Sajak-Sajak Seno Joko Suyono

Di Bekas Mansion Kapitan Chung Keng Kwee

Aku rindu pada seorang guide yang menuntunku
Ke kamar rahasia tempat sang Kapitan
Menjamu para kekasihnya menyesap candu

Meminjamkan pipa panjang tulang tua
Dan sandaran bantal empuk.
Untuk baringan kepala setiap hembusan

Menatakan guling sutra
Memasang kaca-kaca ukiran
Tempat pemadat melihat
pantulan arwah-arwah pejabat Ming berkeliaran  

Semestinya dari hall tengah
Ia mengajakku berbelok ke zona berpalang
Tapi malah ke ruang mahjong aku digiring

“Kartu batu  keberuntungan, balok domino, sidik jari,
nafas kita adalah dadu, mata kita, kecepatan tangan kita,
minumlah arak dahulu sebelum….”.   

Ah, jauh-jauh ke sini aku tak ingin mendengar ocehannya
Aku ingin meniti sulur-sulur bunga di ranjang gundik
Bercengkerama di kamar keramik
Bercinta di antara rupang-rupang marmar 

Hanya satu tempat untuk memuaskan itu
Kamar tersembunyi. Kamar halimun
Kamar labirin. Siapapun akan tersesat bila menemuiku

“Lekas, bawa aku ke sana. ke tempat suci itu.”  

 

Banteay Chmar

Ambrukan batu berabad-abad membimbing langkah kita
Ke sebuah luka yang dikoreografikan bayangan
Amsalkan kesunyianku. Dulu mungkin ini sebuah benteng
Untuk menahan musuh di perbatasan

Kehancuran lalu diciptakan untuk keabadian
Kekekalanmu adalah asmaramu, pusaramu
Lumut-lumut menjadi saksi
Relief panjang bertatah parade cuma nisbi

Rahang waktu demikian kejam maupun sabar
Ia tak ingin mengikis kenangan orang tersesat seperti kita
Memperlihatkan yang tak kasat mata di sela-sela puing
Memberikan isyarat kehadiran leluhur di serakan yoni  

Kebisuan memantulkan gema kepedihan
Langit redup melindungi hitam reruntuhan
Mambang mambang keluar dari persembunyian lingga
Amsalkan kesunyianku. Setapak demi setapak aku meloncat ke pendakian

 

Ganesha

Lembah menaungi
bayang-bayang sendu  

sampai ke sebuah arca tinggi
yang muncul tiba-tiba di pinggir waduk 

Jari-jari arca itu menggenggam mangkuk
Belalainya kembang kempis menghisap

dasar yang kosong
: mencari  tilas asin darah
yang menempel di cawan

Mahkota jatamakuta memilin rambut krulnya
Upawita ular diselempangkan
Tanda ia seorang ningrat perwira

Ia seperti gusar mencari gadingnya yang hilang satu
Kuping besarnya beranting
tegang menangkap suara deram truk mencurigakan di kejauhan 

Kulihat sore itu, samar-samar hujan menyapih
tengkorak-tengorak yang diinjak telapak kaki tambunnya

Adakah ia penjaga bendungan?
Kemana gadingnya patah? Di desa-desa yang tadi kulalui?
Atau di restaurant gulai bebek tempat kita tadi makan siang? 

Konvoi tentara mana yang mencoba mengeroyoknya?
Apakah Kodim di dekat lapangan itu?
Dimanakah ia bertarung? Di gigir jurang bekas pembunuhan
petani-petani itu dilakukan?

Bilur-bilur luka di tubuhnya masih membekas

Aku melihat beringin tua di sekelilingku mulai mengeluarkan uap
Aku mendongak takut-takut melihat mata ketiga di dahinya  

Kedua tangan belakangnya
yang memilin tasbih, dan menggengam kapak
membuatku senewen 

Menjelang malam dari arakan kabut
Aku memimpikan suara kepala dusun yang telah mangkat
mendaraskan sotram penenang 

 

Pesta

Tangannya gemetaran menjamah susu orang kerdil
Ia kaget tatkala puting mengeras dan
memancurkan amrta

Berjalan kaki pagi ini
menuju kuil kesturi
Aku ditemani sahabat yang membawa guci kecil

menciduk wewangian yang dibilaskan seorang rsi
ke dagu para cebol 

saat upacara sradha
penguasa yang diarcakan tahun saka

Sakramen yang menghapuskan
segala jenis dosa persetubuhan

Lalu sahabat itu mengajarimu menciumi rambut Juni sampai
habis aroma nestarnya

Hingga kau percaya saat Caligula
mengajakmu menghadiri ritual gila itu
Tamu-tamu menyambutmu sebagai mempelai

 

Burung Malam

Burung malam yang menjengukmu di jendela
memicingkan mata
menatap cara tidurmu yang aneh

Kamu telanjang bulat tanpa selimut
Memeluk topi dan payung
Kakimu menekuk, mengapit
piringan hitam Jesus Christ Superstar

Lonceng karat berdentang lagi 

Burung malam itu ingin memasuki mimpimu
Kamu berjalan sendirian di sebuah lembah hijau

Gembira. Melangkah menuju sebuah rumah kebaktian kuno
Paduan suara di situ menyenandungkan lagu yang sejak lama
ingin disiulkan burung itu

Bukan lagu pengantar bobok
Bukan requiem yang menyedihkan

Burung malam itu ingin bersamamu
Mengetuk pintu. Lalu masuk, duduk di bangku kayu
Mendengarkan kantata tanpa dirigen
Mendengarkan koor tanpa soprano

Sebelum not-not itu sampai ke rintihan Gethsemane

 

Tindihan

: koreografi Fitri Setyaningsih

Kita melihat diri kita sendiri mengigal
Dan teman bercinta kita hanya diam di tepi ranjang
Menatap, membiarkan kita dicekik
Membiarkan hidung dan mulut kita
dibekap tanpa ampun.

Nafas kita terengah-engah
Leher dipiting, dada dijerembabkan
Keringat luber sampai kemaluan

Sosok hitam itu terlalu besar
menindih tubuh kita yang kecil, lemah, fana

Seorang sahabat dikatakan kekasih bila serta merta
tanpa banyak pikir sigap menarik kaki,tangan kita
menunjukkan arah pintu ke luar
“Lari, lari …”

Duduk (dengan tubuh masih telanjang)
: hanya beberapa inci dari kita
Tapi mengulurkan tangan, membelai rambut pun tidak

Apalagi menjaringkan selimut mengkerukubi,
kepala peruda paksa brutal itu .Dan sekuat tenaga
berusaha menjengakkannya (agar kuku-kuku kita tak dicabuti)

Termangu, ia hanya menatap dengan mata kosong
Jeritan-jeritan tersedak suara kita
Diam berjam-jam ia seolah menikmati detik per detik
Goliath hitam itu mencengkram perlawanan sia-sia kita

 

*Seno Joko Suyono, pernah kuliah di Fakultas Filsafat UGM dan kemudian arkeologi UI. Mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) di tahun 2012. Dan menjadi kurator progamnya sampai sekarang. Telah menerbitkan dua novel: Tak Ada Santo Dari Sirkus dan Kuil di Dasar Laut. Kumpulan naskah drama: A Flood On Java dan kumpulan buku puisi: Di Teater Dionysus. Mengajar di Prodi Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ).