The Eyes of Marege: Merefleksikan Ulang Kolaborasi Teater Kita Makassar dan Australian Perfomance Exchange 2007
Oleh Asia Ramli
Pulau Bimo, Arnhem Land, Northern Territory, 1905, di sudut kiri perahu Makassar yang bersandar di pantai, Djakapurra Munyarryun, putera kepala suku Yolngu/Aborigin (orang Makassar menyebutnya Marege) menyanyikan lagu Dji-li-li, Dji-li-li, Dji-li-li yang diperuntukkan kepada suku Makassar yang sedang berlayar dengan perahu menuju ke pantai itu. Lagu yang hanya bernada gumam menyayat itu, diiringi musik dedgeridoo (alat musik tiup yang terbuat dari batang kayu) khas Aborigin yang dimainkan oleh Leon Winambi anak suku Aborigin. Kelompok musik dari Makassar, sudah siap juga di situ, dengan alat musik daerahnya masing-masing. Manusia anjing merangkak, mengais, dan melonglong. Dhalawal, puteri suku Aborigin, menari bongol (tarian yang mengandalkan kaki dan tangan) menuju laut sambil menyanyi:
“Bergegas dari samudra, perahu tiba.
Layar hitam dinaikkan ke udara, mengoyak langit.
Sebuah perahu merah dibawa angin, menerjang ombak putih.
Perahu itu bersandar di air.
Pria-pria bersandar di perahu, menatap ke daratan.
Angin timur menjerit.
Angin musim menghembuskan hujan dari Indonesia,
dari Makassar ke Australia bagian Utara.
Setiap musim panas, awan-awan hitam berkumpul,
bergetar bersama roh-roh guntur.
Banyak kisah menjelajahi laut Arafura,
bercerita mengenai orang-orang Makassar
orang-orang Yolngu dari Arnhem Land.
Perahu-perahu ditiup angin musim”
Dari arah laut, orang-orang Makassar, Ahmad, Nud, dan Kasim, berlayar ditiup angin kencang. Mereka saling memanggil di laut. Mereka menyanyikan lagu Makassar. Lalu, tiba-tiba musik khas Makassar berubah menjadi musik khas Aborigin. Tarian “penjemputan” dari suku Aborigin dengan properti dayung bergerak. Orang-orang Makassar di atas perahu saling berteriak bersahut-sahutan dengan bahasa daerahnya: Panaungi sombalaka! Buangi jangkaraka! Layar telah dirunkan dan jangkar telah dibuang. Mereka pun turun ke pantai sambil menari dalam gerak-gerak ganrangbulo dan diiringi musik khas Makassar.
Birramen mengajarkan kepada Ahmad cara memburu kangguru. Dan Ahmad mengajarkan Birramen mencari teripang dan menangkap ikan dengan alat perangkap ikan dari Makassar. Nud dan Kasim melaut dengan melakukan tarian untuk mencari ikan dengan menggunakan peralatan penangkapan ikan yang dibawa dari Makassar. Pada saat mencari ikan itu, Nud menemukan tas inisiasi Birramen tapi dia sendiri tidak tahu tas itu untuk apa. Ketika mereka pulang dengan membawa ikan hasil tangkapan, Nud secara diam-diam memasukkan tas inisiasi tersebut ke dalam keranjang ikan milik Kasim. Ketika Birramen berjalan di pantai dengan kasak-kusuk penuh ketakutan karena kehilangan tas inisiasi (tas sakral) sebagai tanda kelahirannya. Ahmad menyabarkannya. Lalu terjadi pertikaian antara Kasim dan Birramen atas kasus tas inisiasi itu. Kasim tertusuk tombak dan mati. Pemakaman jenazah Kasim dilakukan dalam bentuk ritual Makassar. Orang-orang Yolngu juga memberikan penghormatan kepada arwah kasim dengan menari mengelilingi jenazah Kasim sebagai bentuk upacara ritual mereka. Orang-orang Makassar membawa jenazah Kasim ke pemakaman di bawah payung kematian. Dhalawal amat sedih atas kematian Kasim. Dia juga sedih karena suaminya, Ahmad akan kembali lagi ke Makassar membawa Birramen untuk diadili. Kesedihannya diungkapkan lewat tarian dan dialog:
“Aku membuat naungan untuk diriku dari kayu-kayu bercabang dua
Guntur bergema di atas billabong, di atas lautan luas
Awan-awan hitam bergulung ke laut
Guntur bergulung di bawah awan
Aku membuat sarang burung camar terapung di air pasang
Kilat menjulurkan lidah apinya dan guntur bergemuruh
Awan mengambang, angin sejuk bertiup, kilat berkelap-kelip
Dengan khusuk kumohon pada awan yang mengambang dari angin musim
Untuk membawa perahu ke Makassar
Membawa suamiku kembali, bayiku tidak sabar menunggu
Hujan membasahi pohon-pohon pandan”.
Ahmad dan Nud bergotong royong menyiapkan peralatan perahu untuk berlayar ke Makassar sambil mengucapkan “sammaratanna helallah” berkali-kali dengan iringan musik Makassar. Ahmad dan Nud naik ke atas perahu diikuti Birramen yang ketakutan. Ahmad membantu Birramen naik ke atas perahu. Lalu pada sebagai ending pertunjukan, Dhalawal bernyanyi dan berdialog:
“Dalam bayangan, kulihat Ahmad berenang
Berenang menuju laut biru, menyelam mencari tripang
Kulihat dia di dalam air
Aku ingin menyelam bersamanya
Kulihat perahunya di dalam air
Kulihat dia menengadah
Di laut dia membawa belati
Di air biru dia bergerak-gerak
Aku ingin menyelam ke dasar laut bersamanya
Sepanjang dasar kuselami
Kulihat dia muncul dari laut
Bersama air kuberiak-riak”.
Tarian tombak dan nyanyian roh nenek moyang rumpun keluarga Yolngu mengiringi suasana hati Birramen di penjara. Birramen berdialog:
“Kadangkala kesenyapan membuatku menjadi tuli. Aku tahu aku masih hidup dari detak jantungku. Setiap malam, aku memimpikan pulau dan keluargaku. Kakekku berbicara padaku dalam mimpi, katanya “Tabahlah, kuatkan dirimu melalui semua ini sampai kamu bisa kembali ke rumah mengarungi laut Arafura.” Aku melihat diriku membawa tombak penyu dan bersandar di sampanku. Ikan barrumundi meloncat dari tombakku. Laut biru. Matahari merah terbenam di pulauku”.
Di tempat lain, di pantai Arnhemland, Dhalawal menari sambil berdialog:
“Hari ini aku mengumpulkan keladi dan gula. Saat aku berjalan sepanjang pantai, aku bernyanyi pada angin musim untuk membawa Ahmad dan Birramen pulang. Anak Laki-lakiku, Willukpoy, ingin bertemu dengan ayahnya, Ahmad. Di negeri kami, jika ada yang mati, rohnya dibawa laut oleh roh sampan diiringi cahaya bintang pagi Barnambirr. Perempuan tua yang mengumpulkan bintang pagi berada di pantai, dia mengumpulkan tali dan memasukkannya ke dalam tasnya. Aku melambai padanya, dia tertawa. Mata Marege menatapku kembali melalui laut Arafura”.
Sekeluar dari penjara, Biiramen dinikahkan secara Islam dengan Fatima, keluarga Ahhmad. Seusai nikah, Birramen, Ahmad, Nud naik ke atas perahu dan siap berangkat ke Arnhemland. Ahmad dan kawan-kawannya menyanyikan lagu tanah asalnya, mengiringi peristiwa yang jauh, di tanah Arnhemland, dimana Dhalawal sedang meniti pantai berpayung daun pisang melindungi dirinya dari gerimis hujan bersama anak digendongannya, anak Ahmad. Ia menunggu Ahmad suaminya.
Di atas perahu, Ahmad dan Nud menyanyi:
“Wa Ina wandiu-diu
Maipasusu andiku
Andiku lambata-lambata
Akaku laturungkole”
Lagu ini sebagai latar, saat Dhalawal menari di pantai dan berdialog:
“Hari ini aku mengumpulkan keladi dan gula. Saat aku berjalan sepanjang pantai, aku bernyanyi pada angin musim untuk membawa Ahmad dan Birramen pulang. Anak Laki-lakiku, Willukpoy, ingin bertemu dengan ayahnya, Ahmad. Di negeri kami, jika ada yang mati, rohnya dibawa laut oleh roh sampan diiringi cahaya bintang pagi Barnambirr. Perempuan tua yang mengumpulkan bintang pagi berada di pantai, dia mengumpulkan tali dan memasukkannya ke dalam tasnya. Aku melambai padanya, dia tertawa. Mata Marege menatapku kembali melalui laut Arafura”.
Di bagian ending pertunjukan, Dhalawal berdialog:
“Dalam bayangan, kulihat Ahmad berenang
Berenang menuju laut biru, menyelam mencari tripang
Kulihat dia di dalam air
Aku ingin menyelam bersamanya
Kulihat perahunya di dalam air
Kulihat dia menengadah
Di laut dia membawa belati
Di air biru dia bergerak-gerak
Aku ingin menyelam ke dasar laut bersamanya
Sepanjang dasar kuselami”
Kulihat dia muncul dari laut
Bersama air kuberiak-riak”.
Orang-orang Makassar di atas perahu menurunkan barang-barang lewat tali perahu yang diperuntukkan pada saudara Yolngunya. Demikian halnya orang-orang Yolngu memberikan barang-barangnya lewat tali tersebut untuk saudara Makassarnya. Nyanyian duka dari satu keluarga: Makassar-Marege. Dhalawal berdialog:
“Kami harus berhenti berdagang dengan saudara-saudara kami dari Makassar. Polisi-polisi dari Australia Bagian Selatan memecahkan panci-panci orang Makasasar untuk merebus tripang. Mereka merusak kemah-kemah orang Makassar, menghancurkan tradisi. Kami orang-orang Yolngu sedih. Para pedagang Makassar ini telah datang kemari selama 400 tahun. Aku mungkin tidak akan bisa bertemu Ahmad, suamiku lagi. Kami semua adalah saudara”.
Lalu semua bergabung bersama di pantai, menarikan tari bendera, menyanyikan lagu selamat tinggal.
Kisah di atas merupakan cuplikan dari pertunjukan teater The Eyes of Marege (Mata Marege) kolaborasi Teater Kita Makassar dengan Australian Performance Exchange yang dipentaskan pada OzAsia Festival tanggal 27 – 29 September 2007 di Playhouse Adelaide, dan pada tanggal 5 – 7 Oktober 2007 di Studio Opera House, Sydney. Pendukung pertunjukan dari Makassar diwakili Ram Prapanca (sutradara bersama dan pemeran tokoh Kasim), Ishakim (penata artistik dan pemeran Tetua Adat), Arifin Manggau (penata music), Hamrin Samad (penata gerak dan pemeran tokoh Nud serta pemeran tokoh Tetua Adat), Muhammad Ishaq (pemeran tokoh Ahmad), Solihing (pemusik). Adapun dari Yolngu diwakili Julie Janson (penulis naskah), Sally Sussman (sutradara), Munyarryun (pemeran tokoh Djandapurra dan Tetua Adat), Bernadette Walong (koreografer), Rod (pemeran tokoh Birramen), Lisa (pemeran tokoh Dhalawal dan tokoh Fatima), Leon Winambi/Aaron (pemusik), Pepen (pemusik), Sam Hawker (administrator), Simon Wiser (manajer produksi), Kenny Chong (transportasi lokal).
Naskah The Eyes of Marege yang ditulis oleh Julie Janson diworkshopkan bersama Teater Kita Makassar di Baruga Colliq Pujie Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar. Hasil workshop naskah memperlihatkan proses kolaborasi yang digali dari sejarah, cerita, mitos, upacara ritual dan seni tradisional yang berakar dari dua budaya suku-bangsa Makassar dan Yolngu. Kolaborasi teater ini mengangkat masalah hubungan sejarah, perdagangan, budaya, cinta, perkawinan, dan persaudaraan antara dua suku bangsa tersebut, yang pernah terjadi ratusan tahun lalu dan mengandung nilai-nilai budaya lokal dari dua suku bangsa tersebut.
Pertunjukan The Eyes of Marege semacam teater antropologi kepulauan. Antropologi kepulauan menurunkan perahu layar, sampan, dayung, peralatan penangkapan ikan menyertai pelayaran dari Makassar mereka ke Marege. Tubuh mereka menjadi tubuh antropologis kontemporer dalam dunia teater dengan menggunakan tubuh mereka sebagai sampan ketika mendarat di pantai. Kosmologi mereka juga kosmologi yang diturunkan dari kepulauan dan laut yang mengitarinya. Ketika badai datang, Nud yang diperankan Hamrin asal pulau Selayar membacakan mantra untuk meredakan badai. Juga mengamati bintang-bintang dan mengawasi roh-roh laut yang biasa bertengger di kemudi dan tiang perahu. Tubuh kepulauan mereka menjadi tubuh yang dihempaskan angin brubu, puting beliung, badai gelombang. Lagu yang dinyanyikan, baik di pantai, di atas perahu dan di sampan, merupakan nyanyian rakyat local yang merupakan bagian dari sastra tutur kepulauan. Tubuh kepulauan mereka adalah sebuah dialetika semiotik bersama dengan suku bangsa Yolngu, keluarga besar mereka.
Nud mengeluarkan badik melawan tombak-tombak Djandapurra untuk melindungi dan membela Ahmad. Sementara Ahmad menyerahkan hadiah-hadiah kepada Djandapurra untuk sebuah cinta dan persaudaraan. Kasim mengeluarkan badik mengancam Birramen dalam kasus “tas inisisai” dan berakhir dengan kematiannya di ujung “woowera”. Perang nyaris terjadi antara orang-orang Makassar dan Marege. Melalui adat Yolngu, Birramen diputuskan dikirim ke Makassar untuk diadili. Pemakaman jenazah Kasim dilakukan secara Islam-Makassar, di bawah payung putih. Dan dengan daun-daun penyucian, orang Marege menari dan menyanyikan duka-cita sebagai bagian penting dari ikon-ikon yang berkaitan secara genetis. Hidup dan kematian adalah perubahan yang berlangsung dari pesan kehidupan yang berpindah dari media satu ke media lainnya. Sebuah antropologi genetis yang terbuat dari tanah yang semua ikon-ikonnya saling berkaitan secara genetis dan menjadi kosmologi mereka. Leluhur mereka menyimpan ilmu, pengetahuan, etika, sejarah, filsafat, hukum, siri’ na pacce, pangngadakkang, persaudaraan, dalam berbagai upacara ritual dan seni, diturunkan lewat tubuh teater kepulauan. Tubuh kepulauan menjadi semacam sebuah gerakan dari perahu teater yang dilayarkan dengan cara membawanya mundur ke belakang. Waktu sebagai wacana kebudayaan sekarang sudah tidak bisa lagi menjelaskan latar depan ada dimana?
Djakapurra yang memerankan Djandapurra bercerita di University of New South Wales (UNSW) seusai gladi resik, bahwa kakeknya orang Makassar dan dimakamkan di Makassar. Dan ia ingin ke Makassar mencari makam kakeknya. Matanya berkaca-kaca ketika para actor Teater Kita Makassar memeluknya dan menyampaikan bahwa kita semua bersaudara. Matanya berkaca-kaca seperti juga “Mata Marege” yang menurunkan kisah Palipoy dalam gendongan Dhalawal ibunya. Dia tidak pernah bertemu dengan ayahnya, Ahmad tidak pernah ke Marege lagi, karena kebijakan polisi Australia Bagian Selatan. Kisah 400 ratus tahun yang lalu itu, dijahit kembali oleh Julie, dan bersama Sally, kisah itu dibawa ke Teater Kita Makassar untuk dikolaborasikan bersama Australian Performance Exchange.
Siapakah Julie Janson
Julie Janson dengan nama lengkap Julie Ellena Janson dilahirkan di sebuah kawasan yang disebut Taman Boronia Hunters Hill di Sydney, Australia, oleh keluarga Katolik, dari pasangan Janson Neville dan Janson Joan pada tanggal 18 Februari 1950. Wanita tinggi berambut pirang dengan wajah yang selalu tersenyum ini, memiliki darah campuran Inggris, Irlandia, dan Aborigin. Kedua orang tuanya adalah perekerja ulet. Ayahnya adalah petugas pemadam kebakaran dan pernah menjadi tentara pada Angkatan Darat Australia pada akhir Perang Dunia II. Di masa itu, ayahnya turut berjuang melawan penjajahan Jepang di Kalimantan, Indonesia. Sedang ibunya adalah seorang artis dan penata rambut berasal dari keluarga pekerja teater yang telah berakar di London. Kakeknya, seorang aktor dan pelukis di Drury Lane Theatre (Theatre Royal). Sedang bibinya, Rita adalah seorang aktris di London dan Sydney. Mereka merupakan pelukis, desainer, penata kostum dan artis di Vaudeville di wilayah Eropa.
Kehidupan awal Julie di masa kanak-kanak bersama kedua saudaranya sangat bahagia dengan banyak melakukan perjalanan ke pantai dan laut menemani orang tuanya memancing ikan. Di masa Sekolah Dasar sampai di SMA Hunters Hill, ia selalu meraih nilai tertinggi. Perempuan yang sangat popular dengan banyak teman wanita di sekolah ini adalah seorang seniman yang tajam, sebab selain bermain drama, ia juga melukis dan membuat patung. Dengan kepandaiannya di sekolah dan ketajamannya sebagai seniman, dia mendapat beasiswa untuk studi Visual Arts di University of NSW di Kensington Bachelor of Arts. Di Universitas itu, ia memasuki dunia Studi Drama dengan serius. Selain menjadi aktor mahasiswa dalam banyak produksi teater, dia juga dikenal sebagai salah seorang aktivis anti Perang Vietnam, dan banyak terlibat dalam aksi unjuk rasa feminisme dan turut bekerja untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan, serta paling gigih dalam melakukan aksi demonstrasi memperjuangkan hak-hak suku bangsa Aborigin sebagai suku asli Australia untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan hak-hak untuk mendirikan organisasi sebanyak-banyaknya. Di masa mahasiswa dan pergerakan itu, dia hidup tabah sebagai ibu selama beberapa tahun dengan merawat anak pertamanya, Morgan, dari suami pertamanya, seorang aktor Rusia, Ranald Allan.
Julie pertama tertarik pada teater ketika menyaksikan pertunjukan pantomim di Teater di Sydney. Ia sangat kagum pada karya-karya Shakespeare. Sejak kecil ia mulai melukis, dan ketika berusia 18 tahun, ia mulai memasuki teater di Universitas. Di masa mudanya, ia mulai memainkan perannya yang amat penting di bidang social dan politik dengan mempengaruhi orang-orang muda untuk belajar menghargai keragaman budaya (multicultural), dan untuk melawan rasisme yang sering terjadi di Australia.
Pada tahun 1976 sampai tahun 1978, Julie menerima pekerjaan sebagai guru kepala di Sekolah Down Hodgson Northern Territory. Bersama suami dan anaknya, mereka tinggal di dekat Katherine di sebuah sekolah terpencil Aborigin terletak di stasiun ternak Hodgson Downs. Mereka belajar tentang upacara tradisional Aborigin yang disebut “Allawa”. Di tempat itu, mereka hidup dengan hanya satu keluarga non pribumi lain di dekatnya. Baginya, ini adalah pengalaman yang indah tapi sulit. Di tempat inilah sebagai awal proses kreatif yang mengilhami menciptakan naskah drama yang berjudul Corocodile Hotel (Hotel Buaya) yang dalam prosesnya bertahun-tahun, kemudian diberi judul The Eyes of Marege (Mata Marege).
Setelah mengajar di Sekolah Down Hodgson, Julie dipindahkan ke pulau Elcho, ke sebuah sekolah yang disebut Sheperdson College Galiwinku di Northern Territory pada tahun 1978 sampai tahun 1980. Setelah itu, Ia pun mengajar di Universitas Sydney dalam program Pendidikan Aborigin sebagai asisten pada tahun 1983 sampai tahun 1998. Di sana ia mengajar bahasa Inggris, seni dan drama. Secara bertahap, bersama siswa dan staf sekolah, ia melaksanakan pendidikan, pelatihan, dan memproduksi teater. Baginya, itu adalah waktu yang sangat menggembirakan, karena dia sebagai orang Eropa pertama yang bekerja dan bermain teater dengan orang-orang Aborigin, suku bangsa Yolngu yang sangat alamiah. Pada saat yang sangat membahagiakan itu, ia melahirkan putrinya, Zoey. Ketika putrinya ini mengalami sakit, Julie kemudian pindah kembali ke Sydney di dekat ibunya dan melanjutkan studinya di program studi Teater di UNSW dan memperoleh gelar MA pada tahun 1993 di bidang Visual Art. Di kampus ini, ia mulai mengajar di Sekolah Tinggi Drama dan memproduksi pementasan teater. Di sana juga, ia mulai giat belajar bersama sarjana-sarjana Visual Art di Sydney College. Karena pengetahuannya yang luas di bidang pendidikan dan seni budaya, kinerja sang pelukis, sastrawan, dan dramawan ini sangat dikagumi di kampus sehingga dia mendapatkan kehormatan bekerja di Universitas Sydney sebagai Asisten Program Pendidikan Aborigin sekitar 25 tahun lamanya. Sampai sekarang ia bekerja bersama Profesor Peter pada Proyek Sejarah Aborigin di Universitas Sydney. Ia merupakan dosen dan salah satu peneliti senior pada Asosiasi Peneliti di Universitas Sydney. Selain itu, ia juga merupakan salah seorang dosen relawan di Indonesia, khususnya di Sumatera.
