Pos

Keindahan sebagai Representasi Ingatan, Gugatan dan Pengetahuan

                  Oleh Indro Suprobo* “If it is not tempered by compassion, and empathy, reason can lead men and women into a moral void.” Karen Armstrong, Twelve Steps to a Compassionate Life Kutipan yang diambil dari pernyataan Karen Armstrong dalam bukunya berjudul Twelve Steps to a Compassionate Life itu […]

Don Quixote dan an-Niffari: Antara Kesatria dan Sufi

Oleh Tony Doludea* Alonzo Quinjano (50-an tahun), Sang Bangsawan Cerdik dari Mancha, dipenuhi dengan jiwa kepahlawanan, berjiwa luhur dan sangat mengagumi dan bersemangat pada segala sesuatu yang baik dan agung. Ia digambarkan juga sebagai orang yang setia. Meskipun ia memiliki semua sifat yang baik itu, namun kebetulan saja ia berwatak agak gila. Alonzo Quinjano senang membaca […]

Hujan Bulan Juni dan Ekologi Keheningan

Oleh Purnawan Andra “Tak ada yang lebih tabah / dari hujan bulan juni,” tulis Sapardi Djoko Damono, membuka puisi yang telah melintas batas medium, generasi, bahkan makna berjudul Hujan Bulan Juni tersebut.  Larik itu bukan hanya frasa puitik, melainkan pancaran sunyi dari lanskap batin yang mengendap lama dalam memori kolektif masyarakat. Hujan Bulan Juni bukan […]

Seni Rupa Sepakbola: dari Endang Witarsa, Shin Tae-yong sampai Patrick Kluivert 

Oleh Agus Dermawan T.* Para seniman nyaris tidak lagi menggubah karya bertema sepakbola. Apalagi di masa sekarang ketika naturalisasi pemain malang-melintang. Mengapa? Padahal dulu acap dibangun patung monumen pemain legendaris! Satu artikel untuk menyongsong pertandingan pra Piala Dunia Indonesia versus China di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, 5 Juni 2025. ———— PERTANDINGAN sepakbola Piala […]

Memoria yang Meniti Waktu dalam Detachment dan Deteritorialisasi 

Oleh: Indro Suprobo* “Art is not communicative, art is not reflexive. Art, science, philosophy are neither contemplative, neither reflexive, nor communicative. They are creative, that’s all.”  Gilles Deleuze  —– Pernyataan Deleuze ini memang keras dan menampar. Ia menegaskan bahwa seniman itu tidak semata-mata menghadirkan pesan atau representasi dari realitas, melainkan pertama-tama dan yang paling utama adalah […]

Belajar kepada Cakil: Dari Anatomi Gerak ke Filsafat Kebudayaan 

Oleh Purnawan Andra* Dalam khasanah budaya Jawa, wayang bukan sekadar tontonan tradisional. Ia adalah ensiklopedia nilai, refleksi etis, dan sekaligus filsafat hidup yang menjelma dalam tokoh, kisah, dan laku gerak. Setiap karakter dalam pewayangan tidak hanya berfungsi sebagai figur dramatis, tetapi mempersonifikasikan aspek-aspek terdalam dari sifat manusia.  Arjuna bukan semata kesatria, tapi lambang keseimbangan batin […]

Pancasila, Kebudayaan dan Bina Bangsa

Oleh: Djoko Saryono* Ada pertautan saling menguntungkan [simbiotis] antara Pancasila, kebudayaan, dan pembangunan bangsa. Sebagai temuan cemerlang bangsa Indonesia yang otentik dan koheren, karakter inti Pancasila adalah gotong royong. Sebagaimana bangsa Amerika memiliki karakter inti kebebasan, bangsa Tiongkok memiliki karakter inti keuletan atau ketangguhan, bangsa Indonesia memiliki karakter inti kegotongroyongan. Kegotongroyongan sebagai karakter inti Pancasila […]

Erni: Cokek Teluk Naga

Oleh: Ninuk Kleden-P* Cokek di Rumah Kawin Cerpen Erni: Cokek Teluk Naga bukan fiksi. Ia  etnografi yang materinya diperoleh dari penelitian beberapa tahun, dan ditulis dengan pendekatan “baru”. Etnografi Novelistik ,dapat dirujuk dalam Expressions of Ethnography; Novel Approaches to Qualitative Method (Robin Patric Clair ed. 2003), khususnya bagian lima “Short Stories as Expressions of Ethnography” (175 – […]

Destinasi Bernama Ramah: Hariyanto dan Siasat Menyusun Wajah Wisata Indonesia

Oleh: Doddi Ahmad Fauji* Ketika Negara Belajar Menyambut Ada banyak cara membangun sebuah negeri. Sebagian memilih jalan industri. Sebagian lagi mengandalkan tambang, atau megaproyek infrastruktur. Tapi ada satu jalan yang kerap dilupakan—jalan yang tak selalu diukur dengan angka ekspor atau volume kontainer, tapi dengan sapaan ramah, cerita warga, dan jejak kaki orang asing yang pulang […]

Mempertimbangkan Pak Wibawa 

 Oleh Purnawan Andra* Dulu, di persimpangan jalan utama dekat alun-alun kota kelahiran saya di Magelang, berdiri tegak sebuah sosok yang familiar dan tak lekang oleh waktu: ia adalah patung polisi yang tegak berdiri di samping traffic light “bernama” Pak Wibawa. Dalam posisi beristirahat, sorot matanya tajam mengawasi lalu-lintas. Tidak bergerak apalagi menoleh, tentu saja.  Tak […]