Tutari MegArt Lithic – Koreografi Site Specific Situs Megalitik Tutari
Oleh IBG. Surya Peradantha, S.Sn., M.Sn.
1
Siang itu, November 2019 saya ingat saya diajak teman-teman dari Balai Arkeologi Papua terlibat dalam acara Rumah Peradaban di Kampung Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura. Saya mewakili kampus saya, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Rumah peradaban adalah acara tahunan Balai Arkeologi Papua. Selain saya dari ISBI Tanah Papua, acara Rumah Peradaban selama dua hari itu juga dihadiri oleh siswa dari sekolah-sekolah di sekitaran Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura bersama guru-guru mereka. Serta beberapa wartawan media online.
Acara Rumah Peradaban ini merupakan kegiatan pengenalan dunia arkeologi kepada generasi muda. Sesuai namanya, kegiatan ini berusaha mendekatkan anak muda Papua dengan tinggalan-tinggalan peradaban yang dibuat oleh leluhur mereka pada masa lampau. Salah satunya adalah Situs Megalitik Tutari ini. Tim dari Balai Arkeologi biasanya melakukan penelitian, pendokumentasian hasil penelitian hingga pada akhirnya melakukan sosialisasi hasil penelitian baik dalam bentuk buku, seminar maupun acara-acara lainnya seperti Rumah Peradaban ini. Para peserta acara yang dominan berasal dari kalangan siswa sekolah menengah diajak untuk menyimak hasil penelitian dari tim Balai Arkeologi mengeai Situs Megalitik Tutari. Mereka disuguhkan foto-foto artefak peninggalan peradaban masa lampau berupa batu-batu besar berisi berbagai macam motif lukisan, juga dijelaskan makna-makna lukisannya, serta ditampilkan pula peta situs keseluruhan yang terbagi menjadi 6 sektor.
Pada penutupan acara di hari pertama, kami ditawarkan kesempatan untuk berkunjung ke area Situs Megalitik Tutari. Saya yang sejak kecil menyukai bidang ilmu sejarah dan arkeologi (karena saya berasal dari desa yang kaya peninggalan arkeologis yaitu Desa Pejeng, Gianyar), menjadi sangat antusias. Saya mengikuti selalu rute yang ditentukan oleh tim pemandu dari Balai Arkeologi. Pada setiap sektor, kami selalu berhenti sejenak untuk menerima penjelasan mengenai situs yang kami jumpai serta sejarah dan maknanya. Pada momen inilah, saya merasa takjub.. sungguh suatu peninggalan purbakala yang sangat indah, melihat batu-batu berlukiskan berbagai motif hewan dan manusia serta motif geometris yang sarat makna. Dari sektor I hingga III, mata kami disuguhi ragam lukisan di atas batu yang menawan. Tak terasa keringat sedari tadinya telah membasahi tubuh mengingat panasnya sinar matahari menyiram kami sejak awal perjalanan.
Di sektor IV, kami tidak lagi menjumpai lukisan-lukisan di atas batu melainkan batu berwujud figur. Menurut penjelasan dari tim Balai Arkeologi, batu di sektor IV ini merupakan figur orang yang dihormati pada masa lampau oleh Suku Tutari. Bisa jadi, batu-batu tersebut merupakan motif nenek moyang maupun kepala suku yang telah meninggal untuk sewaktu-waktu dimintakan bantuan terhadap hal-hal yang datang mengganggu kehidupan masyarakat suku di Bukit Tutari. Kami menjumpai setidaknya 4 buah batu berbentuk figur di Sektor IV ini. Langkah kami kemudian berlanjut menuju sektor V Situs Megalitik Tutari.
Sepanjang perjalanan menuju sektor V, rimbunnya vegetasi di bukit Tutari ini memberikan kami peneduhan. Pepohonan yang didominasi pohon kayu putih (Melaleuca leucadendra) memberikan kami cukup oksigen untuk bernafas melanjutkan perjalanan. Sesekali, saya memetik daun pohon kayu putih untuk saya robek dan sedikit meremasnya sehingga aroma minyak kayu putihnya yang khas bisa saya hirup. Sunguh sangat menyegarkan rasanya.
Kamipun tiba di sektor V Situs Megalitik Tutari. Di situs ini, kami menjumpai formasi bebatuan yang disusun berbaris seperti rel kereta api. Panjang formasi bebatuan inipun saya perkirakan sekitar 20 meter, membentang dari arah batu figur di Sektor IV langsung menuju sektor VI. Formasi batu ini cukup menarik bagi saya, karena berbentuk seperti sebuah jalan (path) menuju suatu tempat. Jalan ini bukan jalan sembarangan melainkan seperti jalan spiritual. Ah, entah itu hanya imajinasi saya atau sekedar khayalan yang terpengaruh film-film, namun asosiasi pemikiran saya menjurus kesana. Tim Balai Arkeologi menjelaskan bahwa mungkin pada masa lalu batu ini disusun untuk kepentingan upacara spiritual yang berkaitan dengan kepercayaan manusia pada masa itu. Ya, imajinasi saya rupanya tidak bertolak belakang dengan penjelasanu ini. Kami tidak banyak menghabiskan waktu di sektor V ini, karena peninggalannya hanya formasi batu ini saja.
Kami beranjak menuju sektor terakhir yaitu sektor VI. Seiring tibanya kami di sektor puncak ini, ketakjuban saya pun turut memuncak. Betapa tidak, saya menjumpai sekian banyak batu yang diletakkan dalam posisi tegak vertikal dengan beberapa batu kecil sebagai penyangganya. Inilah sektor puncak di Situs Megalitik Tutari. Di sektor ini, terdapat 110 buah batu tegak yang didirikan oleh manusia prasejarah . Batu-batu ini digunakan sebagai media pemujaan spiritual manusia pada masa lalu. Masih dalam keadaan diam tertegun, saya menyadari bahwa selain jumlahnya yang sangat banyak, fungsi serta bentuk formasi bebatuan di sektor VI ini mengingatkan saya pada wujud serupa yang dalam kepercayaan saya yaitu Agama Hindu, dikenal sebagai Lingga-Yoni.
Menurut Bawa (2016 : 9-16) dalam penelitiannya mengenai lingga-yoni yang ditemukan di Banyuwangi, menyebutkan bahwa lingga-yoni berfungsi sebagai media transendensi antara masyarakat sekitar yang memercayainya dengan Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa sebagai pengejawantahan Siwa-Sakti, leluhur dan para dhanyang. Selain itu, banyak penelitian seperti Astawa (2009 : 46), Goris (1974 : 14-15), Ambarawati (1997 : 54) menyebutkan bahwa lingga-yoni berfungsi utama sebagai simbol kesuburan. Adapun kesuburan yang dimaksud, dapat diasosiasikan kepada kesuburan pembuahan laki-laki dan perempuan, atau pada makna yang lebih luas yaitu kesuburan alam.
Lingga adalah simbol purusa atau aspek laki-laki, sedangkan yoni adalah simbol pradana atau aspek perempuan. Jika dikaitkan dengan kesuburan alam, maka langit disimbolkan sebagai unsur laki-laki dan tanah sebagai simbol perempuan. Adapun air hujan yang jatuh menimpa bumi disimbolkan sebagai penghubung antara aspek kekuatan laki-laki dan perempuan yang kemudian menghasilkan kesuburan tanah. Setidaknya konsep-konsep religi itu muncul seketika di pikiran saya ketika melihat susunan peninggalan batu-batu tegak menhir ini di sektor VI.
Menapak tilasi i sektor I hingga VI ini, saya tiba-tiba entah kenapa – teringat pada konsep Kamadhatu-Rupadhatu dan Arupadhatu di Borobudur. Sektor I hingga III tadi yang saya laui , saya lihat dipenuhi oleh motif lukisan. Bagian ini mengingatkan saya pada bagian dasar Borobudur yaitu Kamadhatu. Alam yang dipenuhi nafsu dan keinginan. Akan halnya sektor IV Situs Megalitik Tutari, berisi batu figur yang menurut saya sepadan dengan konsep Rupadhatu di Candi Borobudur, sebuah alam yang melambangkan kehidupan manusia yang terbebas dari hawa nafsu namun masih terikat dengan materi yang bersifat duniawi. Sementara sektor V dan VI merupakan sektor yang melambangkan kehidupan religi dan kelepasan dari keduniawian. Hal ini saya perhatikan dari jalan setapak di Sektor V yang melambangkan transisi hidup dimana kita melepaskan segala ikatan sebelum tiba di Sektor VI yaitu alam spirit.
Setelah puas meninjau semua sektor di Situs Megalitik Tutari ini, hati saya masih tertaut pada ragam lukisan yang tertuang di atas batu yaitu di sektor I-III. Sebagai orang yang terlibat dalam kesenian – saya tiba-tiba membayangkan bagaimana jika lukisan-lukisan ini dieksplorasi ke dalam karya tari. Dalam perjalanan kembali ke lokasi acara di Balai Desa setempat- sekali lagi saya kemudian menyempatkan diri melihat kembali luksian-lukisan itu. Salah satu lukisan yang paling membuat saya terkesan adalah lukisan di sektor III yang bermotif batu mas kawin. Entah mengapa, ada sesuatu yang membuat saya begitu tertarik pada motifnya yang sederhana itu. Hanya pola lingkaran berjajar yang dihubungkan dengan satu garis lurus di tengah-tengahnya.
Menurut penuturan salah seorang narasumber lokal Hans Pangkatana, motif tersebut merupakan pengingat atau petunjuk bahwa pada masa lalu, gelang batu telah dijadikan mahar atau mas kawin prosesi pernikahan yang uniknya hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Kampung Doyo Lama dan sekitarnya. Namun bagi saya, motif ini dapat dibaca ulang sebagai salah satu wujud kebersamaan yang mampu melahirkan kekompakan masyarakat. Dalam benak saya, saya harus kembali lagi ke tempat ini untuk melakukan eksplorasi gerak bersama beberapa mahasiswa yang saya ampu di kelas Koreografi Site-Specific di semester V.
2
Saya balik lagi ke Situs Megalitik Tutari untuk keperluan penciptaan koreografi pada awal tahun 2020. Namun sayang, pandemi Covid-19 memaksa segala aktivitas manusia dibatasi secara sangat ketat. Saya pun pulang ke Bali sejak bulan Maret hingga kembali ke Papua bulan Oktober 2020. Meskipun demikian, saya tidak lupa dengan Situs Megalitik Tutari . Pada 21 Oktober 2020, saya kembali ke Situs Megalitik Tutari bersama 3 orang mahasiswa seni tari dan 7 orang mahasiswa seni musik untuk melakukan eksplorasi situs.
Saya membawa semua mahasiswa tersebut ke Sektor III untuk melakukan percobaan gerak berdasarkan rangsang intuitif hasil pengamatan individual terhadap motif-motif fauna lukisan di atas batu ini. Metodenya, para mahasiswa saya arahkan untuk mengamati ragam motif luksian di atas batu yang tersebar di Sektor III. Kemudian, saya meminta mereka me-reinterpretasi motif-motif tersebut ke dalam gerak tari sesuai pengalaman ketubuhan dan pengalaman estetis mereka terdahulu.
Hasilnya para mahasiswa ini bergerak intuitif menirukan motif-motif yang mereka amati ke dalam tubuh kepenarian mereka. Saya melihatnya dengan rasa takjub karena mahasiswa ini begitu lugas menerjemahkan dan menghidupkan motif-motif tersebut melalui tubuh mereka. Saya hanya memberikan arahan teknis manakala mahasiswa mengalami kemandegan bergerak seraya mempertajam motif-motif gerak yang mereka ciptakan. Saya pun hanya memberikan framing atau batasan struktur karya agar pola koreografi mereka tersusun secara sistematis yaitu jelas mana opening, bagian isi dan penutup pertunujukan yang mereka lakukan.
Tidak lupa para mahasiswa seni musik, saya minta melakukan eksplorasi alam sekitar untuk menemukan alat-alat apa yang bisa menghasilkan bunyi sebagai instrumen musik. Mereka pun berpencar, bereksperimen mandiri dan berinteraksi satu sama lain. Eksplorasi hari itu berjalan cukup lancar dan seluruh mahasiswa memperoleh pengalaman baru bereksplorasi langsung di alam terbuka, khususnya di Situs Arkeologi Megalitik Tutari.
Pada tanggal 27 Oktober 2020, kami pun datang kembali ke tempat ini untuk melakukan ekpslorasi lanjutan dan proses pewujudan karya. Para penari saya minta mempertegas fokus motif lukisan yang menurut mereka paling berkesan serta mengkomposisikan geraknya. Selain itu, mahasiswa prodi seni musik saya minta untuk mengkomposisikan musik hasil eksplorasi sebelumnya. Mereka pun memutuskan menggunakan instrumen baru dan kayu yang dikombinasikan dengan unsur nyanyian vokal.
Teks nyanyian ini diciptakan berdasarkan wawancara mahasiswa dengan penduduk lokal. Terinspirasi dari batu menhir di sektor VI yang seiring dengan konsep lingga-yoni/laki-laki-perempuan, saya meminta mahasiswa musik menelusuri apa bahasa lokal untuk “bapak” dan “Ibu”. Hasilnya, mereka memperoleh kata dalam bahasa lokal “Do” yang berarti bapak/laki-laki dan “Me” yang berarti ibu/perempuan. Teks inilah yang dijadikan material untuk dikomposisikan oleh para mahasiswa musik untuk menciptakan suatu karya pendamping tari.
Selain berimprovisasi menciptakan komposisi gerak dan musik, kami pun berusaha melengkapi koreografi ini dengan menciptakan semacam motif body painting yang terinspirasi dari motif batu mas kawin di Sektor III. Hasilnya, kami mendapatkan satu motif baru yang berasal dari motif batu mas kawin tersebut yang kami beri nama motif Gelang Batu. Motif ini sekaligus saya gunakan sebagai body painting identitas karya Tutari MegArt Lithic ini. Setelah beberapa jam melakukan imrovisasi, maka terbentuklah sudah pola koreografi yang disepakati bersama serta dikoneksikan dengan musik yang diciptakan juga di tempat yang sama. Hasilnya, terciptalah karya koreografi Site Specific yang saya beri judul “Tutari MegArt Lithic” yang ditarikan oleh 3 orang penari dan 7 orang pemusik.
3
Koreografi Site Specific adalah salah satu konsep pementasan karya tari yang dilakukan di alam terbuka. Dalam ilmu koreografi, dikenal ada tiga konsep penyajian karya, yaitu : 1. Koreografi Panggung ; 2. Koreografi Site-Specific ; dan 3. Koreografi Lingkungan. Dalam Koreografi Panggung, konsep penyajian karya tari dilakukan di atas panggung konvensional seperti panggung prosenium, arena maupun tapal kuda. Dalam konsep penyajian site specific, koreografer menitikberatkan pada eksplorasi di tempat khusus sebagai ruang alternatif saat itu juga. Artinya sejak proses berkarya hingga penyajian karya, dilakukan di tempat yang sama di alam terbuka. Sedangkan Koreografi Lingkungan, koreografer tidak saja harus jeli menemukan, mengolah dan memanfaatkan kekhususan suatu tempat di ruang terbuka, tapi juga harus bisa memberdayakan sumber daya lokal di lingkungan tersebut sebagai pelaku utama pertunjukan.
Sesuai namanya, Site-Specific menuntut kejelian seorang koreografer menemukan kekhususan atau keunikan suatu tempat (site) yang membedakannya dengan tempat lainnya. Misalnya, di suatu halte bus terdapat banyak orang menunggu bus datang. Ada berbagai macam karakter orang menunggu kendaraan di tempat tersebut. ada berbagai macam pose, ekspresi, komposisi dan warna pakaian yang dimiliki oleh masing-masing orang. Inilah bahan kekaryaan yang harus diriset atau diamati oleh seorang koreografer yang hendak menggarap koreografi Site-Specific.
Kita harus menemukan “kekhususan” dari tempat yang akan kita garap. Maka setelah menemukan hal-hal unik dari riset yang kita lakukan, bisalah kita melanjutkan proses penggarapan dengan eksplorasi. Namun, bagaimana dengan halte bus yang lain di kawasan yang sama misalnya? Bukankah semua halte sama saja adalah tempat menunggu bus? Lalu apakah yang membedakan halte yang satu dengan yang lainnya? Jawabannya relatif berbeda. Halte yang satu dengan yang lain, belum tentu diisi oleh orang yang sama, karakter yang sama, komposisi yang sama, tingkat keramaian yang sama dan karakteristik unik lainnya yang sama. Inilah yang membedakannya. Karakteristik tersebut akan memberikan rangsangan visual kreatif yang berbeda yang diamati oleh seorang koreografer. Bila pengamatannya dilakukan di halte yang lain meskipun di kawasan yang sama, ia akan memberikan rangsang visual yang berbeda sesuai karakteristik yang dimiliki di halte yang lain.
Berkaitan dengan proses kekaryaan di Situs Megalitik Tutari, kami menyadari bahwa tempat ini sangat unik. Hal ini dikarenakan Situs Megalitik Tutari selain dikaji secara kebendaan, juga dikaji secara non-fisik, yaitu makna lukisannya, gambaran kehidupan di tempat ini pada masa lalu yang berhasil diidentifikasi, kehidupan religiusnya hingga periode akhir keberadaannya di situs ini yang menyebabkan hunian ini ditinggalkan. Semua karakteristik unik ini ditemukan dari riset sebelum karya diwujudkan. Sehingga, dengan demikian walaupun di Papua ada situs lain yang sejenis dengan di Tutari, belum tentu (dan bahkan mungkin tidak bisa) karya Tutari MegArt Lithic dapat dipindahkan pementasannya di tempat serupa selain di Tutari. Mengapa? Karena karakteristiknya sudah berubah, ruangnya sudah berubah dan konteks kekaryaannya tidak bertautan lagi. Singkat kata, koreografi Site-Specific tidak bisa dipindahkan tempat pementasannya ke tempat lain begitu saja. Ia begitu melekat dan berkaitan dengan tempat (site) dimana ia digarap dan dipentaskan oleh karena karakteristiknya.
Meksipun demikian, karya koreografi Site Specific masih dapat di-transformasi ke dalam konsep pementasan koreografi panggung. Hal ini terjadi pada karya Tutari MegArt Lithic. Awalnya karya ini diciptakan dengan pendekatan Koreografi Site-Specific di Situs Megalitik Tutari, namun kemudian di-transformasi untuk pentas di atas panggung proscenium dalam acara Seminar Hasil Penelitian Arkeologi tahun 2020 di Hotel Horison, Kotaraja. Dalam tarian ini, karya Tutari MegArt Lithic di Situs Tutari digarap ulang dari sisi koreografi, karena menyesuaikan dengan panggung pementasan yang baru. Namun gagasan, struktur, musik, artistik dan tata rias karya tetap mempertahankan sebagaimana aslinya. Inilah tantangan kreatif yang diberikan dalam dunia koreografi sehingga sesungguhnya suatu karya yang telah diciptakan tidaklah benar-benar mapan tidak bisa diapa-apakan lagi. Ia masih bisa diolah dan dikemas ulang mengikuti konteks acara yang membutuhkannya tampil.
Kesempatan menggarap karya koreografi site-specific Tutari MegArt Lithic ini merupakan karya perdana yang saya lakukan di Papua. Sebelumnya, saya pun pernah mengeksplorasi tempat lain seperti di Kampung Asei bersama para mahasiswa saya dalam mata kuliah Metode Penulisan Karya Ilmiah. Sembari mereka melaksanakan penelitian, saya mengajak mereka belajar mencermati suatu lingkungan dan menggunakannya sebagai sumber inspirasi garapan karya site-specific. Suatu berkah buat saya, karena selain mendapatkan ilmu dari teman-teman Balai Arkeologi Papua, saya juga berkesempatan menggarap suatu karya di lingkungan bernilai sejarah tersebut. saya berharap dari giat kreatif ini, akan tumbuh kesadaran paradigma baru dalam berkarya bagi anak-anak muda Papua. Sebab saya berpendapat bahwa selain nilai-nilai luhur dalam seni tradisional yang diwariskan kepada kita, lingkungan alam Papua yang sangat asri dan natural pun perlu dilirik sebagai sumber utama inspirasi penciptaan karya seni. tidak seperti koreografi barat, sekali lagi bagi saya “panggung” pertunjukan tari kita di Papua adalah alam itu sendiri.
*Penulis staf pengajar ISBI Papua