Syukuran Tubuh dalam Pendekatan Teater Miskin Grotowsky Sekaligus Syukuran Mental
Oleh Beri Hanna
Kalau Grotowsky pada eranya menarik penonton ke panggung ruang gelap kedap suara untuk pertunjukannya, Roy Julian bersama Kantor Teater membebaskan penontonnya untuk berada di mana-mana. Kalau Grotowsky melibatkan teater sebagai ruang pertemuan antar penonton dan aktor sebagai ruang interpersonal, Roy Julian membawa pertunjukannya ke interpersonal antar dimensi ruang.
Teater Miskin muncul setelah paham melepas semua atribut kemewahan pertunjukan teater yang tidak perlu. Kurasi yang dilakukan Grotowsky sebelum menyajikan pertunjukannya, punya pandangan untuk menghilangkan pembagian penonton, panggung, dan aktor. Dengan melakukan terobosan seperti itu, peristiwa atau adegan pertunjukan akan hidup pada ruang-ruang tanpa batas yang ditandai. Dengan segala kemungkinan tindakan dapat terjadi di ruang-ruang itu, hubungan aktor dan penonton berlangsung lebih interpersonal yang lebih menusuk serta terkhusus menjerumuskan latarbelakang yang sama atau justru membongkarnya di atas panggung.
Pada zaman apa adanya saat ini, Teater Miskin rancangan Grotowsky telah menembus waktu bagai seorang nabi teater. Lihatlah pertunjukan Kantor Teater bertajuk “Syukuran Tubuh” yang tentu pegiat teater merasa ini hal yang lumrah; membawa sebuah pertunjukan ke tempat-tempat yang tidak memerlukan panggung. Batasan suara yang dibuat seolah-alah tidak ada, justru membawa pertunjukan pada alamiah tempat dan situasi sebagaimana adanya, seperti ritual sebagai pertunjukan.
Kita tidak bisa memungkiri pergeseran Teater Miskin. Selain beradabtasi pada media rekam dan digital, pegiat teater perlu kiranya mengasah kembali harmonisasi tentang kedekatan tubuh pada alam. Selain aktor, tentu perlu diperhatikan cara membangun kesadaran penonton untuk sadar secara penuh akan bebunyian di luar pertunjukan adalah bagian dari konsep yang disepakati.
Dalam video yang diunggah aktor Roy Julian pada 7 juli di laman Facebook-nya itu, selain tampak ia menghantam-hantamkan bebatuan ke tubuhnya, ada dialog seperti ini; “ini hari minggu, semua orang ada di hari minggu ini. Beberapa di antaranya hidup. Beberapa di antaranya mati. Beberapa di antaranya belum pernah hidup dan beberapa di antaranya belum pernah mati. Tapi ini hari minggu, hari ketika semua orang boleh berhari minggu di dalamnya.”
Sebagaimana yang kita lewati pada tahun-tahun sebelum pandemi, hari minggu adalah hari yang tepat untuk bertamasya. Ke luar kota untuk melihat pemandangan atau pergi berkuda dan lain-lain sebagainya. Namun, pada pertunjukan “Syukuran Tubuh” justru menampilkan kekecewaan yang bersifat personal yang digali atas penyerapan dan temuan kegelisahan si aktor terhadap kenyataan yang ada, dalam hal ini seperti gagasan Grotowsky atau mengembalikan pengalaman tubuh pada presentasi interpersonal. Hari minggu sepi, sunyi tanpa ada sesuatu yang menggairahkan. Barangkali ini sebagai pijakan awal Roy Julian menggagas pertunjukan “Syukuran Tubuh”. Boleh jadi dibilang seperti curhat yang dipertontonkan ke dalam gerak tubuh dan penggalan-penggalan dialognya.
Selain itu Teater Miskin dalam pertunjukan Kantor Teater menyembunyikan pesan kesepian dan kesendirian atas kekecewaan yang tentu tidak dapat ditolak. Bagaiamana pertunjukan teater dapat mengubah cara pandang, sedang belum tentu dapat ditonton dengan baik? Memang kualitas tontonan kita pada budaya menurun beberapa tahun belakangan ini. Kita terlalu sibuk dengan ketakutan-ketakutan yang sebetulnya telah kita ketahui. Hanya saja, kita banyak memakan isu konspirasi yang tidak seksi dalam budaya dan pertunjukan teater.
Tidak semua orang mampu melihat apa yang disampaikan tubuh. Betul. Setidaknya, narasi yang disampaikan dengan gaya dan penampilan Kantor Teater membawa kita untuk membaca lagi ke mana kita telah jauh dari sesuatu yang hilang? Rujukan-rujukan pengalaman tubuh atas ungkapan kehidupan di zaman saat ini.
Banyak penggagas Teater Miskin di Indonesia yang hampir jadi gila sendiri karena tidak mendapat apresiasi yang baik. Seharunya, generasi-generasi sekarang berutang pada pegiat-pegiat seni yang masih bertahan tanpa bayaran yang pantas. Di samping hiruk pikuknya hal-hal sensasional yang tidak jelas, mereka masih berpegang teguh pada apa yang ingin mereka sampaikan.
Di tahun-tahun yang sunyi dan sepi yang akan datang, bolehlah kita menangis melihat tubuh-tubuh rentan yang masih bertahan dengan kesenian mereka.
Syukur Syukuran Tubuh masih ada, syukuran mental juga masih ada, yakni dari mereka yang memerhatikan pertunjukan itu, bukan dari sekadar kegilaannya, tetapi pengaruh latar belakang yang tersinggung dari pertunjukan Kantor Teater, tentang bagaimana mereka menyampaikannya dengan cara mengejek kehidupan di tenga-tengah kegagagapan kita menuju kedewasaan.
Andaikata saya masih duduk di bangku sekolah dasar, guru saya meminta menggambar pemandangan segitiga sejajar dengan matahari di tengah dan garis ‘m’ sebagai burung-burung terbang kemudian sawah memanjang ke bawah dengan sebatang pohon dan pondok juga aliran sungai, tentu saya akan marah-marah pada guru saya karena paham atas pemandangan tidak melulu gambar konvensi yang telah membeku seperti itu.***
*Beri Hanna, penulis lahir di Bangko. Sering terlibat dalam beberapa pertunjukan teater bersama Tilik Sarira. Buku barunya, Menukam Tambo.