannya Didi dan Gogo ya?

Ya. Makanya menurut Mas Ikranegara panggilan Estragon itu spellingnya seharusnya: “Go !….Go! ….Go!” yang artinya pergi. Jadi bukan Gogo. Gogo itu dari kata “Go! Go!..Go!”. Saya rasa Itu benar juga karena karakter Estragon yang selalu ingin pergi. 

Foto Didi Petet

Foto Didi Petet

Menarik tafsirannya. Apalagi karakter Estragon yang Anda lihat…

Estragon ini selalu mengeluh. Dan ia selalu ingin orang lain tahu masalah yang dihadapinya (tertawa). Sementara Vladimir tidak  mau mendengerin keluhan orang…

Karakter dua orang itu juga selalu bersibuk dengan hal-hal kecil, seperti Vladimir kerap memainkan topinya dan Estragon sering bermasalah dengan sepatu botnya….

Ya. Estragon itu ingin bebas. Tapi dia tidak bisa bebas dari sepatu busuknya. haha..dia ingin pergi kemana-mana tapi yang menghalang-halanginya ya sepatunya-(yang rusak dan tidak bisa dicopot dari kakinya-red) 

Gesturkulasi Estragon yang kerap mau mencopot sepatunya itu, menurut Anda juga merupakan clue bahwa Estragon baru saja berpergian jauh..

Betul. Setiap pulang dari perjalanan entah  dari mana itu – yang menjadi persoalan dia selalu sepatu melulu. Saya melihat sepatu itu akhirnya menjadi simbol ketidakbebasan dia.

Ini menarik. Karena banyak yang mengkaji Godot tidak memperhatikan adanya sebab-akibat di balik mengapa Estragon selalu berurusan dengan sepatunya. Sering soal sepatu itu ditafsirakan  adegan gimmick – banyolan saja. Yang tidak ada dasar rasionalitasnya…..

Ya logikanya, Estragon itu sering berpergian dan ketika datang, sepatu yang dipakainya sudah rusak. Busuk. Ia ingin copot tapi tak bisa(seperti sudah melekat di kakinya –red). Sepatu akhirnya malah membuat kebebasannya menjadi terbatas.

Jadi karakter Vladimir dan Estragon itu menurut Anda benar-benar berlawanan?

Pokoknya ‘Ying’ dan ‘Yang.’ Optimis dan pesimisme. Yang optimis itu saya tafsirkan ya Vladimir…. 

Saat sosok anak kecil datang, membawa kabar Godot tidak datang, bagaimana sikap Vladimir? 

Masih antusias. Saya aktingnya tetap antusias. Saat kedatangan anak itu, mulanya anak itu seperti sesuatu yang dijanjikan. Tapi walaupun Godot ternyata belum datang, Vladimir tetap setia menunggu. Tetap antusias menunggu. 

Kalau reaksi Estragon?

Kalau Estragon dia marah-marah, ngamuk-ngamuk. Emosional. Dimaki-maki anak kecil itu.

Estragon tidak percaya anak kecil itu utusan?

Iya. Nggak percaya. Nggak percaya sama sekali. .

Kalau Vladimir?

Saya lihat dia percaya anak kecil itu seperti utusan….

Tafsiran Anda yang sangat “Katolik” terhadap karakter Vladimir ini pernah Anda sampaikan ke Pak Hombing? 

Ya. Saya ceritakan ke Pak Hombing. Pak Hombing sebenarnya kan awalnya Kristen. Lalu mualaf. Saya bilang ke Pak Hombing:” Pak… setelah saya baca, saya merasa  naskah ini sangat Kristen sekali.” Pak Hombing langsung merespon: ”Ah kau tidak usah berfilsafat-berfilsafat agama gitu.” Pak Hombing tidak mau saya berabsurd-absurd, beragama-agama. Nggak mau dia. 

Oke. Kalau Vladimir dan Estragon secara karakter bertentangan. Tapi mengapa mereka berdua tidak bisa pisah satu sama lain? 

Nah itu yang Pak Wiratmo bilang. Mereka seperti James Joyce dan Samuel Beckett. Mereka bersahabat tapi saling bertentangan…

Foto James Joyce

Foto James Joyce

Mereka saling membutuhkan ya?

Ya. Mereka sama-sama punya rasa kangen gitu lo.. Mereka selalu berdekatan. Selalu bersama. Persahabatan yang abadi. Bisa dibilang mereka saling menyayangi. Mereka saling membutuhkan satu sama lain. Mereka saling mempunyai pengertian satu sama lain walaupun prinsipnya berbeda. Kalau kita perhatikan di naskah – mereka memang selalu berdua. Kalau ada Vladimir selalu ada Estragon. Mereka selalu berdekatan. Tidak pernah mereka saling menjauh. Ada dialog dari Vladimir  yang saya masih ingat: “Marilah untuk pertama kalinya dalam hidup kita berbuat kebaikan, yaitu seperti induk harimau menjaga anaknya”..

Kalau karakter Pozzo menurut Anda bagaimana?

Dalam tafsir realis kami, Pozzo itu tuan tanah (menurut Joseph Ginting, Pozzo adalah tuan tanah yang memiliki tempat di mana Vladimir dan Estragon berada –red). Sebagai tuan tanah, Pozzo mempertanyakan, mengapa tempatnya dijadikan penantian. Pozzo kan di naskah bertanya kepada Vladimir dan Estragon: “Mengapa kalian di sini?” “Vladimir dan Estragon menjawab: “Kita menunggu Godot.”

Kalau karakter Lucky?

Lucky ini adalah budak atau pelayan Pozzo. Pozzo ini memiliki sifat bengis terhadap budaknya. Kalau budaknya tak mengikuti perintah, akan dia cambuk. Cambuk ini simbol kebengisan tuan tanah.

Lucky ini seperti agak gagap bicara ya? 

Sena Utoyo saat memainkan Pozzo – saya ingat dia mengeluarkan kata-kata tak beraturan n Godot, Gedau Gedang, Gadou-Gadou. Nah pada saat, dia mengucapkan Gadou-Gadou itu, reaksi, respon penonton ngakak….

Sena Utoyo

Foto Sena Utoyo

Padahal itu bicaranya serius. Nggak terpikir untuk melucu?

Serius.

Relasi Pozzo-Lucky, tuan-budak ini bagaimana?

Pozzo ini suka pamer orangnya. Sena menafsirkan Pozzo ini kaya raya. Banyak uang. Semua persoalan enteng. Pozzo pamer punya budak. Budaknya sesungguhnya  pintar, cerdas. Tetapi amat tergantung dengan dia. Pozzo ini pada babak kedua – dia buta dan tidak bisa lagi ngapa-ngapain….

Oh pada babak 2 buta ya….

Ya dia merangkak-rangkak. Kalau Lucky (meski terlihat bisu-gagap-red) sesungguhnya. cerminan dari budak yang pintar. Dia tiba-tiba bisa pidato tentang tokoh-tokoh. Dia bisa ngomong soal teknologi. Becket kayaknya melalui Lucky ingin menyatakan bahwa suatu saat manusia dikuasai oleh teknologi. 

Diskusi mengenai karakter ini memakan waktu berapa lama?

Ada sebulanan loh kita…ngobrol terus soal itu. Sambil reading..reading… sambil menghafal.

Setelah tafsir dan diskusi naskah, lalu masuk latihan blocking, pada akhirnya mengundang Wahyu Sihombing sebagai pembimbing?

Ya. Bloking ditangani Pak Hombing. Jadi gagasan Pak Hombing – bahwa Waiting for Godot bisa didekati dengan logika realisme semua dituang ke dalam bloking. Menurut Pak Hombing kalau kami ingin mengabsurd-ngabsurdkan adegan Waiting for Godot tidak perlu dan tidak penting logika bloking. Tapi kalau memahami Waiting for Godot secara realis sangat perlu logika bloking.

Berapa kali terlibat latihan dengan Pak Hombing?

Latihan bersama Pak Hombing itu.. tiga jam kali lima hari apa ya? (seperti sedang mengira-ngira).

Itu di mana ..di Teater Luwes ?

Langsung di Teater Luwes.

Pak Hombing melatih adegan per adegan dulu?

Ya..adegan, berurutan. Diselesaikan dulu satu babak, baru masuk babak kedua. Dia waktu itu saya lihat masih bargaining juga nih – apakah saya dan teman-teman bisa…

Tolong diceritakan fase-fase berat dalam latihan. Misalnya katanya Anda dan lainnya sampai latihan di Bukit Gantole Puncak tempat orang biasanya latihan gantole (olahraga layang gantung) 

Betul. Itu awalnya Pak Hombing yang mengatakan :”Kalau kalian mau latihan serius Waiting for Godot kan settingnya di bukit. Latihan saja di bukit. Terus di naskah juga disebut ada lapangan, kalau mau latihan aja di lapangan terbuka.” Jadi kedua tempat itu kita kejar…

Bukit tempat latihan gantole itu tinggi?

Ya. Dari bukit perasaannya kita dapat memandang seluruh panorama Bogor di bawah. Letak bukit ini dekat puncak, yang ada gunung tinggi. Jadi kita latihan di ketinggian.

Berempat bermalam di bukit itu?

Tidak. Kami menginap di hotel lalu paginya naik ke bukit berjalan kaki. Sekalian latihan fisik. Nah waktu itu Gunung Galunggung meletus tuh. Debu sampai bukit itu. Jadi kita latihan dengan debu. Kadang nafas agak sesak. Begitu pulang ke hotel hitam semuanya.

Di dalam naskah memang ada keterangan bahwa tempat Vladimir dan Estragon mengobrol-ngobrol itu di atas bukit yang agak lapang?  

Ya di naskah itu – dalam neben text (petunjuk lakuan tokoh dan keadaan panggung yang biasanya dalam naskah diberi tanda kurung- red) ada keterangannya. Jadi lokasi Vladimir, Estragon itu di sebuah lapangan terbuka di bukit yang ada sebatang pohon. 

Menurut Anda masuk akal adegan Godot di sebuah dataran terbuka di ketinggian bukit settingnya?

Masuk akal. 

Pada waktu Anda latihan di Bukit Gantole itu, latihan adegan-adegan yang mana?

Semua adegan babak satu itu kita latihan di atas bukit.

Latihan di ketinggian bukit, menjadi terasa benar-percakapan Vladimir, Estragon dan lainnya….

Ya. Jadi kita nggak perlu memakai imajinasi lagi. Istilah Pak Hombing kami latihan mengkondisikan diri..mengkondisikan diri bercakap-cakap di ketinggian bukit.

Jadi artinya sudah seperti kejadian sebenarnya di naskah, nggak perlu diimajinasikan lagi tempatnya?

Betul…

Jadi menurut Anda setting Vladimir, Estragon menunggu kedatangan Godot itu berada di tempat yang sunyi, di bukit, yang jarang dilalui orang, nggak ada keramaian?

Ya, yang saya tafsir demikian. Makanya di dalam naskah Waiting for Godot itu kalau kita amati ada banyak kata: hening. Banyak sekali. Nah dalam pendekatan realis Pak Hombing – bila di naskah ada petunjuk hening, Pak Hombing selalu mengatakan: “Kalian lakukan aktivitas saja. Jangan ngikutin naskah,” Kalau kami mengikuti naskah – banyak berhenti hening, diam dalam adegan – mungkin akan menjadi lama.

Setelah latihan dari Bukit Gantole Puncak, bagaimana komentar Pak Hombing?

Setelah kami pulang dari sana, saya ingat Pak Hombing terus bertanya: Gimana?” Ya, kami menceritakan latihan menjadi amat berbeda. Bila latihan di kampus biasanya hanya mengandalkan imajinasi bahwa kita berada di sebuah bukit – di Puncak nggak. Saya sendiri akibat latihan di Puncak –  karena menyaksikan kabut tipis, samar-samar, saat melihat panorama Bogor di kejauhan bawah – sampai kondisi demikian itu yang saya bawa ke panggung.

Nah lalu yang untuk latihan di lapangan terbuka, latihannya di mana?

Kami ke Cibodas. Di Cibodas itu kita banyak latihan fisik dan vokal. 

Latihan yang di Cibodas itu  di mana ?

Di Taman Cibodas. Jadi di Cibodas itu itu kita latihan fisik. Kita latihan lari sambil mengucapkan dialog-dialog dalam naskah…Kita sambil lari berdialog satu sama lain. Pak Hombing meminta kita menjadikan dialog-dialog di naskah itu seolah milik kita sendiri. Makanya kita latihan mengucapkan dialog-dialog itu sambil lari bersama di tanah lapang Taman Cibodas…..

Saat Pak Hombing masuk terlibat dalam pengadeganan Pak Hombing menempatkan diri sebagai apa…

Dia sesungguhnya menempatkan sebagai pembimbing karya bukan sutradara.Dia mengasih kebebasan kita. Pak Hombing tidak menampilkan diri sebagai sutradara,  itu yang saya kaget. Dia menyerahkan total…percaya sekali ke kita loh…

Pak Hombing secara jelas di sini membedakan antara sutradara sama pembimbing karya ya.

Ya. Kalau Pak Hombing sutradaranya, sepenuhnya penafsiran total akan dari dia. Tapi tidak kan. Saat pengadeganan – bloking itu Pak Hombing juga sangat tergantung kita. Makanya kita jadi tambah semangat. Kalau kita tanya gimana Pak Hombing? “Terserah kalian sajalah,” jawabnya (Joseph Ginting tertawa). Latihan itu jadinya sangat enjoy. Kita menjadi rileks banget. Sebagai pembimbing – baru kalau kita sesat –kita akan dibimbing….

Waktu latihan pengadeganan Pak Hombing selalu ada di tempat? 

Ya 3 jam itu selalu ada. Setelah itu dia pergi. Kita latihan lagi. Pak Hombing senang sekali kita punya disiplin tinggi. Pak Hombing itu marah kalau kita tidak disiplin. Pernah mahasiswa mau garap Julius Caesar. Tapi karena ada satu pemain tidak disiplin, dibubarin tuh latihan sama Pak Hombing…

Saat latihan pengadeganan dengan Pak Hombing, bagian pengadeganan mana yang menurut Anda paling sulit?

Saat Pozzo dan Lucy datang. Karena kehadiran Pozzo dan Lucky membawa perubahan ….

Kedatangan Pozzo dan Lucky membawa perubahan di panggung, begitu?

Ya. Vladimir dan Estragon takut melihat kedatangan mereka. Emosi Vladimir dan Estragon ketakutan. Vladimir dan Estragon terus berusaha menghindar. Vladimir dan Estragon lari ke sana, lari ke sini menghindar. Nah secara fisik berat itu memainkannya. Terus ada satu lagi adegan yang berat. Saat adegan mengejar sisa-sisa tulang ayam untuk makan. Vladimir tidak merasa lapar, tapi Estragon malahan mengejar tulang ayam itu… Jadi adegan yang sulit itu setelah kita bermain 4 orang itu. Setelah semua hadir di panggung.

Mengapa Vladimir dan Estragon ketakutan ketika melihat Pozzo dan Lucky?  

Ketakukan, karena mereka nggak kenal Pozzo dan Lucky. Mereka takut karena menyangka Pozzo dan Lucky perampok atau apa yang bisa membunuh mereka. Mereka tambah takut karena Pozzo kemudian menampilkan diri sebagai pemilik tanah yang mereka tempati. Mereka takut salah – karena selama ini menunggu Godot di tanah milik Pozzo. Begitu logika realisnya yang saya tafsirkan.

Nah ini penting, ketakutan Vladimir dan Estragon dalam tafsir Anda – karena mereka menunggu di tanah milik orang lain…

Ya, masalah tanah. Vladimir dan Estragon menjadi sadar – dan merasa takut-bersalah karena mereka masuk ke wilayah milik orang lain yaitu Pozzo. Padahal mungkin Pozzo – dalam tafsir saya cuma mengaku-ngaku saja memiliki tanah tersebut. Jadi, Vladimir dan Estragon saat itu sampai berbisik-bisik – menerka siapa Pozzo, jangan-jangan dia Godot. Ah enggak, Godot bukan begitu. Jadi antara Vladimir dan Estragon sampai berdebat sendiri berdua…..

Saat Anda latihan dengan Pak Hombing itu sebagai Vladimir sudah terasa perasaan ketakutan melihat Estragon itu?

Ya terasa. Itu yang membuat saya spontan merasa lari. Menghindar…..

Nah, blokingnya saat adegan lari-lari di panggung itu bagaimana? Apakah Pak Hombing yang menentukan? 

Ya, itu Pak Hombing yang menentukan. Kita sudah dikasih titik-titik larinya.

Ini penting. Jadi Pak Hombing yang memberi titik larinya agar ada “rasionalitas”nya kemana arah larinya Vladimir dan Estragon?

Ya. Perubahan bloking. Titik-titik kemana kita lari. Dikasih tanda. Menurut Pak Hombing kita tak boleh sembarangan lari. Nah dia membimbing kita ke mana arah larinya. 

Jadi saat Pozzo datang itu, dia sembari mencambuk-cambuk kan? Itu yang makin membuat Vladimir dan Estragon ketakutan?

Betul. Pas tar..tar Pozzo mencambuk itu, saya (sebagai Vladimir-red) dan Didi Petet (sebagai Estragon-red)  lari-lari cari-cari tempat persembunyian. Puncaknya, terakhir kita sudah gak bersembunyi lagi. Saat pentas itu membuat ketawa penonton. Tadinya kita diarahkan Pak Hombing bersembunyi di balik pohon – atau tempat lain yang tidak kelihatan. Tapi terakhir (saat pentas) setelah lari-lari kita muncul duduk berdua kelihatan sama penonton. Penonton tertawa semua.

Kalau Eddie Riwanto sebagai Lucky gimana? Lucky itu kan karakternya susah.. dia pertama-tama kelihatan bisu, seperti binatang, tunduk dipecutin Pozzo, tiba-tiba ketika dia pidato bisa berdiri tegak, dan pidatonya bisa ngomong segala macam. 

Foto Edi Riwanto

Foto Eddie Riwanto

Karakter Lucky itu budak tapi cerdas. Dari mulut dia keluar ocehan tentang tokoh-tokoh terkenal, teknologi dan lain-lain. Saya tafsirkan seolah-olah, melalui tokoh Lucky itu Beckett mau mengatakan bahwa nanti teknologi akan menguasai manusia. 

Jadi Lucky itu sebetulnya sangat cerdas ya?

Ya. Simbolnya di topi.

Kenapa kok di topi?

Sebab baru kalau dibuka topinya, dia bisa memikir. Untuk menunjukkan Lucky cerdas, sering Pozzo mencambuk cambuk dulu. Tar.. Tar... Padahal rahasianya di topinya. Jadi ada satu adegan saya (sebagai Vladimir –red) dan Didi (sebagai Estragon-red) mencabut topi Lucky. Baru kemudian dia naik di atas bukit dan pidato – ngomong semua….

Ini suatu sebab akibatnya.

Ya. Topi itu simbol otak, otaknya dibuka gitu.

Nah permainan Eddie Riwanto sebagai Lucky menurut Anda, gimana, mampu sampai ke situ?

Wah Eddie bagus dia. Luar biasa. Kita tidak menyangka juga permainannya. Pertama di fisik. Fisik dia luar biasa. Tahan lompat, turun, naik. 

Pas Lucky  pidato itu menurut Anda termasuk adegan kunci ya?

Ya. Kunci. Di situ Lucky tiba-tiba mengoceh tentang segala sesuatu. Tentang teknologi suatu saat akan mengubah manusia. Tentang sesuatu artifisial yang akan menguasai dunia……Kita melihatnya begitu..

Waktu Lucky pidato, posisi 3 pemain lain blockingnya gimana?

Fokus. Semua pemain – Vladimir, Estragon, Pozzo fokus melihat Lucky..

Membelakangi penonton atau menghadap ke penonton?

Nggak ada yang membelakangi penonton. Dianya fokus. Kami bergerak di ‘acting area.’

Nah, saat latihan itu tim produksi dan artistik sudah mulai dibentuk juga? Termasuk stage manager? 

Ya. Dan semua kami bayar. Kami mau mengarah ke profesional. Saya saat itu bisa membayar, karena saat itu saya bekerja di Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa- red). Sena dan Didi sama. Waktu itu mereka sudah banyak job. Dari penata artistik sampai pimpinan produksi kita bayar. Kita ingin profesional. Waktu pementasan Hilang Tanpa Bekas, itu yang namanya Eeng Saptahadi, Sigit Hardadi –sebagai pemain kita bayar…..

Saat latihan itu sudah memakai kostum lengkap?

Ya. Pada saat mulai dari awal pengadegan itu set sudah lengkap, kostum harus lengkap. Itu maunya Pak Hombing. Mulai latihan pertama – saya sudah mencari topi, sudah mencari jas butut di pasar tanah abang. Pak Hombing itu mengatakan:” Biasakan setiap latihan itu sudah komplit semua..”

Dari pertama latihan malah ya?

Iya. Untuk mengkondisikan. 

Anda mencari kostumnya bagaimana? Anda menafsirkan Vladimir ini sebagai gelandangan, tuna wisma, pengembara atau apa?  Kostumnya seperti apa?

Vladimir, Estragon, Pozzo kostumnya adalah pengembara. Pakaiannya jas butut. Hanya Pozzo yang kostumnya terkesan mewah, karena dia menampikan diri  sebagai tuan tanah. Kalau kita sih untuk kostum ini membeli barang-barang bekas. Kita cuci dulu. Didi Petet itu itu setelah membeli jas butut, lalu jasnya dia tempel-tempelin sendiri untuk membedakan jas saya (Vladimir) dengan jas yang dipakai Didi sebagai Estragon.

Ada gladi resik dan gladi kotor ya?

Ya.Dua GR itu sudah milik stage manager.

Pementasan pertama tahun 1982 itu di Teater Luwes? Siapa saja yang menguji?

Ya di Teater Luwes. Saat itu yang menguji ujian D4 ada 5 orang: Ibu Tatiek Maliyati, Pak Djadoeg Djajakusuma, Pak Wiratmo Soekito, Pak Wahyu Hombing, Pak Pramana Padmodarmaya.

Masih ingat apa pertanyaan mereka saat itu?

Pak Djaja itu tanya: “Simbol-simbol apa yang kamu tangkap di dalam naskah itu?” Saya jelaskan misalnya soal tali dan sepatu Estragon sebagai simbol ketidakbebasan. Pak Wiratmo cuma mengemukakan satu pertanyaan: “Kedudukan aktor di mana?” Pak Hombing saya ingat malah komentar: ”Ah, saya sudah kenal itu… Jadi pertanyaan-pertanyaan para penguji ke saya pada sidang ujian tertutup itu cuma sebentar. Tapi yang lain kok lama. Sena itu sidangmya lama banget. Didi  juga lama. Eddie Riwanto juga lama. Nah itu juga pertanyaan buat saya, kenapa kok cuma saya yang sidang ujiannya cepat…

Terus nilainya yang keluar berapa untuk ujian D4 itu?

Cumlaude. Saya sama Didi Cum Laude. Eddie Riwanto sama Sena nggak (tertawa).

Waktu Anda pentas untuk ujian di Teater Luwes itu, penonton juga dari umum? 

Ya mahasiswa semuanya nonton. Orang luar juga nonton.

Nah dari pementasan di Teater Luwes itu, kemudian Waiting for Godot dipentaskan di Teater Tertutup TIM pada 4-8 November 1982. Apakah semua lalu latihan lagi?

Ya. Latihan….

Apa respon penonton di Teater Tertutup terhadap pertunjukan itu? 

Nah. Penonton umum baik yang menonton di Teater Luwes maupun di Teater Tertutup ada yang membandingkan dengan pertunjukan Waiting for Godot nya Rendra dulu. Rendra dulu memainkan Godot sampai 4 jam. Bertele-tele. Sementara di tangan Pak Hombing, Godot itu bisa menjadi 2,5 jam dan terasa padat, lancar.