Pada tahun 1989, Julie menikah dengan suami keduanya, Michael Fay dan melahirkan putra keduanya, Byron Fay. Dia terus bekerja bersama orang-orang Aborigin sambil giat menulis naskah drama. “Gunjies”, merupakan naskah drama pertamanya yang dipentaskan bersama suku bangsa Aborigin pada tahun 1993 di Belvoir St Teater, yang mengisahkan tentang kematian orang hitam di dalam penjara. Dari sana, karirnya sebagai penulis drama dimulai, antara lain: “Black Mary” (tentang perempuan semak-semak Aborigin) dimainkan di Sydney Street Theatre 1996; “Lotus War” (tentang pejuang Vietnam) dimainkan di Belvoir St Asian Festival and Adelaide Fringe Festival 1996-1997 dan di ABC Radio 1996; “Season to Taste” (tentang makanan dan sex) dimainkan di Belvoir St Theatre Asian Theatre Festival 1996 dan di ABC Radio 1997; “Venus in Eritrea” (yang mengisahkan tentang kemalangan nasib orang-orang Afrika) digelar Belvoir St Theatre 1997; “Black Mary” diikutkan dalam Festival of the Dreaming, SOCOG and Belvoir St Company B, 1997, dan di Phoenix Theatre Festival of New Works, Phoenix Arizona 1999, “Season to Taste” dimaninkan di Mills Restaurant 1998; “Tears of Poppy” dimainkan 1998;“The Information” (tentang Aceh) di St Theatre F sharp, 1999; “Gandangarra Ee, Dreaming Project” dimainkan bersama komunitas Aborigin tahun1999-2000; “Kera Putih” (sebuah drama tentang anak-anak Bali) dimainkan di Jigsaw Theatre Co. ACT tour 2000 dan dipentas kelilingkan di Victoria tahun 2001; “Satan in Arizona” dimainkan di Phoenix Theatre, Arizona USA 2000 dan di Sydney Fringe Festival 2002; “The Corocodile Hotel” diworkshopkan dan dipresentasikan bersama Teater Kita Makassar di Baruga Colliq Pujie Universitas Negeri Makassar tahun 2003; Assessor Film, NSW FTO, AWG 2003-2007, Asialink Writer in Residence 2007 Padang, Sumatra; “The Eyes of Marege” indigenous and Sulawesi co- production OZasia Festival Adelaide Festival Centre, Sydney Opera House 2007; Dramaturgy for Suzanne Ingleton’s “Flower or Malaya” 2007; dan “Tsunami Tsunami” Production Padang, Pekanbaru, Sumatra 2009.
Beasiswa yang pernah diperoleh oleh Julie, antara lain: Developing Writer’s Fellowship, Australia Council 1998, The Australian Film Television and Radio School, Literature Board Attachment 1997. Selain itu, dia pernah aktif di Varuna Writers Residency 1998; Asialink Literature Resident Indonesia 2001; Canberra Universities Writer In Residence 2002; Tasmania Writer in Residence 2002; dan Camac Centre de Art, Marnay sur Seine, France 2005. Ia juga aktif dalam Pelatihan di National Institute of Dramatic Art, Playwrights Studio 1995 dan Australian National Playwrights Centre, stages 1, 2. Selain itu, dia juga pernah menjadi Ketua Australian Writers Guild, NSW Committee Chairperson 2001, Playworks Women Writers for Performance, Australian National Playwrights Centre, NSW Premiers Literary Awards Judge.
Beberapa hibah seni yang pernah disandangnya, antara lain: Playwrights Project Grant, Australia Council 1989; Performance Project Grant, Australia Council 1992; Playwrights Commission, Australia Council 1992; Production Grant ATSIC 1992 and 1995; Creative Development, Australia Council 1995; NSW Film and TV Office, first draft “Black Mary” 1998, Playwrights commission Jigsaw Theatre Co 1998; Asialink Workshop Makassar – Indonesia 2003; Australia Indonesia Institute production grant 2004; Arts Residency, Camac Arts Centre, France 2005; Tyrone Guthire Centre Writer’s residency, Australia Council 2009.
Karya filmnya, antara lain: “IVAN”, short film screen writer, Australian Film, Television and Radio School 1997; “Black Mary”, screenwriter, feature film script, Funded NSW Film TV Office 1998, “Get it On”, short film, producer, Arizona International Film 2004, “Pemulwuy”, screen writer, Metropolitan Aboriginal Land Council 2004-2005.
Julie pernah menjadi Dosen “Drama Ku-ring-gai”, University of Technology Sydney 1982-1990; Dosen, Communication UTS 1989-1990; guru Communications, Drama, Aboriginal Education, Liverpool College of TAFE 1988-1990; Teacher Faculty of Education, University of Sydney, 1991-1992; Teacher, Tranby Co-operative College, 1988-1990; Teacher, Aboriginal Medical Service, 1990-1992, Curriculum Writer, TAFE 1993-1994; Lecturer, Communications, English, History, Drama, Visual Arts, Tertiary Preparation, University of Sydney 1998-2001, Maria Regina Primary School, Avalon, volunteer 1996-2001, Lecturer, in Communication, Student support Lecturer, University of Sydney, The Koori Centre 1999-2002, New Initiatives Officer, Aboriginal Programs Unit, TAFE 2003.
Penghargaan yang diperoleh antara lain: “Gunjies” Highly Commended, Human Rights Award 1994, “Gunjies” Nominated for AWGIE 1994, “Satan in Arizona”, Short listed for Griffin Award for New Australian Playwriting 2001. Buku yang telah diterbitkan, antara lain: “Black Mary” dan “Gunjies”, published by Aboriginal Studies Press 1997, “The Corocodile Hotel” act 1 published Coastlines Magazine 2003, dan Collection 4, new Australian Plays in Profile, Scriptcentre 2003.
Beberapa Konferensi yang pernah diilkuti, antara lain: International Womens Playwrights Conference, “Lotus War”, Ireland 1997, International Development Programs, International Conference “International Arts Exchange Australia and Asia: Promotion and Facilitation” 1999, Australian National Playwrights Conference, “Playwrights Process” 1999, Aboriginal Studies Conference “Shared History: Application of Creative Arts” 2000, dan Women Playwrights International Conference, Jakarta Indonesia 2006.
Julie masih bekerja sebagai peneliti senior bersama Profesor Peter di University of Sydney. Selain melakukan penelitian tentang kisah-kisah sejarah dan kebudayaan Aborigin, dia juga tetap mengajar sebagai dosen di UNSW dan terus menulis naskah-naskah baru. Dia sering berkunjung dan tinggal di Indonesia sebagai penulis, dan juga sebagai dosen sukarelawan di universitas.
Sampai saat ini Julie bersama suaminya Michael Fay dan anak-anaknya, Morgan, Zoey dan Byron, masih menempati sebuah rumah yang indah di atas bukit yang dikelilingi pepohonan yang menjulang tinggi, tepatnya di Avalon Rd 26 Plateau NSW 2107 Australia. Rumahnya berlantai dua, dan dari ruang belakang rumahnya yang biasa digunakan untuk tempat berdiskusi tentang teater, dapat kita raih daun-daun pepohonan sambil menikmati kicauan beragam margasatwa yang bersenda gurau di dedahan. Dari ruang kerjanya di lantai dua, dapat kita saksikan pemandangan laut dengan pantai yang amat indah yang biasa dikunjungi oleh turis. Menurut Julie, ketika saya diajak ke ruang kerjanya di lantai dua tersebut, ia menulis drama lakon The Eyes of Marege sambil sesekali memandangi laut yang menghubungkan laut Australia dan laut Makassar. Imajinasinya berkembang dan seakan-akan Makassar ada di hadapan matanya. Tempat tinggalnya merupakan sebuah lingkungan perumahan elit yang diperuntukkan kepada seniman-seniman Australia yang telah menciptakan karya-karya seni dan telah memiliki nama di Australia.
Ketika kelompok Teater Kita Makassar diundang berkolaborasi dengan Australian Performace Exchange untuk mementaskan The Eyes of Marege pada bulan Oktober – September 2007 pada Oz’Asia Festival di Adelaide dan pada tanggal 5 – 7 Oktober 2007 di Studio Opera House, Sydney, sebelumnya, dalam persiapan pemantapan latihan di UNSW, Julie mengudang kelompok Teater Kita Makassar dan seluruh pendukung pertunjukan termasuk seniman-seniman Aborigin suku bangsa Yolngu berkunjung ke rumahnya untuk berdiskusi dan santap siang bersama, serta melakukan latihan di pantai, di kaki bukit itu. Di rumahnya di atas bukit itulah, Julie menceritakan tentang proses penciptaan naskah The Eyes of Marege sampai pada alasan naskah tersebut dipentaskan dalam bentuk kolaborasi.
Menurut Julie, drama lakon The Eyes of Marege diciptakan melalui proses yang panjang, yang merupakan bagian pertama dari naskah The Corocodile Hotel (Hotel Buaya). Naskah ini terisnpirasi ketika Julie belajar dan mendengarkan kisah-kisah orang-orang Makassar saat sedang mengajar drama dan bahasa Inggris di Pulau Elcho. Ia terpesona mendengar tentang pria muslim dari Makassar, yang datang untuk berdagang di Australia bagian utara, dan mereka tidak mempunyai keinginan untuk menjajah atau menyerang orang-orang Yolngu, suku asli Australia, seperti yang dilakukan oleh bangsa Eropa atau Inggeris.
Di bawah ini merupakan kisah yang dituturkan Julie kepada saya ketika berkunjung ke rumahnya pada hari Sabtu, 1 September, pukul 09.00. Semua pendukung The Eyes of Marege dijemput di Konjen RI lalu berangkat ke rumah Julie di Plateau Rd, Avalon no. 26 dekat pantai untuk diskusi, latihan dan makan siang bersama:
”Suatu waktu saya pergi untuk tinggal di sebuah pulau di Arnemland sebagai guru. Saya melahirkan anak saya di sana dan dia diberi nama Yolngu. Keluarga saya pernah diadopsi oleh keluarga Yolngu dan saya memanggilnya Gali-Gali, yang mana sebagai keseluruhan keluarga saya, yang sekarang menjadi keluarga saya selamanya. Ketika saya tinggal di pulau ini saya melihat cincin batu orang Makassar dan mendengarkan cerita tentang berbagai kata (bahasa) dan budaya antara Yolngu dan Makassar. Saya tidak pernah mendengar tentang tiga ratus sampai empat ratus tahun hubungan selama pendudukan Eropa atas Australia. Satu hal yang sangat penting yang disampaikan oleh seorang lelaki tua kepada saya adalah tentang orang-orang Makassar, dan berapa lama dia pernah berkujung dan tinggal di daerah itu.
Lalu saya menaiki pesawat dan berkunjung ke Makassar di Sulawesi Selatan. Saya melihat segi tiga hitam di atas bubungan rumah Toraja, sama dengan desain segi tiga yang saya lihat di Arnemland. Saya berjalan ke sebuah pelabuhan di Makassar dan saya melihat lelaki yang mirip bajak laut. Mereka tartawa dan memandangi rambut saya yang pirang, tetapi mereka baik hati menolong saya naik ke atas geladak kapal mereka. Saya menemukan pasar di kampung dan membeli pedang antik Makassar. Saya membawanya pulang ke Arnemland. Seorang lelaki tua telah menunggu untuk bertemu saya ketika pulang. Saya memberikan pedang itu kepadanya sebagi hadiah, dan dia membaluri pedang itu denga gula. Hari berikutnya dia mengikatkan pedang itu di pinggangnya dan memperlihatkannya di tengah orang-orang Yolngu. Begitu bangga dia mempunyai sesuatu yang berharga dari Makassar.
Beberapa tahun kemudian cerita tentang orang-orang Makassar tertuang di atas halaman-halaman kertas. Begitu mudah menjadi teks, prolog untuk sebuah pertunjukan epic, kemudian saya mengerjakan drama ini bersama Sally Sussman dan berkembang begitu cepat. Kami berangkat ke Makassar dengan bantuan Asialink. Kami membuat workshop pertunjukan teater dengan Ishakim, Ram dan kawan-kawan dari Teater Kita Makassar. Kami jatuh cinta dengan Makassar. Sally dan saya memulai sebuah perjalanan panjang dan The Eyes of Marege menjadi kolaborasi yang menyeberangi laut Arafura.
Ketika Djakapurra bergabung dengan kami dalam proyek ini, dengan nyanyian dan tarian yang menceritakan hubungan Makassar dan Yolngu, nyanyian-nyanyiannya menjadi jahitan yang kuat. Sally dan Bernadette menjalin materi bersama Teater Kita Makassar dan melihatnya sebagai sebuah harapan. Saya ingat ketika menjahit pakaian pengantin Makassar dan heran atas cerita aneh tentang persahabatan, keluarga dan hubungan bahasa. Orang Makassar (Indonesia) melakukan perdagangan dan kawin- mawin dengan orang Yolngu lebih dari ratusan tahun. Mereka tidak mengeksploitasi atau melakukan penjajahan. Mereka membawa pakaian beras dan pisau besi. Ini adalah sebuah cerita di mana orang Australia dapat belajar.”
Alasan Naskah Dikolaborasikan
Menurut Julie, The Eyes of Marege ingin menyampaikan pesan budaya dari dua suku-bangsa Makassar dan Yolngu melalui simbol-simbol budaya dalam struktur masyakatnya. Untuk memperoleh simbol-simbol tersebut, menurut Julie, diperlukan studi mendalam tentang masalah manusia dan kehidupannya, serta sistem-sistem kebudayaan dari dua suku-bangsa tersebut. Hal inilah yang merupakan salah satu alasan naskah ini dipentaskan dalam bentuk kolaborasi antara Teater Kita Makassar dan Australian Performance Exchange.
Berdasarkan hal itu, kata Julie, naskah ini perlu dikolaborasikan bersama Teater Kita Makassar dan Australian Performance Exchange dengan alasan, isinya menyangkut hubungan sejarah dan budaya Aborigin dan Makassar. Temanya tentang persaudaraan dalam bingkai multikulturalisme dan lintas budaya. Kolaborasi ini menjadi semacam pertukaran budaya dari suku-bangsa tersebut.
Hal senada disampaikan juga oleh Sally Sussman (co director), The Eyes of Marege diciptakan untuk dinikmati publik. Ia membangun perisitiwa seni dan kebudayaan dari suku-bangsa Makassar dan Yolngu dengan latar sejarah. Ia menyangkut identitas dan nilai-nilai budaya dari kedua suku-bangsa tersebut. Oleh karena itu, drama lakon ini penting dikolaborasikan bersama kelompok teater di Makassar yang telah biasa menggali idiom-idiom tradisinya agar pesan dalam pertunjukan dapat diterima oleh publik. Kelompok yang dipilih ialah Teater Kita Makassar berdasarkan rekomendasi dari Lauren Bain, pengamat budaya dan teater dari Austaralia.
Menurut Ishakim, penata artistik The Eyes of Marege, tema dan isi naskah ini mengangkat hubungan sejarah, perdagangan, cinta, perkawinan dan persaudaraan dua suku-bangsa Makassar dan Aborigin. Mau tidak mau keterlibatan seniman dan kelompok teater dari Australia dan Makassar sangat diperlukan. Lelaki etnis Buton ini pernah kuliah di Jurusan Seni Rupa IKJ Jakarta. Selain sebagai seniman, ia juga bekerja pada Bisnis Multilevel Marketing. Dia merupakan tulang punggung artistik Teater Kita Makassar. Bersama Halilintar Lathief, ia turut mendirikan Balai Pendidikan Pusat Kesenian Somba Opu (Badikpusaka).
“Berkolaborasi dengan pekerja teater dari Makassar adalah sesuatu yang tepat, karena ceritanya mengisahkan tentang persaudaraan kami dengan orang Makassar yang telah terjadi ratusan tahun yang lalu. Ketika Julie menawarkan kolaborasi untuk mementaskan naskahnya, saya katakan pada Julie, bahwa saya mau berkolaborasi dengan orang Makassar karena kakek saya berasal dari Makassar”, tutur Djakapurra yang memerankan Djandapurra dalam The Eyes of Marege. Ia berasal dari Yirrikala. Bekerja sebagai konsultan budaya dari Bangarra Dance Theatre. Dia merupakan putera kepala suku Aborigin, seorang penata tari dan musik yang sangat dihormati oleh budayawan Australia.
Rod yang memerankan Birramen adalah seorang actor yang mendapat pendidikan di Sekolah Seni Pertunjukan Aborigin Edith Cowan University. Menurutnya, alasan naskah dikolaborasikan karena ada sejarah yang tersembunyi antara orang Aborigin dan Makassar yang harus diungkapkan lewat pertunjukan teater. Ini merupakan pengalaman yang luar biasa selama ikut dalam proses kolaborasi, karena bisa belajar banyak tentang keberagaman budaya.
“Saya sangat bahagia dan terharu ketika naskah ini dikolaborasikan. Di dalam latihan bersama, saya seperti sedang bermain dengan keluarga Aborigin. Ini semacam pertukaran budaya antara orang Aborigin dan Makassar”, tutur Lisa Flanagan yang memerankan Dhalawal dan Fatima. Ia tinggal di Adelaide. Selain sebagai pemain teater tradisional Aborigin, juga sebagai penyanyi.
Bernadette Walong yang berperan sebagai koreografer Aborigin dalam The Eyes of Marege, adalah lulusan NAISDA. Di NAISDA ia mengambil bagian dalam perjalanan budaya-maintainence untuk komunitas seperti Natal Creek, Fitzroy Crossing, Nookanbah, Derby dan Kunnunurra (WA) Darwin, Kakadu, Melville. Menurutnya, alasan naskah dikolaborasikan kerana temanya mengenai dialog inter-kultural dan multicultural yang merupakan bagian dari program budaya Australia dan Asia. Tema ini harus melibatkan pelaku budaya berdasarkan isi naskah dan dijalankan berdasarkan kesetaraan.
”Saya melihat Julie dan Sally ingin memperlihatkan kepada Australia dan Indonesia lewat naskah dan pertunjukan, bahwa Indonesia dan Australia dulu pernah menjalin hubungan yang harmonis melalui suku-bangsa Makassar dan Yolngu seperti kisah dalam naskah,” ujar Arifin Manggau, penata musik The Eyes of Marege. Ia lahir di Kampung Tamarunang, Bontomarannu, Makassar pada tanggal 2 April 1974. Ia bekerja sebagai dosen program studi Sendratasik Jurusan Seni Pertunjukan Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar. Menyelesaikan studi S3 Pendidikan Seni di Universitas Negeri Semarang tahun 2018.
Hamrin Samad sebagai penata gerak, juga memerankan Nud dan Tetua Adat dalam The Eyes of Marege. Ia lahir di Onto Selayar tahun 1973. Dosen program studi Sendratasik Jurusan Seni Pertunjukan Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar. Menyelesaikan studi S2 di Institut Seni Indonesia, Surakarta. Sayang, ia telah meninggalkan kita di tahun 2021. “Memang akan kesulitan Julie dan Sally kalau naskah ini dipentaskan dan tidak dikolaborasikan dengan kelompok teater dari Makassar, karena semua isinya mengenai orang Makassar dan Aborigin. Saya melihat alasannya di situ. Dan ketika dalam proses latihan di UNSW, saya bincang-bincang dengan Djakapurra, dan menurut dia dan orang-orang Aborigin, mereka memberikan respon positif dalam kolaborasi The Eyes of Marege. Mereka sangat antuasias atas terjalinnya kerjasama kebudayaan Indonesia – Australia yang diwakili suku bangsa-Makassar dan suku bangsa Yolngu. Bahkan mereka sangat berterima kasih karena pertunjukan menyingkapkan sebuah kebenaran sejarah hubungan suku Makassar dengan Yolngu. Semua pendukung bisa saling memahami kebudayaan masing-masing yang berbeda-beda. Di dalam latihan, kami saling memberi dan menerima kebudayaan masing-masing,” tuturnya.
Muhammad Ishaq yang memerankan Ahmad, lahir di Kandeapi, Mandar pada tanggal 9 Juni 1981. Alumni FSD UNM yang kini menjadi guru di Mandar ini berkomentar, bahwa salah satu alasan naskah dikolaborasikan karena isi naskah berbicara tentang karakter manusia Makassar dan Aborigin. Karakter ini menyangkut nilai-nilai budaya Makassar dan Aborigin. Alasan lainnya karena festival “OzAsia” mempunyai tujuan untuk menjelajahi hubungan keragaman kekayaan budaya antara Australia dan negara-negara tetangga Asia. Salah satunya adalah hububungan persaudaraan antara orang Makassar dan Aborigin.
Proses kolaborasi yang cukup panjang
Awalnya hanya berupa email dari Julie dan Sally yang memperkenalkan dirinya atas rekomendasi dari Lauren Bain untuk menawarkan berkolaborasi dengan Teater Kita Makassar dengan mengirimkan naskah dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Corocodie Hotel” (Hotel Buaya). Naskah lakon yang terdiri dari 3 babak ini ditulis dengan dukungan dari Asialink, the Australia Indonesia Institute, the Australia Council, dan the Koori Centre University of Sydney. Karena Julie dan Sally berencana ke Makassar pada bulan Oktober 2003 untuk melakukan workshop naskah dengan Teater Kita Makassar. Naskah pun diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Hesty, mahasiswa jurusan Bahasa Inggeris Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Berdasarkan terjemahan itu, kemudian anggota Teater Kita Makassar melakukan kajian naskah dan dilanjutkan dengan latihan di Baruga Colliq Pujie Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar.
Pada tanggal 1 Oktober 2003, Julie Janson bersama suami dan anaknya, serta Sally Sussman dari Australian Performance Exchange datang berkunjung ke Makassar, untuk memantapkan penawaran kerjasama dengan Teater Kita Makassar untuk memproduksi pementasan teater The Eyes of Marege. Sebelumnya tawaran itu sudah dilakukan lewat email dan Teater Kita Makassar telah siap menerimanya. Teater Kita Makassar menyambut baik kedatangan mereka yang menawarkan pertunjukan bersifat kolaborasi tersebut karena baik naskah maupun bentuk penggarapan yang mereka ajukan sejalan dengan konsep pertunjukan Teater Kita Makassar, yaitu seni pertunjukan kontemporer yang bertolak dari problematika lingkungan dengan bentuk garapan artistik yang dieksplorasi dari idiom seni pertunjukan tradisional.
Selama 1 minggu di Makassar, tepatnya mulai tanggal 1 – 6 Oktober 2003, Julie Janson dan Sally Sussman menyaksikan pemain-pemain Teter Kita Makassar mengeksplorasi naskah “The Corocodile Hotel”, dengan memasukkan unsur-unsur budaya lokal Makassar. Mereka sangat kagum kepada desain panggung dan desain properti yang dibuat oleh Ishakim, terutama set bagang yang terbuat dari bambu sebagai simbol perahu. Selain itu, mereka juga kagum kepada penataan musik yang dilakukan oleh Airifin Manggau dengan menggunakan peralatan musik tradisional Sulawesi Selatan. Sedang kekagumannya yang lain ialah adegan-adegan yang dilakukan oleh aktor-aktor Teater Kita Makassar pada adegan pelayaran di atas perahu, dan adegan perang, serta ritus kematian. Mereka sudah melihat langsung potensi Teater Kita Makassar dan merencanakan pementasan berlangsung di Australia pada tahun 2004. Tapi rencana itu gagal karena peristiwa “Bom Bali” yang banyak memakan korban, terutama dari turis Australia. Peristiwa ini menambah ketegangan politik Indonesia- Australia.
Selama hampir 3 tahun, rencana baru akan diwujudkan pada tahun 2007 dalam forum “The Dreaming 2007, Australia’s International Indegenous Festival” yang akan berlangsung di Woodford dari tanggal 8 hingga 11 Juni 2007. Festival tersebut merupakan acara tahunan dalam kalender event Australia yang disenggalarakan oleh “The Queesnland Folk Federation” (QFF) dan “The Woodford Folk Festival” (WFF).
Pada tanggal 5 Maret 2007, Sally mengirim email kepada Teater Kita Makassar yang isinya menyampaikan kesenangannya karena kolaborasi pertunjukan teater akan segera dipentaskan di Australia. Ia juga senang karena, baik dari aktor-aktor Teater Kita Makassar maupun dari Australian Performance Exchange terus melakukan latihan meskipun pernah terhenti beberapa tahun. Meskipun demikian, Sally mengakui bahwa mereka masih kesulitan mencari dana untuk biaya perjalanan Teater Kita Makassar ke Australia dan biaya produksi. Mereka akan memastikan apakah mereka mempunyai cukup dana sebelum tanggal 12 Maret.
Menurut Sally, bahwa mereka sudah dipesan untuk mengadakan pertunjukan di The Dreaming Festival di Queensland tanggal 8 sampai 11 Juni. Sedang Studio Opera House Sydney menginginkan mereka mengadakan beberapa pertunjukan akhir tahun, namun mereka masih belum bisa memastikan biayanya. Pada tahap ini, Sally mengirim email kepada Teater Kita Makassar pada tanggal 5 Maret 2007 bersama Julie, mengirim naskah baru dengan judul The Eyes of Marege bagian pertama dari The Corocodile Hotel. Lakon dimaksudkan berlangsung sekitar 60 – 90 menit. Mereka hanya mempunyai cukup uang untuk mengundang enam seniman dari Teater Kita Makasar sehingga ada beberapa peran yang dimainkan oleh pelakon yang sama. Mereka menginginkan para pelakon dan pemusik kaliber yang dapat mengimbangi kualitas para pelakon Aborigin. Lakon akan dimainkan dalam bahasa Inggris, Indonesia, Makassar dan bahasa-bahasa Aborigin, sehingga akan sangat membantu jika para pelakon dari Teater Kita Makassar dapat berbahasa Inggris. Supaya semua penonton memahami alur cerita pertunjukan, lakon juga akan menggunakan gerakan, tari dan bayangan visual serta tulisan dan lagu. Sally sangat menyukai alur fisik yang dikembangkan di Makasar – seperti pendayungan sampan, upacara kematian, dll.
Berdasarkan penyampaian itu, Teater Kita Makassar semakin giat melakukan latihan. Naskah yang dikirim oleh Julie yang merupakan revisi dari naskah The Corocodile Hotel mulai dikaji ulang. Lalu pada tanggal 22 Maret, Teater Kita Makassar mengirim email ke Sally yang isinya semacam pemberitahuan tentang latihan Teater Kita Makassar yang berfokus pada 5 peristiwa, yaitu: (1) Pelayaran di atas perahu; (2) Perkelahian; (3) Tarian roh-roh buaya laut; (4) Kematian; dan (5) Pengadilan di Makassar. Kelima peristiwa di atas, dieksplor terus oleh Teater Kita Makassar dengan mengambil simbol-simbol kekuatan akar budaya Makassar, baik dalam gerak tubuh, ekspresi, dan musik serta nyanyian. Walaupun Teater Kita Makassar sudah menyiapkan stok adegan untuk peristiwa di atas, tapi Teater Kita Makassar akan tetap bisa menyesuaikan bila ada perubahan dalam latihan bersama nanti di Australia. Teater Kita Makassar akan membawa beberapa kostum dan properti sesuai dengan 5 peristiwa di atas. Juga akan membawa beberapa alat musik.
Komunikasi lewat email ini terus berlanjut, bukan hanya untuk keperluan menejerial produksi yang bersifat administratif, tapi berlanjut pada semacam dialog-dialog inter-kultur dan multikul-kultur yang mengandung nilai-nilai budaya lokal serta rangsangan-rangsangan etetika naskah, artistik dan pemeranan untuk keperluan kolaborasi. Lalu pada tanggal 26 Maret, Teater Kita Makassar mendapat kabar dari Sally, bahwa mereka menyukai cara Teater Kita Makassar membagi lakon menjadi beberapa kejadian. Julie juga sudah menulis satu kejadian lagi, tentang adegan perkawinan. Mereka ingin karakter Aborigin dari Birramen untuk berperan dalam beberapa ritual bersama aktor-aktor Teater Kita Makassar. Mereka mengharapkan Teater Kita Makassar untuk menambahkan kejadian lain yang menunjukkan jati-diri Makasar dan/atau kisah-kisah yang berhubungan dengan orang Aborigin di Makasar pada masa lalu. Mereka mengharapkan juga agar aktor-aktor Teater Kita Makassar memerankan beberapa tari/ritual tradisional Makasar dengan para penari dan pemain Aborigin untuk melihat apakah ada persamaan antara dua kebudayaan yang berbeda tersebut.
Masalah set, Sally mengharapkan Ishakim mengembangkan ide perahu bambu dari latihan sebelumnya. Semua set untuk setting harus dapat dibongkar pasang dengan cepat dan dapat dibawa ke tempat lain. Juga agar dapat bisa dimuat di dalam bis, setiap bagiannya tidak boleh lebih panjang dari 3,5 meter sehingga akan lebih mudah untuk dibawa.
Teater Kita Makassar dalam latihannya mengeksplor simbol-simbol ritual gerak tari Makassar. Seperti pada adegan pelayaran di atas perahu besar, mereka mengeksplor tari Pakarena Balalabulo dari pulau Selayar. Sedang pada adegan perahu kecil atau sampan (lepa-lepa), dieksplor dalam bentuk gerak yang bersumber dari teater rakyat Kondobuleng dari Makassar. Demikian halnya dengan adegan perkelahian, kematian, tarian roh-roh buaya, dan pengadilan. Semua dieksplor ulang dari bentuk-bentuk upacara ritual Makassar. Untuk perkelahian Kasim dan Biaramen, dieksplor dengan cara perkelahaian orang-orang Makaassar dahulu kala, sebagai lelaki-lelaki jantan, perkasa dan adil dalam pertarungan, yaitu dengan cara keduanya dimasukkan dalam satu sarung, kemudian keduanaya saling tikam di dalam sarung tersebut. Badik atau keris saling beradu dan merobek kain sarung. Pada setiap latihan, Ishakim selalu membentangkan kepada pemain desain artistiknya dalam 2 bentuk set dan juga beberapa properti. Alternatif set pertama, yaitu bentuk setnya paten di atas panggung dalam bentuk bagang yang terbuat dari bambu. Kemudian ada level dalam bentuk ‘U’. Set ini, katanya, menggambarkan perahu, hotel, dan juga tempat pemukiman Aborogin dll. Kemudian level dalam bentuk ‘U’, sebagai tempat bermain para pemeran. Di depannya kosong, menggambarkan pantai dan laut. Alternatif set kedua, yaitu set perahu dibongkar pasang, dan dapat didorong karena dipasangkan roda. Set ini terbuat dari bambu.
Sally senang dengan cara berpikir dan cara kerja Ishakim bersama anggota Teater Kita Makassar. Beberapa tarian lain bersumber pada tarian Aborigin, antara lain tari roh buaya, tari bintang pagi dan tari bendera yang digarap oleh Djakapurra Mamyurryam bekerjasama dengan penata tari Bernadette Walong. Untuk beberapa adegan seperti pertarungan, mencoba menciptakan gabungan antara ritual tari Makassar dengan ritual tari Aborigin.
Teater Kita Makassar sudah membayangkan peristiwa dialog budaya dengan menggunakan beragam bahasa, dengan tarian dan nyanyian dari dua suku bangsa. Ini semacam teater antropologi dimana manusia dari dua suku bangsa Makassar dan Aborigin mencari dan menemukan kembali jejak-jejaknya setelah ratusan tahun dipisahkan oleh yang bernama “kekuasaan kolonial”.
Tapi, cita-cita dan harapan mulia yang telah terencana dan terjadwal dengan rapi tersebut pun batal karena menurut Sally, pemerintah Australia kurang menyiapkan dana. Terpaksa menunda gladi resik sampai akhir Agustus/awal September sehingga bisa mempersiapkan pertunjukan di Adelaide Season (24-29 September) kemudian di Sydney (5 & 6 Oktober). Sally memohon maaf kepada Teater Kita Makassar yang sebesar-besarnya, namun dia tidak dapat berbuat apa pun atas hal itu. Betapa terkejutnya Teater Kita Makassar dengan pembatalan tersebut, padahal sudah mengirim paspor kepada Wati Syamsu di Keduataan Australia di Jakarta untuk pengurusan visa.
Tapi Sally bukan tipe seniman yang mudah putus asa dalam memperjuangkan hak-hak budaya multikultural di Australia dan Asia. Bersama Australian Performance Exchange yang didirikannya, mereka memiliki jaringan menorobos tembok kekuasaan. Ia paham bahwa Australia merupakan salah satu negara yang merintis program pendidikan multikultural di dunia. Maka dengan strategi budaya lewat dialog budaya, dan atas nama pertalian dua suku bangsa Makassar-Aborigin, akhirnya The Eyes of Marege terpilih sebagai materi utama dalam “Oz’Asia Festival” di Adelaide, dan juga dipentaskan di Studio Opera House Sydney pada bulan September – Oktober 2007.
Meskipun waktunya masih lama, tapi keenam anggota Teater Kita Makassar tetap berlatih intens sambil melakukan eksplorasi terus menerus. Ishakim mengeksplor artistik lewat gambar, sedang Arifin mengeksplor musik dan nyanyian bersama Solihing, Hamrin dan Ishak. Pada tanggal 4 Juni, Sally mengabarkan pada Teater Kita Makassar bahwa pertunjukan di Adelaide akan berlangsung dari tanggal 27-29 September dan di Sydney dari tanggal 5-7 Oktober. Direncanakan Teater Kita Makassar sudah ke Australia sebelum acara berlangsung, yaitu tanggal 30 Agustus 2007 agar dapat berlatih bersama dengan pemain-pemain Aborigin dalam waktu yang cukup memadai maupun untuk mempersiapkan dengan baik seluruh unsur pendukung pertunjukan.
Pada tanggal 11 Juni, Sally mengirim rancang Stage Play House Adelaide dimana pertunjukan pertama akan diadakan pada “Oz’Asia Festival”. Juga mengirim rancang Stage The Studio, Sydney Opera House dimana pertunjukan kedua akan ditampilkan di Sydney. Berdasarkan rancang panggung yang dikirimkan, panggung The Studio Opera House berupa lantai (arena) dengan tempat duduk penonton yang lebih tinggi dari lantai. Sedang panggung The Playhouse dalam bentuk proscenium.
Panggung The Play House tidak terdapat dimensi yang tertulis pada rancangannya. Dimensi kasar yang dikirimkan yaitu 16m X 10m. Terdapat panggung yang dipasangkan di depan panggung utama pada rancangan tersebut. Menurut Sally, yang dapat digunakan adalah 6m X 3m. Jadi tidak perlu memakai seluruh panggung karena sangat besar. Sally menyarankan untuk mencoba melakukan pertunjukan di panggung bawah, sehingga lebih dekat dengan penonton. Tempat tersebut dapat menampung 450 penonton. Sally sangat mengharapkan Ishakim mempelajari rancang kedua panggung tersebut. Jika ada pertanyaan, katanya, harap diberitahu dan dia akan coba mencari tahu. Ini adalah awalnya!
Rancang panggung yang dikirimkan oleh Sally ini dipelajari oleh Ishakim dengan seksama. Ishakim mulai mendesain set lewat gambar berdasarkan skala panggung tersebut. Lalu pada tanggal 19 Juli, Sally mengirim sketsa ruangan Studio Opera House Sydney untuk Ishakim. Sally mengharapkan agar pertunjukan menggunakan lantai sebagai panggung dan penonton akan duduk di satu blok di samping panggung seperti yang diperlihatkan dalam lampiran, yaitu konfigurasi panggung yang searah dengan tempat duduk penonton. Menurut Sally, tempat ini tidak cocok untuk panggung dimana tempat duduk penonton mengelilinginya. Dia hanya ingin lebih jelas karena berdasarkan rancang set panggung yang telah dibuat oleh Ishakim, dapat digunakan untuk panggung yang dikelilingi penonton maupun panggung yang searah dengan penonton. Sally juga ingin tahu bahan material apa saja yang digunakan oleh Ishakim. Kalau seperti bambu dan semacamnya yang tidak diperbolehkan dibawa masuk ke Australia, agar segera dia membelinya di Sydney supaya konstruksi set dapat mulai dilakukan setibanya Teater Kita Makassar di sana. Tujuannya agar bisa mengerjakan set sebelum minggu ke-2 gladi resik.
Dalam hal pengurusan visa di saat-saat mau berangkat, Sally menanyakan kepada Teater Kita Makassar tentang proses visa Muhammad Ishaq yang mengalami kendala karena belum keluar sedang yang lain sudah ada. Menurut Wati Syamsu yang mengurus visa di Jakarta dalam emailnya pada tanggal 23 Juli, ternyata paspor & visa atas nama Muhammad Ishaq belum bisa diissued. Sebabnya karena masih dalam proses/”reguler checking” yang sedikit memakan waktu. Kalau sampai hari Kamis minggu ini masih belum bisa keluar, maka paspor yang lima akan dikirimkan dulu, karena dia akan cuti keluar kota mulai Jumat sampai dengan 6 Agustus. Untuk urusan selanjutnya dia akan berikan nomor kontak orang yang membantu paspor ini. Tidak ada biaya untuk urusan visa tersebut, karena termasuk kategori cultural exchange.
Kesepakatan-kesepakatan yang dipenuhi
Pada tanggal 25 Juli, Sally mengirim tentang Kesepakatan Australian Performance Exchange dengan Teater Kita Makassar. Sally telah menyusun kesepakatan dengan semua seniman proyek Eyes of Marege dengan tujuan agar jelas bagi semua atas apa yang diharapkan dari masing-masing pihak. Menurut Sally, jika semua setuju dengan kesepakatan terlampir, maka dia akan meminta administratornya, Sam Hawker untuk mengirim surat kesepakatan tersebut untuk ditandatangani dan dikembalikan kepadanya. Menurut Sally bahwa mereka dan Australian Performance Exchange hanyalah sebuah teater kecil dan dana mereka sangat terbatas. Proyek ini sangat mahal akibat dari penerbangan internasional dan nasional, akomodasi dll. Dia memerlukan 3 tahun untuk mencari dananya.
Sebagai sutradara yang juga menjadi produser kolaborasi ini, Sally memang telah bekerja habis-habisan dan mengorbankan waktunya selama tiga tahun untuk mewujudkan impian bersama ini. Teater Kita Makassar sangat mengagumi keuletannya dan menghargai sifatnya yang terbuka, jujur, dan penuh perhatian. Mulai dari gagasan awal untuk berkolaborasi, latihan bersama di Makassar, sampai pada komunikasi jarak jauh, ia tetap menjalin hubungan silaturahmi dengan Teater Kita Makassar. Ia sangat menghargai aktor-aktor Teater Kita Makassar yang semuanya beragama Islam. Mulai dari makanan halal, kesehatan, shalat sampai pada urusan visa, paspor, rancang set, perubahan naskah, informasi festival, proses latihan, dan nilai-nilai budaya local, sangat ia perhatikan. Untuk itu, ia mengirimkan daftar kesepakatan antara Teater Kita Makassar dengan Australian Performance Exchange seperti yang dicantumkan di bawah ini:
Teater Kita Makassar setuju untuk menyiapkan: (1) Menyiapkan enam actor untuk mengambil bagian dalam proyek kolaborasi teater Eyes of Marege bersama Australian performance Exchange di Australia dari tanggal 30 Agustus – 8 Oktober.; (2) Menyetujui untuk mengambil bagian dalam seminar bersama Sally dan penerjemah Jumaadi pada hari Sabtu tanggal 22 September di Adelaide dan diskusi pasca pertunjukan pada hari Minggu tanggal 30 September setelah pertunjukan di The Studio, Sydney Opera House; (3) Sepakat untuk memberikan gambar rancangan yang terperinci dan daftar terperinci dari bahan-bahan yang perlu dibeli untuk membangun rancangan di Australia sebelum tanggal 3 Agustus 2007. Rancangan tersebut harus bisa diaplikasi pada dua teater – The Dunstan Playhouse, Adelaide Festival Centre dan The Studio, Sydney Opera House. Rancangan tersebut harus dapat ditegakkan dan dibongkar pasang secara cepat; (4) Menyediakan daftar properti yang akan mereka bawa dan properti apa saja yang perlu disediakan di Australia sebelum tanggal 30 Juli; (5) Menyediakan daftar semua instrumen yang akan mereka bawa dan instrumen mana saja seperti peralatan musik yang perlu disediakan di Australia sebelum tanggal 3 Agustus 2007; (6) Setuju untuk membatasi muatan bagasi sampai 20 kilogram per orang seperti yang ditetapkan maskapai penerbangan. Termasuk instrumen, properti, kostum dan barang pribadi. Jika terdapat kelebihan muatan, Teater Kita Makassar harus bisa memberikan kwitansi sebelum biaya diganti; (7) Memastikan dalam keadaan sehat dan harus memberitahukan Australian Performance Exchange jika mempunyai masalah kesehatan sebelum menandatangani kesepakatan ini; (8) Setuju untuk menyediakan tanda terima untuk: properti, bahan-bahan set dan kostum yang khusus dibeli untuk produksi ini, penyewaan peralatan, biaya visa fiscal, transport ke bandara, dan kelebihan muatan.
Australian Performance Exchange setuju untuk menyediakan berikut: (1) Semua bahan, pekerja dan ruang bengkel untuk membantu Ishakim merancang set di Australia. Semua kostum dan properti yang non-Indonesia serta yang tidak dapat dibawa masuk ke Australia karena batasan karantina; (2) Adelaide Festival Centre (Oz’Asia Festival ) akan berhubungan dengan Garuda dan seniman Teater Kita Makassar untuk mengatur 6 penerbangan kelas ekonomi dari Ujung Pandang (Makassar) ke Sydney pada tanggal 29/30 Agustus dan kembali ke Indonesia pada hari Senin tanggal 8 Oktober. Adelaide Festival Centre (Oz’AsiaFestival ) juga akan mengatur penerbangan Sydney. Adelaide-Sydney untuk semua seniman; (3) Menyediakan transportasi lokal dari dan ke bandara Sydney. Adelaide Festival Centre (Oz’AsiaFestival) akan menyediakan transportasi lokal dari dan ke bandara Adelaide. Para seniman Teater Kita Makassar akan dibantu dalam hal transportasi lokal – bus langsung – yang memakan waktu 20 menit dari dan ke tempat latihan; (4) Setuju untuk mengirimkan sejumlah dana tertentu ke Teater Kita Makassar di Indonesia. Australian Performance Exchange akan mengirim dana tersebut kepada Teater Kita Makassar pada saat di Australia. Pada tanggal 3 April 2007, Australian Performance Exchange mengirim dana sejumlah AUD$1,600 untuk biaya: Properti, bahan-bahan set dan kostum yang khusus dibeli untuk produksi ini. Sewa kostum pernikahan. Biaya visa. Fiskal. Transport ke bandara. Kelebihan muatan (Australian Performance Exchange memerlukan tanda terima untuk semua yang tertera di atas); (5) Konsulat Indonesia di Australia telah menyetujui untuk menyediakan sebuah ruangan besar, tempat tidur dan perlengkapannya untuk 6 seniman Teater Kita Makassar selama mereka di Sydney. Juga terdapat kamar mandi dan dapur kecil. Adelaide Festival Centre (Oz’Asia Festival) akan menyediakan 3 apartemen masing-masing dengan dua kamar tidur untuk 6 seniman Teater Kita Makassar selama 8 hari di Adelaide (Sabtu tanggal 22 September – Minggu 30 September); (6) Menyediakan makan malam di rumah makan Indonesia untuk enam seniman Teater Kita Makassar dari Senin sampai Jumat selama latihan dari tanggal 3 September – 21 September; (7) Memberikan tunjangan kepada enam seniman Teater Kita Makassar masing-masing sebesar AUD$800 untuk biaya hidup, makanan dan transport di Sydney yang mana akan dibayarkan kepada masing-masing seniman dalam 2 kali pembayaran: $400 pada saat tiba di Sydney dan $400 pada hari Jumat tanggal 14 September.Australian Performance Exchange akan membayar masing-masing seniman sejumlah AUD$480 untuk biaya hidup di Adelaide yang akan dibayarkan pada hari Jumat tanggal 21 September; (8) Membayar setiap seniman sejumlah AUD$300 yang akan dibayarkan pada akhir kerjasama pada tanggal 8 Oktober. Biaya tambahan tidak akan dibayarkan tanpa persetujuan terlebih dahulu dan tanpa tanda terima.
Kesepakatan di atas telah disetujui oleh Teater Kita Makassar, kecuali rancangan set yang masih didiskusikan oleh Sally dan Ishakim. Ketika Ishakim mengirimkan desain set untuk dibangun di atas panggung, Sally masih mengajukan beberapa pertanyaan, karena menurutnya, telah disepakati untuk dibahas bersama berdasarkan kerja kolaboratorial. Beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Sally sebagai berikut: (1) Apakah gambar berdasarkan skala? Artinya apakah semua objek dalam gambar mempunyai besar yang sesuai satu sama lain? Saya rasa perahu harus lebih besar dari objek lain. Saya suka dengan ide penyanggah bambu yang Anda pakai di tempat latihan; (2) Anda menempatkan podium di dalam perahu – untuk pertunjukan? Dan juga sebagai tempat duduk para musisi – tapi ini yang tidak diperlukan!; (3) Apakah Anda bayangkan bahwa tempat-tempat berbeda di panggung digunakan secara eksklusif untuk mewakili tempat-tempat yang berbeda?; (4) Misalnya pulau Bimo yang selalu di satu sudut panggung diwakili oleh sebuah dermaga bambu dan tempat masak/kuali?; (5) Berdasarkan rancangan Anda, perkelahian di pulau Bimo terjadi di tengah? (6) Untuk rancangan ini, berapa panjang bambu 2 dan 3 meter yang Anda butuhkan? Berapa banyak kayu yang Anda butuhkan? (7) Berapa garis tengah/diameter bambu? Berapa tebal? Apakah semua potongan bambu sama tebal? Atau ada yang tebal dan ada yang tipis.
Sally kurang yakin dengan dermaga bambu yang dipakai untuk mewakili wilayah pulau Bimo. Sally merasa bukan konstruksi demikian yang terdapat di Arnhemland timur laut. Perahu-perahu kecil akan tertarik ke pantai jika konstruksinya demikian. Namun dia suka dengan ide dimana objek-objek seperti dermaga yang berdiri di antara dua tempat dan menghubungkan dua tempat – air dan pantai, pulau dan laut, Makassar dan Arnhemland.
Sally juga menyukai peti kayu beroda dan bagian tengah panggung yang kosong. Para actor memerlukan ruang kosong untuk pertunjukan fisik, ritual dan tarian. Tapi dia tidak mengerti apa fungsi pohon asam yang digambar oleh Ishakim. Sebuah simbol rancangan? Apa fungsi orang-orangan dari jerami? Untuk rancangan berikut, alangkah baiknya menurut Sally, jika Ishakim bisa menggambar dimensi kasar dari semua objek di atas panggung.
Apa yang diresahkan oleh Sally, menurut Ishakim adalah hal yang wajar. Dua alternatif rancangan set yang dikirim merupakan penerjemahan dari isi naskah. Rancangan set pertama merupakan terjemahan secara realis (konvensional), sedang rancangan set kedua maerupakan hasil terjemahan secara non-realis (non-konvensional) yang harus dibaca secara simbolik. Mengenai rancangan set ini, beberapa hal akan berubah tapi tidak secara signifikan bila sudah berada di panggung tersebut.
Sally mengingatkan kepada Ishakim bahwa hanya ada beberapa orang dari Australia yang bekerja di bagian set. Manajer produksi dan seorang murid akan membantu Ishakim membangun set. Seperti yang telah ia sebutkan, set yang dibangun harus dapat dibongkar pasang dengan sangat cepat oleh hanya beberapa orang. Menanggapi hal ini, Ishakim tersenyum, dan menyampaikan kepada Sally, bahwa aktor-aktor Teater Kita Makassar telah terbiasa membangun setnya sendiri, selain sebagai aktor, pemusik, dan penari. Bagus, kata Sally, kita sudah memulai perbincangan tentang kerja kreatif!
Pada tanggal 21 Juni, Sally mengirim rancangan panggung The Studio Sydney Opera House. Berdasarkan desain yang dikirimkan, menunjukkan dimensi ruang pertunjukan kira-kira sebesar 8m x 15m. Tidak ada panggung yang ditinggikan. Pertunjukan akan diadakan di lantai dengan penonton duduk berbaris. Menurut Sally, The Studio bersifat lebih akrab daripada The Dunstan Playhouse di Adelaide Festival Centre. Penonton jauh lebih dekat dengan pemeran. The Studio dapat menampung sekitar 300 orang.
Sally memerlukan rancangan dari Ishakim yang cocok untuk ruangan lebih besar seperti di Dunstan Playhouse dan yang lebih kecil di The Studio. Makin sederhana rancangannya makin bagus. Dia sangat menyukai perahu bambu sebagai struktur utama di panggung. Sedang set lainnya dapat menggunakan property dengan struktur yang bisa dibongkar pasang agar dapat dengan mudah keluar masuk ruang latihan.
Berdasarkan diskusi tentang rancangan set panggung tersebut, Ishakim telah membayangkan bahwa nanti kalau sudah tiba di Australia, yang akan dipilih oleh Sally ialah rancangan set non-konvesional, yaitu set bagang yang terbuat dari bambu yang menyimbolkan perahu. Set itu memang menetap di atas panggung tapi tidak mengganggu pemeran. Bahkan set itu dapat digunakan oleh semua pemain karena memilki berbagai fungsi. Sedang property yang digunakan oleh pemeran, akan keluar masuk di panggung dan akan berfungsi juga sebagai set. Apa yang dibayangkan oleh Ishakim ini memang terbukti bahwa rancangan set non-konvensional itulah yang akhirnya dipilih dan ditetapkan oleh keduanya di Sydney.
Ketika Ishakim membangun set bagang di Sydney, dasar set yang digunakan multifungsi. Bahan baku yang dibutuhkan cukup sulit, seperti untuk memperoleh bambu tidak semudah di tanah air. Bambu di sana hanya dapat ditemukan di Taman Lindung Kota yang untuk mendapatkannya harus melalui prosedural izin yang cukup ketat. Cara pengangkutannya pun melalui aturan-aturan yang ketat. Ishakim bersama Simon salah seorang ahli artistik dan pengadaan material serta penata cahaya yang khusus membantu Ishakim untuk membangun set. Ada tiga tahap yang dilakukan: pertama, memperhitungkan ketahanan set dengan memadukan dengan escafolding besi; kedua: mensiasati set tersebut agar tetap kelihatan natural; ketiga, proses pengangkutan dan bongkar pasang serta mobilisasi set ke tempat lain yang jaraknya cukup jauh dari tempat latihan yang satu ke tempat latihan lain.
Pada tanggal 21 Agustus, Sally mengirim email mengenai biaya tiket. Sepengetahuan dia, Oz’Asia di Adelaide telah mentransfer pembayaran untuk semua tiket ke kantor Garuda di Makassar. Tanggal berangkat 28 Agustus karena tidak ada penerbangan dari Makassar pada tanggal 29 Agustus. Ibu Eni, pegawai Garuda di Makassar akan menghubungi jika tiket sudah bisa diambil. Sally memohon maaf kepada Teater Kita Makassar tentang masalah administrasi yang memakan waktu lama. Teater Kita Makassar juga memohon maaf kepadanya karena sering terlambat mengirimkan data kepadanya termasuk beberapa foto yang diminta untuk keperluan publisitas seminar atau symposium pada “Oz’Asia Festival”, rancangan set, daftar terbaru mengenai properti, kostum, peralatan musik, dan barang-barang yang akan dibawa. Menurut Sally, mereka perlu menunjukkan daftar tersebut kepada petugas Bea Cukai sebelum tiba di Sydney.
Sally mengingatkan agar aktor-aktor Teater Kita membawa beberapa pakaian hangat, sebab suhu di Sydney berkisar antara 12-20 derajat celcius. Dia dan kawan-kawannya mempunyai beberapa jaket dan topi untuk Teater Kita Makassar jika diperlukan. Dia juga meminta tolong dikonfirmasikan apakah semua harus makan makanan halal, agar mereka bisa mengurusnya sebelum tiba. Dia mengharapkan agar diberitahu jika masih ada keperluan lain, terutama perincian jumlah bambu serta lebarnya untuk set yang harus dibeli. Dia akan memberitahu ukuran badan para pemain Australia sehingga bisa segera menyewa kostum kawin di Makassar. Dua pemain mereka yang akan memakai kostum kawin tersebut jauh lebih besar dari ukuran badan rata-rata orang Indonesia, namun ukuran persisnya akan ia kirimkan. Dia mengharapkan agar membawa sarung dan jilbab yang cocok untuk Fatima. Berdasarkan permintaan Sally tersebut di atas, pada tanggal 22 Agustus, Teater Kita Makassar mengirim daftar kostum, property dan peralatan musik ke Sally.
Lewat emailnya pada tanggal 23 Agustus, Sally sangat bererima kasih untuk perincian daftarnya dan foto yang dikirimkan oleh Teater Kita Makssar. Foto-foto tersebut memang sangat diperlukan untuk dimasukkan ke program dalam seminar kolaborasi antar-budaya sebagai bagian dari “Oz’Asia Festival” pada hari Sabtu tanggal 22 September di Adelaide, dimana Sally dan Teater Kita Makassar, dan penerjemah Jumaadi akan mengambil bagian sehingga perlu mempersiapkan sesuatu untuk diutarakan mengenai proyek The Eyes of Marege.
Sally berharap agar di dalam seminar itu, dia bersama Teater Kita Makassar dan Jumaadi dapat membahas mengenai rencana kerjasama dan pendapat-pendapat untuk pertunjukan. Sally mengakui bahwa yang dipakai dalam pertunjukan adalah ide ide dari Teater Kita Makassar, terutama mengenai babak-babak tertentu dari adegan-adegan yang berbeda dalam pertunjukan. Teater Kita Makassar akan bekerjasama dengan banyak penari Aboriginal seperti Bernadette Walong (Koreografer), Djakapurra, dan Aaron yang akan tiba dari Arnhem Land pada tanggal 27 Agustus untuk berlatih bersama. Mereka adalah pembina tari tradisional untuk wilayah Arnhemland dan seorang penari serta konsultan yang bekerja pada organisasi tari asli Australia yang ternama, Bangarra Dance Theatre.
Menurut Sally, mereka akan berkumpul bersama untuk pertama kalinya pada hari itu, bersama pemain dari Sydney dan Adelaide untuk mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan tarian, dimana sebelumnya mereka tidak dapat berkumpul karena mereka semua dari tempat yang berbeda. Mereka juga belum pernah bekerjasama sebelumnya sehingga persiapan Teater Kita Makassar akan lebih baik dari mereka. Mohon maaf untuk hal ini, karena memang demikian keadaan kami berlatih untuk waktu yang singkat karena tidak mempunyai dana atau waktu untuk berlatih selama beberapa bulan seperti yang Teater Kita Makassar lakukan.
Sally menyarankan agar Teater Kita Makassar, bersama Bernadette, dapat mempersiapkan latihan-latihan untuk ‘pemanasan’ dan juga untuk mengeksplorasi bahasa-bahasa fisik yang berbeda. Ketika Sally melakukan latihan berdasarkan taichi dan yoga dengan aktor-aktor Teater Kita Makassar di Baruga Colliq Pujie Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar, dan berdasarkan eksplorasi gerak gaya Teater Kita Makassar, Sally merasakan bahwa setelah latihan tersebut perbedaan-perbedaan di antara mereka mencair dan membuat mereka mampu berhubungan secara teatrikal. Untuk itu, menurut Sally, latihan-latihan bersama semacam itu sangat diperlukan selama semua telah berkumpul di Sydney dan tidak perlu terlalu panjang. Mungkin 15-30 menit pada saat memulai gladiresik pada pagi hari.
Jadwal-jadwal yang ketat
Pada hari Minggu, 26 Agustus, Djakapurra, Aaron dan Simon dari Arnhem Land dan Lisa dari Adelaide tiba di Sydney. Lalu pada hari Senin, 27 – 29 Agustus, pukul 10 pagi – 18.00 sore, semua pendukung kolaborasi dari Australia, antara lain Djakapurra, Bernadette, Julie, Sally, Rod, Lisa, Pepen (pemusik) bersama Sally melakukan gladi resik di ruang 332 School of Media , Communications UNSW. Pada hari Rabu tanggal 29 Agustus, 6 aktor Teater Kita Makassar berangkat dengan pesawat Garuda ke Bali dan bermalam di Bandara.
Lalu pada tanggal 30 Agustus rombongan terbang ke Sydney dengan pesawat Internasional GA 716. Rombongan dijemput oleh Sally, Sam Hawker (administrator), Simon Wiser di bandara Sydney. Beberapa barang dengan material bambu ditahan dan dimasukan dalam karantina dan tiga hari baru bisa diambil setelah diperiksa. Dari bandara itu, rombongan dibawa oleh Kenny Chong ke penginapan di Konsulat Jenderal Indonesia di Maroubra Rd Maroubra. Kenny berkebangsaan Singapura sedikit mengerti bahasa Indonesia dan ia diberi tugas khusus untuk mengantar jemput Teater Kita Makassar selama di Sydney. Jumaadi yang dikontak sebagai penerjemah Teater Kita Makassar tidak sempat menjemput tapi dia telah memberikan nomer untuk setiap saat dihubungi. Dari penginapan itu, rombongan diajak makan siang di sebuah rumah makan setempat di Maroubra dengan Arif Hidayat (asal Indonesia yang sudah lama menetap di Sydney), Sally, Simon, Brian, dan Kenny. Pada pukul 19.00 rombongan mengikuti “Pembukaan & Penghargaan untuk Jumaadi” sebagai seniman lukis di Galeri Utama National Art School (Cnr Forbes and Burton St Darlinghurst).
Setiba di Sydney, Kamis 30 Agustus dilakukan rapat di Konsulat Jenderal Republik Indonesia bersama Sally, Simon dan Jumaadi. Malamnya pukul 20.00 bersama Arif, Jumaadi, Sally dan Julie menyaksikan pertunjukan “The Tangled Garden” sebuah kolaborasi teater dari Komunitas CCL Bandung sutradara Iman Soleh di Sidetrack Theatre, Addison Road Community centre, 142 Addison Road Marrickville 9294 4655.
Kesokannya, Jumat 31 Agustus, Ishakim, Simon, Jumaadi bersama anggota Teater Kita Makassar melakukan diskusi tentang pembangunan set, sedang seniman penduduk asli sedang istirahat karena telah latihan tiga hari berturut-turut. Sabtu, 1 September, pukul 09.00 semua pendukung dijemput di tempat penginapan lalu berangkat ke rumah Julie Janson (penulis naskah) di Plateau Rd, Avalon no. 26 dekat pantai untuk makan siang sambil bakar-bakar ikan. Semua pendukung membawa kostum dan instrumen musik karena selain latihan di pantai, juga ada pengambilan gambar. Di rumah Julie itu, semua pendukung saling memperkenalkan diri dan dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Jumaadi (penerjemah), asal Surabaya yang sudah lama menetap di Sydney.
Pada hari Senin, 3 September – Jumat 21 September, semua melakukan gladi resik secara berturut mulai pukul 09.00 sampai pukul 18.00 di ruang 332 School of Media, Communications UNSW. Sabtu, 22 September pukul 08.30 semua pendukung dan seluruh peerlengkapan pentas dijemput dan diantar ke bagian domestik QF 747. Lalu dari Sydney Kingsford Smith Arpt, tepatnya pukul 10.10, semua pendukung terbang ke Adelaide dan tiba pada pukul 11:50. Pada hari itu juga, tangal 22 September, tepatnya pukul 15.15 sampai pukul 16.00, Sally, Ram didampingi Jumaadi sebagai penerjemah Teater Kita Makassar dan Leigh Warren mempresentasikan “Kolaborasi The Eyes of Marege” di depan peserta Symposium Seminar di Gedung Adelaide Centre dengan tema: “Kolaborasi, Sebuah Study Kasus – The Eyes of Marege and Wanderlust”. Douglas Gautier, CEO dan Artistik Drectur Adelide Festival Centre bertindak sebagai moderator. Panel ini mendiskusikan perjalanan kerja kolaborasi (secara khusus), antara lain: (1) Mengenai gagasan, pencapaian, dan keterbatasan di sekitar kegiatan kolaborasi tersebut; (2) Perihal proses – pelajaran yang didapatkan; (3) Perihal apakah kolaborasi ini berhasil seperti yang diharapkan sebelumnya; (d) Halangan apakah yang paling merintangi proses ini; (4) Apakah berkehendak untuk mengerjakan kolaborasi lagi?; (5) Pelajaran apakah yang telah didapatkan dari kebudayaan lain? Pelajaran apakah yang didapatkan dari kebudayaan anda sendiri?; (6) Bagaimanakah reaksi performer dan audience terhadap silang budaya yang diprakarsai oleh Oz’Asia Festival ini?; (7) Apakah makna dan bagaimana masa depan daripada hubungan yang telah dilakukan?
Geladi resik dilakukan pada hari Senin, 24 – 25 September di Panggung Adelaide Festival Centre mulai pukul 10.00-14.00, dan pada pukul 15.00-17.00 melakukan publisitas. Rabu, 26 September pukul 08.00-16.00 membangun set bagang untuk persiapan pra-pertunjukan. Kamis 27-29 September, persiapan gladi resik dan mementaskan The Eyes of Marege sebagai pementasan utama pada Malam Pembukaan “Oz’Asia Festival” di Adelaide Centre. Minggu, 30 September, semua pendukung dijemput dari bagian domestic QF Flight 736, lalu pukul 11.50 dari Adelaide Arpt terbang ke Sydney Kingsford Smith Arpt.
Pada hari Jumat 5 Oktober pukul 08.00, Ishakim dan Jumaadi dijemput di 5/ 48 Flood St Bondi untuk membawa semua kostum, properti dan peralatan musik ke Stage Door, Sydney Opera House sekalian untuk pemasangan set di Studio. Di sana telah siap Nell dan Simon di Stage Door untuk membantunya. Lalu pada pukul 12.30 siang, anggota Teater Kita Makassar yang lain dijemput dan diantar ke Stage Door Sydney Opera House untuk gladi resik pk 14.00. Pukul 21.30-22.00, enam aktor Teater Kita Makassar dijemput di Stage Door Sydney Opera House kembali ke Konsulat. Sabtu 6 Oktober pukul 17.00 keenam aktor Teater Kita Makassar dijemput dan diantar ke Stage Door Opera House untuk pertunjukan pukul 19.30. Pukul 21.00, enam actor Teater Kita Makassar dijemput di Stage Door Sydney Opera House kembali ke Konsulat. Minggu 7 Oktober pk. 15.30 pm, 6 anggota Teater Kita Makassar dijemput dan diantar ke Stage Door Opera House untuk pertunjukan pukul 17.00. Pukul 19.30, enam anggota Teater Kita Makassar dijemput di Stage Door Opera House dengan membawa kostum, properti dan peralatan musik kembali ke Konsulat. Senin 8 Oktober pukul 07.30 pagi, 6 anggota Teater Kita Makassar dijemput di Konsulat, lalu diantar menuju bandara Sydney dan kembali ke Indonesia dengan pesawat Garuda 08OCT/ SYDDPS/ 10.00-14.25. GA544/ 08OCT/ DPSUPG/ 15.45-16.55.
*Asia Ramli adalah dosen di Jurusan Seni Pertunjukan Fakutas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar.