Mencari Kata Kunci Musik Indonesia: Untuk Hari Musik Nasional
Oleh Joko S Gombloh
“Musik adalah milik semua orang.
Hanya perusahaan rekaman yang berpikir ia milik seseorang.” – John Lennon
1/
Memandang musik Indonesia dari sisi sudut sejarah tidak lepas dari nama-nama besar para komponis yang memiliki andil besar dalam pergerakan kebangsaan. Ismail Marzuki, Kusbini, C Simajuntak, L Manik, Ki Hajar Dewantara, dan tentu saja WR Supratman adalah tokoh-tokoh yang sepanjang awal pendirian negara-bangsa, dikenal sangat progresif menggelorakan nasionalisme dan perjuangan lewat lagu-lagu ciptaannya. Termasuk di dalamnya adalah Soekarno. Pandangan strategi kebudayaan Presiden RI pertama ini sangat konsern meletakkan musik di area politik kebudayaan tanah air.
Meskipun Soekarno pernah sangat emosional dan blunder oleh kebijakan Manifesto Politik, yang kemudian dikenal dengan akronim Manipol USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia), namun justru karena itu, Indonesia menemukan karakter kebudayaan yang kuat, dengan penciri lokalitas yang bhineka.
Sebagai sebuah nation-state, era pascakemerdekaan, yaitu pada tahun 1950 sampai 1965, Soekarno memandang penting sebagai momen untuk membangun dan menguatkan identitas kebudayaan Nasional. Ini adalah saat di mana Indonesia harus menengok ke dalam (inward looking) sebagai upaya integrasi dan otonomisasi pada bidang kebudayaan. Soekarno merefleksikan kesadaran akan pentingnya identitas dan karakter ini lewat jargon “Berkepribadian dalam kebudayaan”. Melalui jargon itu, negara mulai hadir, melakukan intervensi dan kontrol di ranah kebudayaan-kesenian.
Maka, Manipol USDEK yang dibacakan pada saat memperingati kemerdekaan RI ke 14 (17/8/1959), tidak berhenti sebagai kertas pidato yang dibacakan secara berapi-api. Ia berbuah terbitnya Penetapan Presiden (PP) Nomor 11 Tahun 1963 tentang pelarangan musik Pop Barat yang dipopulerkan oleh The Beatles, Elvis Presley, dan artis pop lainnya yang musiknya dianggap melankolis. Soekarno membernamainya sebagai musik “Ngak-Ngok-Ngok”. Tentu sebutan ini dilemparkan bukan untuk mengejek visi artistiknya secara ansich, tetapi untuk menegaskan bahwa hadirnya musik-musik tersebut di Indonesia—dan sangat digandrungi kawula muda—tak lain merupakan bentuk kolonialisme dan imperialisme baru negera Barat melalui jalan kebudayaan.
Soekarno menyebut bahwa musik Pop Barat tidak merefleksikan kebudayaan Indonesia. Dan, satu lagi, tidak sejalan dengan arah tujuan revolusi. Ganyang Amerika! Soekarno menuding para penggemar musik Barat sebagai pendukung kebudayaan imperialis. Karena itu, supaya tidak termakan oleh budaya Barat, mereka harus dilindungi dengan mengembangkan kecintaan kepada kebudayaan musik Nasinoal. Meskipun kebijakan ini otoriter dan membingungkan—ingat, musik Pop telah menjadi simbol modernitas global—namun memberikan pengaruh signifikan bagi terbentuknya karakterisik musik di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya, yakni musik hibrida (hybrid musik) yang bhineka secara suku dan budaya musik dunia. Sebagai ujud perlawanan poskolonial, Soekarno membuat lagu “Bersuka Ria” yang mengintegrasikan elemen musik Pop Barat dengan irama Lenso yang diambil dari tarian tradisional Maluku. Soekarno juga mengajak Ki Nartosabdo—dalang wayang kulit popular di tahun 1960an—untuk membuat gending-gending Jawa dalam langgam popular musik Barat.
Belakangan gending-gending Ki Nartosabdo ditafsir ulang menjadi lebih kinclong oleh komposer Gondrong Gunarto. Repertoar Lesung Jumengglung, misalnya, yang pada mulanya berkarakter riuh, sigrak, berubah dalam space milenial: Melodi lembut gitar dibungkus bunyi synthesizer berat dan datar, membangun ruang yang mengawang. Nada-nada gamelan dalam Lesung Jumengglung bergeser ke dalam skala digital synthesizer. Melahirkan imajinasi purbawi tapi sekaligus futuristik.
Lesung Jumengglung juga berubah ke dalam irama yang mengentak. Bebunyian kluncing dan kendang Banyuwangi mengajak perubahan tempo lamban melesat cepat. Gending ini bermetamorfose dalam kelindan musik hibrida yang komplit: Ketika berjumpa dengan musik Banyuwangi, ia juga akan meraih riuhnya gamelan Banyuwangi yang merupakan perpaduan rancak gamelan Bali, Makassar, Osing, dan Madura yang kasar dan gaduh. Lesung Jumengglung telah menanggalkan karakter aslinya. Memasuki atmosfir gamelan milenial yang belakangan ini diminati seniman world music.
2/
Ekspresi musik hibrida semacam Bersuka Ria yang mengintegrasikan lintas budaya musik itu kelak menjadi gelombang baru dunia musik Indonesia. Hybrid music seperti menjadi kata kunci. Hingga saat ini. Di luar gaya musik pop yang tetap ber“mama-papa”, musik Indonesia hari ini adalah keniscayaan hibrida yang dilahirkan dari paradoks global, di mana lokalitas semakin menemukan ruang-ruang perjumpaan yang dinamis, gesit, cerdas, tapi terkadang sekaligus banal. Hari-hari ini adalah perayaan kejayaan musik popular yang dikemas dan dibingkai dari dan di antara musik-musik yang berkembang tanpa batas etnis dan negara.
Jika kita teropong jejak sejarah, kisah tentang perjumpaan musik lintas budaya sebetulnya bukan barang baru. Ia ada sejak jaman kolonialisme dan gelombang orientalisme. Terutama ketika para orientalis terpukau pada “musik bangsa-bangsa berkebudayaan tinggi”—sebuah terminologi etnomusikologis untuk menyebut bangsa-bangsa Aisa Timur dan Tenggara, tak terkecuali bangsa Indonesia. Fenomena ruang perjumpaan untuk bereksperimen dan berkolaborasi antarpemusik yang bhineka secara suku, disiplin, maupun bentuk musikal itu membuahkan ekspresi musikal yang baru. Dalam cara pandang orientalis, hasrat untuk menjadikan musik Timur sebagai sumber penciptaan musik baru, telah menemukan angin baru yang menawan.
Pada dunia musik Gamelan perjumpaan tersebut telah terjadi pada era mestizo. Peneliti gamelan, Sumarsam, menemukan catatan bahwa perjumpaan musik Timur dan Barat telah dimulai dalam sorak sorai pertunjukan musik dan tari yang diselenggarakan oleh para priyagung Keraton Jawa dan punggawa kolonial. Gending-gending gamelan bersanding dengan musik era classic, walts, polka, quadrille dalam suasana informal. Audiens menikmati sajian musik sambil makan dan minum. Musik-musik tersebut dimainkan bergantian atau secara bersama. Mereka telah memulai proyek hibrida yang memikat.
Di Eropa, Claude Debussy pada awal abad 19 telah pula mempraktikkan pengalaman perjumpaannya dengan gamelan. Beberapa komposisi musik, seperti Bells Through the Leaves, La Mer or The Ocean, What the West Wind Saw, dan The Wind on the Plains mengintegrasikan unsur dan warna musik gamelan.
Seabad kemudian, pesohor musik pop, Peter Gabriel, tampak bersemangat mengampanyekan estetika lokal musik-musik Asia Timur, Asia Tengah, Afrika, juga Eropa Timur dalam proyek yang ia sebut sebagai World Music. Gabriel kemudian menginisiasi World of Music, Arts and Dance (WOMAD) pada tahun 1982. WOMAD eksis hingga sekarang. Gabriel seperti tengah meyakinkan dunia bahwa apresiasi masyarakat Barat terhadap musik non Barat, mulai tumbuh dan berkembang.
Di akhir tahun 1970-an, Guruh Soekarno Putra pernah menuliskan komposisi musik adonan Timur-Barat dengan memukau. Salah satu karya komposisinya, Chopin Larung, adalah kemegahan Fantasia Impromptu karya Fryderyk Franciszek Chopin yang bersinergi dengan gamelan Bali yang sigrak. Berkolaborasi dengan pengrawit sohor dari Bali, I Gusti Kompyang Raka, Guruh melukiskan keresahan terdesaknya kultur lokal justru bertolak dari komposisi yang ditulis oleh komposer klasik asal Polandia itu. Sebuah paradoks: meminjam komposisi klasik-Barat lalu mendekonstruksinya lewat adonan gamelan yang Timur. Guruh, lewat karya lainnya seperti Geger Gel-gel, Janger, dan karya-karya lainnya, cerlang dalam jajaran pemusik populer di Indonesia.
Saling silang integrasi sumber-sumber musik lintas tradisi itu pun menjadi suatu bentuk musik ekletik yang kerap dijumpai. Terutama pada festival-festival musik non industri (pop). Sebutlah pada Parade Lagu Daerah Tingkat Nasional yang diselenggarakan setiap tahun sejak 1984 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Belakangan bentuk ekspresi musik hibrida pada parade lagu tersebut mendominasi tampilan para peserta yang melibatkan komposer dari Aceh hingga Papua.
Juga pada even-even serupa lainnya, seperti Riau Hitam Putih yang menghadirkan kelompok-kelompok yang menggabungkan warna-warni lokal dengan musik Barat. Ada pula Bali World Music yang berisi tampilan para pemusik Indonesia yang menggabungkan musik-musik dunia; beberapa forum jazz seperti Bandung World Jazz, Ngajogjazz, Solo City Jazz, Jazz Mahakam, Jazz Telaga Ngembel Ponorogo hingga Festival Jazz Maumere yang di dalamnya terdapat penampil-penampil musik jazz campuran; Solo Interantional Etnhic Musik Festival; Forum Musik Tembi dan Bukan Musik Biasa yang tampak lebih ideologis dengan tampilan karya-karya musik bersifat eksperimental. Esensi dari setiap forum musik di atas adalah ekspresi musik yang didominasi oleh tampilan Hybrid Music!
Ekspresi Hybrid Music tersebut bukan hanya pada bentuk garapannya, tetapi juga eksplorasi dan eksperimentasi di ranah instrument musik yang dipakainya. Yang paling banyak adalah eksplorasi bentuk dan permainan alat musik yang bertranformasi dari akustik ke elektrik. Saat ini sudah banyak dijumpai alat-alat musik seperti Sape’, Kecapi, Sasando, Siter, dan banyak alat akustik tradisional Nusantara yang berubah menjadi alat musik elektro-akustik.
3/
Bentuk-bentuk elektrisasi dan hibridasi musik berbasis budaya musik Nusantara ini harus ditempatkan sebagai upaya untuk menemukan musik Indonesia yang cerdas dan elegan. Dengan perspektif ini, maka para pemusik mestinya lebih menempatkan untuk mencari “bahasa musikal baru” dalam bermusik, dari pada sekadar terjebak dalam euphoria elektrisasi dan garapan musik pseudo modern yang artifisial dan gimmick. Jika tidak ditempatkan dalam kerangka itu, sangat mungkin mereka masih ada dalam hegemoni musik Barat, yang selalu melahirkan candu pseudo modernitas itu.
Masyarakat sudah lama tahu bahwa dalam domain industri musik pop, penyeragaman cita rasa telah berlangsung sangat sukses dan massif oleh jaringan industri musik global hingga membentuk MTV Addicted. Sebuah penyeragaman yang menjadikan elan vital musik-musik tradisi nonBarat keropos. Kalaupun harus terlibat kolaboratif dengan industri, musik tradisi hanyalah gula-gulanya. Visi artistik industri mengontrol dan mengkooptasi langkah eksplorasi dan eksperimentasi pemusik. Jika dibiarkan, proyek hibrida musik berbasis budaya Timur-Barat hanya menjadi sekadar “label pemanis” dalam konstelasi industri musik global. Ini menjadikan proyek hibridasi musik lintas tradisi menjadi tak terlalu istimewa.
Tapi bangsa Indonesia masih memiliki banyak pemusik yang cukup asketik dalam menyikapi musik tradisi. Sebutlah misalnya, kolaborasi penyanyi Nyak Ina Raseuki (Ubiet) dengan pemusik Dotty Nugroho yang menarasikan kebhinekaan musik Nusantara lewat tema lirik-lirik yang mengisahkan folklore musik Sabang hingga Merauke. Atau, Wayan Balawan dengan Batuan Ethnic Fussion, Krakatau Band, Simak Dialog yang cerdas menggabungkan musik-musik tradisi Nusantara dalam balutan jazz yang menawan; Irwansyah Harahap dengan kelompok Suarasama menarasikan tema sufistik dalam bangunan musik Melayu yang berintegrasi dengan modal musik-musik India dan Pakistan; I Wayan Sadra bersama Sonoseni Ensemble bergairah melakukan studi musik-musik etnik dalam bingkai “mencari bahasa musikal baru”, atau Djaduk Ferianto dengan Kua Etnika yang bermain-main dalam kekentalan orkes tradisi dan musik Barat pada umumnya dengan struktur musikal yang lebih kompleks dan ekletik.
Projek blending musik lintas budaya (world cross over music) tersebut telah mampu menjebol sekat musik-musik lintas tradisi. Ia sempat menginspirasi program acara di televisi Nasional. Misalnya, pada akhir tahun 1990-an stasiun televisi RCTI menayangkan program regular “Dua Warna” setiap seminggu sekali. Program Dua Warna yang bermaterialkan gabungan musik tradisi dengan pop Barat ini melibatkan pemusik Djaduk Ferianto di jalur tradisi dan pemusik pop Aminoto Kosin sebagai arranger.
Perilaku musik campuran dengan pendekatan kolaboratif tersebut memiliki cakupan materi, subjek (pelaku) dan tempat yang tidak terbatas. Proyek-proyek seperti Dua Warna menginspirasi kalangan pebisnis musik dengan menerbitkan album-album rekaman yang berisi aneka campuran music. Kelompok musik Sambasunda medapatkan label yang memproduksi album-album campuran Sunda-Jawa, Sunda-Bali, ataupun Sunda-Afrika.
Pada saat yang sama, grup musik Campur Sari Gunung Kidul (CSGK), bentukan mantan penulis lagu pop, Manthou’s, tengah popular dan jaya di saentoro jagat Jawa. Musik Manthou’s yang menampilkan ensemble gamelan Jawa dan beberapa instrument musik barat (terutama keyboard-synthesizer) telah pula menginspirasi kelompok-kelompok musik tradisi gamelan lainnya untuk mengerjakan bentuk musik yang sama. Di Banyuwangi muncul genre musik Kendang Kempul, Tarling di Cirebon, Gendang Kibod di Batak Karo, Tarduk di Sumedang, Congrock di Semarang, dan istilah-istilah lainnya yang semuanya mengabarkan bahasa musik hibrida.
Harus disertakan di sini adalah musik Dangdut dan Keroncong. Dangdut, sudah jelas dari awal merupakan musik bentukan tradisi Melayu dalam pengaruh musik India dan Pakistan. Apalagi setelah dikembangkan dalam bahasa baru “Rock Dangdut” oleh Rhoma Irama dengan kelompok yang didirikannya, Soneta. Rhoma, dalam ujud dangdut ini, adalah agen pembaru musik Melayu dengan memadukan unsur musik Rock dalam Melayu. Ia melakukan pengembangan aransemen, lirik, serta pemakaian kostum dan penampilan yang khas. Hasilnya adalah Rock Dangdut yang menjadi rujukan para pemusik Dangdut sampai kini. Pada poin ini, inovasi yang dilakukan oleh para pedangdut Koplo, seperti Didi Kempot hingga Deni Caknan adalah perluasan gaya musikal yang jejaknya tidak bisa lepas dari orkes Dangdut besutan Rhoma Irama. Dangdut lantas menjadi musik adonan yang genuine Indonesia. “Dangdut is very-very Indonesia!”
Keroncong sudah menjadi ruang “meltingpot” sejak awal. Jejak atau “rute” untuk mencari “akar” alias “roots” untuknya bahkan sudah hilang. Ia diyakini sebagai musik yang dibawa penjajah Portugis, sementara di negeri Portugis sendiri konon sudah tidak eksis. Ia datang sudah dalam bentuk hybrid sebagai Keroncong Tugu. Dan pada perkembangannya, Keroncong menemukan bentuk-bentuk baru: Keroncong Asli, Stambul, Langgam, dan Langgam Jawa. Kelompok Sonoseni Ensemble pada tahun 2017 menerbitkan album “Keroncwrong” untuk menandai beberapa temuan bahasa musik baru Keroncong yang lebih luas dan kompleks. Di sini Sonoseni menawarkan elemen-elemen variatif dalam Keroncong, menyumbangkan berhasilnya hibridisasi tradisi-tradisi musik yang sangat berbeda dalam keroncong.
4/
Pengembangan dan perluasan bahasa musikal baru ditemukan oleh para pemusik lewat beberapa cara atau pendekatan, yakni: (1) Pengembangan pola ritme dan irama; (2) Transformsasi idiomatika garap antartradisi musik yang diintegrasikan; (3) Pengembangan timbre, sering dilakukan dengan eksplorasi menggunakan perangkat eletronis, selain juga untuk pengayaan cengkok dalam bernyanyi; (4) Apropriasi yang mengintegrasikan langsung idiomatika garap tanpa adaptasi sebgaiaman yang terjadi di dalam music Pop kita yang hanya mengubah pada aspek penggunaan Bahasa, yaitu dengan Bahasa Indonesia; (5) Produksi harmoni baru yang memungkinkan tabrakan bunyi disonan sebagai bentuk estetika baru dalam bermusik. Di sini pemusik dapat mengembangkan vokabuer harmoni dengan melakukan transplatasi pola-pola ritem alat perkusi ke dalam alat-alat harmoni seperti gitar atau piano.
Pemusik yang menguasai referensi teori dan praksis yang mumpuni, tentu memiliki sangu yang melimpah untuk menemukan perluasan dan pengembangan garap kompositorik yang diinginkan. Pengembangan ini memperlihatkan bentuk krospolinasi unsur-unsur musik secara luas dan lintas budaya. Misalnya dalam musik gamelan—yang memiliki sifat dan karakter bentuk yang kompleks, lentur, dan besar. Bagi komposer yang memahami betul konsep perubahan irama dalam gamelan, ia telah memegang kunci untuk membangun kemungkinan struktur yang lebih besar. Ia bisa tanpa kompromi dalam membongkar keseluruhan bentuk komposisi; membuka ruang eksplorasinya menjadi lebih kaya; serta melakukan elaborasi perubahan irama ke dalam detail-detail kecil secara fleksibel, spontan, dan dengan kepekaan rasa yang tinggi. Para kampiun gamelan Jawa tahu bahwa perubahan irama bukan semata memperlambat atau mempercepat tempo, melainkan juga peningkatan kebesaran rasa dalam perubahan pola irama, struktur, dan densitas nada dari instrumen musik yang dimainkan.
Kecenderungan untuk melakukan pengembangan musik itu pada umumnya untuk menyapa audiens sesuai zamannya secara lebih intim. Ini menjadi semacam bentuk kompromi yang merujuk pada orientasi selera musik populer. Tentu dengan harapan tidak takluk pada kehendak pasar semata. Sehingga, komposer tetap mengembara dalam ruang-ruang eksplorasi musikal yang bebas. Terjun di medan estetika musik yang dinamis.
Dalam konteks mutakhir, pengembangan dan inovasi ini lebih untuk menyapa kaum milenial, agar lebih mengakrabi dinamika musik yang berkembang pesat. Selera musik kaum milenial sudah tidak dikonstruksi lagi oleh teori strukturasi Gidens atau habitusnya Bourdieu yang mengasosiasikan (selera) musik dengan kelas atau kelompok sosial. Fenomena “Sobat Ambyar” yang lekat pada sosok dan ekspresi musik Didi Kempot, cukup menjelaskan hal itu. Penggemar Didi dan musiknya adalah kaum milenial yang telah menjebol kategorisasi musik yang equivalen denga kelas sosial. Gen milenial adalah mereka yang menolak tunduk pada hegemoni industri musik. Mereka sepakat dengan Lenon, “Musik adalah milik semua orang. Hanya perusahaan rekaman yang berpikir ia milik seseorang.”
Para sosiolog tercengang: mahasiswa, kaum terpelajar, hinggga kaum urban-profesional yang tadinya ada dalam kelas menengah atas—dengan pola konsumsi musik Pop Barat, Jazz, Blues, Symphoni, dan jenis-jenis musik Barat lainnya—kini larut dalam pesona “Lord Didi” yang menjadi “The God Father of Broken Heart” dan Deni Caknan. Dari (musik) Jawa, Didi dan Caknan, bukan saja menjebol kerangkeng pandemen musik Barat, tetapi juga pandemen musik-musik tradisional lainnya di Indonesia. Lagu-lagu ciptaannya menyapa audiens musik milenial secara lebih intim dan bersahaja.
5/
Pada akhirnya, jika kita cermati kembali jargon Soekarno, “Berkepribadian dalam kebudayaan”, maka bentuk dan ekspresi-ekspresi musik hibrida yang berkembang dalam peta musik tanah air adalah diksi yang tepat untuk menjadi kata kunci. Hibriditas musik Indonesia adalah cermin kebhinekaan musik Nusantara. K-Pop, J-Pop, juga Indonesian Pop, tentu tetap eksis dan moncer pada jalurnya. Mereka tetap menjadi warna bagi pelangi musik Nusantara. Sungguhpun mereka tidak merefleksikan karakter budaya musik-musik tradisi Nusantara.
Pada tanggal 20 Agustus-1 September 2021, digelar Kongres Musik Tradisi Nusantara. Salah satu poin rekomendasi kongres adalah pentingnya pemerintah untuk menyediakan dan memasukkan pembelajaran musik tradisi Nusantara dalam pendidikan formal dan informal. Kongres meminta pemerintah mengintegrasikan sistem pendidikan formal, informal, dan kultural ke dalam kebijakan Merdeka Belajar. Pengintegrasian ini dimaksudkan untuk menguatkan pemahaman tentang keberagaman serta penguatan identitas kebangsaan.
Kata keberagaman dalam konteks musik tradisi Nusantara dapat dimaknasi sebagai sesuatu yang meniscayakan hibriditas. Mencerminkan kebhinekaan. Istilah “Musik tradisi Nusantara” itu majemuk. Tidak menunjuk satu entitas musik dari salah satu musik tradisi masyarakat atau etnis tertentu, melainkan representasi dari musik-musik tradisi yang ada di wilayah budaya Nusantara. Musik-musik tradisi Nusantara, seperti telah disampaikan di awal, telah mengalami perjumpaan-perjumpaan yang berkontribusi terjadinya dinamika perubahan. Karena itu tidak ada yang asli musik Indonesia, kecuali yang selalu mengalami hibriditas lantara keniscayaan saling silang dalam ruang perjumpaan kultural.
Mencari kata kunci musik Indonesia dengan demikian adalah menelusuri jejak-jejak peradaban musik yang selalu “baru” (hibryd) tersebab ruang-ruang perjumpaan kultural yang mengalir tanpa lelah.***
Joko S Gombloh, Pengamat Musik.