Rendra bersama para pemain Menunggu Godot

Foto Rendra bersama para pemain Menunggu Godot tahun 1970, dari kiri ke kanan: Mootri Purnomo, Chaerul Umam, Putu Wijaya, Azwar AN dan Rendra. (Sumber foto: Edi Haryono)

Padahal naskahnya yang dipakai sama ya. Terjemahan Rendra. Dan tidak ada yang dipotong sama sekali adegannya?

Ya. Naskah sama. Dan kami sama sekali tak memotong naskah. 

Siapa yang berkomentar begitu?  

Senior-senior LPKJ yang tua-tua. Mereka menonton pertunjukan Rendra tahun 1970. Dan lalu membandingkan dengan pertunjukan kami. Mereka mengatakan, pementasan Rendra itu panjang, bertele-tele..,

Omongan itu terjadi saat pementasan di Teater Luwes atau di Teater Tertutup?

Dua-duanya.

Menurut Anda apa penyebabnya? 

Ya. Mungkin karena kami memakai pendekatan realis yang ketat. Pendekatan beat. Sementara pementasan Rendra cenderung “berlama-lama.” Ada senior LPKJ yang mengatakan begitu. 

Foto pementasan Menunggu Godot oleh Rendra

Foto pementasan “Menunggu Godot” oleh Rendra bersama Bengkel Teater pada tahun 1970 (1)

Foto pementasan “Menunggu Godot” oleh Rendra bersama Bengkel Teater pada tahun 1970 (2)

Saat itu penuh yang menonton?

Dua-duanya penuh. 

Bisakah Anda memberikan contoh, penerapan pendekatan beat (bagian terkecil dalam suatu adegan yang mengandung satu objective atau tujuan – red) ala Pak Hombing dalam memainkan naskah  Waiting for Godot sehingga pertunjukan menjadi sebuah peristiwa dengan sebab akibat yang ketat. Dan menjadi tidak memungkinkan untuk berlama-lama tanpa alasan?

Begini. Menurut Pak Hombing beat itu berkaitan dengan symptom-symptom atau gejala-gejala. Misalnya beatnya adalah Estragon memiliki perasaan khawatir terhadap nasibnya. Nah pemain harus mencari gejala-gejalanya dulu berkaitan dengan perasaan khawatir itu.

Yang dimaksud gejala atau symptom persisnya bagaimana….

Kalau orang dihinggapi perasaan khawatir, apa yang keluar, gerakan, ucapan, emosi, motivasinya. Itu lo maksudnya gejala-gejala. Ada emosi, imajinasi, apa, semua ada di situ. Dan itu memang tugas pemain untuk mencari kalau akting berdasar teori beat. Ada tokoh Vladimir dirasuki satu pikiran yang tak pernah terselesaikan, selain berjuang untuk menunggu Godot. Harus dicari gejalanya apa. Kalau tidak menemukan gejalanya maka seorang aktor yang berdasar teori beat belum bisa berakting.

Semua harus jelas alasannya ya….

Iya. “Menangisi mayat seseorang.” Harus tahu seseorang itu siapa? Hubungan karakternya apa? Harus tahu gejala atau symptom mengapa sampai menangis. Jadi Pak Hombing kemudian bicara tentang adanya kesatuan gejala dalam sebuah naskah. Analisa naskah berdasar beat ini didapat Pak Hombing ketika belajar di Amerika. Saat itu menurut Pak Hombing yang sangat mempopulerkan metode beat untuk aktor adalah sutradara Amerika Harold Clurman (Sutradara dan kritikus teater Amerika tahun 60-70-an. Terlibat dalam banyak pertunjukan-pertunjukan teater realis di Broadway. Bukunya yang terkenal The Fervent Years: The Group Theatre and the Thirties (1961)- red).  

Foto Harold Clurman

Foto Harold Clurman

Harold Clurman yang mempopulerkan istilah spine (tulang punggung watak) untuk menganalisa adegan..betul?

Ya. Harold Clurman itu sutradara Amerika. Beat itu menurut Pak Hombing adalah bagian dari teori akting Stanilavski yang kemudian dipermudah supaya aktor bisa lebih cerdas. Spine adalah tulang punggung watak. Spine adalah sesuatu yang mendorong watak seorang karakter dalam naskah untuk mengejar dan mewujudkan tujuan utama yang diinginkan karakter dalam naskah itu. Spine itu tujuan utama karakter dalam naskah yang harus dipahami pemain. Misalnya : karakter tokoh itu membela kebenaran, mengatasi kemelut dan sebagainya. Jadi setiap aktor di panggung dalam memerankan karakter harus mempunyai tujuan, ‘ngapain sih’..sebagai pemain di situ itu tujuannya apa. Nah dari spine ini nanti analisa per adegan sampai ke bagian paling kecil melalui metode beat. Spine itu ada di atas beat.  

Dulu Pak Hombing di LPKJ mengajarkan spine dan beat ini dalam kuliah?

Dulu kami kuliah dengan Pak Hombing mulai semester satu harus paham soal beat dan spine. Bahkan mahasiswa dituntut untuk membedah naskah, mencari satuan beatnya sampai seratus beat…itu sulit…dan kami belum pernah berhasil. Pak Hombing pernah menulis soal spine dan beat ini dalam buku Pertemuan Teater 80. Itu spine, beat ada di situ. Di situ Pak Hombing mendemonstrasikan bagaimana membahas naskah Musuh Masyarakat karya Ibsen berdasar analisis beat

Kembali ke Waiting for Godot. Jadi Anda saat itu juga mencoba membedah naskah itu berdasar analisa spine dan beat?

Betul.

Saat itu ada kritikus yang meresensi pertunjukan Anda?

Ya. Koran-koran meresensinya. Yang paling bagus tulisannya adalah Noorca Massardi. Dia ngasih poin tinggi pementasan Pak Hombing itu.

Apakah Rendra saat itu juga diundang untuk nonton?

Ya diundang, tapi dia nggak nonton. 

Nah, setelah pementasan di Teater Tertutup TIM, terus katanya Waiting for Godot dipentaskan kembali di Teater Luwes untuk keperluan Ujian Nasional D4? 

Betul. Jadi di tahun 1982 itu kami pentas tiga kali. Di Teater Luwes – untuk ujian D4 LPKJ/IKJ. Di Teater Tertutup TIM – untuk penonton umum. Dan di Teater Luwes kembali untuk persyaratan Ujian nasional.

Siapa para penguji untuk Ujian Nasional saat itu?

Tuti Indra Malaon, Saini KM, dan Singgih Wibisono. Sebagai penguji saya ingat mereka duduk paling belakang.

Foto Tuti Indra Malaon

Foto Tuti Indra Malaon

Bagaimana tanggapan Tuti Indra Malaon dan Saini K.M?

Mereka nggak bisa ngomong dan nggak bisa nanya ketika melihat pertunjukan Godot. Tuti Indra Malaon saat ujian itu hanya bisa mengatakan. “Wah hebat kalian.” Sama saat seperti diuji oleh dosen-dosen LPKJ, Pak Djaja, Pak Pram dan lain-lain di ujian nasional ini Tuti Indra Malaon sedikit sekali memberi pertanyaan kepada saya. Dia bilang: ”Wah bagus sekali loh perannya.”  Sidang ujian cepat sekali. Saya di dalam sidang sampai bertanya: “Bu sudah selesai…?” “Sudah, nggak ada lagi,”jawab Tuti Indra Malaon. Saya langsung keluar dari dalam sidang ujian. Perasaan saya saat itu juga sama seperti saat menjalani ujian dosen-dosen LPKJ. Kenapa sidang ujian saya cepat sekali. Sementara Didi, Sena, Eddie lama semua. Mungkin karena peran utama di Waiting for Godot itu Vladimir. Vladimir muncul terus selama 2,5 jam. Sambil lari-lari,’ ‘sambil minum wisky.’ Dan saya dianggap berhasil.

Apakah Pak Hombing saat Anda mau ujian negara, memberikan masukan-masukan?

Nggak. Pak Hombing tetap menerapkan set yang persis, kostum yang persis, seperti yang pernah dilakukan pentas Godot sebelumnya, baik yang untuk ujian D4 maupun yang untuk pertunjukan umum di Teater Tertutup TIM.

Nah setelah dari tahun 1982 – baru pada tahun 1989 Waiting for Godot dipentaskan ulang lagi di Gedung Kesenian Jakarta? 

Ya. Di tahun 1989 kami mementaskan ulang Godot di GKJ

Poster Menunggu Godot

Publikasi pementasan Teater Lembaga “Menunggu Godot” di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1989 (Sumber foto: dokumentasi pribadi)

Kenapa setelah 7 tahun ada inisiatif untuk mementaskan ulang Godot lagi pada tahun 1989? Siapa sebetulnya berinisiatif untuk mementaskan ulang, Wahyu Sihombing, Didi Petet atau siapa? 

Pentas ulang itu inisiatifnya dari beberapa lulusan IKJ seperti Ade Puspa, Mathias Muchus. Mereka yang mengupayakan pendanaannya secara profesional. Ade Puspa angkata 1980-saat itu sudah lulus. Muchus angkatan 1979 sudah lulus juga saat itu.

Waktu itu yang menjadi kru siapa?

Kru ada Ucok, Bejo Sulaktono (sekarang mereka staf pengajar di Prodi Teater IKJ-red) dan lain-lain…

Saat pementasan ulang ini Anda awalnya rembukan dulu dengan Pak Hombing? 

Ya rembukan lagi. Terus Pak Hombing bilang , ‘oke’ ketika dirembukan. “Makin banyak pementasan kan makin bagus,” kata saya ke Pak Hombing saat itu. Saya saat itu malah berpikir kalau bisa Waiting for Godot ini dibawa keliling ke kota-kota lain. 

Ada perubahan – saat pentas tahun 1989 di GKJ?

Nah di tahun 1989 itu Pak Hombing tiba-tiba bilang kepada saya. “Kayaknya kamu benar Seph.” 

Benar soal apa?

Tadi saya ceritakan tahun 1982 itu Pak Hombing menolak penasiran saya yang berbau agama terhadap Waiting for Godot. Pak Hombing juga waktu itu tidak mau berdiskusi soal agama… 

Padahal Vladimir dan Estragon dalam naskah berdialog soal salib, dengan dua pencuri di samping Kristus kan ? Dalam dialog memang tidak disebutkan langsung Kristus dan pencurinya. Tapi penonton yang Katolik pasti atau penonton yang membaca Perjanjian Baru pasti tahu….

Ya, waktu itu Pak Hombing mengelak diskusi tentang agama seperti itu (tertawa). Dia sama sekali  nggak mau Godot dibawa-bawa ke agama. Tapi ditahun 1989 ini dia berubah pikiran…Dia menyetujui pendapat saya….

Pak Hombing menyetujui pendapat Anda?

Ya dia bilang saya benar….

Lalu apa yang dilakukan Pak Sihombing

Dia kemudian dalam pementasan tahun 1989 menampilkan siluet salib di sebuah layar di panggung. Siluet salib itu di tahun 1982 itu tak ada.

Foto kliping pementasan Menunggu Godot

Foto kliping pementasan Teater Lembaga “Menunggu Godo”t di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1989 (1) (Sumber foto: dokumentasi pribadi)

Siluet salib itu ada mulai pada adegan pertama atau di tengah-tengah munculnya?

Dari awal sampai akhir.

Siluet salib itu dibuat di belakang pohon?

Ya di belakang pohon.

Hubungannya pohon sama salib menurut Anda pribadi apa?

Ya bagi saya, pohon itu tempat berlindung, tempat berteduh dari segala macam bahaya, tempat bersembunyi. Vladimir dan Estragon ada di bukit. Sementara salib simbol dari bukit Golgota, di mana Yesus disalib. Buat saya Pak Hombing tidak bisa melupakannya keKristenannya (meskipun sudah mualaf –red) waktu itu (tertawa)

Bicara soal pohon selain untuk tempat berteduh, berlindung, terus apa lagi yang bisa digali dari pohon itu, misalnya ranting-ranting, daun yang kering…..

Simbol penantian.

Pohon itu pohon ranggas kan. Pohon kering ….…

Ya, Pak Amang Rahman, pelukis yang menonton – bilang pohon itu simbol waktu. Dia berpendapat kalau di panggung kita bisa bikin set pohon itu – ada daunnya yang gugur pasti akan lebih terasa simbol waktunya. 

Terus reaksi aktor-aktor lain, Didi Petet, Sena A Utoyo, Eddie Riwanto bagaimana? Ketika ada tambahan salib?

Mereka meski Muslim nggak ada reaksi….

Secara akting sendiri bagaimana Anda membandingkan dengan permainan pada tahun 1982? 

Ya, karena umur semakin bertambah terasa semakin matang. Kita bermainnya lebih ‘dewasa’ lebih matang, lebih rileks, nggak ada beban. Sudah mulai menunggu respon atau reaksi penonton. Kalau pada tahun 1982 kita ‘babat’ aja. Orang ketawa kita main terus. Kalau tahun 1982 masih ada ‘kesalahan-kesalahan’ dalam bermain, tahun 1989 dialog-dialognya sudah jadi runut aja.

Foto pementasan Menunggu Godot (

Foto pementasan Teater Lembaga “Menunggu Godot” di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1989 (1). Dari kiri ke kanan: Lucky (Eddie Riwanto), Estragon (Didi Petet), Pozzo (Sena A. Utoyo), Vladimir (Joseph Ginting). (Sumber foto: dokumentasi pribadi)

Dialog-dialognya sudah jadi milik ya.

Ya sudah jadi milik kita. Karakter juga sudah menjadi milik kita. Untuk melepas dari karakter dan masuk lagi ke karakter, keluar masuk ke karakter jadi lebih cepat. Semua masing-masing sudah sadar.

Bisa dijelaskan soal reaksi penonton di tahun 1989 yang berbeda dengan pentas tahun 1982?

Jadi pementasan tahun 1989 tersebut – setiap saya ‘nyanyi’ misalnya, penonton ketawa. Saya juga nggak tahu mengapa. Sebab pada tahun 1982 – adegan itu sama sekali tidak menimbulkan ketawa penonton. Sambutan penonton tahun 1989 jadinya lebih menggairahkan pemain. Reaksi penonton lebih responsif gitu. Reaksi, bereaksi. Misalnya saya move ..nggak ada apa-apa ..eh penonton tertawa. 

Tetapi durasinya tetap 2,5 jam kan?

Ya tetap 2,5 jam.

Teater Lembaga

Foto kliping pementasan Teater Lembaga “Menunggu Godot” pada tahun 1989. Tampak para pemain bersama sutradara Wahyu Sihombing dan Mathias Muchus sebagai Pimpinan Panggung. (Sumber foto: dokumentasi pribadi)

Ya…atmosfirnya yang berbeda. Didi Petet ngomong: “Apa “Wuaih”…Cuma ngomong gitu aja respon penonton tertawanya luar biasa. Hal itu sempat kita diskusikan di belakang panggung. Kita sepakat jangan terpengaruh penonton. Kalau reaksi penonton mempengaruhi kita, wah kacau kita main. Kalau kita ngikuti reaksi penonton bubar kita. Naskah ini, kemungkinan membuat penonton tertawa terus besar sekali. Anda bayangin saja, kita mengubah gaya jalan saja di panggung penonton terbahak. Saya sedikit menari model tarian flamenco Rudy Wowor penonton tertawa…Tapi kita tidak boleh hanyut soal itu. Kalau kita mengikuti penonton kita akan over mainnya. Kita bertahan agar tidak over.

Jadi Anda tidak menanggapi reaksi penonton untuk melucu?

Tidak. Kita bertahan agar tidak terpancing reaksi penonton. Itu akan membuat over acting.

Pementasan di tahun 1989, berapa hari?

3 hari ya. Dari hari 1, 2 dan 3 makin matang. 

Waktu pementasan tahun 1989, Putu Wijaya meresensi di Majalah Tempo. Dia membandingkan pertunjukan dengan pementasan Rendra tahun 1970 saat dia ikut main sebagai Lucky. Dia cukup memuji pertunjukan Anda…

Bagus dia bisa membandingkan dengan pertunjukan Rendra. Kalau dia jadi Lucky saat pementasan Rendra, dia bisa membandingkan dengan permainan Sena A Utoyo sebagai Pozzo dan Eddie Riwanto sebagai Lucky di pertunjukan kami. Sena yang memerankan Pozzo ini seorang pantomime. Cara main cambuknya itu mungkin nggak bisa dimainkan sembarangan orang. ‘Tak’..’tak’..’tak’..(bunyinya seperti itu)

pementasan Teater Lembaga

Foto kliping pementasan Teater Lembaga “Menunggu Godot” di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1989 (2). (Sumber foto: dokumentasi pribadi)

Caranya mencambuk Sena sangat pantomim sekali?

Teknik nyambuknya dia itu tidak seperti orang biasa. Banyak variasi.

Apa menggunakan gaya stilisasi?

Nggak tahu ya Sena. Pokoknya suaranya itu beda. ‘Tak..tak..tak.’ Bunyi cambuknya itu beda. Caranya dengan gaya pantomim. Memang kelebihan Sena di situ kan. Tapi pernah dalam satu adegan – Sena itu terus bergerak-gerak di depan saya. Seperti nyolong adegan. Setelah selesai pementasan saya saya tanya sama Pak Hombing.Pak Hombing gimana, kalau seorang pemain begitu?” Jawaban Pak Hombing:  “Kenapa tidak kau bunuh aja di atas panggung” (Joseph Ginting tertawa). Kalau sekali lagi dia begitu, injak aja.” Hahaha.. sesudah itu Sena nggak lagi berani nyolong-nyolong adegan.

Waiting for Godot termasuk jarang dimainkan di Indonesia. Salah satu yang akhir-akhir ini mementaskan adalah Teater Jerit Jakarta dalam ajang Festival Teater Jakarta 2018. Pementasan Waiting for Godot dari Teater Jerit malah  memenangkan FTJ 2018. Saat itu kami lihat Anda juga sempat nonton pementasan Teater Jerit. Bagaimana pendapat Anda tentang pementasan itu…

Begini. Saya lihat seting Teater Jerit adalah sebuah bangunan. Padahal dalam naskah, Samuel Beckett cuma menyebutkan bukit dan lapangan terbuka. Itu saya katakan kepada sutradara Teater Jerit Choki Lumban Gaol. Saya juga sempat mengobrol dengan anggota dewan Juri Benny Johannes. Menurut Benny, sesungguhnya substansi Waiting for Godot kurang bisa ditangkap oleh Teater Jerit. Salah satu yang fatal menurut saya naskah Beckett itu dipotong. Menjadi tidak ada babak satu dan babak dua.

Pementasan Menunggu Godot

Foto pementasan Teater Lembaga “Menunggu Godot” di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1989 (2). (Sumber foto: dokumentasi pribadi)

Satu babak saja?

Ya. Satu babak saja. Karena dengan alasan panitia FTJ hanya mengizinkan durasi pementasan tidak boleh lama-lama 2 jam. Akibatnya fatal menurut saya. Substansinya nggak dapat. Saya bilang ke Benny Johannes pendapat saya. Menurut saya naskah Waiting for Godot itu tidak bisa dipotong. Tapi naskah ini bisa diperpanjang. Karena substansi naskah ini adalah menunggu. Menunggu yang berulang ulang.

Apa lagi kritik Anda?

Dan ya mereka memainkan sengaja melucu. Pementasan itu terlalu di lucu-lucukan. Main gampar-gamparanlah antara Vladimir dan Estragon. Vladimir dan Estragon tu bersahabat. Sahabat kental. Nggak ada pukulan, nggak ada ejek-ejekan. 

Di pementasan Teater Jerit, juga tidak ada sosok anak kecil yang menyampaikan kabar Godot belum datang sepertinya…. 

Saya lihat nggak ada. Dan itu juga fatal menurut saya.

Setelah hampir 40 tahun Anda mementaskan Waiting for Godot Anda terlihat makin memahami naskah ini dari perspektif teologi. Sekarang di usia 70 tahun ini tafsir Anda terhadap anak kecil itu siapa?

Foto pementasan Menunggu Godot

Foto pementasan Teater Lembaga “Menunggu Godot” di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1989 (3). (Sumber foto: dokumentasi pribadi)

Anak kecil itu utusan, yang pernah bertemu dengan Godot. 

Anak kecil itu kan, muncul dua kali. Di babak 1 dan babak 2.. Kenapa harus muncul 2 kali ?

Ya karena janji itu harus diulang-ulang, dua kali. Jadi nggak cukup cuma sekali. 

Mengapa Beckett menampilkan utusan itu dalam bentuk anak kecil? Menurut Anda? 

Kenapa anak kecil? Karena anak kecil itu jujur…lebih polos, lebih apa adanya.  Walaupun anak kecil itu bodoh, tetapi dari kebodohan itu anak kecil itu, kita bisa belajar tentang kejujuran, kepolosan. Nah kalau misalnya sosok anak kecil ini diganti orang lebih dewasa, ya nggak kena lagi. Karena nggak suci, nggak polos, nggak jujur..

Kalau dalam pementasan Rendra, oleh Rendra diganti menjadi  sosok seperti  pelayan, dan yang memerankan waktu itu Azwar A.N. Apakah menurut anda cocok? 

Foto pementasan Menunggu Godot

Foto pementasan Teater Lembaga “Menunggu Godot” di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1989 (4). (Sumber foto: dokumentasi pribadi)

Menurut saya tidak cocok.

Jadi endingnya Godot ini kan juga ending yang terbuka. Penonton disisakan pertanyaan Godot itu siapa? Anak kecil itu siapa? Nah Anda menyampaikan bahwa  naskah ini seperti siklus berulang-ulang terus. Andaikankah naskah ini bukan 2 babak, tapi 3 babak, begitu juga menurut Anda bisa?

Tidak apa-apa ditambahi satu babak lagi – yang sama persis. Dalam dialog Vladimir  itu ada pernyataan begini:  “Menunggu dan membunuh waktu, sesuatu yang nggak pernah datang…” Artinya naskah ini tidak ada awal, tidak ada akhir dan tidak penyelesaian. Naskah ini nggak selesai. Apa yang mau diselesaikan coba. Bagi saya bila Godot Ini diperpanjang menjadi 3 babak atau 4 babak tetap menarik karena kan diulang-ulang terus.

Anak kecil itu juga datang berulang-ulang di tiap babak, menyampaikan kabar Godot belum datang?

Menurut saya ini seperti kisah di Alkitab bicara soal janji ini. Janji Allah Elohim, Yahwe kepada Abraham. Janji kepada Abraham kan diulangi dan diulangi lagi. Nah kalau soal menunggu ya sama dengan dengan bangsa Yahudi Israel yang begitu percaya menunggu datangnya seorang Mesias. Meskipun Mesias – di kalangan katolik sudah datang, yaitu Yesus.

Apakah jangan-jangan Samuel Beckett keturunan Yahudi juga?

Iya dia keturunan Yahudi. Jadi – walaupun saya mainkan Godot dengan konsep umum, tapi di dalam kepala saya naskah ini merupakan naskah penantian. Unsur penantian Mesiah. Di umur 70 tahun ini saya melihat Menunggu Godot itu serupa Menunggu Tuhan. Godot itu bagai saya dari kata GOD (Tuhan) dan O.T. nya itu saya artikan “On the…”.

Jadi setelah berumur 70 tahun, Anda makin meyakini tafsir Anda yang Kristen-Kristenan ini ?

Ya. Makin meyakini. Saya selalu terbawa-bawa ke arah penafsiran Kristen itu. Tapi ketika tafsir saya ini pernah saya sampaikan kepada sahabat saya Gandung Bondowoso (aktor dan dosen Prodi teater IKJ-red) dia bilang  “Ah kau ada-ada saja.” (Joseph Ginting tertawa keras). 

Ha ha. Pembicaraan kita cukup panjang. Terima kasih atas jawaban-jawabannya… Monggo teh nya…

Sama-sama. Semoga semua sehat. Amin.