Liarsip, Dr Samsi, dan Penelusuran Riwayat Ratna Asmara

Nama Ratna Asmara barangkali terdengar asing di telinga sebagian orang, terlebih bagi mereka yang tidak mengikuti perkembangan perfilman Tanah Air. Jauh sebelum nama Mira Lesmana muncul sebagai salah satu sutradara perempuan terkemuka, dalam sejarah perfilman Indonesia, peran sutradara seringkali identik dengan maskulinitas laki-laki, seolah tidak ada ruang bagi perempuan untuk dapat memainkan peran tersebut. Tetapi siapa sangka, dalam catatan sejarah Sinema Indonesia, nama Ratna Asmara tercatat sebagai sutradara perempuan pertama, yang berhasil mendobrak stigma tersebut.

Potret Ratna Asmara dalam promosi film Kartinah (1940). (Sumber: New Java Industrial Film)

Aktif pada periode awal kemerdekaan (1950an), sepanjang perjalanan karirnya, Ratna Asmara telah berhasil menyutradarai beberapa film, diantaranya yaitu film Sedap Malam (1950), Musim Bunga di Selabintana (1951), Dokter Samsi (1952), Nelajan (1953) serta, Dewi dan Pemilihan Umum (1954). Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa koleksi arsip -baik pribadi maupun karya- milik Ratna Asmara sudah sulit untuk ditemukan. Satu-satunya film karya yang kemudian dapat diselamatkan dikenal dengan judul Dokter Samsi. Adalah ‘Liarsip’, sebuah wadah berisi para penliti film,  yang berusaha mengembalikan kembali nama Ratna Asamara dan berperan besar dalam ‘dilahirkannya’ kembali film Dokter Samsi.

Sepanjang tahun 2022, Kelas Liarsip melakukan kerja riset penelusuran sosok Ratna Asmara dan warisannya dalam Sinema Indonesia. Program digitisasi film “Dokter Samsi” merupakan bagian dari riset Kelas Liarsip dengan dukungan Kemendikbudristek dan Sinematek Indonesia. Melalui proses digitisasi tersebut, film Dokter Samsi kemudian dialihmediakan dari bentuk seluloid ke dalam format digital.

Proses Restorasi dan Digitisasi oleh Efi Sri Handayani. (Sumber: akun instagram @liarsip)

Tahun ini, dalam rangka peringatan Hari Perempuan Sedunia, Kelas Liarsip menyelenggarakan sebuah acara dalam format presentasi dan pemutaran film “Dr. Samsi” (1952) karya Ratna Asmara. Film ini merupakan karya ketiganya yang diadaptasi dari naskah pertunjukan karya Andjar Asmara, dan dipanggungkan kelompok teater modern Dardanella di kawasan Asia. Acara tersebut akan diselenggarakan pada hari Rabu, 8 Maret 2023, pkl. 18.30 WIB, yang bertempat di GoeteHaus, Jl. Sam Ratulangi, No. 9-15, Menteng, Jakarta Pusat. Pada presentasi kali ini, Liarsip menghadirkan dua orang pembicara, yang merupakan anggota Kelas Liarsip yakni Umi Lestari (dosen dan kurator) dan Efi Sri Handayani (arisparis). Acara dipandu oleh moderator Elsa Ruswandono, seorang sutradara dari seri dokumenter “Merangkai Ratna Asmara”.

Film Dokter Samsi merupakan salah satu film yang ditulis oleh Andjar Asmara, dan kemudian disutradarai oleh Ratna Asmara pada tahun 1952. Film tersebut mengisahkan mengenai Dokter Samsi yang merawat anak hasil ‘hubungan gelapnya’ dengan seorang perempuan bernama Sukaesih. Kelak di masa depan, anak tersebut yang kemudian diberinama Soegiat, akan terlibat dalam sebuah konflik besar yang terjadi di antara kedua orang tuanya, serta orang-orang yang berada di sekitarnya.

Cuplikan Film Dokter Samsi. (Sumber: jaff-filmfest.org)

Ratna Asmara dalam Sinema Indonesia

Lahir di Sawah Lunto, Sumatera Barat, pada tahun 1913, Ratna Asmara terlahir dengan nama Suratna. Nama ‘Asmara’ sendiri ia peroleh dari Andjar Asmara, yang kelak menjadi suaminya sekaligus orang yang memberikan pengaruh besar dalam perjalanan karirnya dalam dunia perfilman. Sebelum menjadi sutradara, Ratna Asmara terlebih dahulu aktif sebagai seorang lakon. Bakat sandiwara yang ia miliki tersebut sudah disadarinya sejak ia menempuh pendidikan pada Europeesche Lagere School (ELS). Pada tahun 1928, untuk pertama kalinya Ratna tergabung kedalam sebuah grup tonil, disusul dengan didirikannya Suhara Opera oleh Ratna, pada tahun 1930.

Dalam rangkaian pentas Suhara Opera di Jawa, Ratna Asmara kemudian bertemu dengan Abisin Abbas, seorang pemimpin perusahaan film Dardanella, atau yang kemudian dikenal sebagai Andjas Asmara. Selang beberapa waktu setelah pertemuannya, pada tanggal 7 April tahun 1931 keduanya kemudian menikah, dan Suhara Opera serta Dardanella diputuskan untuk digabungkan.

Memasuki pertengahan tahun 1930, Ratna dan Andjas kemudian mendirikan sebuah perusahaan film bernama Bolero. Di bawah kendali keduanya, Bolero kemudian berkembang menjadi perusahaan film yang berhasil menghasilkan karya-karya besar.

Umi Lestari dalam pidatonya yang berjudul Ratna Asmara/Suska, Liarsip, dan Saya, menjelaskan bahwa:

“Petualangan Ratna sebagai pemain sandiwara, pemain film, hingga sutradara film terbentang dari tahun 1930an hingga pertengahan tahun 1950an. Saat bersama Dardanella ia kerap membawakan tarian daerah seperti Golek, Serimpi, Penca Minangkabau, hingga tarian Papua. Kemudian saat bersama Bolero ia menjadi Sri Panggung”, tulisnya pada Pidato Umi Lestari dalam acara Sekolah Pemikiran Perempuan x Jakarta Biennale, 22 Desember 2021.

Iklan Perusahaan Film Bolero dalam Surat Kabar Sumatera Bode. (Sumber: “Bolero”, Sumatera Bode, edisi 1 Maret 1937).

Karir sandiwara Ratna Asmara terekam dalam beberapa film, diantaranya yaitu Kartinah (1940), Ratna Moetoe Manikam (1941), Noesa Penida (1941), Djauh di Mata (1948), dan Dr. Samsi (1952). Sementara itu, karir Ratna Asmara sebagai seorang sutradara dimulai pada tahun 1950, dengan film garapannya yang berjudul Sedap Malam (1950). Karir Sutradara Ratna Asmara menjadi semakin berkembang, setelah ia mendirikan Ratna Films, pasca perceraiannya dengan Andjas Asmara dan pernikahannya kembali dengan Suska, seorang pejabat kementerian pada periode tersebut. Ratna Asmara atau Suratna kemudian mengakhiri perjalanan karirnya karena meninggal dunia pada tanggal 10 Agustus 1968.

Ratna Asmara dan Ali Yugo dalam film “Djaoeh di Mata” (1948). (Sumber: “Djaoeh di Mata: Uit het Oog”, dalam Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, edisi 25 November 1948).

Mereka yang Di Balik Layar

Berbagai pertentangan yang diterima oleh Ratna Asmara ketika ia pertama kali memutuskan untuk berkarir menjadi seorang sutradara, barangkali membuat namanya kian tenggelam di antara nama-nama besar sutradara laki-laki pada periode itu. Liarsip kemudian hadir untuk menghidupkan kembali dan memperkenalkan nama Ratna Asmara beserta karya-karya filmnya ke khalayak luas.

Berdiri pada tahun 2021, Kelas Liarsip adalah sebuah kelompok belajar virtual yang menaruh perhatian studinya pada arsip film, restorasi, dan sejarah perempuan dalam sinema Indonesia. Pada prosesnya, Liarsip dijalankan oleh enam perempuan dengan latar belakang yang beragam, dari mulai akademisi hingga praktisi. Mereka adalah Julia Pratiwi, Lisabona Rahman, Umi Lestari, Efi Sri Handayani, dan Imelda Mandala. Selain melakukan restorasi terhadap arsip-arsip film Ratna Asmara, Liarsip juga menebitkan sebuah buku mengenai Ratna Asmara yang berjudul “Ratna Asmara: Perempuan di Dua Sisi Kamera”.

Para peneliti film yang tergabung dalam ‘Kelas Liarsip’, dari kiri: Julia Pratiwi, Lisabona Rahman, Umi Lestari, dan Efi Sri Handayani (duduk), serta Imelda Mandala (foto di layar laptop). (Sumber: “Ratna Asmara: Melacak Sutradara Perempuan Pertama Indonesia, ‘yang Hilang dari Sejarah Perfilman’, BBC News Indonesia, edisi 25 Desember 2022).

Upaya yang dilakukan oleh Liarsip untuk menelusuri kembali mengenai sosok Ratna Asmara dan berbagai karyanya, menjadi jawaban akan permasalahan terkait dengan penghapusan sistemik atas kerja perempuan dan karya-karyanya. Selain itu, berbagai penelitian yang dihasilkan oleh Liarsip juga telah memberikan sumbangsih besar terhadap khazanah ilmu pengetahuan, terutama pada historiografi sinema di Indonesia.

 

*Lesi L.